Lian Hearn Kisah Klan Otori Brilliance of the Moon Download Ebook Jar Lainnya Di http://zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net SATU SEHELAI bulu itu ada di telapak tanganku. Aku memegangnya dengan hati-hati, sadar akan usia dan kerapuhannya. Warnanya yang putih masih tembus cahaya, sedangkan ujung bulunya yang berwarna merah tampak berkilau. "Itu bulu burung suci, houou," ujar Matsuda Shingen, Kepala Biara Terayama. "Burung itu muncul saat ayah angkatmu, Shigeru, berumur lima belas tahun, lebih muda dari kau saat ini. Dia pernah mengatakannya padamu, Takeo?" Aku mengangguk. Matsuda dan aku sedang berdiri di ruangannya, di ujung salah satu beranda yang dikelilingi halaman utama biara. Dari luar ruangan, sayup-sayup terdengar suara yang biasa terdengar di biara, lantunan doa dan bunyi lonceng, kemudian terdengar suara orang yang berlalu-lalang. Aku mendengar Kaede, istriku, sedang berbicara dengan Amano Tenzo di luar gerbang. Mereka sedang membicarakan masalah persediaan makanan untuk pasukan selama di perjalanan. Kami sedang bersiap-siap berangkat ke Maruyama untuk menuntut hak Kaede sebagai pewaris sah juga untuk merebutnya bila terpaksa. Sejak akhir musim dingin, para ksatria berdatangan ke Terayama untuk bergabung denganku dan kini pasukanku berjumlah ribuan orang, menginap di biara dan di desa sekitar, belum termasuk para petani dari wilayah sekitar yang mendukung perjuanganku. Amano berasal dari Shirakawa, tanah leluhur istriku. Dia adalah pengawal yang paling Kaede percaya, penunggang kuda yang hebat dan ahli menjinakkan hewan. Beberapa hari setelah kami menikah, Kaede dan pelayannya, Manami menunjukkan keahlian yang mengagumkan dalam mengurus serta mendistribusikan makanan dan peralatan. Mereka berdua mendiskusikan semuanya dengan Amano dan memintanya untuk menyampaikan keputusan mereka pada seluruh pasukan. Pagi itu Amano sedang menghitung gerobak sapi dan kuda beban yang dapat digunakan. Aku mencoba untuk berhenti mendengarkan, berkonsentrasi pada apa yang sedang Matsuda katakan, tapi aku gelisah, ingin segera pergi dari situ. "Bersabarlah," ujar Matsuda ringan. "Sebentar saja. Apa yang kau tahu tentang burung houou?" Dengan enggan aku alihkan lagi perhatian pada bulu di telapak tanganku dan mencoba mengingat-ingat apa yang guruku, Ichiro, pernah ajarkan saat aku masih di rumah Lord Shigeru di Hagi. "Itu adalah burung suci yang akan muncul saat keadilan dan kedamaian terwujud. Dan namanya ditulis dengan karakter huruf yang sama dengan tulisan nama klanku, Otori." "Benar," kata Matsuda sambil tersenyum. "Burung itu jarang muncul karena kini keadilan dan kedamaian sangat langka. Tapi Shigeru melihatnya dan aku percaya penampakan itu membuatnya terinspirasi untuk mewujudkan nilai-nilai kebajikan ini. Kemudian aku katakan padanya bahwa bulu itu sudah bernoda darah, dan ternyata memang darah serta kematiannya yang masih menggerakkan kita, kau dan aku." Kulihat bulu itu lebih dekat lagi. Bulu itu tergeletak melintang di atas bekas luka di telapak tangan kananku. Bekas luka terbakar yang sudah lama sekali kudapat, yaitu di Mino, desa tempat kelahiranku, saat Shigeru menyelamatkanku. Di telapak tanganku juga tergambar garis lurus Kikuta, keluarga Tribe, suku asalku. Warisan, masa lalu dan masa depanku tampak di sana, dalam genggaman tanganku. "Mengapa kau perlihatkan padaku?" "Kau akan segera pergi. Kau telah bersama kami selama musim dingin, belajar dan berlatih untuk memenuhi amanat terakhir Shigeru. Aku ingin kau tahu apa yang Shigeru lihat untuk mengingatkan bahwa tujuan Shigeru adalah keadilan, sehingga tujuanmu juga harus sama." "Aku tidak akan melupakannya," aku berjanji. Aku membungkuk hormat pada bulu burung itu, memegangnya hati-hati dengan dua tangan dan mengembalikannya ke tangan Kepala Biara. Dia mengambilnya, memberi hormat lalu memasukkannya lagi ke dalam kotak kecil tempat dia mengambilnya. Aku diam, aku mengingat-ingat semua yang telah Shigeru lakukan untukku dan betapa banyak hal yang kubutuhkan untuk mewujudkan cita-citanya. "Ichiro pernah mengatakan tentang burung houou saat dia mengajarkan cara menulis namaku," akhirnya aku berkata. "Ketika bertemu dengannya di Hagi setahun lalu, dia menyarankan agar aku menunggunya di sini, namun aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kami harus ke Maruyama minggu ini juga." Aku mencemaskan guruku yang telah renta, aku tahu kedua paman Shigeru sedang mencoba merebut rumah dan tanahku di Hagi, tapi Ichiro terus bersikeras menolaknya. Aku belum tahu kalau Ichiro sudah mati. Aku mendengar berita kematiannya pada keesokan harinya. Saat aku sedang berbicara dengan Amano di halaman biara ketika aku mendengar sesuatu dari kejauhan di bawah bukit: teriakan kemarahan, derap kuda berlarian. Suara kuda-kuda mendaki lereng yang curam sungguh tidak terduga dan mengejutkan. Belum pernah ada yang ke biara ini dengan berkuda. Jika tidak berjalan kaki atau, jika tidak kuat atau bagi orang yang sudah renta, mereka akan ditandu oleh kuli angkut barang berbadan kuat. Saat Amano mendengar, aku sudah berlari ke gerbang biara sambil memanggil penjaga. Dengan sigap mereka menutup gerbang dan memasang penghalang. Matsuda berjalan dengan cepat melintasi halaman. Dia tidak memakai baju zirah, tapi pedang terselip di pinggang. Belum sempat kami bicara, terdengar penjaga berteriak dari pos jaga. "Siapa yang berani menunggang kuda kemari? Turun dari tungganganmu dan mendekatlah dengan hormat!" Itu suara Kubo Makoto yang kini sudah menjadi sahabat karibku. Aku berlari ke benteng kayu dan memanjat tangga ke pos jaga. Makoto memberi isyarat ke lubang pengintai. Melalui celah lubang kayu, dapat kulihat empat orang berkuda. Setelah memaksa kuda mendaki bukit; sekarang mereka menyentak kuda tunggangannya untuk berhenti. Mereka bersenjata lengkap dan hiasan bulu lambang Otori terlihat jelas di topi baja mereka. Sesaat aku mengira mereka utusan Ichiro. Kemudian pandanganku tertuju pada keranjang anyam yang diikat di salah satu pelana. Hatiku langsung membeku. Aku dapat menduga isi keranjang itu, hanya saja terlalu mudah. Kuda-kuda mengangkat kaki depannya dan melompatlompat, bukan hanya karena dipaksa berjalan cepat, tapi juga karena ketakutan. Dua kuda berdarah di bagian belakang. Segerombolan orang yang marah dengan bersenjatakan cangkul dan arit berhamburan dari jalan setapak yang sempit. Aku mengenali beberapa orang di antaranya sebagai petani dari desa terdekat. Prajurit Otori yang paling belakang berusaha mengusir dengan cara mengayun-ayunkan pedang sehingga para petani agak mundur tapi tak berpencar, tetap mempertahankan sikap mengancam dengan membentuk setengah lingkaran. Pimpinan penunggang kuda memandang jijik pada para petani, lalu berteriak ke gerbang dengan lantang. "Aku Fuwa Dosan dari Klan Otori, dari Hagi. Aku membawa pesan dari tuanku Shoichi dan Masahiro untuk orang yang menyebut dirinya Otori Takeo." Makoto menjawab, "Jika memang berniat baik, turunlah dari kuda dan tinggalkan pedang kalian. Gerbang akan kami buka." Aku tahu pesan apa yang mereka bawa. Amarahku memuncak. "Tak perlu," jawab Fuwa sambil mencemooh. "Pesan kami tidak panjang. Katakan pada orang yang dipanggil Takeo itu kalau Otori tidak mengakui tuntutannya dan inilah yang akan mereka lakukan padanya dan pada siapa pun yang mengikutinya." Laki-laki yang ada di sampingnya menaruh tali kekang di leher kuda dan membuka keranjang tadi. Dari dalam keranjang dia mengambil sesuatu yang tidak ingin aku lihat. Dengan memegang kuncir rambut paling atas, dia mengayunkan dan melempar kepala Ichiro melewati tembok hingga masuk ke halaman biara. Suara gedebuk terdengar bersamaan dengan jatuhnya benda itu di rumput yang ada di taman. Aku menarik pedang, Jato, dari sabuk. "Buka gerbang!" teriakku. "Akan kuhadapi mereka." Aku lompat menuruni anak tangga, Makoto ada di belakangku. Saat gerbang terbuka, para prajurit Otori memutar balik kudanya dan mengarahkan kuda mereka ke arah kerumunan orang yang berdiri bagai benteng di sekeliling mereka. Para prajurit Otori menghunus pedang dan menebas kesana-kemari. Aku menduga mereka mengira para petani tidak akan berani menyerang. Aku pun menjadi heran dengan apa yang terjadi. Alih-alih berpencar, mereka malah menghempaskan diri ke arah kuda-kuda itu. Dua petani tewas seketika, terbelah oleh pedang prajurit, tapi kemudian kuda pertama terjatuh bersama penunggangnya. Dan yang lainnya bernasib serupa. Mereka tidak sempat menggunakan keahlian bertarung dengan pedang: mereka semua dipaksa turun dari kuda untuk dipukuli sampai mati seperti anjing. Aku dan Makoto berusaha mengendalikan kerumunan dan menghalau mereka dari mayat para prajurit itu. Kami hanya bisa membuat para petani tenang dengan cara memenggal kepala prajurit yang sudah mati dan mempertontonkannya di gerbang biara. Setelah pasukan yang yang sukar dikendalikan ini mencaci-maki dan menghina ke arah kepala-kepala itu, mereka lalu kembali menuruni bukti sambil berteriak dengan lantang bahwa jika ada yang berani mendekati biara dan menghina Lord Otori Takeo, Malaikat Yamagata, maka orang-orang itu akan diperlakukan dengan cara yang sama. Makoto gemetar karena marah-dan luapan emosi lain yang ingin dia katakan padaku- tapi saat itu aku tidak ingin membicarakannya. Aku kembali masuk ke dalam tembok biara. Kaede sudah membawa kain putih dan air di mangkuk kayu. Dia sedang berlutut di tanah, di bawah pohon ceri dan dengan tenang dia membersihkan kepala Ichiro. Kulitnya biru keabu-abuan, matanya separuh terpejam, lehernya tidak ditebas satu kali, namun beberapa kali. Kaede memegang kepala itu dengan hati-hati, dengan penuh kasih sayang, seakan sedang memegang benda yang sangat indah dan berharga. Aku berlutut di sampingnya, menjulurkan tangan dan menyentuh rambut mendiang guruku yang sudah mulai beruban. Wajahnya tak bernyawa terlihat lebih muda dibanding saat terakhir aku melihatnya di Hagi. Saat itu wajahnya tampak penuh berduka, tapi masih tetap menunjukkan kasih sayang kepadaku. "Siapa dia?" tanya Kaede. "Ichiro. Dia guruku, juga guru Shigeru." Hatiku terlalu sedih untuk bicara lebih banyak. Aku berkedip agar air mataku tidak menetes. Aku terkenang saat terakhir kali bertemu dengannya. Aku berharap bisa mengatakan lebih banyak padanya, mengatakan betapa aku sangat berterima kasih dan sangat menghormatinya. Aku ingin tahu bagaimana dia menemui ajal, apakah maut menjemputnya dengan cara yang memalukan dan sangat menderita. Ingin sekali aku melihat matanya terbuka, dan bibir pucatnya bicara. Betapa orang yang sudah mati tidak dapat kembali lagi, juga betapa mereka benar-benar pergi meninggalkan kita! Bahkan ketika arwah mereka kembali, mereka tidak mengatakan bagaimana mereka menemui ajal. Aku lahir dan besar di lingkungan kaum Hidden yang memiliki keyakinan bahwa hanya orang yang mematuhi perintah Tuhan Rahasia yang bisa bertemu lagi di kehidupan selanjutnya. Sedangkan yang lainnya akan dilahap api neraka. Aku tak tahu apakah Shigeru penganut kepercayaan ini. Dia tahu semua ajaran Hidden dan memanjatkan doa ajaran ini saat ajal menjemputnya, bersamaan dengan menyebut Sang Pencerah. Ichiro, penasihat dan pengurus rumahnya tidak pernah memperlihatkan sikap seperti itu-bahkan sikapnya bertentangan dengan sikap Shigeru: Ichiro sejak awal curiga kalau Shigeru menyelamatkan aku saat kaum Hidden dibantai oleh Iida Sadamu, dan dia mengawasiku seperti burung cormorant mencari tahu segala sesuatu untuk dapat mengungkap rahasiaku. Aku tak lagi mengikuti ajaran masa kecilku, dan aku tidak percaya kalau orang dengan integritas dan kesetiaan seperti Ichiro akan masuk neraka. Hatiku sakit melihat ketidakadilan yang dialami Ichiro dan aku sadar kalau kini ada satu kematian lagi yang harus aku balaskan dendamnya. "Mereka harus membayarnya dengan nyawa," kata Kaede. "Mengapa harus membunuh orang yang sudah renta lalu bersusah payah membawa kepalanya padamu?" Dia membersihkan bercak darah yang terakhir dan membungkus kepala itu dengan sehelai kain putih. "Kurasa pemimpin Otori ingin memancingku keluar," jawabku. "Mereka tidak ingin menyerang Terayama karena mereka akan berhadapan dengan Arai. Mereka pasti ingin memancingku keluar sampai ke perbatasan dan bertemu denganku di sana." Aku ingin sekali bertemu mereka untuk memberi hukuman atas perlakuan mereka. Kematian prajurit Otori untuk sementara ini agak meredakan amarahku, walau kemarahan masih membara di hatiku. Meskipun begitu, aku harus bersabar; strategi pertamaku yaitu pergi ke Maruyama dan membangun kekuatan di sana. Tidak ada yang dapat mengubah keputusanku itu. Aku membungkuk sampai dahiku menyentuh rumput, memberi penghormatan yang terakhir dan mengucapkan selamat tinggal pada guruku. Manami datang dari ruang tamu dan berlutut agak jauh di belakang kami. "Saya membawa kotaknya, lady," bisiknya. "Berikan padaku," jawab Kaede. Kotak kecil itu terbuat dari anyaman ranting pohon willow dan helaian kulit hewan yang berwarna merah. Dia mengambil dan membuka kotak itu. Aroma kayu gaharu keluar dari dalam kotak. Kaede menaruh bungkusan kain putih tadi ke dalamnya dan mengatur gaharu di sekeliling bungkusan. Setelah menutup kotak itu, kami bertiga lalu membungkuk untuk memberi hormat lagi. Burung warbler menyenandungkan lagu musim semi dan burung tekukur membalasnya dalam lebatnya hutan, inilah kicauan burung pertama yang kudengar tahun ini. Kami mengadakan upacara pemakaman keesokan harinya dan menguburkan kepala Ichiro di sisi makam Shigeru. Aku mengatur agar dibuatkan batu nisan. Aku benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada Chiyo dan pengurus rumah lainnya di Hagi. Aku tersiksa saat membayangkan rumah itu sudah tidak ada lagi, kalau rumah itu sudah habis terbakar: ruang minum teh, ruang atas tempat kami sering duduk sambil memandang taman, nightingale floor telah musnah, nyanyian lantai itu bungkam untuk selamanya. Ingin rasanya aku berlari ke Hagi untuk menuntut warisanku sebelum semuanya diambil, tapi aku tahu itu yang diinginkan para pemimpin Otori. Lima orang petani tewas dan dua lainnya tak tertolong karena terluka parah. Kami makamkan mereka di pemakaman biara. Dua kuda terluka parah sehingga terpaksa dibunuh, tapi dua lainnya tak terluka; aku menyukai salah satunya, kuda jantan hitam gagah yang mengingatkanku pada kuda Shigeru, Kyu. Mungkin kuda ini berasal dari keturunan yang sama. Atas desakan Makoto, kami juga memakamkan prajurit Otori dengan upacara lengkap, berdoa agar arwah mereka yang marah karena mati secara tercela tidak akan gentayangan menghantui kami. Malam itu Kepala Biara datang ke ruang tamu dan kami berbincang-bincang hingga larut malam. Makoto dan Miyoshi Kahei, temanku sewaktu di Hagi, juga hadir di situ; adik laki-laki Kahei, Gemba telah diutus ke Maruyama untuk menyampaikan pesan pada kepala pengawal, Sugita Haruki, tentang keberangkatan kami yang tak lama lagi. Pada musim dingin lalu Sugita telah meyakinkan dukungannya pada Kaede. Kaede tidak hadir bersama kami- untuk berbagai macam alasan, dia dan Makoto merasa tidak nyaman jika berada dalam satu ruangan, dan sedapat mungkin Kaede berusaha menghindar-namun sebelumnya aku meminta Kaede duduk di balik pintu agar dia dapat mendengar perbincangan kami. Aku ingin tahu pendapatnya. Setelah menikah, aku bisa bicara apa saja clengannya dan belum pernah aku begitu leluasa berbicara dengan orang lain. Sudah cukup lama aku diam, sepertinya kini aku dapat selalu bertukar pikiran dengannya. Aku mengandalkan penilaian dan kearifannya. "Jadi sekarang kau sedang berperang," kata Kepala Biara, "dan pasukanmu baru saja menyelesaikan pertempuran kecilnya yang pertama." "Hampir seperti pasukan," ujar Makoto. "Segerombolan petani! Apa hukuman untuk mereka?" "Apa maksudmu?" aku balik bertanya. "Petani tidak seharusnya membunuh prajurit," jawab Makoto. "Bila orang lain yang dalam posisimu sekarang, para petani itu akan dihukum. Mereka akan disalib, direbus atau dikuliti hidup-hidup." "Mereka akan diperlakukan seperti itu bila tertangkap oleh prajurit Otori," mulut Kahei komat-kamit sambil bersungut-sungut. "Mereka bertarung demi diriku," jawabku. Menurutku sudah sepantasnya para prajurit itu mati dengan cara yang memalukan, meskipun aku menyesal karena bukan aku yang membunuh mereka. "Aku tidak akan hukum mereka. Aku lebih memikirkan cara untuk melindungi mereka." "Kau telah melepaskan raksasa dari sarangnya," ujar Makoto. "Berharap saja kau bisa mengendalikan mereka." Kepala Biara tersenyum sambil mengangkat cawan sake. Selama musim dingin dia telah mengajariku tentang keadilan dan strategi perang. Setelah mendengar rencanaku untuk merebut Yamagata serta tindakan lainnya, dia mengerti perasaanku tentang para petani itu. "Otori hendak memancingku keluar," kataku padanya, seperti yang kukatakan pada Kaede. "Ya, jangan sampai kau terpancing," balasnya. "Memang insting pertamamu adalah balas dendam, namun jika kau bisa mengalahkan pasukan mereka di perbatasan, mereka akan mundur ke Hagi. Pengepungan yang lama bisa sangat berbahaya. Kota itu jelas tidak mudah dikalahkan, dan cepat atau lambat kau akan menghadapi kekuatan Arai di belakangmu." Aku telah membuat Arai Daiichi marah karena menghilang bersama kelompok Tribe tahun lalu, dan kini pernikahanku dengan Kaede membuatnya lebih gusar lagi. Pasukannya banyak, dan aku tak ingin menghadapinya sebelum aku memperkuat pasukanku. "Berarti kita harus ke Maruyama lebih dulu, seperti rencana semula. Tapi jika aku meninggalkan biara tanpa perlindungan, kau dan penduduk sekitar sini mungkin akan diserbu Otori." "Kami bisa menampung banyak orang di balik tembok biara ini," kata Kepala Biara. "Kami mempunyai cukup persenjataan dan persediaan makanan bila diserang Otori. Tapi kurasa mereka tidak akan melakukannya. Arai dan sekutunya tidak akan melepas Yamagata begitu saja dan banyak orang di kalangan Otori enggan menghancurkan tempat ini karena dianggap suci. Lagipula, mereka lebih memikirkan cara untuk menangkapmu." Setelah berhenti sebentar, dia meneruskan, "Kau tak dapat memulai perang tanpa berkorban. Banyak orang akan mati dalam peperangan yang kau hadapi, dan jika kau kalah, banyak di antara mereka, termasuk kau sendiri, dibunuh dengan cara yang sangat menyedihkan. Otori tidak mengakui pengangkatanmu, mereka tidak tahu asal-usul leluhurmu; mereka hanya tahu kalau kau adalah anak angkat, bukan asli dari golongan mereka. Kau tidak dapat menahan tindakanmu karena nantinya bisa jatuh banyak korban. Para petani itu juga mengerti akan hal ini. Tujuh orang dari mereka menemui ajal hari ini, namun mereka tidak bersedih. Mereka justru merayakan kemenangan atas orang-orang yang telah menghinamu." "Aku tahu itu," kataku seraya memandang sekilas pada Makoto. Aku dapat melihat ketidaksetujuannya. Kemudian aku menyadari kelemahanku sebagai pemimpin. Aku takut Makoto dan Kahei yang besar dalam tradisi ksatria akan memandang rendah diriku. "Kami bergabung denganmu tanpa paksaan, Takeo," lanjut Kepala Biara, "semua itu kami lakukan karena kesetiaan kami pada Shigeru dan juga karena kami yakin tujuanmu memang benar." Aku mengangguk saat menerima sumpah Makoto bahwa dia tak akan pernah bicara dengan nada seperti itu lagi padaku. "Kita akan ke Maruyama dua hari lagi." "Makoto akan ikut denganmu," ujar Kepala Biara. "Kau tahu, dia telah memutuskan untuk membantu perjuanganmu." Bibir Makoto agak berkerut ketika dia mengangguk setuju. Setelah itu, sekitar paruh kedua Waktu Tikus*, ketika hendak berbaring di samping Kaede, aku mendengar ada suara-suara di luar, lalu terdengar Manami memanggil kami dengan pelan dan mengatakan ada pesan dari pos jaga. "Kami menawan seseorang," kata biarawan muda yang bertugas jaga ketika aku menemuinya. "Dia sedang mengendap-endap di luar gerbang. Ketika kami hendak membunuhnya, dia menyebut namamu dan mengatakan kalau dia adalah pelayanmu." "Aku akan bicara dengannya," kataku sambil mengambil Jato, meskipun aku menduga orang itu mungkin saja Jo-An, si gelandangan. Aku sudah mengatakan kalau aku akan memanggilnya di musim semi ini dan dia harus menunggu sampai ada kabar dariku. Tapi tindakannya tidak bisa ditebak, dia biasa bertindak sesuai dengan apa yang dia sebut suara Tuhan Rahasia. Malam itu udara terasa hangat, hawanya sudah membawa kelembaban musim panas. Dari pohon cedar terdengar jeritan burung hantu. Jo-An berlutut di tanah bagian dalam gerbang dengan tangan terikat ke belakang dan sekujur tubuhnya dililit tali. Wajahnya kotor dan berdarah, rambutnya kusut. Bibirnya bergerak-gerak, berdoa tanpa bersuara. Dua orang biarawan mengawasi dari jarak yang dianggap aman, di wajah mereka terlukis rasa puas. Ketika aku menyebut namanya, Jo-An pun membuka mata. Aku melihat kelegaan di wajahnya. Saat mencoba bergerak masih dari posisi berlutut, dia terjerembab, tidak menahan tubuh karena tangannya terikat. Wajahnya menyentuh kotoran. "Lepaskan ikatannya," kataku. Salah seorang biarawan berkata, "Dia gelandangan. Sebaiknya kita jangan menyentuhnya." "Lalu siapa yang mengikatnya?" "Saat itu kami belum tahu," ujar yang satunya. "Kalian bisa membersihkan diri nanti. Orang ini telah mcnyelamatkan aku. Lepaskan ikatannya." Dengan enggan mereka mendekati Jo-An, mengangkat, dan melonggarkan tali ikatannya. Dia merangkak maju dan menyembah di kakiku. "Bangunlah Jo-An," kataku. "Mengapa kau kemari? Sudah kukatakan kalau kau boleh datang bila kupanggil. Beruntung kau tidak dibunuh, muncul tanpa memberitahu, tanpa ijin." Terakhir kali bertemu dengannya, pakaianku hampir sama lusuhnya seperti pakaiannya, menjadi buronan, lelah dan kelaparan. Kini aku sadar akan jubah yang kupakai, rambutku yang bergaya ksatria, dan pedang di pinggang. Aku sadar kalau para biarawan kaget melihatku berbicara dengan seorang gelandangan. Sebagian dari diriku tergoda untuk mengusirnya, menyangkal kalau ada hubungan di antara kami, sekaligus membuangnya keluar dari hidupku. Jika aku memberi perintah, penjaga akan langsung membunuhnya tanpa berpikir dua kali. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Dia telah menolongku; juga karena ikatan yang ada di antara kami yang lahir sebagai kaum Hidden. Aku harus memperlakukan dia sebagai manusia, bukan sebagai gelandangan. "Tidak ada yang bisa membunuhku sampai Tuhan Rahasia memanggilku," ujarnya sambil berkomat-kamit, mengangkat pandangannya dan melihatku. "Sampai saat itu tiba, hidupku adalah milikmu." Meskipun hanya ada sedikit penerangan di tempat kami berdiri, hanya lampu yang dibawa biarawan dari pos jaga, tapi aku bisa melihat mata Jo-An yang membara. Aku bertanya-tanya pada diriku, seperti yang sering kurasakan, jangan-jangan dia bukan manusia tapi makhluk dari dunia lain. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku. "Ada yang ingin kusampaikan. Sangat penting. Anda akan senang dengan kedatanganku ini." Para biarawan telah menjauh agar tak terkena polusi, tapi masih cukup dekat untuk dapat mendengar pembicaraan kami. "Aku harus bicara dengan orang ini," kataku. "Di mana kami bisa bicara dengan tenang?" Mereka saling memandang dengan raut wajah cemas, kemudian biarawan yang lebih tua menyarankan, "Mungkin bisa di paviliun, di taman?" "Kalian tidak perlu ikut." "Kami harus menjagamu, Lord Otori," ujar biarawan yang lebih muda. "Orang ini tidak berbahaya. Tinggalkan kami. Tapi suruh Manami membawakan air, makanan dan teh." Mereka membungkuk hormat lalu pergi. Saat kami menyeberangi tanah lapang, mereka mulai berbisik-bisik. Aku mendengar setiap kata yang mereka ucapkan. Aku menghela napas. "Ikut denganku," kataku pada Jo-An. Dia berjalan terpincang-pincang di belakangku ke arah paviliun yang ada di taman, tidak jauh dari kolam besar. Permukaan kolam memantulkan cahaya bintang dan sesekali ikan melompat, berkecipak mencipratkan air. Agak jauh dari kolam, samar-samar terlihat batu nisan berwarna putih keabu-abuan. Suara burung hantu terdengar lagi, kali ini terdengar lebih dekat. "Tuhan menyuruhku datang kepadamu," ujarnya saat kami duduk di lantai kayu paviliun. "Mestinya kau jangan terlalu terbuka jika bicara tentang Tuhan," aku mencelanya. "Kau sedang berada di biara. Para biarawan tidak menyukai kaum Hidden." "Kau ada di sini," gumamnya. "Kaulah harapan kami." "Aku hanyalah satu orang. Aku tidak bisa melindungi kalian semua." Setelah diam sejenak, dia berkata, "Tuhan Rahasia selalu mengingatmu, meskipun kau telah melupakannya." Aku tidak ingin mendengar pesan semacam ini. "Apa yang ingin kau sampaikan?" tanyaku tidak sabar. "Ketika para pembakar arang mengembalikan dewa mereka ke gunung. Aku bertemu mereka di jalan. Mereka mengatakan pasukan Otori telah keluar, mengawasi setiap jalan di sekitar Terayama dan Yamagata. Aku kesana untuk membuktikan kebenarannya. Mereka akan menyergap begitu kau keluar dari sini. Kalau ingin keluar, kau harus hadapi mereka sebelum bisa lewat." Matanya terpaku ke arahku, memperhatikan reaksiku. Aku mengutuk diriku karena berdiam terlalu lama di biara ini. Selama ini aku mengandalkan kecepatan dan kejutan. Seharusnya aku sudah pergi beberapa hari lalu. Aku menunda perjalanan karena menunggu Ichiro. Sebelum menikah, aku sering keluar malam untuk memeriksa situasi di sekitar biara. Tapi sejak menikah, aku tak tahan berpisah dari Kaede. Aku terjebak dalam kebimbangan dan menjadi kurang waspada. "Menurutmu, ada berapa jumlah pasukannya?" "Lima atau enam ribu," jawabnya. Pasukanku tidak sampai seribu. "Jadi kau harus melewati gunung. Seperti yang kau lakukan saat musim dingin. Ada jalan ke arah barat. Jalan itu tidak diawasi karena masih tertutup salju." Otakku berpikir cepat. Aku tahu jalan yang dimaksud. Di jalan itulah aku bertemu Makoto saat aku hendak ke biara ini. Aku memikirkan pasukan, kuda dan lembu yang aku miliki: lembu tak akan bisa melewatinya, tapi pasukan dan kuda mungkin bisa. Aku harus menyuruh mereka berangkat malam ini, bila mungkin, agar Otori berpikir kami masih di biara.... Aku harus bergerak secepat mungkin, segera setelah berkonsultasi dengan Kepala Biara. Pikiranku disela oleh kedatangan Manami dan seorang pelayan laki-laki. Pelayan laki-laki itu membawa sebaskom air. Manami membawa nampan yang berisi semangkuk nasi, sayuran, dan dua cangkir teh. Manami meletakkan nampan di lantai, menatap Jo-An dengan kaget dan sangat tidak senang, seakan gelandangan ini orang jahat. Reaksi pelayan laki-laki itu pun sama. Sejenak aku berpikir apakah berbahaya bagiku terlihat sedang berbicara dengan gelandangan. Aku menyuruh mereka meninggalkan kami dan mereka pergi dengan cepat. Setelah membasuh tangan dan wajahnya, Jo-An lalu menyatukan kedua tangan untuk mengucapkan doa pertama kaum Hidden. Tanpa sadar aku mengikuti kata-kata yang tidak asing lagi itu, perasaan terganggu menyelimuti diriku. Sekali lagi dia telah mempertaruhkan nyawa demi membawa kabar penting ini padaku. Ketika dia selesai makan, aku berkata, "Sebaiknya kau pergi. Tempat tinggalmu jauh dari sini." Dia tidak menjawab, tetap duduk, kepalanya sedikit menoleh dengan posisi mendengarkan dan sekarang aku sudah terbiasa dengan gerakannya. "Tidak," dia menjawab. "Aku harus ikut denganmu." "Itu tidak mungkin. Aku tak ingin kau ikut denganku." "Tuhan menginginkannya," ujarnya. Tak ada yang dapat kukatakan padanya bila masalahnya sudah menyangkut Tuhan, jika aku bunuh atau penjarakan dia, itu sama seperti air susu dibalas dengan air t uba. "Baiklah," kataku, "Tapi kau tak bisa tinggal di biara." "Tidak," jawabnya dengan patuh, "Aku harus menjemput yang lainnya." "Yang lainnya siapa, Jo-An?" "Kami semua. Mereka yang ikut denganku. Kau pernah bertemu sebagian dari mereka." Aku pernah bertemu mereka di tempat penyamakan kulit di tepi sungai, dan aku tak akan lupa tatapan mereka kepadaku. Aku tahu mereka mengharapkan keadilan dan perlindungan dariku. Aku teringat pada bulu burung itu: keadilan yang Shigeru inginkan. Aku harus mewujudkannya demi kenanganku padanya dan juga demi mereka yang masih hidup. Jo-An mengatupkan kedua tangannya lagi dan mengucapkan doa rasa terima kasih atas makanannya. Seekor ikan melompat dalam kesunyian. "Berapa jumlah orangmu?" tanyaku. "Sekitar tiga puluh orang. Kini mereka bersembunyi di gunung. Mereka sudah menyeberangi perbatasan secara sendiri-sendiri atau berdua selama beberapa minggu terakhir." "Bukankah perbatasan dijaga?" "Terjadi bentrokan antara pasukan Otori dan Arai. Saat ini situasinya tak ada yang menang. Semua perbatasan telah dibuka. Otori sudah memperjelas kalau mereka tidak akan menyerang Arai maupun merebut Yamagata. Mereka hanya ingin menghancurkanmu." Sepertinya itu menjadi misi semua orang. "Apakah penduduk mendukung mereka?" tanyaku. "Tentu saja tidak!" katanya dengan nada tidak sabar. "Kau tahu mereka mendukung siapa: Malaikat Yamagata. Begitu pula kami. Untuk apa lagi kami di sini?" Aku tak yakin kalau aku ingin dukungan mereka, tapi tak bisa disangkal kalau aku terkesan dengan keberanian mereka. "Terima kasih," jawabku. Dia menyeringai, tampak giginya yang ompong, mengingatkanku pada siksaan yang dia alami karena diriku. "Kita akan bertemu di balik gunung. Kau akan membutuhkan, lihat saja nanti." Aku menyuruh penjaga membukakan gerbang, dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Aku memperhatikan badannya yang kurus dan bongkok saat dia berlari dengan tergesa-gesa hingga akhirnya menghilang dalam kegelapan. Dari hutan terdengar jeritan rubah betina, suaranya terdengar seperti hantu yang tersiksa. Aku merinding. Jo-An seperti dibimbing dan dibantu kekuatan gaib. Meskipun aku tidak mempercayai hal semacam itu, aku tetap merasa takut pada kekuatan itu seperti anak-anak yang percaya tahayul. Aku kembali ke rumah tamu, kulitku terasa mengkerut. Meskipun malam sudah larut, aku membuka baju dan menyuruh Manami membawanya untuk dicuci, kemudian aku ke rumah mandi. Dia menggosok tubuhku dan aku berendam di air hangat. Setelah memakai baju bersih, aku menyuruh pelayan memanggil Kahei dan menemui Kepala Biara untuk mengetahui apakah kami bisa bicara dengannya. Saat itu paruh pertama Waktu Lembu*. Aku bertemu Kahei di gang, mengatakan padanya dengan singkat apa yang aku dengar dari Jo-An lalu aku dan dia pergi ke ruang Kepala Biara. Aku menyuruh pelayan memanggil Makoto dari biara tempat dia berjaga sepanjang malam. Kami memutuskan untuk memberangkatkan pasukan secepat mungkin, kecualu sekelompok pasukan berkuda yang akan tetap berada di Terayama selama satu hari. Mereka akan bertindak sebagai pasukan garda belakang. Kahei dan Makoto segera pergi ke desa di kaki bukit untuk membangunkan Amano dan pasukannya agar segera menyiapkan makanan dan peralatan. Kepala Biara memerintahkan para pelayan untuk memberitahu para biarawan, karena enggan membunyikan genta pada waktu yang sedemikian larut, khawatir justru akan memberikan peringatan pada mata-mata. Aku pergi menemui Kaede. Dia sedang menungguku dengan pakaian tidur, rambutnya yang panjang tergerai di punggung seperti lapisan kedua bajunya, rambutnya yang hitam kontras di gaunnya yang berwarna gading dan kulitnya yang putih. Setiap memandangnya, aku selalu kagum. Apa pun yang terjadi pada kami, aku tak akan melupakan musim semi yang pernah kami lewati bersama. Hidupku sepertinya dipenuhi berkah yang tak layak kudapat, dan Kaede adalah yang terbaik dari semuanya. "Kata Manami ada gelandangan datang dan kau berbicara dengannya." Nada suaranya sama kagetnya dengan suara Manami tadi. "Ya, dia bernama Jo-An. Aku bertemu dengannya di Yamagata." Aku melepas pakaian, menggantinya dengan baju tidur dan duduk berhadapan dengannya, lutut kami saling berhadapan. Pandangan matanya mencari-cari di wajahku. "Kau nampak sangat lelah. Kemari dan berbaringlah." "Ya, kita harus beristirahat dan tidur. Kita akan pergi tepat saat matahari terbit. Otori sudah mengepung biara; kita akan pergi melintasi gunung." "Gelandangan itu yang memberi kabar ini padamu?" "Dia mempertaruhkan nyawa untuk melakukan itu." "Mengapa? Bagaimana kau bisa mengenalnya?" "Kau ingat ketika kita kemari dengan Lord Shigeru?" tanyaku. Kaede tersenyum. "Aku tak akan lupa." "Malam ketika aku memanjat masuk ke kastil dan mengakhiri penderitaan para tawanan yang digantung di dinding. Mereka adalah kaum Hidden, kau pernah mendengar tentang mereka?" Kaede mengangguk. "Shizuka pernah bercerita sedikit padaku. Noguchi juga menyiksa mereka dengan cara yang sama." "Salah seorang yang kubunuh adalah kakak Jo-An. Dia melihatku ketika aku keluar dari parit yang mengelilingi hastil dan berpikir kalau aku seorang malaikat." "Malaikat Yamagata," ujar Kaede pelan. "Malam itu, ketika kita kembali, seluruh kota membicarakannya." "Setelah kejadian itu kami bertemu lagi; sepertinya takdir kami saling terkait. Tahun lalu dia membantuku untuk bisa sampai ke sini. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah mati di tengah salju. Di perjalanan dia mengajakku menemui perempuan suci yang mengatakan beberapa hal tentang hidupku." Belum pernah aku menceritakan isi ramalan itu pada siapa pun, bahkan pada Makoto, tapi sekarang aku ingin mengatakannya pada Kaede. Aku berbisik padanya: kalau dalam tubuhku mengalir tiga darah yang berbeda, aku dilahirkan di kalangan kaum Hidden namun hidupku tidak lagi menjadi milikku sendiri, kalau aku ditakdirkan untuk berkuasa dalam kedamaian dari laut ke laut, ketika Bumi memberikan apa yang diinginkan Surga. Aku mengulang kata-kata ini terus menerus pada diriku sendiri, dan kadang aku percaya, tapi kadang tidak. Aku katakan padanya kalau lima pertempuran akan membawa kami pada kedamaian, empat kali kemenangan dan satu kali kalah, tapi aku tidak mengatakan ramalan tentang anak laki-lakiku: kalau aku akan mati di tangannya. Kurasa itu akan menjadi beban yang terlalu berat bagi Kaede, dan aku pun tak ingin mengatakan satu rahasia lagi: kalau putri Muto Kenji, Yuki, sedang mengandung anakku. "Kau lahir di kalangan kaum Hidden?" dia bertanya dengan hati-hati. "Tapi Tribe mengakuimu karena aliran darah ayahmu. Shizuka pernah menjelaskan itu padaku." "Muto Kenji yang memberitahu kalau ayahku adalah Kikuta, dari Tribe, ketika pertama kali dia ke rumah Lord Shigeru. Dia tak tahu kalau ayahku juga separuh Otori." Aku telah memperlihatkan catatan yang menguatkan hal ini pada Kaede. Ayah Shigeru, Otori Shigemori, adalah kakekku. "Dan ibumu?" Kaede bertanya pelan. "Bila kau mau mengatakannya.... " "Ibuku orang Hidden. Aku besar di tengah-tengah mereka. Keluargaku di desa Mino dibantai oleh pasukan Iida dan aku juga pasti sudah mati bila tak diselamatkan Shigeru." Aku berhenti sebentar, kemudian berkata, "Aku punya dua adik perempuan. Kurasa mereka juga telah dibunuh. Saat itu usia mereka sembilan dan tujuh tahun." "Mengerikan sekali," ujar Kaede. "Aku selalu mencemaskan adik-adikku. Kuharap kita bisa memanggil mereka saat kita sampai di Maruyama. Kuharap saat ini mereka aman." Aku terdiam, memikirkan rumahku di Mino, tempat kami semua merasa sangat aman. "Sungguh aneh perjalanan hidupmu," lanjut Kaede. "Saat pertama kali bertemu denganmu, aku merasa kau menyembunyikan segalanya. Aku seakan-akan melihatmu lari ke tempat yang gelap. Aku ingin mengikutimu ke sana. Aku ingin tahu semua tentang dirimu." "Nanti akan kukatakan semuanya padamu. Tapi sekarang berbaring dan istirahatlah." Kaede menarik selimut dan kami berbaring di matras. Aku merangkulnya, melonggarkan baju tidur kami agar dapat kurasakan kulitnya di kulitku. Dia menyuruh Manami mematikan lampu. Bau asap dan minyak berkeliaran di dalam ruangan saat langkah kaki Manami menjauh. Kini aku telah mengenal semua suara di biara pada malam hari: langkah kaki para biarawan yang bangun di tengah kegelapan untuk pergi berdoa, lantunan doa, dan bunyi lonceng yang tiba-tiba. Tapi malam ini irama yang teratur dan harmonis itu terganggu oleh suara orang berlalu-lalang sepanjang malam. Aku gelisah, merasa seharusnya aku turut dalam persiapan itu, tapi aku enggan meninggalkan Kaede. Dia berbisik, "Kau orang Hidden?" "Aku besar dalam beberapa keyakinan; tapi kebanyakan aku tidak mempercayainya lagi." Saat mengatakan itu, tenggorokanku terasa gatal, seakan aku menghirup angin dingin. Benarkah aku tak lagi mempercayai ajaran orangtuaku-ajaran yang mereka pertahankan sampai mati? "Kabarnya Iida menghukum Lord Shigeru dan juga Lady Maruyama karena dia menuduh mereka termasuk golongan Hidden," gumam Kaede. "Shigeru tidak pernah mengatakannya padaku. Dia tahu doa mereka, dan mengucapkan doa orang Hidden sebelum dia mati, namun kata-kata terakhirnya hanya menyebut Sang Pencerah." Hingga kini aku berusaha melupakan peristiwa itu. Aku takut pada peristiwa yang penuh dengan kengerian dan kesedihan itu. Hari ini aku memikirkannya dua kali dan tiba-tiba, untuk pertama kalinya aku bisa menyatukan ucapan sang peramal dan Shigeru. "Semua adalah satu," kata sang peramal. Jadi Shigeru juga mempercayainya. Aku bisa mendengar lagi tawa menakjubkan sang peramal dan aku seperti dapat melihat Shigeru tersenyum padaku. Aku merasakan sesuatu yang terpendam jauh di hatiku tiba-tiba keluar, sesuatu yang tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Sesaat jantungku seperti berhenti berdetak karena heran. Dalam pikiranku yang hening, beberapa gambaran muncul secara bersamaan: ketenangan Shigeru saat menemui ajal, welas asih sang peramal, rasa ingin tahu dan kecemasan yang kualami ketika pertama kali tiba di Terayama, serta bulu houou dengan tepi yang berwarna merah di telapak tanganku. Aku melihat kebenaran yang ada di balik ajaran dan kepercayaan itu, melihat bagaimana manusia berusaha memperkeruh kemurnian hidup, melihat betapa menyedihkannya kita yang selalu diperbudak nafsu dan kematian, ksatria tidak ada bedanya dengan gelandangan, biarawan, petani, dan bahkan kaisar. Sebutan apa yang dapat kuberikan pada kemurnian itu? Surga? Tuhan? Takdir? Atau dengan banyak sebutan seperti nama-nama arwah yang tidak terhingga banyaknya, yang dipercaya mendiami tanah ini? Mereka semua adalah wajah yang tidak berwajah, ekspresi yang tidak terungkapkan, bagian dari kebenaran namun tidak pernah menjadi kebenaran yang utuh. "Dan Lady Maruyama?" tanya Kaede, kaget dengan lamanya aku diam. "Kurasa dia sangat mempercayainya, tapi aku tidak pernah membicarakan itu dengannya. Saat pertama kali bertemu dengannya, dia menggambar tanda Hidden di tanganku." "Tunjukkan padaku," bisik Kaede. Kuraih tangannya lalu aku menggambarkan tanda itu di telapak tangannya. "Apakah kaum Hidden berbahaya? Mengapa semua membenci mereka?" "Mereka tak berbahaya. Mereka dilarang membunuh, jadi mereka tidak melawan. Mereka percaya kalau semua orang itu sama di mata Tuhan mereka, dan bahwa Tuhan mereka itu akan menghakimi semua orang setelah mati. Bangsawan seperti Iida membenci ajaran ini. Kebanyakan kaum ksatria juga begitu. Jika semua orang sama dan Tuhan mengawasi segalanya, tentunya salah bila memperlakukan orang dengan buruk. Dunia kita akan terbolak-balik jika semua orang berpikiran seperti kaum Hidden." "Dan kau mempercayai ajaran itu?" "Aku tidak percaya ada Tuhan seperti itu, tapi aku percaya semua orang harus diperlakukan sama. Gelandangan, petani, kaum Hidden, semuanya harus dilindungi dari kekejaman dan keserakahan kaum ksatria. Dan aku ingin memanfaatkan siapa pun yang siap membantuku, tidak peduli apakah mereka petani atau gelandangan. Aku akan ajak mereka bergabung dengan pasukanku." Kaede tak menjawab; aku membayangkan kalau pemikiran seperti ini terdengar aneh dan menjijikkan baginya. Mungkin aku tidak mempercayai lagi Tuhan kaum Hidden, tapi aku tak bisa menyangkal kalau ajaran mereka telah membentuk diriku. Aku memikirkan tindakan para petani yang melawan prajurit Otori di gerbang biara. Aku menyetujui tindakan mereka karena aku memandang mereka sama denganku, namun Makoto kaget dan gusar. Apakah dia benar? Apakah aku telah membebaskan raksasa yang tak akan dapat aku kendalikan? Kaede berkata pelan, "Apakah kaum Hidden percaya kalau perempuan sama derajatnya dengan laki-laki?" "Di mata Tuhan mereka, semua sama. Biasanya seorang rahib adalah laki-laki, tapi jika tidak ada laki-laki dewasa, perempuan yang lebih tua pun boleh menjadi rahib." "Kau mengijinkan aku berperang bersamamu?" "Dengan kemampuan sepertimu dan jika kau orang lain, dengan senang hati aku akan berperang di sisimu seperti yang pernah kita lakukan di Inuyama. Tapi kau pewaris Maruyama. Kalau kau terbunuh, tujuan kita tak akan tercapai. Lagi pula, aku tak sanggup hidup tanpa dirimu." Aku tarik Kaede ke dekatku, memendamkan wajahku di rambutnya. Ada satu hal lagi yang harus kukatakan padanya tentang ajaran Hidden yang sulit diterima klas ksatria: dilarang bunuh diri. Aku berbisik, "Kita aman selama di sini. Begitu kita pergi, semuanya akan berbeda. Kuharap kita bisa terus bersama, tapi akan tiba waktunya kita terpisah. Banyak orang yang menginginkan kematianku, tapi itu tak akan terjadi sampai negeri kita yang damai terbentang dari laut ke laut. Aku ingin kau berjanji, apa pun yang terjadi, apa pun yang dikatakan padamu, jangan penlah percaya kalau aku sudah mati sampai kau melihat mayatku. Berjanjilah bahwa kau tak akan bunuh diri sebelum kau melihat mayatku." "Aku berjanji," jawabnya pelan. "Dan kau juga harus berjanji padaku." Aku mengucapkan sumpah yang sama seperti yang dia ucapkan. Saat dia tidur, aku berbaring sambil memikirkan apa yang telah diperlihatkan padaku. Apa pun yang dianugerahkan padaku bukanlah demi kepentinganku, tapi demi apa yang akan kuraih: negeri yang adil dan damai tempat burung houou tidak hanya terlihat, tapi juga membangun sarang dan membesarkan anak-anaknya.* DUA KAMI tidur sebentar. Aku terbangun saat hari masih gelap karena mendengar derap langkah kaki para prajurit dan kuda berbaris memenuhi jalan pegunungan. Aku memanggil Manami, kemudian membangunkan Kaede dan menyuruhnya berpakaian. Aku akan menjemputnya bila akan segera berangkat. Aku juga mempercayakan padanya kotak kayu yang berisikan catatan Shigeru tentang Tribe. Aku merasa perlu untuk selalu menjaga catatan itu demi melindungi diriku dari hukuman mati Tribe dan kemungkinan mendapatkan persekutuan Arai Daiichi, orang paling berkuasa di Tiga Negara. Biara disibukkan dengan berbagai kegiatan. Para biarawan bukan bersiap-siap untuk berdoa pagi, melainkan untuk menyiapkan serangan balasan terhadap Otori dan kemungkinan akan dikepung dalam waktu lama. Cahaya obor berkelap-kelip membayangi wajah tegar para prajurit yang sedang bersiap-siap ke medan tempur. Aku mengenakan baju zirah yang berhiaskan warna merah dan emas. Inilah pertama kali aku memakainya dengan tujuan yang sebenarnya. Benda ini membuatku merasa lebih tua, dan ikut berharap ini dapat memberi rasa percaya diri. Aku berjalan menuju pintu gerbang untuk melihat pasukanku berangkat saat fajar menyingsing. Makoto dan Kahei telah pergi lebih dulu dengan pasukan baris depan. Nyanyian burung camar dan burung pegar terdengar bersahutan dari langit. Embun bergelantungan di bilah-bilah bambu dan jaring laba-laba faring yang segera akan terinjak-injak kaki pasukanku. Ketika aku kembali, Kaede dan Manami telah berpakaian laki-laki untuk menunggang kuda. Kaede memakai baju zirah yang dibuat khusus untuk pelayan muda dan aku yang memilihkan untuknya. Aku memesan pedang yang ditempa khusus untuknya, dan dia menggantungkannya di pinggang, di samping belati. Kami makan sedikit makanan yang telah dingin lalu kembali ke tempat Amano telah menunggu dengan kuda-kuda. Kepala Biara bersamanya, dengan topi baja dan perisai dada yang terbuat dari kulit dan pedang di pinggangnya. Aku berlutut di hadapannya untuk berterima kasih atas semua yang telah dilakukannya untukku. Dia memelukku seperti seorang ayah memeluk anaknya yang hendak ke medan perang. "Kirimlah kurir dari Maruyama," ujarnya dengan nada menghibur. "Kau akan tiba di sana sebelum bulan baru." Kepercayaannya menguatkan hatiku dan memberiku kekuatan. Kaede menunggang Raku, kuda abu-abu dengan surai dan ekor hitam yang aku berikan padanya, sedangkan aku menunggang kuda hitam yang kami ambil dari prajurit Otori. Amano menamai kuda itu Aoi. Manami dan beberapa orang pelayan perempuan yang ikut dengan pasukan kami dinaikkan ke kuda beban, Manami memastikan kotak berisi catatan tentang Tribe terikat di punggungnya. Kami bergabung dengan sekumpulan orang saat mereka membuka jalan melalui hutan dan mendaki terjalnya jalan setapak di gunung yang aku dan Makoto turuni tahun lalu saat salju pertama turun. Langit berwarna kemerahan, mentari mulai menyentuh puncak gunung yang bersalju, sehingga salju terlihat berwarna merah muda dan emas. Udara yang dingin membuat pipi dan jari kami mati rasa. Aku menengok satu kali ke arah biara, atap miringnya yang muncul dari lautan dedaunan yang baru tumbuh nampak seperti kapal besar. Biara terlihat penuh kedamaian di bawah cahaya mentari pagi, dengan merpati-merpati yang mengepak-ngepakkan sayap di pinggiran atap. Aku berdoa agar biara akan tetap bertahan seperti itu, agar biara tidak dibakar atau dihancurkan dalam perperangan yang akan terjadi. Langit pagi yang berwarna kemerahan benar-benar memancarkan keindahannya. Tidak lama berselang, awan tebal kelabu bergerak dari arah barat, membawa rintik hujan, lalu hujan deras pun turun. Ketika mendaki ke perbatasan, hujan berubah menjadi hujan es dan saIju. Pasukan berkuda berjalan lebih mudah dibanding para pembawa barang yang memanggul keranjang besar; tapi ketika salju semakin tebal, kuda-kuda pun kesulitan melewatinya. Aku membayangkan kalau pergi berperang adalah suatu hal yang heroik, bunyi genderang perang, panji-panji yang berkibar. Aku tak membayangkan akan ada perjuangan yang berat selain melawan musuh: melawan cuaca dan pegunungan, serta jalan mendaki yang melelahkan. Akhirnya kuda-kuda berhenti dengan tiba-tiba, Amano dan aku turun untuk menuntun mereka. Setelah melewati perbatasan, kami basah kuyup hingga pakaian menempel di kulit. Tidak ada ruang di jalan yang sempit ini untuk mundur atau maju memeriksa pasukan. Saat kami di puncak, bisa kulihat bentuk jalan yang meliuk-liuk laksana ular, terlihat berwarna gelap kontras dengan salju yang baru turun, seperti makhluk besar berkaki banyak. Di balik hwhatuan dan longsoran, tampak bentangan hutan yang lebat. Andai saja ada yang menunggu kami di sana, kami benar-benar bertekuk lutut dalam kekuasaan mereka. Namun tak seorang pun ada di dalam hutan. Pasukan Otori menanti kami di sisi lain gunung itu. Segera setelah terlindungi oleh pepohonan, kami bertemu dengan Kahei di tempat dia berhenti untuk membiarkan pasukan garis depan beristirahat. Sekarang kami melakukan hal yang sama, membiarkan prajurit beristirahat agar mereka bisa melepaskan lelah dalam kelompok-kelompok kecil dan kemudian makan. Udara yang lembab dipenuhi bau kencing mereka. Kami telah berjalan hampir setengah hari, tapi aku senang melihat prajurit maupun petani dapat hcrtahan dengan baik. Selama berhenti, hujan semakin lebat. Aku mencemaskan kesehatan Kaede, tapi dia tidak mengeluh walaupun dia terlihat kedinginan. Manami membisu dengan sikap datar, memperhatikan Kaede dari dekat dan nampak gugup bila mendengar suara apa pun. Kami bergerak secepat mungkin. Menurut perhitunganku, saat itu sudah lewat tengah hari, antara Waktu Kambing* dan Waktu Monyet*. Kecuraman lereng berkurang dan setelah itu jalannya lebih lebar, cukup lebar untuk bisa kulewati. Meninggalkan Kaede dengan Amano, aku menuruni lereng ke barisan depan pasukan, tempat aku bertemu Makoto dan Kahei. Makoto yang lebih mengenal daerah ini mengatakan ada satu kota kecil, Kibi, tidak jauh di depan, di seberang sungai tempat kami mestinya berhenti untuk bermalam. "Kota itu dijaga?" "Kalaupun dijaga, pastilah hanya sepasukan kecil. Di sana tidak ada kastil, dan kotanya pun hampir tidak dikelilingi benteng." "Milik siapa wilayah itu?" "Arai menempatkan penjaga keamanan di sana," ujar Kahei. "Penguasa yang lama dan putranya berpihak pada Tohan. Mereka semua mati di sana. Beberapa pengawalnya telah bergabung dengan Arai, sedangkan sisanya pergi ke pegunungan untuk menjadi perampok." "Kirim orang ke sana untuk mengatakan kalau kita membutuhkan tempat untuk menginap. Jelaskan pada mereka kalau kita tidak ingin berperang; hanya sekadar lewat. Kita lihat bagaimana reaksinya." Kahei mengangguk, memanggil tiga prajuritnya, dan menyuruh mereka berkuda lebih cepat sementara kami meneruskan perjalanan dengan lebih lambat lagi. Tak lama kemudian mereka sudah kembali. Panggul kuda terlihat menonjol, tertutup lumpur hingga ke leher, lubang hidung kudanya memerah dan melebar. "Sungainya banjir dan jembatannya terputus," si pimpinan melaporkan. "Kami menyeberanginya dengan berenang, tapi arusnya terlalu deras. Bahkan seandainya kami berhasil menyeberanginya, para prajurit yang berjalan kaki dan kuda beban tak akan bisa." "Bagaimana dengan jalan di tepi sungai? Di mana jembatan yang terdekat?" "Jalan ke utara melalui bukit menuju ke Yamagata, kembali ke wilayah Otori," jelas Makoto. "Jalan ke selatan menjauh dari sungai, melewati perbatasan menuju ke Inuyama, tapi perbatasannya tidak dibuka pada saat seperti ini." Satu-satunya cara adalah menyeberangi sungai itu, jika tidak ingin terjebak di tempat ini. "Ayo kita maju," kataku pada Makoto. "Mari kita lihat sendiri." Aku menyuruh Kahei dan pasukannya meneruskan perjalanan, kecuali seratus prajurit penjaga barisan belakang yang bertugas menyerang ke arah timur seandainya kami dikejar melalui rute itu. Belum lagi aku dan Makoto berjalan jauh, aku mendengar erangan marah sungai yang sedang banjir. Ditelan lelehan salju, musim yang tak dapat ditawar kedatangannya, sungai musim semi menuangkan airnya yang kuning kehijauan ke daratan. Di saat kami berjalan melalui hutan melewati bambu dan hamparan alang-alang, aku seperti melihat lautan. Air membentang di hadapan kami sejauh mata memandang, diselimuti hujan, warnanya sama seperti warna langit. Aku pasti menghela napas panjang karena Makoto berkata, "Tak seburuk yang terlihat. Sebagian besar tanahnya adalah sawah." Kemudian aku melihat pematang dan jalan setapak. Sawah yang mestinya basah dan berlumpur, kini tergenang air meskipun tidak dalam; meskipun begitu air sungai mengalir di tengahnya. Lebarnya sekitar seratus kaki, dan airnya sudah naik melampaui batas pematang, mungkin dua belas kaki. Dapat kulihat sisa-sisa jembatan kayu: dua dermaga menyembulkan bagian atasnya yang berwarna gelap. Kayu bekas dermaga itu terlihat sedih diombang-ambing arus air sungai yang bercampur hujan, layaknya impian dan ambisi manusia yang tersapu oleh alam dan waktu. Di saat aku mengira-ngira apakah kami dapat menyeberangi dan membangun jembatan, aku mendengar suarasuara kegiatan manusia di tengah raungan arus air sungai. Setelah memfokuskan perhatian, akhirnya aku mengenali suara-suara itu: denting kapak dan, tidak salah lagi, suara pohon tumbang. Di sebelah kananku, ke arah hulu, aliran sungai berbelok membentuk lengkungan, hutan menjadi lebih dekat ke tepi sungai. Aku dapat melihat sisa-sisa, mungkin, sebuah dermaga, agaknya tempat untuk mengangkut kayu dari hutan ke kota. Aku membelokkan kuda dan langsung mulai berjalan melewati sawah menuju ke bagian sungai yang berbelok. "Ada apa?" teriak Makoto sambil mengikuti. "Ada orang di sana." Aku meraih surai Aoi ketika dia terpeleset dan hampir terjatuh. "Kembali," teriaknya. "Itu berbahaya. Kau jangan ke sana sendirian." Aku mendengar Makoto menarik busur dan memasang anak panah di tali busur. Langkah kuda mencipratkan air. Beberapa kenangan terangkai di benakku, tentang sungai lain, sungai yang tak mungkin diseberangi karena alasan yang berbeda. Aku tahu apa-siapa-yang akan kutemui. Jo-An ada di sana, separuh telanjang, basah kuyup, bersama tiga puluhan atau lebih gelandangan lainnya. Mereka mengambil potongan kayu dari dermaga hanyut akibat banjir, dan menebang beberapa pohon lagi serta memotong bambu secukupnya untuk membuat jembatan terapung. Mereka berhenti bekerja lalu berlutut di lumpur ketika melihatku. Aku pernah bertemu beberapa orang itu di tempat penyamakan kulit. Mereka kurus dan compang-camping, dan di mata mereka terpancar rasa lapar yang seperti dulu. Mereka telah berkorban dengan keluar diam-diam dari daerah mereka dan melanggar aturan karena menebang pohon sembarangan demi keyakinan yang belum tentu dapat aku penuhi: keadilan dan kedamaian. Aku tidak ingin memikirkan penderitaan yang akan mereka alami jika aku tidak dapat memenuhi harapan mereka. "Jo-An!" aku memanggil, dan dia datang ke samping kudaku. Aoi mendengus padanya dan mencoba bergerak mundur, tapi dia meraih tali kekang dan menenangkannya. "Suruh mereka meneruskan pekerjaan," kataku seraya mcnambahkan, "Semakin banyak hutangku padamu." "Kau tidak berhutang padaku," jawabnya. "Kau berhutang pada Tuhan." Makoto muncul di sampingku, dan kuharap dia tidak mendengar perkataan Jo-An. Kuda kami saling bersentuhan hidung dan kuda hitam mendengus lalu mencoba menggigit kawannya. Pandangan Makoto jatuh pada Jo-An. "Gelandangan?" ujarnya tidak percaya. "Apa yang mereka lakukan di sini?" "Menyelamatkan kita. Mereka membangun jembatan apung." Dia menghela kudanya mundur beberapa langkah. Di bawah topi bajanya dapat kulihat bibirnya yang cemberut. "Tidak akan ada yang mau menggunakan-" Saat dia hendak melanjutkan, aku langsung menyela. "Mereka melakukan itu atas perintahku. Ini satu-satunya cara agar kita bisa ke seberang." "Kita bisa kembali ke jembatan di Yamagata." "Dan kehilangan semua keuntungan kita karena telah bergerak cepat? Lagipula, jumlah kita kalah banyak, lima berbanding satu. Dan kita tidak bisa kembali. Aku tak ingin melakukannya. Kita akan menyeberangi sungai melalui jembatan itu. Kembali ke pasukan dan perintahkan mereka untuk membantu para gelandangan. Biarkan sisanya menyiapkan diri untuk penyeberangan." "Tak akan ada yang mau menyeberang lewat jembatan yang dibuat para gelandangan," ujarnya, dan nada bicaranya yang seolah-olah sedang berbicara pada anak kecil membuatku naik pitam. Perasaan yang sama pernah aku rasakan ketika penjaga Shigeru membiarkan Kenji masuk ke taman di Hagi. Aku dapat melindungi orang-orangku bila mereka patuh. Aku lupa kalau Makoto lebih tua, lebih bijaksana dan lebih berpengalaman dariku. Kubiarkan kemarahan menyelimuti diriku. "Lakukan apa yang kuperintahkan. Kau harus bisa membujuk mereka, atau kau akan menanggung akibatnya. Biarkan para prajurit berjaga-jaga sementara kuda beban dan prajurit pejalan kaki menyeberang. Perintahkan para pemanah melindungi jembatan. Kita akan menyeberang sebelum malam." "Lord Otori." Dia menunduk dan kudanya melangkah dengan mencipratkan air dari sawah dan mendaki lereng di atasnya. Aku memperhatikan sampai dia menghilang di antara rumpun bambu, kemudian mengalihkan perhatianku pada pekerjaan para gelandangan. Mereka sedang mengikat batang pohon yang telah ditebang menjadi rakit, setiap batang pohon disangga dengan gumpalan alang-alang yang diikat dengan tali dari kulit kayu dan rami. Mereka lalu mengapungkan setiap rakit yang telah selesai dan mengikatnya menjadi satu dengan rakit yang telah ditambatkan. Tapi kekuatan arus membuat rakit terdorong ke tepi sungai. "Jembatan perlu diberi jangkar di seberang sungai," kataku pada Jo-An. "Seseorang akan berenang ke seberang," sahutnya. Salah seorang gelandangan yang lebih muda mengtimbil segulung tali, mengikatkannya di pinggang dan terjun ke sungai. Tapi ternyata arus terlalu kuat baginya. Kami melihat tangannya melambai-lambai di permukaan sungai, lalu menghilang di balik kuningnya air sungai. Dia ditarik ke tepi sungai dengan setengah tenggelam. "Berikan talinya padaku," kataku. Jo-An melihat dengan cemas ke tepi sungai. "Jangan, tuan, tunggu," dia memohon. "Saat pasukan tiba, salah satu dari mereka bisa berenang menyeberang." "Jembatannya sudah harus jadi saat pasukan datang," jawabku. "Berikan talinya padaku." Jo-An melepas ikatan tali dari anak muda yang kini terduduk sambil muntah-muntah, lalu dia berikan kepadaku. Dengan cepat aku melingkarkan tali di pinggang dan mendorong kudaku ke depan. Tali melilit di pangkal paha kuda sehingga dia melompat; tanpa sadar dia sudah berada di dalam air. Aku berteriak untuk memberinya semangat, dan dia mendengarkan dengan menggerakkan salah satu telinganya. Pada beberapa langkah awal, kakinya masih berpijak di dasar sungai. Kemudian air mencapai punggung dan dia mulai berenang. Aku berusaha menghadapkan kepala ke tepi yang kutuju, namun sebesar apa pun kekuatan dan keinginan kuda itu, arusnya masih tetap lebih kuat, dan kami terbawa arus hingga ke hilir, ke arah sisa-sisa jembatan tua. Sekilas aku melihat ke arah jembatan itu dan tidak senang dengan apa yang kulihat. Arus telah menghempaskan ranting dan puing jembatan, dan jika kuda terperangkap di antara benda-benda itu, dia akan panik dan bisa membuat kami tenggelam. Dapat kurasakan kekuatan sungai. Dia juga merasakan hal yang sama. Kedua telinganya melekat ke kepala. Untung saja rasa takut semakin membuat dia lebih kuat. Dia berjuang untuk terus maju dengan mengerahkan seluruh tenaga. Aku menyingkirkan tumpukan puing dengan dua tangan, dan tiba-tiba arusnya melemah. Kami sudah melewati tengah sungai. Beberapa saat kemudian kuda menemukan pijakan dan mulai melangkah lebar-lebar sehingga menyibakkan air dan badan kuda terlihat timbul-tenggelam. Dia berusaha berpijak pada tanah keras lalu berdiri, kepalanya tertunduk, perutnya kempang kempis, semangatnya yang semula begitu menggebu-gebu benar-benar sudah lenyap. Aku merosot turun lalu menepuk-nepuk lehernya, mengatakan padanya bahwa dia pasti keturunan roh air karena dia berenang demikian sangat baik. Kami berdua basah kuyup, lebih mirip ikan atau katak ketimbang makhluk darat. Dapat kurasakan tali yang terikat di pinggang menarikku kembali masuk ke air. Aku separuh merangkak, separuh meraup semak kecil yang tergenang air di tepi sungai. Semak-semak itu tumbuh di sekitar kuil dewa rubah, terlihat dari arca-arca putihnya. Air memukul-mukul kaki arca-arca itu, membuat arca rubah terlihat seakan terapung. Aku melingkarkan tali ke pohon terdekat, sebatang pohon maple kecil, lalu mulai menarik talinya. Begitu kuat aku menarik sehingga tunas itu tenggelam dalam genangan air. Setelah menarik talinya cukup panjang, aku lalu mengikatkannya dengan kuat ke pohon lain yang jauh lebih besar. Aku sadar kalau kuil itu mungkin kotor oleh ulahku, tapi saat itu aku tak peduli pada dewa, arwah, atau pun setan yang merasa terganggu asalkan aku bisa menyeberangkan pasukanku dengan selamat. Sedari tadi aku mendengarkan dengan seksama. Aku tak percaya tempat ini terbengkalai seperti ini; karena jembatan itu menunjukkan kalau ada jalan yang biasa dilalui. Selain desis hujan dan raungan sungai, yang terdengar hanyalah nyanyian ratusan katak yang bergembira karena turun hujan, serta kicau burung gagak memanggil dari dalam hutan. Tapi di mana orang-orangnya? Setelah tali sudah terikat kuat, sekitar sepuluh gelandangan menyeberangi sungai dengan berpegangan pada tali itu. Jauh lebih trampil dibanding aku, mereka mengulang semua simpul taliku dan membuat satu sistem kerek dengan menggunakan ranting-ranting kecil pohon maple tadi. Perlahan-lahan mereka mengangkat jembatan itu, dada mereka naik-turun, otot-otot mereka mencuat seperti utasan tali. Sungai seperti hendak mengoyak-ngoyak jembatan apung itu, seakan menolak gangguan di wilayahnya, tapi para gelandangan tetap berusaha agar jembatan tetap terapung, dan seinci demi seinci jembatan itu pun makin dekat. Untunglah satu sisi jembatan tertahan oleh puing-puing sehingga kami tidak dikalahkan oleh sungai. Jembatannya hampir selesai, tapi tak ada tanda-tanda Makoto dan pasukan. Awan terlalu rendah dan gelap sehingga aku tak dapat melihat posisi matahari. Apakah Makoto tidak bisa membujuk mereka? Apakah mereka kembali ke Yamagata seperti yang dia usulkan? Teman dekat atau bukan, akan kucari dan kubunuh dia bila tidak datang. Aku memasang telingaku baik-baik tapi hanya bisa mendengar bunyi air sungai, hujan, dan nyanyian katak. Tidak jauh di belakang kuil terlihat ada jalan. Di kejauhan terlihat gunung, kabut putih mirip lilitan ular di lerengnya. Kudaku gemetar kedinginan. Kupikir aku harus paksa dia berjalan agar hangat karena aku tak tahu bagaimana membuat badannya kering. Aku menungganginya menyusuri jalan dengan pertimbangan mungkin ada pandangan yang lebih baik di seberang sungai dari tanah yang lebih tinggi. Tidak seberapa jauh, berdiri pondok yang terbuat dari kayu dan tanah liat yang beratapkan jerami. Sebatang palang kayu ada di tengah jalan di sisi pondok itu. Aku ingin tahu palang apa itu; palang itu tidak mirip pos perbatasan dan tidak nampak seorang pun penjaga di sana. Saat mendekat, aku melihat beberapa kepala manusia diikatkan pada palang kayu itu, beberapa di antaranya baru saja dibunuh, yang lainnya tak lebih dari tengkorak. Sebelum sempat aku bereaksi, mendadak dari belakangku terdengar suara yang kunanti, derap langkah kuda dan kaki manusia dari seberang sungai. Ketika aku menoleh, di antara rintik hujan terlihat barisan depan pasukan muncul dari dalam hutan. Aku mengenali Kahei dari topi bajanya. Dia memimpin di depan, dan Makoto di sampingnya. Dadaku terasa ringan karena lega. Aku memutar balik Aoi; melihat teman-temannya di kejauhan, dia meringkik kencang. Ringkikan ini diikuti oleh teriakan dahsyat dari dalam pondok. Tanah bergetar saat pintunya terlempar keluar dan laki-laki paling besar yang pernah kulihat, bahkan lebih besar dari raksasa pembakar batu arang. Awalnya kupikir dia adalah raksasa atau setan. Tingginya hampir dua rentang lengan dan tubuhnya selebar lembu, tapi kepalanya jauh lebih besar, seakan tengkorak kepalanya tak pernah berhenti tumbuh. Rambutnya panjang dan kusut, kumis dan jenggotnya tebal dan liat, matanya tidak seperti mata manusia, tapi bulat seperti mata binatang buas. Dia hanya punya satu telinga, sangat besar dan menjuntai. Tempat telinga yang satunya lagi tampak bekas luka biru keabu-abuan menyembul di antara rambutnya. Teriakannya mirip suara manusia. "Hei!" dia berteriak dengan kencang. "Apa yang kau lakukan di jalanku ini?" "Aku Otori Takeo," balasku. "Aku dan pasukanku hendak lewat. Singkirkan palang kayunya!" Dia tertawa; tertawanya terdengar seperti bunyi batu menimpa sisi gunung. "Tidak seorang pun boleh lewat di sini tanpa seijin Jin-emon. Kembali dan katakan itu pada pasukanmu!" Hujan turun lebih deras; hari begitu cepat berganti gelap. Aku lelah, lapar, basah dan kedinginan. "Minggirlah," aku berteriak tidak sabar. "Kami akan lewat." Dia maju ke arahku tanpa menjawab. Dia memegang senjata di balik punggung sehingga tidak dapat aku lihat dengan jelas. Aku mendengar bunyi senjatanya sebelum melihat tangannya bergerak; bunyinya semacam denting benda logam. Dengan satu tangan aku mengayunkan kepala kuda, dengan tangan yang satunya lagi aku menarik Jato. Aoi juga mendengar teriakan, dan melihat tangan raksasa itu menyerang ke arah kami. Dia bergerak ke samping, tongkat dan rantai raksasa itu melewati telingaku, melolong laksana serigala. Di ujung rantainya ada pemberat dan ujung lainnya ada tongkat yang mirip arit. Aku belum pernah melihat senjata semacam itu, dan tidak tahu bagaimana menghadapinya. Rantainya berayun lagi, menyerang tepat di pangkal paha kuda. Aoi berteriak kesakitan dan ketakutan serta menyepakkan kakinya. Aku memindahkan kaki dari sanggurdi, meluncur ke arah yang berlawanan dari serangan si raksasa, dan berpaling agar dapat berhadapan dengannya. Aku seperti bertarung melawan makhluk gila yang akan membunuhku jika aku tidak membunuhnya lebih dulu. Dia menyeringai. Baginya aku pasti terlihat tidak lebih dari bocah atau tokoh kerdil lainnya dalam dongeng. Saat melihat gerakan ototnya, aku membelah sosokku menjadi dua, bergerak ke samping. Rantainya melewati sosok keduaku. Jato melompat ke udara di antara kami dan membenamkan mata pedangnya ke bagian bawah lengan raksasa itu, sedikit di atas pergelangan tangan. Biasanya sekali tebas bisa membuat tangan langsung putus, tapi tulang lawanku ini seperti batu. Aku merasakan getaran Jato terasa hingga ke bahuku, dan sejenak aku takut Jato akan tersangkut di lengannya seperti kapak tersangkut di batang pohon. Jin-Emon meraung, lalu dia memindahkan tongkatnya ke tangan kiri. Darah keluar dari tangan kanannya, darah yang berwarna merah kehitaman. Aku menghilangkan diri sejenak saat rantainya melolong, aku berpikir untuk kembali ke sungai. Aku ingin tahu kenapa pasukanku tidak muncul saat dibutuhkan. Ketika melihat ada bagian tubuh raksasa itu yang tak terlindungi, aku lalu tikam Jato tepat ke arah situ. Luka tikaman pedangku sangat lebar, tapi sekali lagi dia tak berdarah. Gelombang ketakutan menyelimutiku. Aku pasti sedang bertarung melawan makhluk gaib. Mampukah aku mengalahkannya? Pada ayunan berikutnya, rantainya berhasil menjerat Jato. Sambil berteriak kemenangan, Jin-emon menyentak Jato dari tanganku. Jato melayang kemudian mendarat tidak jauh dariku. Si raksasa mendekat, menyapu dengan gerakan tangannya, kini dia sudah mengetahui tipuanku. Aku diam terpaku. Ada belati di sabukku, tapi aku tidak ingin mencabutnya, takut dia menyerang dengan rantainya saat aku mencabutnya dan mengakhiri hidupku. Aku ingin monster ini menatapku. Dia menghampiri, meraih bahuku, lalu menarikku ke atas. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan-mungkin dia hendak merobek tenggorokanku dengan giginya yang besar lalu meminum darahku. Aku berpikir, dia bukan putraku, aku tak akan mati di tangan raksasa ini, lalu kutatap matanya. Ekspresi matanya tak lebih dari ekspresi mata binatang buas, dan saat kami beradu tatapan, dapat kulihat kedengkian dan sifat kejamnya. Aku menyadari kekuatan yang ada dalam diriku dan membiarkannya mengalir keluar. Matanya meredup. Dia mengerang pelan dan genggamannya mengendur kemudian dia roboh seperti pohon besar yang turnbang karena ditebang. Aku hempaskan diriku ke samping karena tak ingin tertindih, lalu aku berguling untuk meraih Jato yang tergeletak, membuat Aoi yang sejak tadi berjalan dengan gugup mengelilingi kami. Dengan Jato di tangan, aku berlari kembali ke tempat Jin-emon; dia tidur mendengkur akibat tatapan Kikuta. Aku berusaha mengangkat kepalanya yang besar untuk kutebas, tapi terlalu berat, dan aku juga tak ingin mengambil resiko Jato rusak. Aku memutuskan untuk menikam tenggorokannya dan menyayat nadinya. Di bagian ini pun darah mengalir lambat. Tumitnya menendang, punggungnya melengkung, tapi dia tidak bangun. Akhirnya napasnya pun berhenti. Aku mengira dia hanya sendiri, tapi kemudian suara datang dari dalam pondok. Saat berpaling, aku melihat seorang laki-laki yang jauh lebih kecil berlari tergesa-gesa dari pintu. Dia meneriakkan sesuatu yang tak kupahami, melompat menyeberangi pematang di balik pondok, lalu menghilang ke dalam hutan. Aku geser palang kayu, memperhatikan tengkorak dan bertanya-tanya milik siapakah semua kepala itu. Dua tengkorak tua terjatuh saat aku menggerakkan kayu, dan serangga berhamburan keluar dari lubang matanya. Aku letakkan tengkorak-tengkorak itu di rumput dan kembali ke kudaku, kedinginan dan mual. Kaki Aoi memar dan berdarah bekas sabetan rantai meskipun tidak patah. Dia berjalan pincang. Aku menuntunnya kembali ke sungai. Pertarungan tadi terasa seperti mimpi buruk, tapi sewaktu aku merenungkannya, semakin aku merasa lebih baik. Jin-emon mestinya sudah membunuhku-penggalan kepalaku seharusnya sudah berada di palang kayu bersama tengkorak lainnya-tapi kekuatan Tribe telah menolongku. Kejadian ini tampak memperkuat bunyi ramalan itu. Kalau raksasa seperti itu saja tidak bisa membunuhku, lalu siapa yang bisa? Sewaktu tiba kembali ke sungai, energi baru mengalir dalam diriku. Tapi apa yang kulihat di sana membuat aku marah. Jembatannya sudah jadi, tapi hanya para gelandangan yang menyeberang. Pasukanku masih berada di seberang sungai. Para gelandangan berkerumun dan kemarahan mereka terlihat dalam kebisuan yang mulai aku mengerti sebagai reaksi mereka atas hinaan yang selalu mereka terima. Jo-An sedang berjongkok menatap pusaran air dengan sendu. Dia berdiri saat melihat aku datang. "Mereka tidak mau menyeberang, tuan. Kau harus menyeberang dan memerintahkan mereka." "Aku akan melakukannya," ujarku, kemarahanku memuncak. "Ambil kuda ini, basuh lukanya dan ajak berjalan-jalan agar dia tidak kedinginan." Jo-An mengambil tali kekangnya. "Apa yang terjadi?" "Aku baru saja bertarung dengan setan," jawabku sambil melangkah ke jembatan. Pasukan yang menunggu di seberang sungai berteriak saat mereka melihatku, namun tak seorang pun di antara mereka mau menyeberang melalui jembatan. Jembatannya tidak mudah dilewati-selalu bergoyang-goyang, sesekali sebagian tenggelam, tertarik dan terguncang oleh arus sungai. Aku setengah berlari, menganggap sama seperti yang kulakukan ketika berlari ringan di atas nightingale floor yang ada di Hagi. Aku berdoa agar roh Shigeru bersamaku. Di seberang sungai Makoto turun dari kuda dan merenggut lenganku. "Kau darimana saja? Kami mengira kau sudah mati." "Aku hampir saja mati," kataku dengan marah. "Ke mana saja kau?" Belum sempat dia menjawab, Kahei mendekat dengan menunggang kuda. "Kenapa terlambat?" tanyaku. "Suruh pasukan bergerak." Kahei ragu-ragu. "Mereka takut pada polusi dari para gelandangan." "Turun," ujarku, dan saat dia merosot turun dari kuda, aku membiarkan mereka tahu kemarahanku. "Karena kebodohan kalian sehingga aku hampir mati. Jika aku memberi pcrintah, kalian harus patuh. Bila tidak mau mematuhi perintahku, kalian boleh pulang ke Hagi, ke biara atau ke mana saja." Aku berkata pelan, tak ingin seluruh pasukan mendengarnya, tapi kulihat betapa perkataanku membuat mereka malu. "Sekarang perintahkan pasukan berusaha menyeberangi sungai. Tuntun kuda beban ke jembatan saat pasukan barisan belakang berjaga-jaga, kemudian pasukan pejalan kaki menyeberang, tapi jangan lebih dari tiga puluh orang menyeberang sekaligus." "Lord Otori," ujar Kahei. Dia melompat kembali ke pelana lalu memacu kudanya. "Maaf, Takeo," ujar Makoto pelan. "Bila terjadi lagi, akan kubunuh kau," kataku. "Berikan kudamu padaku." Aku berkuda menyusuri barisan pasukan yang sedang menunggu, seraya mengulangi perintahku. "Jangan takut pada polusinya," kataku pada mereka. "Aku telah menyeberangi jembatannya. Kalau memang ada polusi, biarlah aku yang menanggungnya." Aku sedang berada dalam kondisi yang penuh percaya diri. Aku merasa seakan tak ada satu pun di bumi maupun di surga yang dapat mengalahkanku. Dengan teriakan keras, prajurit pertama masuk ke sungai dan yang lainnya mengikuti di belakangnya. Kuda beban dituntun ke jembatan, dan aku lega jembatannya mampu menahan beban mereka. Tidak lama kemudian penyeberangan pun dilakukan. Aku berkuda kembali ke belakang barisan sambil memberi perintah dan meyakinkan pasukan pejalan kaki hingga aku sampai di tempat Kaede menunggu bersama Manami dan pelayan perempuan lainnya. Manami membawa payung dan mereka berkerumun di bawahnya. Amano memegangi kuda di samping mereka. Wajah Kaede terangkat saat melihatku. Rambutnya berkilauan oleh air hujan, dan tetesan air menggantung di bulu matanya. Aku turun dari kuda dan menyerahkan tali kekang kepada Amano. "Mana Aoi?" tanyanya, mengenali kuda tungganganku adalah kuda milik Makoto. "Aoi terluka, aku tak tahu seberapa parah dan dia ada di seberang sungai. Aku sudah menyeberangi sungai." Aku ingin mengatakan kepada Amano betapa pemberaninya kuda itu, namun kurasa sekarang waktunya kurang tepat. "Kita akan menyeberangi sungai," kataku kepada para pelayan perempuan. "Para gelandangan yang membangun jembatannya." Kaede tidak berkata sepatah kata pun, tapi Manami membuka mulut hendak protes. Aku mengangkat tangan untuk menyuruhnya diam. "Tidak ada jalan lain. Kalian harus lakukan apa yang aku perintahkan." Aku mengulangi apa yang telah kukatakan pada pasukanku: kalau polusinya hanya akan terkena pada diriku. "Lord Otori," gumamnya, menunduk sambil melihat sekilas dengan sudut matanya. Aku menahan diriku untuk menyerangnya dengan kata-kata, meskipun kurasa dia pantas mendapatkannya. "Apakah aku harus menunggang kuda?" tanya Kaede. "Tidak, sangat tidak stabil. Lebih baik berjalan saja. Akan kuseberangkan kudamu." Amano pasti mendengar. "Ada banyak pelayan laki-laki yang bisa melakukannya," ujarnya, melihat perisai dadaku yang basah dan berlumpur. "Suruh seorang dari mereka ikut denganku," kataku. "Dia bisa mengambil Raku dan membawa satu kuda lagi untukku. Aku harus kembali ke seberang sungai." Aku belum melupakan teman si raksasa yang lari terbirit-birit. Jika dia memanggil teman-temannya, maka aku ingin ada di sana untuk menghadapinya. "Bawakan Shun untuk Lord Otori," teriak Amano pada seorang pelayan laki-laki yang kemudian datang membawa kuda kecil dan mengambil tali kekang Raku. Aku mengucapkan selamat tinggal pada Kaede, memintanya untuk memastikan kalau kuda beban yang membawa kotak berisi catatan Lord Shigeru bisa sampai di seberang dengan aman. Aku ke kuda Makoto lalu kembali menyusul barisan pasukan yang kini bergerak agak cepat ke arah jembatan. Kira-kira dua ratus orang telah menyeberangi sungai, dan Kahei mengatur mereka menjadi beberapa kelompok kecil, setiap kelompok ada pimpinannya. Makoto sedang menunggu di tepi sungai. Aku kembalikan kudanya, lalu aku memegang Raku sementara dia dan pelayan bergerak ke sungai. Aku mengamati kuda cokelat kemerahan, Shun. Tanpa takut dia masuk ke air, berenang dengan kuat dan tenang seolah-olah itu kegiatan yang biasa dilakukannya. Si pelayan laki-laki menyeberangi jembatan kembali dan mengambil Raku dariku. Saat mereka menyeberang, aku bergabung dengan pasukanku di jembatan terapung. Mereka berhamburan menyeberang seperti tikus-tikus di pelabuhan Hagi, menghabiskan waktu sesedikit mungkin di jembatan yang basah. Kurasa hanya sedikit dari mereka yang bisa berenang. Beberapa di antaranya memberi salam padaku, dan satu atau dua menyentuh bahuku seakan aku bisa menangkal setan dan membawa keberuntungan. Kuberi mereka semangat, bercanda tentang mandi air panas dan makanan lezat yang akan kami dapatkan di Maruyama. Mereka tampak bersemangat, meskipun kami semua tahu kalau Maruyama masih sangat jauh. Di seberang sungai aku menyuruh si pelayan laki-laki dan Raku menunggu Kaede. Aku menunggangi Shun, kuda yang kecil dan kurang bagus, tapi ada sesuatu yang aku suka darinya. Seraya memerintahkan para prajurit untuk mengikuti, aku berjalan di depan bersama Makoto. Aku ingin, terutama para pemanah, ikut bersama kami, dan dua kelompok terdiri dari tiga puluh orang sudah siap. Aku perintahkan mereka bersembunyi di balik tanggul dan menunggu aba-aba dariku. Tubuh Jin-emon masih terbaring di sisi palang kayu, dan tempat itu sangat sunyi, seperti tidak ada yang mengurusnya. "Apakah ini ada hubungannya denganmu?" tanya Makoto dengan raut wajah jijik pada tubuh raksasa dan deretan tengkorak. "Nanti akan aku ceritakan. Temannya lari. Aku curiga dia akan kembali membawa teman-temannya. Kahei bilang daerah ini penuh dengan bandit. Raksasa yang mati itu pasti sudah memaksa orang membayar bila ingin menyeberangi jembatannya; jika menolak, dia langsung penggal kepala mereka." Makoto turun dari kuda dan melihat lebih dekat. "Beberapa korbannya adalah ksatria," ujarnya, "Kita harus penggal kepala raksasa ini sebagai balasannya." Dia mencabut pedang. "Jangan," aku memperingatkan. "Tulangnya sekeras batu granit Pedangmu bisa rusak." Makoto melihatku dengan tatapan tidak percaya dan tanpa berkata dia mengayunan pedang untuk menebas leher si raksasa. Pedangnya berdenting kencang, mirip jeritan manusia. Rasa heran dan ketakutan nampak di wajah para prajurit yang ada di sekeliling kami. Dengan kaget Makoto menatap pedangnya yang patah, kemudian melihatku dengan wajah malu. "Maaf," katanya lagi. "Seharusnya aku mendengarkan kata-katamu." Kemarahanku membara. Kutarik pedang, pandanganku berubah merah seperti yang biasa terjadi. Bagaimana aku bisa melindungi pasukan jika mereka tidak patuh padaku? Makoto tidak mengindahkan saranku di hadapan prajurit. Untuk itu dia pantas mati. Aku hampir kehilangan kendali dan memenggal kepalanya tepat di tempatnya berdiri, tapi saat itu aku mendengar derap kaki kuda di kejauhan, mengingatkan kalau masih ada musuh, musuh yang sebenarnya. "Itu setan, bukan manusia," kataku pada Makoto. "Kini kau harus bertarung menggunakan panah." Aku memberi isyarat pada para prajurit untuk diam. Mereka berdiri terpaku seakan-akan berubah menjadi batu; bahkan kuda pun tak bergerak. Kini hujan mulai reda, hanya gerimis. Dalam kabut tipis, kami terlihat seperti pasukan hantu. Aku mendengar para bandit mendekat, mencipratkan air di tanah yang basah, kemudian muncul dari tengah kabut, lebih dari tiga puluh laki-laki berkuda dan berjalan kaki. Mereka gabungan dari segerombolan orang yang berpakaian compang-camping, beberapa di antaranya jelas para prajurit tak bertuan dengan kuda yang bagus serta baju zirah yang sebelumnya pasti bagus, sementara yang lainnya adalah para gembel yang tersisa dari peperangan sepuluh tahun silam: pelarian dari tuan tanah atau tambang perak yang kejam, pencuri, orang gila dan pembunuh. Aku mengenali laki-laki yang tadi kabur dari pondok; dia memimpin dengan kudanya. Ketika gerombolan itu berhenti, melontarkan lumpur dan memercikkan air, dia menunjuk ke arahku dan berteriak dalam bahasa yang tidak kumengerti. Seorang penunggang kuda berteriak lantang, "Siapa yang membunuh teman kami, Jin-emon?" Aku jawab, "Aku Otori Takeo. Aku membawa pasukan ke Maruyama. Jin-emon menyerangku tanpa alasan. Dia telah membayarnya. Biarkan kami lewat atau kalian akan bernasib sama seperti Jin-emon." "Kembalilah ke tempat asalmu," dia berteriak dengan geram. "Kami membenci Otori." Orang-orang di sekitarnya mencemooh. Dia meludah ke tanah dan mengayunkan pedang di atas kepalanya. Aku mengangkat tangan untuk memberi isyarat kepada para pemanah. Segera bunyi anak panah yang beterbangan memenuhi udara; suara yang menakutkan, desisan dan keletak anak panah, bunyi tikamannya ketika mengenai daging, jeritan dari manusia yang terluka. Tapi saat itu aku tidak sempat memikirkannya, karena pimpinannya mendesak kuda maju ke arahku dengan pedang terbentang di atas kepalanya. Kuda tunggangannya lebih besar daripada Shun, dan jangkauannya pun lebih panjang. Telinga Shun maju ke depan, matanya nampak tenang. Tepat sebelum bandit itu menyerang, Shun melompat ke samping dan berbelok hampir melayang di udara sehingga aku bisa menyerang dari belakang, menikam leher dan bahunya saat dengan sia-sia dia berusaha menyerangku di tempat tadi aku berdiri. Dia bukan setan atau raksasa, dia hanyalah manusia. Darahnya yang merah menyembur. Kudanya berlarian sementara tubuhnya terayun-ayun di pelana, kemudian dia pun terjatuh menyamping ke tanah. Dengan tenang Shun berputar kembali untuk mendekati penyerang berikutnya. Orang yang satu ini tidak memakai topi baja sehingga Jato dapat dengan mudah mcmbelah kepalanya. Darahnya menyembur bersama otak dan tulang. Bau anyir darah mengelilingi kami, bercampur air hujan dan lumpur. Bersamaan dengan semakin banyaknya prajuritku yang datang bergabung dalam kerusuhan itu, para bandit kewalahan. Mereka yang masih hidup berusaha kabur, tapi kami berhasil mengejar dan membunuh mereka. Kemarahanku kian memuncak dan dipicu oleh ketidakpatuhan Makoto kini dapat pelampiasannya. Aku sangat geram dengan keterlambatan yang disebabkan oleh para pelanggar hukum yang bodoh ini, dan aku sangat puas karena mereka semua telah membayarnya. Meskipun tidak bisa dibilang perang sungguhan, tapi ini membuat kami dapat merasakan kemenangan. Tiga prajurit tewas sedangkan dua orang lagi terluka. Kemudian aku mendapat laporan kalau empat orang prajurit tewas tenggelam. Salah satu yang tewas adalah sahabat Kahei, Shibata, yang berasal dari Otori, yang tahu tentang pengobatan dan bisa membersihkan dan merawat luka. Kahei berkuda memimpin di depan menuju kota untuk melihat kemungkinan mendapatkan tempat berlindung, setidaknya untuk para perempuan. Aku dan Makoto mengatur sisa pasukan agar berjalan lebih pelan. Makoto mengambil alih komando sementara aku kembali ke sungai tempat beberapa prajurit terakhir sedang menyeberangi jembatan. Jo-An dan kawan-kawannya masih berkerumun di tepi sungai. Jo-An berdiri dan menghampiriku. Sejenak hatiku terdorong untuk turun dari kuda dan memeluknya, tapi aku tidak menuruti keinginan hatiku. Aku berkata, "Aku berterima kasih padamu dan juga pada anak buahmu. Kalian telah menolong kami dari bencana." "Tak seorang pun dari mereka yang berterima kasih pada kami," tegurnya, memberi isyarat ke arah pasukan yang sedang berbaris melewatinya. "Untung saja kami bekerja untuk Tuhan, bukan untuk mereka." "Kau akan ikut dengan kami, Jo-An?" tanyaku. Aku tidak ingin mereka menyeberang kembali karena sadar hukuman bagi para penyeberang perbatasan, menebang pohon serta membantu buronan. Dia mengangguk. Dia tampak lelah, dan aku dipenuhi penyesalan. Aku tidak ingin para gelandangan ikut kami-aku takut reaksi pasukanku dan tahu apa yang akan ditimbulkan oleh perselisihan dan gerutuanmereka-tapi aku tidak bisa menelantarkan para gelandangan ini. "Kita harus hancurkan jembatannya," ujarku, "agar Otori tidak dapat menggunakannya untuk mengejar kita." Dia mengangguk dan memanggil teman-temannya. Dengan letih mereka bangkit dan mulai membongkar tali-tali yang mengencangkan rakit. Aku menghentikan beberapa orang prajurit yang berjalan kaki, petani yang punya arit dan golok, serta memerintahkan mereka untuk membantu para gelandangan. Sekali talinya ditebas, rakit-rakit itu pun terlepas. Arus langsung menyapu rakit-rakit itu ke tengah sungai, tempat di mana sungai benar-benar menghancurkannya. Sejenak aku memperhatikan air berlumpur itu, berterima kasih lagi kepada para gelandangan, dan menyuruh mereka menyusul para prajurit. Kemudian aku berjalan ke tempat Kaede. Dia sudah menunggang Raku, di bawah naungan pepohonan di sekitar kuil rubah. Sekilas aku melihat Manami yang bertengger di atas kuda beban dengan kotak berisi catatan terlilit di punggungnya, setelah itu mataku hanya tertuju pada Kaede. Wajahnya pucat, namun dia duduk tegap di atas kuda abu-abunya, memperhatikan pasukan berbaris dengan senyum tipis di bibirnya. Dalam keadaan sesulit ini, dia masih terlihat tenang dan bahagia. Begitu melihatnya, aku dicekam hasrat yang dahsyat untuk memeluknya. Rasanya aku bisa mati bila tak segera memeluknya. Aku tak mengharapkan ini dan malu dengan pikiranku itu. Seharusnya aku lebih memikirkan keselamatannya; lebih dari itu, aku adalah pemimpin pasukan; ada ribuan orang yang harus dipikirkan. Hasrat yang tak terbendung pada istriku membuatku malu. Dia melihatku dan mengarahkan kudanya ke arahku. Kuda kami saling meringkik. Lutut kami bersentuhan. Saat kepala kami saling mendekat, aku mencium wangi melati dari tubuhnya. "Sekarang jalannya sudah bisa dilewati," ujarku. "Kita dapat meneruskan perjalanan." "Siapa mereka?" "Kurasa bandit." Aku hanya bicara sedikit, tak ingin mengatakan tentang pertumpahan darah dan kematian yang terjadi. "Kahei sudah pergi mencari tempat menginap untuk kalian malam ini." "Aku mau tidur di luar asalkan aku bisa berbaring di sisimu," katanya pelan. "Aku belum pernah merasakan kebebasan, tapi selama perjalanan ini, dalam hujan dan semua kesulitannya, aku merasa bebas." Sesaat tangan kami bersentuhan, kemudian aku mendekati Amano, berbicara tentang kudanya, Shun. Mataku terasa panas dan aku ingin menyembunyikan perasaanku. "Belum pernah aku menunggang kuda seperti ini. Seakan dia tahu apa yang kupikirkan." Mata Amano menyipit saat tertawa. "Sebenarnya aku tahu apakah Anda menyukainya. Seseorang membawanya kepadaku beberapa minggu lalu; dugaanku, dia dicuri atau diambil setelah pemiliknya tewas. Aku tak bisa membayangkan ada orang yang sengaja membuang kuda sebagus ini. Dia adalah kuda terpandai yang pernah aku temui. Kuda hitam memang menyolok-memberi kesan baik-tapi aku tahu kuda mana yang akan aku tunggangi dalam peperangan." Dia menyeringai padaku. "Lord Otori beruntung dengan kuda. Ada beberapa orang memang begitu. Itu seperti anugerah; binatang yang bagus datang kepadamu." "Kuharap ini akan memberi harapan baik bagi masa depan," jawabku. Kami melewati gubuk. Orang-orang yang tewas digeletakkan berderet di sepanjang pematang. Aku sedang memikirkan apakah akan menyuruh orang membakar atau menguburkan mereka ketika ada gangguan di depan. Seorang anak buah Kahei datang dengan menunggang kuda sambil berteriak pada prajurit untuk minggir agar dia bisa lewat. Dia memanggil-manggil namaku. "Lord Otori!" katanya, mengekang kudanya tepat di depan kami. "Anda dibutuhkan di depan. Beberapa petani ingin bertemu Anda." Sejak menyeberangi sungai, aku sudah bertanya-tanya di manakah penduduk setempat. Meskipun sawah tergenang air, tapi tak ada yang mengurusi. Rumput liar telah menyumbat saluran irigasi, dan meskipun di kejauhan terlihat atap gubuk yang terbuat dari jerami, tapi tak ada asap yang membumbung dari sana dan tak ada tanda atau suara kegiatan manusia. Tanah ini tampak seperti dikutuk dan kosong. Aku menduga Jin-emon dan gerombolannya telah mengintimidasi, mengusir atau membunuh petani dan penduduk desa. Sepertinya kabar kematiannya tersebar cepat dan beberapa penduduk desa keluar dari persembunyiannya. Kuda tungganganku melangkah dengan gagah melewati barisan pasukan. Anak buahku memanggil-manggil namaku, nampak ceria; beberapa di antaranya bahkan bernyanyi. Tampak jelas mereka tidak cemas hendak tidur di mana, mereka mempercayai kemampuanku untuk mendapatkan makanan dan penginapan bagi mereka. Pasukan Makoto yang berada di barisan depan telah berhenti. Sekelompok petani berlutut dengan tumit yang terendam lumpur. Ketika aku sampai ke tempat mereka dan turun dari kuda, mereka merangsek maju. Makoto berkata, "Mereka ingin berterima kasih pada kita. Bandit-bandit itu telah meneror daerah ini selama hampir setahun. Mereka tidak bisa menanam padi pada musim semi ini karena takut. Raksasa itu telah membunuh banyak putra dan saudara laki-laki mereka, dan banyak perempuan yang diculik." "Bangunlah," kataku pada mereka. "Aku Otori Takeo." Mereka bangun, tapi begitu aku menyebutkan nama, mereka lalu membungkuk lagi. "Bangunlah," ulangku. "Jin-emon sudah mati." Mereka berjongkok lagi. "Kalian boleh melakukan apa saja pada mayatnya. Ambil mayat kerabat kalian lalu makamkan dengan terhormat." Aku berhenti sejenak. Aku ingin meminta makanan, tapi takut mereka hanya punya sedikit, dan itu sama seperti hukuman mati karena mereka akan kelaparan saat kami pergi. Petani paling tua di antara mereka, jelas sekali dialah pemimpin mereka, berkata dengan ragu. "Lord, apa yang dapat kami lakukan untukmu? Kami ingin memberi makan pasukanmu, tapi jumlah mereka sangat banyak.... " "Makamkan orang yang sudah mati dan kalian tidak berhutang apa pun pada kami," jawabku. "Tapi kami perlu tempat menginap. Adakah di antara kalian yang tahu di mana kota terdekat?" Mereka akan menyambut kalian di sana," ujarnya. "Kota Kibi tidak jauh dari sini. Kami mempunyai pemimpin baru, anak buah Lord Arai. Beliau sering mengirimkan prajurit untuk melawan para bandit sepanjang tahun ini, tapi mereka selalu kalah. Terakhir kali dua putra pemimpin itu mati di tangan Jin-emon, sama seperti yang terjadi pada putra sulungku. Ini adiknya, Jiro. Bawalah dia bersama Anda, Lord Otori." Jiro beberapa tahun lebih muda dariku, kurus kering namun nampak cerdas di balik wajahnya yang kotor. "Kemari Jiro," ujarku, dan dia bangkit, lalu berdiri di hisi kepala kuda. Kudaku mengendusnya, seakan sedang memeriksanya. "Kau suka kuda?" Dia mengangguk, terlalu gembira karena aku bicara langsung padanya. "Jika ayahmu mengijinkan, kau boleh ikut bersama kami." Kurasa dia bisa bergabung dengan Amano. "Kita harus bergegas sekarang," kata Makoto sambil menyentuh sikutku. "Kami membawa apa yang bisa kami bawa," ujar si petani, dan memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka menurunkan karung dan keranjang dari bahu mereka dan mengeluarkan sedikit makanan: kue mochi, tunas pakis dan sayuran yang dipetik dari gunung, sedikit asinan buah pium, dan beberapa buah chestnut. Aku hendak menolak, tapi takut mereka tersinggung. Aku menyuruh dua orang prajurit mengumpulkan hadiah-hadiah itu dan membawa karungnya. "Ucapkan selamat tinggal pada ayahmu," kataku pada Jiro, dan melihat wajah laki-laki tua itu berusaha menahan tangis. Aku menyesali tawaranku untuk mengajak anak itu, bukan hanya bertambah satu nyawa lagi dalam tanggunganku tapi juga karena aku merenggut satu tenaga lagi bagi ayahnya untuk memperbaiki sawahnya yang terbengkalai. "Aku akan menyuruhnya pulang setelah kami sampai di kota." "Jangan!" seru ayah dan anak, keduanya berseru bersamaan, wajah anak itu memerah. "Biarkan dia ikut dengan Anda," ayahnya memohon. "Keluarga kami dulunya adalah ksatria. Kakek nenekku lebih memilih untuk bertani karena takut kelaparan. Jika Jiro melayani Anda, mungkin dia bisa menjadi ksatria lagi dan mengangkat nama keluarga kami." "Akan lebih baik bila dia tetap di sini untuk memperbaiki tanah ini," sahutku. "Tapi jika kau benar-benar menginginkannya, dia boleh ikut bersama kami." Kusuruh dia memilih kuda yang kami ambil dari para bandit, dan menyuruhnya kembali padaku jika dia telah mendapatkan kuda tunggangan. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Aoi yang tidak terlihat lagi sejak aku meninggalkannya dengan Jo-An; rasanya seperti sudah berhari-hari yang lalu. Aku dan Makoto berjalan berdampingan di depan pasukan yang letih namun gembira. "Hari ini hari yang baik, awal yang bagus," ujarnya. "Kau melakukannya dengan sangat baik, meskipun aku melakukan hal yang bodoh." Aku teringat kemarahanku padanya. Kemarahan itu telah menguap. "Lupakan masalah itu. Apakah kau menganggap tadi sebagai perang?" "Bagi prajurit yang terlatih itu adalah peperangan," jawabnya. "Dan kemenangan. Karena kau telah menang, kau boleh menganggapnya sesukamu." Masih ada tiga kemenangan, satu kali kalah, pikirku dan langsung bertanya-tanya apa begitu cara kerja sebuah ramalan. Bisakah aku menganggapnya sesuka hatiku? Aku mulai melihat betapa kuat dan berbahayanya ramalan itu: bagaimana ramalan itu telah mempengaruhi hidupku terlepas apakah aku mempercayainya atau tidak. Ramalan ini telah disampaikan, aku sudah mendengarnya dan tak bisa kuhapus dari ingatanku. Aku juga tak bisa menahan diriku untuk tidak mempercayainya. Jiro datang dengan menunggang kuda coklat kemerahan milik Amano, Ki. "Menurut Lord Amano, Anda mesti mengganti kuda, dan mengirim kuda ini untukmu. Menurutnya kuda hitam Anda tidak dapat diselamatkan. Kuda itu perlu mengistirahatkan kakinya, dan tak akan mampu ikut serta. Dan tak seorang pun di sini mampu mengurus kuda yang tidak bisa berjalan." Aku kasihan pada kuda yang pemberani dan tampan itu. Kutepuk leher Shun. "Aku senang pada kuda ini." Jiro meluncur dari punggung kuda coklat kemerahan itu dan mengambil tali kekang Shun. "Ki lebih tampan," ujarnya. "Kau harus memberi kesan yang baik," ujar Makoto dengan acuh tak acuh kepadaku. Kami bertukar kuda, kuda itu mendengus dan kelihatan segar seperti baru datang dari padang rumput. Jiro mengayunkan tubuhnya menunggangi Shun, tapi begitu menyentuh pelana, Shun menundukkan kepala dan meronta, melempar Jiro terbang ke udara. Shun memperhatikan anak itu berada dalam lumpur di dekat kakinya dengan terkejut, seperti sedang berpikir, Apa yang dia lakukan di bawah sana? Aku dan Makoto merasa itu sangat lucu sehingga kami tertawa terbahak-bahak. "Rasakan, itulah akibatnya bila bersikap kasar padanya," kata Makoto. Jiro menertawai dirinya sendiri. Dia bangkit dan meminta maaf pada Shun yang kemudian mau ditunggangi tanpa protes. Setelah kejadian itu, Jiro sudah tidak malu-malu lagi dan mulai menjelaskan tentang daerah penting selama di perjalanan, gunung tempat tinggal para goblin, kuil yang airnya bisa menyembuhkan luka apa pun, mata air di pinggir jalan yang tak pernah kering selama ribuan tahun. Aku membayangkan kalau dia juga sepertiku yang menghabiskan sebagian besar masa kecil dengan berlarian di gunung. "Kau bisa membaca dan menulis, Jiro?" tanyaku. "Sedikit," sahutnya. "Kau harus giat belajar untuk bisa menjadi ksatria," kata Makoto sambil tersenyum. "Bukankah aku hanya harus belajar cara bertarung? Aku sudah berlatih dengan tongkat kayu dan panah." "Kau juga harus mendapatkan pendidikan, bila ingin menjadi lebih baik dari para bandit." "Apakah Anda ksatria yang hebat, tuan?" tanya Jiro pada Makoto. "Sama sekali bukan! Aku seorang biarawan." Wajah Jiro tampak keheranan. "Maaf atas perkataanku tadi, tapi Anda tidak mirip biarawan!" Makoto menjatuhkan tali kekang di leher kudanya dan melepas topi baja, memamerkan kepalanya yang botak. Dia mengusap kulit kepalanya dan menggantung tutup kepala itu di tali pelananya. "Aku mengandalkan Lord Otori untuk menghindari pertempuran apa pun hari ini!" Tidak lama kemudian kami sampai di kota terdekat. Rumah-rumah ada penghuninya dan sawah nampak lebih terpelihara, pematang telah diperbaiki dan padi mulai tumbuh. Di satu atau dua rumah yang lebih besar, lampu-lampu telah dinyalakan, memancarkan sinar jingga di kasa jendela yang sobek. Di rumah yang lainnya terlihat api di dapur yang berlantaikan tanah; aroma makanan yang berhembus dari dapur membuat perut kami bernyanyi riang. Benteng di sekeliling kota telah dibangun kembali, tapi bekas-bekas pertempuran meninggalkan dinding yang rusak di banyak tempat, pintu gerbang dan menara pengintai hangus terbakar. Kabut tipis memperlembut bentuk kerusakan. Sungai yang telah kami seberangi mengalir di sepanjang sisi kota; tak terlihat ada jembatan, tapi jelas terlihat kalau sebelumnya ada pasar terapung, meskipun sekarang lebih banyak kapal yang rusak. Jembatan tempat Jin-emon menarik pajak semulah menjadi garis hidup kota ini dan makhluk itu nyaris mematikannya. Kahei sedang menunggu kami di reruntuhan pintu gerbang utama. Aku menyuruhnya dan pasukan menunggu, sementara aku melanjutkan perjalanan ke dalam kota bersama Makoto dan Jiro serta beberapa pengawal. Kahei nampak khawatir. "Lebih baik aku saja yang pergi, untuk berjaga-jaga kalau ada jebakan," sarannya, tapi aku tidak menganggap kota yang setengah hancur ini dapat membahayakan, dan merasa lebih bijaksana bila aku yang mendatangi pemimpin yang Arai tempatkan di sini jika aku mengharapkan persahabatan dan kerjasamanya. Dia akan sungkan menolak bila aku yang memintanya secara langsung. Seperti yang Kahei katakan, di kota ini tak ada kastil. Di tengah kota, di atas bukit yang landai, terdapat rumah dengan dinding dan pintu kayunya seperti baru diperbaiki. Rumahnya rusak, tapi tidak parah. Ketika kami mendekat, gerbangnya terbuka dan seorang laki-laki setengah baya keluar, diikuti oleh sekelompok kecil laki-laki bersenjata. Aku langsung mengenali orang itu. Sebelumnya dia berpihak pada Arai saat pasukan Seishuu ke Inuyama, dan mendampingi Arai ke Terayama. Dia berada di ruangan tempat aku terakhir kali bertemu Arai. Seingatku orang itu bernama Niwa. Apakah putranya yang dibunuh Jinemon? Wajahnya tampak menua dan menyimpan garis-garis kesedihan yang masih tampak jelas. Aku menghentikan kuda dan berkata dengan lantang. "Aku Otori Takeo, putra Shigeru, cucu Shigemori. Aku tak bermaksud menyerang kota ini. Aku dan istriku, Shirakawa Kaede, beserta pasukan hendak ke Maruyama, dan aku meminta bantuanmu untuk menyediakan makanan dan tempat menginap bagi kami malam ini." "Aku ingat kau dengan baik," ujarnya. "Sudah cukup lama sejak terakhir kali kita bertemu. Aku Niwa Junkei. Aku berkuasa di wilayah ini atas perintah Lord Arai. Apakah kau hendak bersekutu dengannya?" "Itu merupakan kehormatan bagiku," kataku. "Segera setelah mengamankan daerah istriku, aku akan ke Inuyama untuk menanti kesediaan beliau." "Tampaknya kau banyak berubah," sahutnya. "Aku berhutang budi padamu; kabar angin mengatakan kau sudah membunuh Jin-emon dan bandit-banditnya." "Memang benar Jin-emon dan semua anak buahnya sudah mati," kataku. "Kami membawa kepala para ksatria untuk dimakamkan dengan layak. Kuharap bisa datang lebih awal agar kau terhindar dari kesedihan." Dia mengangguk, bibirnya mengatup membentuk satu garis sangat tipis hingga terlihat berwarna hitam. "Kau menjadi tamuku," katanya, mencoba memompa energi dalam suaranya. "Kau disambut baik di sini. Aula kami terbuka untuk pasukanmu: agak rusak tapi atapnya masih tegak berdiri. Sisanya bisa memasang tenda di luar kota. Sedapat mungkin kami akan menyediakan makanan yang kau perlukan. Ajaklah istrimu ke dalam rumah, pelayan perempuan akan mengurusnya. Kau dan juga pengawalmu boleh tinggal bersamaku." Dia diam sebentar, kemudian berkata dengan nada getir, mengabaikan perkataan formal dalam kesopansantunan, "Aku sadar kalau aku telah menawarkan hal yang tidak seharusnya kau dapatkan. Lord Arai memberi perintah untuk menahanmu. Tapi karena aku tak mampu melindungi wilayahku ini melawan gerombolan bandit, harapan apa yang kumiliki melawan begitu banyak pasukanmu?" "Aku sangat berterima kasih padamu." Aku memutuskan untuk mengabaikan nada bicaranya, menganggap itu bagian dari kesedihannya. Tapi aku ingin tahu apakah kekurangan makanan sehingga membuat sebagian orang menjadi bandit. Arai nyaris tak mampu mempertahankan negara ini; tugas menaklukkan sisa-sisa klan Tohan pasti menguras habis semua sumber dayanya. Niwa memberikan berkarung-karung gabah dan beras, ikan kering serta kecap, ini semua dibagikan pada pasukan bersama makanan yang diberikan para petani sebelumnya. Sebagai ucapan terima kasih, penduduk kota menyambut pasukan kami semampu mereka, memberikan makanan dan tempat menginap. Tenda-tenda didirikan, api unggun dinyalakan, kuda diberi rumput dan minum. Aku berkuda melihat-lihat tenda prajurit bersama Makoto, Amano dan Jiro. Dengan semua kekurangan yang ada, pasukanku bisa beristirahat di malam pertama perjalanan. Aku berbicara pada penjaga yang Kahei pilih, lalu pada Jo-An dan para gelandangan yang berkemah di dekat pasukan. Tampaknya telah tumbuh ikatan yang janggal di antara mereka. Aku ingin berjaga-jaga sepanjang malam-aku bisa mendengar dari jauh bila ada pasukan yang mendekattapi Makoto membujukku untuk beristirahat. Jiro menuntun Shun dan kuda coklat kemerahan ke istal milik Niwa, dan kami terus berjalan ke kediaman Niwa. Kaede telah diantar ke sana dan disediakan kamar bersama istri Niwa serta pelayan perempuan di rumah itu. Aku ingin sekali berduaan dengannya, tapi aku sadar kalau kemungkinannya kecil sekali keinginanku bisa dicapai. Dia akan tidur di kamar tidur perempuan, dan aku akan sekamar bersama Makoto, Kahei, dan beberapa pengawal; mungkin kamar kami akan bersebelahan dengan kamar Niwa dan para pengawalnya. Seorang perempuan tua yang mengaku sebagai ibu sepersusuan istri Niwa, memandu kami ke kamar tamu. Kamarnya luas, tapi alas tidurnya sudah tua dan banyak noda serta bercak jamur di dinding. Kasa jendela masih terbuka: angin malam menghembuskan aroma bunga yang merekah dan segar, sedangkan taman kelihatan tidak terawat. "Air mandinya sudah siap, tuan," ujar perempuan tua itu lalu mengantarku ke rumah mandi yang terbuat dari kayu di ujung beranda. Aku minta Makoto berjaga-jaga di luar, kemudian menyuruh perempuan tua itu meninggalkanku. Tak ada orang yang kelihatan lebih tak berdaya darinya, tapi aku tidak mau ambil resiko apa pun. Aku takut dia adalah orang Tribe yang menyamar untuk dapat membunuhku. Perempuan tua itu meminta maaf karena airnya tidak terlalu panas, dan menggerutu tentang kurangnya kayu bakar serta makanan. Sebenarnya airnya tidak hangat, tapi sudah cukup menyenangkan karena aku dapat membersihkan lumpur dan darah di badanku. Aku berendam ke dalam bak mandi, memeriksa luka yang kudapat hari ini. Aku tidak terluka, tapi ada memar yang tidak kusadari. Bagian atas lenganku tampak lebam bekas cengkraman tangan besi Jin-emon-aku ingat itu dengan jelas-tapi ada juga lebam di pahaku yang kini menghitam; aku tidak tahu apa yang menyebabkan lebam itu. Pergelangan tangan yang pernah dipelintir Akio sewaktu di Inuyama, yang kupikir sudah pulih, mulai terasa sakit lagi, mungkin karena beradu dengan tulang keras Jin-emon. Aku berpikir untuk melilitkan pembalut kulit esok. Aku membiarkan diriku tercenung selama beberapa saat dan hampir tertidur saat aku mendengar langkah kaki perempuan di luar; pintu bergeser terbuka dan Kaede melangkah masuk. Aku tahu itu Kaede dari caranya berjalan, dari aroma tubuhnya. Dia berkata, "Aku membawakan lampu. Pelayan itu mengatakan kalau kau mengusirnya karena dia jelek. Dia lalu membujukku untuk kemari." Cahaya di rumah mandi langsung berubah setelah dia menaruh lenteranya di lantai. Kemudian tangannya berada di punggung leherku, memijatnya untuk menghilangkan rasa pegal. "Aku meminta maaf padanya atas kekasaranmu, tapi dia mengatakan kalau di tempatnya dibesarkan, seorang istri selalu merawat suaminya ketika mandi, dan aku harus melakukan hal yang sama padamu." "Tradisi yang sangat bagus," kataku sambil berusaha tak mengerang keras. Tangannya bergerak memijit bahuku. Hasrat tak terbendung yang sempat kurasakan kini kembali mengalir. Sejenak tangannya meninggalkan tubuhku dan aku mendengar desau kain sutra saat dia melepaskan pakaiannya jatuh ke lantai. Dia bersandar ke depan, jarinya menelusuri pelipisku lalu menyentuh tengkukku. Aku melompat dari bak mandi dan merengkuhnya ke dalam pelukanku. Dia sama berhasrat sepertiku. Tubuh kami terikat menjelma menjadi satu, mengikuti gerakan hati kami. Setelah itu akhirnya kami berbaring, meskipun lantainya basah dan kasar, saling merapatkan tubuh selama beberapa lama. Ketika angkat bicara, aku meminta maaf padanya. Sekali lagi aku malu atas kuatnya hasratku. Dia istriku; aku memperlakukan dia seperti pelacur. "Maaf," kataku. "Maafkan aku." "Aku sangat menginginkannya," kata Kaede pelan. "Tadinya aku takut kita tidak bisa bersama malam ini. Aku yang mestinya meminta maaf padamu. Aku seperti tidak punya rasa malu." Aku menariknya ke dekatku, memendamkan wajahku di rambutnya. Aku terpesona padanya. Aku takut pada kekuatannya, tapi aku tak bisa menahannya dan perasaan itu membuatku bahagia lebih dari apa pun. "Rasanya seperti sihir," kata Kaede, sepertinya dia bisa membaca pikiranku. "Terasa sangat kuat hingga aku belum mampu melawannya. Apakah cinta selalu seperti ini?" "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mencintai orang lain selain kau." "Aku juga." Ketika berdiri, kimononya basah. Kaede menciduk air dari bak mandi dan membasuhi tubuhnya. "Manami terpaksa harus mencarikan kimono kering untukku." Dia menghela napas. "Sekarang rasanya aku harus kembali ke kamar. Aku akan mencoba bicara pada Lady Niwa yang dirundung kesedihan. Apa yang akan kau bicarakan dengan suaminya?" "Sedapat mungkin aku akan mencari tahu tentang pergerakan Arai serta berapa banyak pasukan dan wilayah yang dia kuasai." "Menyedihkan sekali keadaan di sini," kata Kaede, "Siapa saja dapat menaklukkan tempat ini." "Apakah menurutmu kita harus mengambil alih kota ini?" Hal itu sempat terpikir saat mendengar apa yang Niwa katakan di pintu gerbang. Aku juga menciduk air dari bak mandi, membasuh badanku lalu berpakaian. "Bisakah kita tinggalkan beberapa prajurit di sini?" "Tidak juga. Sebagian masalah Arai adalah dia menaklukkan terlalu banyak wilayah dalam waktu singkat. Dia terlalu melebarkan kekuasaannya hingga melemahkan dirinya sendiri karena harus menempatkan pasukan di setiap daerah taklukan." "Aku sependapat," kata Kaede, menarik kimono untuk menutupi tubuhnya dan mengikatkan sabuk. "Kita harus memantapkan posisi di Maruyama dan menguatkan perbekalan. Jika tanah di sana dan di rumahku sama terbengkalainya seperti di sini, kita akan sulit memberi makan pasukan. Kita terpaksa menjadi petani lebih dulu sebelum menjadi ksatria." Aku menatapnya. Rambutnya basah, wajahnya lembut. Belum pernah aku melihat dia secantik malam ini, tapi di balik kecantikannya, pemikirannya setajam pedang. Menurutku kombinasi kedua itu dan kenyataan kalau dia adalah istriku terasa sangat erotik. Kaede menggeser pintu dan memakai sandalnya. Dia berlutut. "Selamat malam, Lord Takeo," katanya dengan lembut, pura-pura malu, nyaris seperti bukan suaranya, bangkit dengan luwes, dan berjalan menjauh, pinggulnya meliuk-liuk di balik kimononya yang tipis dan basah. Makoto duduk di luar rumah sambil memperhatikan ketika Kaede lewat didepannya, wajahnya menyiratkan pandangan aneh, mungkin tak setuju, mungkin cemburu. "Mandilah," kataku padanya, "meskipun airnya tak lagi hangat. Kita harus segera bergabung dengan Niwa." Tak lama kemudian Kahei datang untuk makan bersama kami. Si perempuan tua membantu Niwa menyajikan makanan; aku seperti melihat senyuman yang dibuat-buat di wajahnya saat menaruh nampan di depanku, tapi aku tetap menurunkan pandangan. Kini aku sangat lapar; sulit rasanya untuk tidak langsung mengambil makanan dan menjejalkannya ke dalam mulut. Makanannya cukup membuat aku kenyang. Setelah itu pelayan perempuan kembali dengan membawa teh dan sake, kemudian meiiinggalkan kami. Aku iri pada perempuan-perempuan itu karena mereka akan tidur di dekat Kaede. Sake mengendurkan lidah Niwa, meskipun tidak memperbaiki suasana hatinya; sake malah membuatnya kian melankolis dan berlinang air mata. Dia menerima kota ini dari Arai, berpikiran kalau kota ini bisa menjadi rumah bagi putra serta cucunya. Sekarang dia telah kehilangan putra pertamanya dan tak akan bertemu lagi dengan putra keduanya. Dalam pikirannya, kedua putranya bahkan mati secara tidak terhormat di medan perang, tapi dibunuh secara memalukan di tangan makhluk setengah manusia. "Aku tak mengerti bagaimana caramu mengalahkannya," ujarnya sambil memberi tatapan yang mencemooh. "Jangan tersinggung, tapi kedua putraku dua kali lebih besar darimu, lebih tua dan lebih berpengalaman." Dia meneguk minumannya, kemudian melanjutkan lagi; "Tapi aku juga tak pernah mengerti bagaimana kau bisa membunuh Iida. Ada desas-desus tentang dirimu setelah kau menghilang, tentang darah aneh yang mengalir dalam dirimu yang memberimu kekuatan istimewa. Apakah itu semacam ilmu sihir?" Aku sadar Kahei tegang di sampingku. Layaknya para ksatria, dia langsung tersinggung dengan pertanyaan tentang ilmu sihir itu. Menurutku Niwa tidak bermaksud menghina; kurasa dia terlalu sedih untuk menyadari apa yang dia ucapkan. Aku tak menjawab. Dia terus mengamatiku, tapi aku tidak menatapnya. Aku mulai mengantuk; kelopak mataku bergetar, gigiku terasa sakit. "Banyak rumor yang tersiar," lanjut Niwa, "Menghilangnya kau merupakan pukulan telak bagi Arai. Beliau sangat sakit hati. Menurutnya ada semacam konspirasi untuk menentangnya. Beliau punya perempuan simpanan sejak lama-Muto Shizuka. Kau mengenalnya?" "Dulunya dia adalah pelayan istriku," jawabku tanpa menyebutkan kalau dia juga sepupuku. "Lord Arai yang mengirimnya." "Ternyata perempuan itu berasal dari Tribe. Selama ini Arai sudah tahu, tapi tidak menyadari apa artinya. Ketika kau pergi, yang akhirnya aku tahu kau bergabung dengan Tribe-atau begitulah yang orang-orang katakan mengakibatkan banyak peristiwa." Dia berhenti menatap curiga. "Tapi agaknya kau sudah tahu semua ini." "Aku mendengar Lord Arai bermaksud untuk melawan Tribe," kataku dengan hati-hati. "Tapi aku belum mendengar hasilnya." "Tidak terlalu berhasil. Sebagian pengawalnya-aku tidak termasuk di antara mereka- sudah menganjurkan tadinya untuk bekerjasama dengan Tribe, seperti yang Iida lakukan. Menurut mereka cara terbaik untuk mengendalikan Tribe adalah dengan membayarnya. Arai tidak menyukai usulan itu; pertama, dia tidak mampu memlbayar dan juga itu bukan sifatnya. Dia ingin semuanya dilakukan seperti biasa dan dia tidak tahan dipermainkan. Menurutnya, Muto Shizuka, Tribe, bahkan kau, telah menipu dirinya." "Aku tidak pernah bermaksud begitu," kataku. "Tapi aku melihat bagaimana anggapannya mengenai tindakanku. Aku harus meminta maaf padanya. Begitu urusan di Maruyama selesai, aku akan menemuinya. Apakah beliau di Inuyama?" "Arai menghabiskan musim dinginnya di sana dan bermaksud kembali ke Kumamoto dan menyapu bersih para pemberontak di sana, bergerak ke timur untuk menyatukan tanah yang dulunya milik Noguchi, kemudian meluaskan kampanyenya melawan Tribe, dimulai dari Inuyama." Niwa menuang lagi sake untuk kami semua dan meneguk habis secawan penuh. "Tapi itu seperti mencoba menggali ubi; terbenam jauh lebih dalam dari yang kau duga. Tak peduli betapa pun hati-hatinya kau mencoba mengangkatnya, pasti ada bagian-bagian yang putus dan mulai menumbuhkan tunas baru lagi. Aku membuat beberapa anggota Tribe di sini keluar dari persembunyiannya; salah satu dari mereka menjalankan tempat pembuatan sake, sedangkan yang lainnya seorang pedagang skala kecil dan rentenir. Tapi yang kudapat hanya beberapa orang tua, pimpinan boneka, tidak lebih. Mereka telah minum racun sebelum aku mengorek keterangan; sisanya menghilang." Dia mengangkat mangkuk berisi sake dan menatapnya dengan murung. "Ini akan membelah kekuatan Arai menjadi dua." akhirnya dia berkata, "Dia bisa mengalahkan Tohan; mereka musuh yang jelas terlihat, serta sebagian besar dari mereka merasa tak berdaya setelah kematian Iida. Tapi membasmi musuh terselubung di waktu yang bersamaan-Arai membebani dirinya dengan tugas yang tak mungkin dilakukan, dan mulai kehabisan dana dan sumberdaya." Tampaknya dia mulai menyadari apa yang sedang dia katakan dan langsung melanjutkan, "Bukannya aku tidak setia kepadanya. Aku memberikan kesetiaanku padanya dan selalu berpegang teguh pada hal itu. Meskipun aku membayarnya dengan putraku." Kami semua menunduk dan menggumamkan rasa simpati. Kahei berkata, "Sudah larut. Kami harus tidur jika ingin berangkat saat fajar menyingsing." "Tentu." Niwa bangkit dengan kikuk dan menepukkan tangan. Setelah beberapa saat si perempuan tua dengan lentera di tangan datang untuk mengantar kami kembali ke kamar. Alas tidur sudah dibentangkan. Aku pergi ke kamar kecil, kemudian berjalan di taman untuk menghilangkan pengaruh sake. Kota itu sunyi senyap. Aku seperti bisa mendengar desah napas pasukanku yang sedang tidur. Teriakan burung hantu terdengar dari pepohonan di sekitar kuil, dan di kejauhan terdengar lolongan anjing. Bentuk bulan pada bulan keempat nampak rendah di langit; sedikit gumpalan awan melayang melewatinya. Langit berkabut, hanya bintang yang paling terang yang dapat terlihat. Aku memikirkan tentang semua yang Niwa katakan. Dia benar: hampir tidak mungkin mengenali jaringan yang dibangun Tribe di seluruh Tiga Negara. Tapi Shigeru telah melakukannya, dan aku punya catatannya. Aku kembali ke kamar. Makoto sudah tidur. Kahei sedang berbincang dengan dua anak buahnya yang datang untuk berjaga. Dia mengatakan padaku kalau dia juga menempatkan dua orang untuk mengawasi kamar Kaede. Aku berbaring, berharap Kaede ada di sisiku, bahkan sempat berpikir untuk memanggilnya, kemudian aku tertidur pulas.* TIGA TIDAK ada kejadian apa pun selama beberapa hari perjalanan kami ke Maruyama. Berita kematian Jin-emon dan kekalahan gerombolan banditnya tersiar jauh sehingga kami disambut dengan baik. Kami bergerak cepat di malam yang singkat serta siang yang panjang, memanfaatkan cuaca yang bersahabat sebelum hujan mengguyur bumi. Selama perjalanan, Kaede menjelaskan tentang latar belakang wilayah yang akan segera menjadi wilayah kekuasaannya. Shigeru pernah mengatakan padaku sedikit tentang sejarah Maruyama, tapi dia tidalc mengatakan tentang hubungan yang kacau akibat pernikahan, adopsi, kematian karena pembunuhan, kecemburuan dan intrik. Aku mengagumi kekuatan Lady Maruyama Naomi, kekasih Shigeru, yang mampu bertahan dan berkuasa dengan kekuatannya sendiri. Ini juga yang membuatku menyesali kematiannya, dan juga kematian Shigeru, serta menguatkan ketetapan hatiku guna meneruskan upaya mereka untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian. Aku dan Lady Maruyama pernah bicara sedikit dalam perjalanan seperti ini," ujar Kaede. "Tapi kami menuju ke arah yang berlawanan, ke Tsuwano tempat kami berjumpa denganmu. Dia mengatakan kalau perempuan sebaiknya menyembunyikan kekuatannya dan harus menggunakan tandu bila tak ingin dihancurkan para bangsawan dan ksatria. Tapi sekarang, di sini, aku menunggang Raku di sisimu dengan bebas. Aku tak mau naik tandu lagi." Hari cerah, matahari dan hujan muncul bersamaan, seperti perkawinan rubah dalam dongeng. Pelangi tiba-tiba muncul di awan yang kelabu; matahari bersinar terang selama beberapa saat; rintik hujan yang berwarna keperakan mulai turun. Awan menyelimuti langit, matahari dan pelangi pun menyingkir. Dinginnya air hujan menusuk tajam hingga ke tulang. Pernikahan Lady Maruyama diharapkan dapat mempererat hubungan Seishuu dengan Tohan. Suami sang lady berasal dari Tohan, masih kerabat Iida dan juga Noguchi. Dia seorang duda yang telah punya anak dewasa, dan dia jauh lebih tua dari Lady Maruyama. Persekutuan melalui pernikahan, pada saat itu, sudah mulai dipertanyakan, bukan hanya oleh Lady Maruyama yang masih berumur enam belas tahun serta dibesarkan dengan cara berpikir ala Maruyama dan terbiasa mengutarakan pendapat. Tapi karena klannya menginginkan persekutuan, maka terjaclilah pernikahan itu. Seumur hidupnya, anak tiri Lady Maruyama banyak membuat masalah. Setelah kematian suaminya, mereka memperebutkan wilayah Maruyama namun gagal. Putri tunggal dari suami Lady Maruyama adalah istri dari sepupu Iida Sadamu, Iida Nariaki, yang lolos dari pembantaian di Inuyama dan lari ke Barat. Dia nampaknya berniat menuntut kembali wilayah Maruyama. Para pemimpin Klan Seishuu terbagi keberpihakannya. Maruyama selalu diwarisi melalui garis keturunan perempuan, tapi wilayah ini adalah satu-satunya wilayah dengan tradisi yang menghina klas ksatria. Nariaki diadopsi ayah mertuanya sebelum menikah dengan Lady Maruyama, dan oleh banyak kalangan dianggap sebagai pewaris yang sah dari tanah milik istrinya. Lady Maruyama sangat menyayangi suaminya dan masih berduka setelah empat tahun kematiannya. Suaminya meninggalkan seorang putri kecil serta seorang bayi laki-laki. Lady Maruyama menetapkan putrinya sebagai pewaris tanah miliknya. Putranya mati secara misterius, ada yang mengatakan anak itu diracun. Beberapa tahun setelah perang Yaegahara, Lady Maruyama yang telah menjanda menarik perhatian Iida Sadamu. "Tapi sebelumnya dia telah bertemu Shigeru," ujarku, seraya berharap bisa tahu di mana dan bagaimana mereka bertemu. "Dan kini kaulah pewarisnya." Ibu Kaede adalah sepupu Lady Maruyama dan Kaede adalah satu-satunya kerabat terdekat yang masih hidup, karena putri Lady Maruyama, Mariko, mati tenggalam bersama ibunya di Inuyama. "Jika aku diperbolehkan untuk mewarisinya," sahut Kaede. "Ketika pengawal senior Lady Maruyama, Sugita Haruki, mendatangiku tahun lalu, dia bersumpah bahwa Klan Maruyama akan mendukungku, tapi mungkin Nariaki sudah memasuki wilayah Maruyama." "Maka kita akan keluarkan dia dari sana." Pada pagi hari keenam kami sampai. di perbatasan. Kahei menghentikan anak buahnya beberapa ratus langkah di depan pos perbatasan, dan aku berjalan ke depan untuk bergabung dengannya. "Seharusnya kakakku menemui kita di sini," ujarnya pelan. Aku mengharapkan hal yang sama. Miyoshi Gemba telah diutus ke Maruyama untuk menyampaikan kabar kedatangan kami sebelum acara pernikahanku dengan Kaede. Tapi sejak saat itu kami belum mendengar kabar beritanya. Selain cemas atas keselamatannya, aku ingin mendapatkan informasi tentang situasi di wilayah ini, tentang keberadaan Iida Nariaki, juga bagaimana tanggapan penduduk kota terhadap kami. Palang melintang di persimpangan jalan. Pos penjagaan nampak sepi, tidak terlihat orang di kedua sisi jalan. Amano mengajak Jiro berkuda ke arah selatan. Saat mereka kembali, Amano berteriak-teriak. "Sepasukan besar melewati jalan ini: ada banyak jejak kaki dan kotoran kuda." "Menuju ke Maruyama?" seruku. "Ya!" Kahei mendekati pos jaga dan berteriak, "Apakah ada orang di sini? Lord Otori Takeo datang bersama istrinya, Lady Shirakawa Kaede, pewaris Lady Maruyama Naomi." Tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu itu. Gumpalan asap membumbung dari perapian yang tak terlihat. Aku tidak mendengar suara apa pun selain deru napas ribuan pasukanku. Kulitku terasa gatal. Aku menunggu desis anak panah. Aku menunggang Shun ke depan untuk bergabung dengan Kahei. "Ayo kita lihat." Dia menatapku sekilas, tapi menyerah untuk membujukku agar tetap di belakang. Kami turun dari kuda, memanggil Jiro untuk memegangi tali kekang kuda. Aku mencabut pedang. Palangnya tampak tergeletak dan hancur terinjak-injak oleh gerombolan orang dan kuda. Kesunyian yang aneh menggelayuti tempat itu. Kicau burung terdengar dari hutan, kicauannya lantang mengejutkan. Sebagian langit tertutup awan gelap, namun hujan telah reda dan angin berhembus lembut dari arah selatan. Aku mencium bau darah dan asap dari hembusan angin. Saat mendekati pos jaga yang pertama, kami melihat mayat-mayat di pintu gerbang. Satu orang terjatuh di perapian dan pakaiannya berasap. Pakaiannya dapat membakar tubuhnya andai tidak ada darah yang keluar dari perutnya yang menganga lebar. Tangannya masih menggenggam pedang yang tidak bernoda darah. Di belakangnya tergeletak dua mayat lain dalam posisi terlentang; tanpa ada luka. "Mereka dicekik," kataku pada Kahei. Itu membuatku tenang karena hanya Tribe yang menggunakan teknik mencekik. Dia mengangguk setuju, membalik salah satu mayat untuk melihat lambang yang ada di punggungnya. "Maruyama." "Sudah berapa lama mereka mati?" tanyaku seraya melihat-lihat ruangan. Kedua orang yang dicekik itu pasti diserang dengan tiba-tiba, sedangkan yang ketiga ditikam tanpa sempat menggunakan pedang. Kemarahanku memuncak, kemarahan yang sama seperti yang kurasakan pada penjaga di Hagi ketika mereka membiarkan Kenji masuk ke taman. Ketika aku melewati mayat-mayat itu, aku marah pada kebodohan mereka yang dengan mudah dikelabui oleh Tribe. Mereka kaget karena saat itu mereka sedang makan, dibunuh tanpa sempat memperingatkan Iida pasukan yang datang menyerang. Kahei mengangkat ketel teh yang terlempar dari tempatnya. "Masih hangat." "Kita harus kejar sebelum mereka memasuki kota." "Ayo berangkat," ujar Kahei, matanya berkilap tidak sabaran. Namun di saat kami berbalik, aku mendengar suara yang berasal dari gudang kecil di belakang pos penjagaan utama. Aku memberi isyarat pada Kahei untuk tetap diam, lalu aku berjalan ke pintu. Ada orang di balik pintu yang sedang berusaha menahan napas, tapi aku mendengar hembusan napasnya dengan jelas, gemetar. Hembusan napasnya kedengaran lebih mirip isak tangis. Aku menggeser pintu dan masuk dengan satu gerakan. Ruangan itu berantakan dengan karung beras, papan kayu, senjata serta alat-alat pertanian. "Siapa di situ? Keluar!" Terdengar langkah kaki orang yang berlari dan sesosok tubuh kecil tiba-tiba keluar dari balik tumpukan karung dan mencoba kabur melewati kedua kakiku. Aku mencengkramnya, dan ternyata itu seorang bocah berusia sepuluh atau sebelas tahun. Ketika melihat dia memegang belati, aku memelintir tangannya sampai dia berteriak dan menjatuhkan belatinya. Bocah itu menggeliat dalam cengkramanku, berusaha menahan tangis. "Diam! Aku tak akan menyakitimu." "Ayah! Ayah!" panggilnya. Aku menyorongkan tubuhnya ke depan, ke arah pos jaga. "Apakah ayahmu salah seorang dari mereka?" Wajahnya berubah pucat, napasnya tidak beraturan, dan air mata mengambang di matanya, tapi dia berusaha keras mengendalikan diri. Tidak diragukan lagi kalau dia anak seorang ksatria. Dia melihat ke mayat laki-laki yang sedang dijauhkan dari perapian oleh Kahei dengan tatapan mata yang nanar kemudian mengangguk. Wajahnya berubah menjadi hijau. Aku tarik dia ke luar pintu agar dia bisa muntah di luar. Ada sedikit sisa teh di ketel. Kahei menuangnya ke salah satu mangkuk yang masih utuh lalu menyodorkannya pada bocah itu. "Apa yang terjadi?" tanyaku. Giginya bergemeletuk, tapi dia mencoba untuk bicara seperti biasa, suaranya yang keluar terdengar lebih keras dari yang dia harapkan. "Dua laki-laki masuk lewat atap. Mereka mencekik Kitano dan Tsuruta. Satu orang lagi memotong tali tambatan sehingga membuat kuda-kuda panik. Ayahku mengejar mereka, dan ketika dia kembali ke dalam rumah, mereka menikamnya dengan belati." Dia berusaha menahan tangis. "Kupikir mereka sudah pergi," ujarnya. "Aku tidak melihat mereka! Mereka datang diam-diam dari atas dan menikamnya." "Saat itu kau di mana?" "Aku sedang di gudang. Aku bersembunyi. Aku malu. Mestinya kubunuh mereka!" Kahei menyeringai ke wajah kecil yang terlihat galak itu. "Kau melakukan hal yang benar. Tunggu sampai kau dewasa, baru kau bisa bunuh mereka!" "Bagaimana rupa mereka?" tanyaku. "Mereka memakai pakaian hitam. Mereka sama sekali tidak bersuara. Dan mereka melakukan semacam tipuan yang membuat kami tak bisa melihat mereka." Dia meludah serta menambahkan, "Ilmu sihir!" "Dan pasukan yang barusan lewat?" "Iida Nariaki dari Tohan bersama orang-orang Seishuu. Aku mengenali lencananya." "Berapa banyak?" "Ribuan," jawabnya. "Mereka perlu waktu lama untuk lewat. Tapi belum terlalu lama sejak barisan yang terakhir lewat. Aku sedang menunggu hingga mereka semua pergi. Aku hendak keluar ketika aku mendengar kalian masuk, jadi aku tetap bersembunyi." "Siapa namamu?" "Sugita Hiroshi, putra Hikaru." "Kau tinggal di Maruyama?" "Ya, pamanku, Sugita Haruki adalah kepala pengawal Maruyama." "Sebaiknya kau ikut bersama kami," kataku. "Kau tahu siapa kami?" "Kalian dari Otori," ujarnya, sambil tersenyum untuk pertama kalinya, senyum yang lemah. "Aku mengenalinya dari panji-panjinya. Kurasa kalianlah yang sudah lama kami tunggu-tunggu." "Aku Otori Takeo dan ini Miyoshi Kahei. Istriku adalah Shirakawa Kaede, pewaris wilayah ini." Dia berlutut menjatuhkan diri. "Lord Otori. Kakak Lord Miyoshi menemui pamanku. Mereka sedang menyiapkan pasukan karena pamanku yakin Iida Nariaki tak akan membiarkan Lady Shirakawa mewarisi tanah ini tanpa melawan. Beliau benar, kan?" Kahei menepuk bahunya. "Pergi dan ucapkan selamat tinggal pada ayahmu. Dan bawa pedangnya. Pedang itu menjadi milikmu sekarang. Nanti setelah memenangkan pertempuran, kita akan membawa ayahmu ke Maruyama untuk dimakamkan secara terhormat." Seharusnya aku dibesarkan dengan cara seperti ini, pikirku, memperhatikan Hiroshi datang dengan membawa pedang yang panjangnya hampir setinggi badannya. Ibu melarangku mematahkan capit kepiting, menyakiti makhluk hidup, tapi anak ini sejak lahir telah diajarkan untuk tidak takut pada kematian atau kekerasan. Aku tahu Kahei setuju dengan sikap pemberani anak itu: dia juga dibesarkan dengan cara yang sama. Andai aku tidak memiliki kekejaman dari hasil pelatihanku di Tribe, aku tak akan mendapatkannya. Aku hanya akan berpura-pura kejam. "Mereka melepas semua kuda kami!" seru Hiroshi waktu kami melewati istal kuda yang kosong. Dia gemetar lagi, tapi kurasa itu karena dia marah, bukan karena takut. "Kita akan dapatkan kembali kuda-kuda itu dan kita akan dapatkan lebih banyak lagi kuda lainnya!" Kahei berjanji padanya. "Kau ikut dengan Jiro, dan jangan buat masalah." "Antarkan dia ke para pelayan perempuan dan minta Manami mengurusnya," kataku pada Jiro sewaktu aku mengambil tali kekang Shun darinya. "Aku tidak mau diurus," seru anak itu ketika Kahei mengangkatnya ke punggung kuda Jiro. "Aku ingin ikut berperang bersama kalian." "Jangan sembarangan membunuh dengan pedangmu itu," ujar Kahei sambil tertawa. "Ingat, kami bukanlah musuhmu!" "Pasti mereka diserang secara mendadak," kataku pada Makoto, setelah mengatakan padanya apa yang kami tahu. "Yang ada di pos jaga hanyalah mayat." "Mungkin pasukan di Maruyama sudah menduganya sehingga menarik semua pasukan mereka untuk menyerang di daerah yang lebih menguntungkan," jawabnya. "Kau mengenal daerah antara tempat ini ke kota?" "Aku belum pernah kemari." "Istrimu pernah kemari?" Aku mengangguk. "Kalau begitu lebih baik kita suruh anak itu kemari. Mungkin dia bisa menjadi penunjuk jalan." Kahei berteriak pada Jiro yang belum jauh. Hiroshi senang sekali diminta kembali. Pengetahuannya tentang daerah ini dan benteng di sekeliling kota sangat mengejutkan. Kastil Maruyama berada di pebukitan; sebuah kota yang cukup besar berada di lereng dan kaki bukit bundar di mana kastilnya dibangun. Sebuah sungai kecil yang penuh dengan ikan dan arus yang deras menyediakan air bagi kota itu dan mengairi jaringan kanal; kastilnya memiliki mata air sendiri. Dinding sebelah luar kota biasanya terawat dengan baik, tapi sejak kematian Lady Maruyama, dan kekacauan yang terjadi setelah kejatuhan Iida, tidak ada lagi yang merawat dan hanya ada sedikit penjaga. Akibatnya, kota terbagi menjadi dua bagian: pendukung Sugita yang membela Kaede dengan orang yang berpikir lebih praktis untuk mengikuti suratan takdir dan menerima kekuasaan Iida Nariaki beserta istrinya, yang menurut mereka juga punya hak untuk berkuasa. "Di mana pamanmu sekarang?" tanyaku pada Hiroshi. "Beliau menunggu agak jauh di luar kota bersama pasukannya karena tak ingin pergi terlalu jauh dari kota, untuk berjaga-jaga kalau kota diambil alih secara diam-diam. Itulah yang aku dengar dari pembicaraan ayahku." "Apakah dia akan mundur kembali ke kota?" Anak itu memicingkan mata seperti orang dewasa. "Bila benar-benar terpaksa, beliau harus kembali ke kastil bila kota sudah tidak mungkin dipertahankan lagi. Kami sangat kekurangan bahan pangan; badai tahun lalu telah menghancurkan sebagian besar panen kami, dan tidak seperti biasanya, musim dingin yang lalu sangat menyulitkan. Kami tidak akan mampu bertahan jika dikepung terlalu lama." "Di mana kira-kira pamanmu akan bertempur jika dia bisa memilih medan perang?" "Tak jauh dari gerbang kota, jalan ini melintasi sungai, di Asagawa. Ada tempat untuk menyeberang; di tempat itu airnya sangat dangkal, tapi kadang tertutup jika ada banjir. Untuk mencapai tempat menyeberang itu harus melalui jalan ini sampai ngarai yang curam dan kemudian mendaki lagi. Nah, di sana ada dataran sempit dengan kelandaian yang mendukung. Ayah mengatakan kalau kita bisa menahan sepasukan penyerang di sana. Dan dengan jumlah pasukan yang cukup, kita bisa mengepung dan mengurung mereka di dalam ngarai." "Siap laksanakan, Kapten," seru Kahei. "Ingatkan aku untuk mengajakmu dalam setiap peperangan!" "Aku hanya mengenal wilayah sini," ujar Hiroshi, tibatiba menjadi pemalu. "Tapi ayahku mengajarkan kalau dalam pertempuran, orang harus benar-benar mengenal wilayah tersebut." "Dia pasti akan bangga padamu," kataku. Tampaknya rencana terbaik kami adalah segera bergegas dan berharap bisa menjebak pasukan penyerang di depan kami ke dalam ngarai. Bahkan jika Sugita sudah mundur ke kota, kami bisa menyerang orang-orang itu dengan tiba-tiba dari belakang. Aku mempunyai satu pertanyaan lagi untuk anak itu. "Tadi kau mengatakan mungkin bisa mengepung sepasukan musuh di ngarai. Jadi ada rute yang lain lagi antara tempat ini dan dataran sempit itu?" Dia mengangguk. "Beberapa mil ke utara ada satu perbatasan lagi. Kami berjalan dari arah sana beberapa hari lalu untuk datang ke sini; setelah seharian hujan lebat, terjadi banjir di bagian sungai yang dangkal itu. Butuh waktu agak lama, tapi bisa lebih cepat jika kau menunggang kuda." "Bisakah kau tunjukkan jalannya pada Lord Miyoshi?" "Tentu," jawabnya, mendongak ke arah Kahei dengan mata berbinar. "Kahei, bawa pasukan berkudamu dan majulah dengan cepat ke sana. Hiroshi akan menunjukkan tempat kau bisa bertemu Sugita. Katakan padanya kalau kita segera datang dan minta untuk tetap menahan musuh di ngarai. Prajurit pejalan kaki dan petani akan menyusul bersamaku." "Itu bagus," ujar Hiroshi dengan nada setuju. "Tempat menyeberang penuh dengan bongkahan batu; pijakannya tidak terlalu baik untuk kuda. Dan Tohan akan mengira Anda menjadi lebih lemah dan meremehkan Anda. Mereka tidak akan menyangka petani bisa bertempur." Kupikir, aku mesti belajar strategi darinya. Jiro berkata, "Aku harus pergi bersama Lord Miyoshi?" "Ya, ajak Hiroshi naik ke kudamu, dan tetap awasi dia." Prajurit berkuda pergi menjauh, derap langkah kuda bergema di lembah nan luas. "Waktu apa sekarang?" tanyaku pada Makoto. "Kira-kira paruh kedua Waktu Ular*," sahutnya. "Pasukan sudah makan?" "Aku perintahkan mereka makan saat berhenti tadi." "Kalau begitu kita bisa langsung bergerak. Perintahkan mereka berangkat sekarang; aku akan ke belakang barisan untuk memberitahukan kepala pelayan dan istriku. Aku akan langsung bergabung denganmu begitu selesai berbicara dengan mereka." Makoto membelokkan kudanya, tapi sebelum bergerak, dia menatap sekilas ke langit, hutan, dan lembah. "Hari yang indah," ujarnya pelan. Aku mengerti maksudnya; hari baik untuk mati. Tapi tak seorang pun dari kami berdua ditakdirkan mati hari ini, meskipun takdir itu berlaku bagi sebagian yang lainnya. Kudaku berjalan santai menyusuri sepanjang barisan pasukan yang sedang beristirahat, sambil memberi perintah untuk bergerak dan memberitahukan pimpinan mereka tentang rencana kami. Mereka bangkit dengan penuh semangat, terutama saat kukatakan siapa musuh utama kami; mereka berteriak sekuat tenaga karena diberi kesempatan membalas dendam pada Tohan atas kekalahan dalam perang Yaegahara, kekalahan di Yamagata, serta penindasan selama bertahun-tahun. Kaede dan para pelayan perempuan sedang menunggu di bawah pepohonan, dan seperti biasa Amano bersama mereka. "Kami akan pergi bertempur," kataku pada Kaede. "Pasukan Iida Nariaki menyerang perbatasan di depan kita. Kahei sudah lebih dulu ke daerah dekat musuh berada, tempat di mana kami berharap dia bisa bertemu dengan kakaknya, Gemba, dan Lord Sugita. Amano akan membawamu ke hutan dan kau harus tetap di sana sampai aku jemput." Amano menunduk. Kaede seperti ingin bicara, tapi kemudian dia juga menunduk. "Semoga Sang Pengasih menyertaimu," bisiknya sambil menatap wajahku. Dia agak membungkuk dan berkata, "Suatu hari nanti aku akan maju ke medan perang di sisimu!" "Jika aku tahu kau dalam keadaan aman, aku bisa berkonsentrasi penuh dalam bertempur," sahutku. "Lagi pula, kau harus melindungi catatan itu." Manami berkata dengan wajah cemas, "Medan perang bukanlah tempat bagi perempuan!" "Ya, benar," sahut Kaede. "Aku hanya akan menjadi penghalang. Tapi betapa inginnya aku terlahir sebagai laki-laki!" Kegigihannya membuatku tertawa. "Malam ini kita akan tidur di Maruyama!" aku berseru kepadanya. Seharian aku membayangkan wajahnya yang bersemangat dan pemberani. Sebelum meninggalkan biara, Kaede dan Manami membuat umbul-umbul dengan lukisan burung bangau Otori, sungai putih Shirakawa serta bukit Maruyama dan sekarang kami membentangkannya saat berjalan ke lembah itu. Meskipun kami sedang pergi berperang, aku tetap melihat-lihat keadaan daerah di luar kota. Tanahnya nampak cukup subur dan mestinya sudah diairi dan ditanami, namun bendungan dan saluran irigasinya tersumbat rumput ilalang dan lumpur. Selain tanda-tanda daerah yang terbengkalai, pasukan di depan kami sepertinya telah memporak-porandakan pertanian dan apa pun yang mereka temui. Anak-anak menangis di tepi jalan, rumah dibakar dan di sana-sini mayat bergelimpangan, dibunuh tanpa alasan yang jelas, tubuh mereka tergeletak di tempat mereka dibunuh. Sepanjang waktu kami melewati pertanian atau desa kecil, mereka yang masih hidup dan bocah laki-laki keluar untuk bertanya pada kami. Begitu mengetahui kalau kami mengejar pasukan Tohan, mereka langsung meminta ijin untuk ikut, mereka bergabung dengan penuh semangat, menambah jumlah pasukan kami hingga mencapai ribuan. Tepat saat lewat tengah hari, mungkin hampir memasuki Waktu Kambing, dari depan kudengar suara-suara yang sekian lama terngiang di kepalaku: benturan baja, dengkingan kuda, teriakan peperangan, jeritan orang yang terluka. Aku memberi isyarat pada Makoto, dan dia pun memerintahkan pasukan berhenti. Shun berdiri tegak, memasang telinga dengan waspada, mendengarkan penuh seksama seperti halnya aku. Dia diam, seolah mengerti kalau semua harus diam. "Sugita pasti sudah bertemu dengan musuh di sana, seperti yang bocah itu katakan," gumam Makoto. "Tapi mungkinkah Kahei telah bertemu dengannya?" "Siapa pun itu, pastinya terjadi pertempuran yang dahsyat," sahutku. Jalan menurun yang ada di hadapan kami menuju ke ngarai buntu. Pucuk pohon melambaikan daun hijaunya yang baru tumbuh di bawah sinar mentari musim semi. Suara pertempuran itu tidak terlalu keras, namun aku juga tidak bisa mendengar kicau burung. "Pasukan pembawa umbul-umbul akan berjalan lebih clulu denganku," ujarku. "Kau jangan maju. Tetap berada di tengah, di tempat yang lebih aman. Kau bisa menjadi sasaran empuk para pemanah." "Ini pertempuranku," sahutku. "Sudah sepantasnya aku maju lebih dulu." Kalimat itu mungkin terdengar tenang dan teratur; namun sesungguhnya aku tegang, tidak sabar untuk segera memulainya dan juga tidak sabar untuk segera mengakhirinya. "Ya, ini memang pertempuranmu, dan kami semua berperang karenamu. Itulah alasan yang kuat bagi kami untuk tetap menjaga dan juga melindungimu!" Aku membelokkan kuda dan berbalik menghadap pasukanku. Aku rasakan gelombang penyesalan bagi mereka yang akan menemui ajal, namun setidaknya aku telah memberi mereka kesempatan untuk mati secara terhormat, memperjuangkan tanah dan keluarga mereka. Aku memanggil pasukan pembawa umbul-umbul dan mereka pun bergerak maju, umbul-umbul berkibar diterpa angin. Kutatap gambar bangau putih dan berdoa pada arwah Shigeru. Aku merasakan rohnya merasuki diriku, menyelinap ke balik kulitku, menyatu dalam otot dan tulangku. Aku menarik Jato dan bilahnya memantulkan cahaya. Pasukanku bereaksi dengan teriakan dan sorak-sorai. Aku membelokkan Shun yang melangkah dengan gagah, tenang dan bersemangat, seakan-akan kami sedang berjalan di padang rumput. Kuda di sebelah kiriku nampak terlalu bersemangat, menarik tali kekangnya serta berusaha melawan, aku merasakan tegangnya otot tubuh penunggangnya saat mengendalikan kuda dengan satu tangan sementara tangan yang satunya lagi mempertahankan agar umbul-umbul tetap berkibar. Jalanan mulai gelap saat kami menurun melewati pepohonan. Permukaan tanahnya memburuk, seperti perkiraan Hiroshi, pasir halus bercampur lumpur menyelimuti bebatuan, lalu bebatuan besar dengan banyak lubang akibat gerusan banjir. Jalannya setiap saat bisa berubah menjadi sungai jika turun hujan. Kami melambatkah langkah kuda. Selain kencangnya suara pertempuran itu, aku mendengar gemuruh sungai. Di hadapan kami tampak jelas jurang di balik dedaunan, dan sebuah jalan terlihat dari bawah pepohonan di bantaran yang panjangnya beberapa ratus kaki sebelum dangkalan sungai. Kemudian terlihat pasukan yang sedang bertempur, mereka terlihat seperti siluet dalam terangnya sinar mentari. Semula aku hendak mengerahkan para pemanah, tapi begitu melihat pertempuran di depan kami, panah mereka bisa membunuh musuh sama banyaknya dengan pasukan sekutu kami. Pasukan Sugita telah menggiring pasukan musuh dari tanah lapang dan perlahan-lahan sedang mendesak mereka ke sungai. Bahkan saat kami mendekat, beberapa orang musuh berusaha menerobos dan melarikan diri, berteriak-teriak untuk memperingatkan pimpinannya. Makoto mengangkat terompet kerang peperangan dan segera meniupnya, bunyinya yang menakutkan menggema dari dinding ngarai hingga ke seberang sungai. Gemanya disahuti oleh pantulan gema dari arah seberang. Sesaat keadaan senyap, kemudian gemuruh memecah kesunyian, dan kami sudah berada di antara musuh. Pertempuran telah dimulai. Hanya para pencatat kejadian bersejarah yang dapat mengatakan apa yang terjadi dalam peperangan itu, dan kemudian mereka hanya menyebut pemenangnya. Orang yang berada di tengah-tengah kabut peperangan seperti ini tidak akan tahu siapa calon pemenangnya. Bila dilihat dari atas, dengan mata elang, maka yang terlihat hanyalah potongan kain warna-warni yang bergetar: perisai dan umbul-umbul, darah dan baja-indah sekaligus menakutkan. Semua prajurit menjadi kalap: apa lagi yang dapat dilakukan selain menghadapi musuh yang ada di depan mata dan melakukan apa yang sedang kami lakukan? Aku segera menyadari kalau pertempuran melawan para bandit waktu itu sama sekali tidak ada artinya. Yang kami hadapi saat ini adalah pasukan yang kuat, gabungan antara Tohan dan Seishuu, bersenjata lengkap, garang serta licik. Pasukan musuh melihat lencana burung bangau dan segera menyadari siapa yang ada di belakang mereka. Membunuhku untuk membalaskan dendam Iida Sadamu merupakan tujuan utama separuh pasukan mereka. Saran Makoto agar aku berlindung di tengah pasukan nampaknya sangat masuk akal. Aku mengalahkan tiga prajurit, dan hanya bisa selamat dari prajurit yang keempat karena ketepatan Shun mengelak sebelum Makoto datang mendekat. Dengan menggenggam tongkat layaknya sebatang lembing, Makoto menghantam prajurit keempat tepat di bawah dagu, menjatuhkan orang itu dari atas pelana. Seorang petani anggota pasukan kami melompat ke atas prajurit yang terjatuh dan menggorok lehernya dengan arit. Aku mendorong Shun bergerak ke depan. Dia bergerak mengikuti nalurinya untuk menemukan jalan di antara keramaian, selalu berbalik di saat yang tepat sehingga menguntungkan posisiku. Jato melompat ke tanganku, seperti yang pernah Shigeru katakan, hingga darah memenuhi ujung pedang sampai ke gagang. Aku dan Makoto dikepung saat kami berdampingan melawan mereka, dan aku segera menyadari ada kerumunan yang sama di depan kami. Aku melihat umbul-umbul Tohan berkibar di atas kerumunan itu. Dua gelombang pasukan berputar-putar bersamaan dengan prajurit yang bangkit dan berjatuhan di sekitar mereka, sampai akhirnya aku melihat lawan yang seimbang denganku di tengah-tengah pertempuran. Aku seperti mengenali orang itu. Laki-laki itu memakai perisai dada hitam dengan topi baja kerucut yang sama seperti Iida Sadamu pakai ketika aku melihatnya di Mino. Di dadanya terjuntai seutas tasbih emas yang berkilau. Tatapan kami beradu di atas lautan manusia yang sedang bertempur, dan Nariaki berteriak penuh kemarahan. Dia mendesak kudanya maju, dia menerobos para pengawal yang melindunginya. Dia mendatangiku. "Otori Takeo milikku!" teriaknya. "Jangan ada yang berani menyentuhnya!" Ketika dia berulang-ulang meneriakkan kata-kata itu, prajurit yang sedang menyerangku mundur dan akhirnya kami pun berhadapan dengan jarak hanya beberapa langkah. Aku menceritakan ini seakan-akan ada waktu untuk memikirkan semua peristiwa ini, tapi kenyataannya aku tidak sempat berpikir. Dalam sekejap, adegan-adegan ini kembali memenuhi benakku. Dia berada di depanku; berteriak sambil menghina, tapi aku hampir tidak mendengar apa yang dia katakan. Dia menjatuhkan tali kekang di leher kuda dan mengangkat pedang dengan dua tangan. Kudanya lebih besar dari Shun, dan dia besar seperti Iida, jauh lebih besar daripada aku. Sejenak aku memperhatikan saat pedangnya mulai bergerak, Shun juga memperhatikan. Bilah pedangnya memantulkan cahaya. Shun melompat ke samping dan pedang itu hanya menyapu udara. Hentakan dari tebasan pedangnya yang meleset membuat dia hampir terhempas dari kudanya. Saat tergelincir, dia mencoba bertahan pada leher kudanya, hewan itu meronta, cukup kuat untuk membuat Nariaki jatuh. Jika tidak ingin terjatuh, dia harus melepas pedangnya. Seraya melepaskan kakinya dari tempat pijakan kaki, salah satu tangannya berpegangan pada surai kuda dan dengan ketangkasan yang tak terduga dia mendarat di tanah dengan bertumpu pada lututnya namun masih memegang pedang. Dia kemudian melompat bangkit dan langsung menyerangku dengan satu tebasan pedang yang dapat memutuskan kakiku andai saja Shun diam lebih lama untuk bisa menyadari apa yang sedang dilakukan musuhku itu. Pasukanku merangsek maju dan dapat saja dengan mudah mengalahkan orang ini. "Mundur!" aku berseru. Aku memutuskan untuk membunuhnya dengan tanganku sendiri. Amarah yang belum pernah kualami merasuki sukmaku. Kubiarkan tali kekang terjatuh, lalu aku melompat turun dari punggung Shun. Aku mendengarnya mendengus di belakangku dan sadar kalau dia akan tetap tegap menunggu sekokoh batu sampai aku membutuhkannya lagi. Aku berdiri menatap sepupu Iida seolah sedang berhadapan dengan Iida. Aku tahu Nariaki memandang rendah diriku: aku tidak pernah dilatih seperti cara dia dilatih. Dia merangsek maju, pedangnya berputar-putar: bermaksud menebasku dengan jangkauannya yang lebih panjang. Tiba-tiba aku merasa seperti sedang di aula di Biara Terayama, sedang berlatih melawan Matsuda. Kulihat sosok Kaede seperti yang baru saja kulihat: dia adalah hidup dan kekuatanku. Malam ini kita akan tidur di Maruyama, aku ucapkan lagi janji yang sama padanya. Darah biru, pikirku, bahkan mungkin aku meneriakkan kata-kata itu dengan lantang pada Nariaki. Kau memilikinya, begitu juga aku. Kita berada di klas yang sama. Aku merasakan tangan Shigeru dalam gerakan tanganku. Dan kemudian Jato menemukan sasarannya dan percikan darah merah Iida Nariaki mengenai wajahku. Saat dia terjatuh dengan lutut, Jato menghantam lagi dan kepalanya menggelinding di kakiku, matanya masih memancarkan kemarahan, bibirnya terkatup geram. Adegan itu tetap melekat di benakku, tapi tidak dalam waktu lama. Tidak ada waktu untuk merasa takut, bahkan tidak ada waktu untuk berpikir. Jurus-jurus yang Shigeru dan Matsuda ajarkan bergerak melalui pedang hingga ke lenganku, seakan semua gerakan itu kulakukan tanpa sadar. Setelah Nariaki tewas, aku berbalik ke arah Shun. Saat mengerjapkan mata untuk menyingkirkan peluh yang menetes, aku melihat Jo-An berada di dekat kepala Shun; gelandangan itu juga memegang kepala kuda Iida Nariaki. "Singkirkan mereka," aku memerintahkan. Benar apa yang Hiroshi katakan tentang daerah ini. Saat pasukan Tohan dan Seishuu terdesak mundur dan kami terus maju, situasi semakin kacau. Kuda-kuda yang ketakutan karena kakinya terperosok hingga kakinya patah, atau terjebak di bebatuan dengan panik, tidak bisa maju maupun mundur. Jo-An melompat naik ke punggung Shun seperti seekor monyet dan menerobos mencari jalan di antara kerumunan pasukan. Sesekali aku mengawasinya yang bergerak menerobos dalam keramaian, menarik kuda-kuda tanpa penunggang yang panik ke dalam hutan. Seperti yang dikatakannya, ada banyak yang dapat dilakukan dalam suatu pertempuran selain membunuh. Tak lama kemudian aku melihat umbul-umbul Otori dan Maruyama, dan aku juga melihat Miyoshi. Pasukan yang ada di tengah-tengah kami terjebak. Mereka terus melawan dengan garang tanpa bisa mundur dan juga tanpa harapan hidup. Kurasa tidak seorang pun dari mereka berhasil lolos. Air sungai berbuih merah oleh darah. Setelah semuanya berakhir dan keadaan mulai tenang, para gelandangan mengurus mayat-mayat dan menggeletakkannya sehingga membentuk barisan. Sewaktu berjumpa Sugita, kami berjalan menyusuri barisan mayat, dan dia bisa mengenali banyak anak buahnya. Jo-An beserta anak buahnya telah mengambil alih lusinan kuda. Kini mereka melucuti senjata serta tameng dari korban yang tewas dan mengatur mayat-mayat itu untuk dibakar. Hari berlalu tanpa aku sempat memperhatikan waktu. Pasti sudah masuk Waktu Anjing, pertempuran tadi pasti telah berlangsung setengah hari. Pasukan kami kira-kira sama banyaknya dengan musuh: kurang dari dua ribu orang. Tapi seluruh pasukan Tohan tewas, sementara kami hanya kehilangan kurang dari seratus orang dan sekitar dua ratus orang luka-luka. Jo-An mengembalikan Shun kepadaku, dan bersama Sugita, kami menunggang kuda masuk ke dalam hutan di mana Kaede sedang menunggu. Dengan cakap Manami mengatur orang-orang untuk mendirikan kemah sambil menyalakan api unggun untuk merebus air. Kaede berlutut dengan tegak di atas karpet di bawah pepohonan. Kami bisa melihat sosoknya dipayungi bayangan warna abu-abu keperakan dari batang pohon, dan rambut menyelubungi tubuhnya. Saat mendekat, aku melihat matanya terpejam. Manami menghampiri kami, matanya berbinar cerah dengan kelopak kemerahan. "Sedari tadi lady berdoa," bisiknya. "Lady duduk begitu sejak kalian bertempur." Aku turun dari kuda dan memanggil namanya. Kaede membuka mata, rasa gembira dan lega terpancar di wajahnya. Dia menundukkan kepala, bibirnya menggumamkan rasa terima kasih tanpa suara. Aku berlutut di hadapannya, Sugita melakukan hal yang sama. "Kita menang besar," ujar Sugita. "Iida Nariaki sudah mati dan kini tidak ada yang dapat menghentikanmu menguasai Maruyama." "Aku haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kesetiaan dan keberanianmu," kata Kaede padanya dan kemudian berpaling ke arahku. "Kau terluka?" "Kurasa tidak." Kegilaan selama pertempuran mulai menghilang dan sekujur tubuhku terasa sakit. Telingaku berdengung dan bau anyir darah serta kematian melekat membuatku mual. Kaede terlihat sangat bersih dan suci hingga nyaris seperti tidak nyata. "Aku berdoa demi keselamatanmu," katanya dengan pelan. Kehadiran Sugita membuat sikap kami berdua menjadi canggung. "Silakan minum teh," Manami mendesak kami. Aku sadar mulutku kering, bibirku lekat dengan darah. "Kami sangat kotor," kataku, tapi dia langsung menaruh mangkuk di tanganku dan aku meminumnya dengan senang hati. Matahari telah terbenam dan cahaya senja tampak jernih dan agak kebiru-biruan. Angin berhenti berhembus dan burung-burung menyanyikan lagu terakhir mereka di hari ini. Kudengar gemerisik rerumputan dan melihat seekor kelinci berlari di kejauhan. Aku minum teh sambil memperhatikan kelinci itu. Hewan itu balas menataoku dengan matanya yang besar dan liar selama beberapa saat sebelum melompat menjauh. Tehnya terasa pahit. Dua pertempuran telah kami menangkan, masih ada tiga pertempuran lagi, jika ramalan itu bisa dipercaya: masih ada dua kemenangan serta satu kekalahan yang harus kujalani.* EMPAT SATU bulan sebelumnya, setelah Shirakawa Kaede dan Miyoshi bersaudara berangkat ke Biara Terayama, Muto Shizuka berangkat ke desa keluarga Tribe yang tersembunyi di balik pegunungan Yamagata. Kaede menangis sedih saat mereka berpisah. Kaede memberikan sejumlah uang dan memaksa Shizuka untuk membawa salah satu kuda beban, namun Shizuka tahu ia akan secepatnya dilupakan begitu Kaede sudah bersama Takeo. Shizuka merasa khawatir meninggalkan Kaede yang telah mengambil keputusan dengan terburu-buru untuk menikah dengan Takeo. Shizuka berkuda tanpa bicara, tiada henti memikirkan kegilaan cinta mereka dan juga akibat yang akan tuannya hadapi dengan pernikahan itu. Ia tidak ragu kalau mereka pasti jadi menikah; nasib telah mempertemukan mereka lagi, tidak ada yang dapat menghentikan mereka berdua. Tapi Shizuka takut atas keselamatan mereka berdua begitu Arai mendengar kabar itu. Dan saat pikirannya melayang pada Lord Fujiwara, ia merasa sekujur tubuhnya menggigil meskipun saat itu matahari musim semi bersinar cerah. Ia sadar kalau Lord Fujiwara akan merasa terhina dan murka atas pernikahan itu. Shizuka takut membayangkan apa yang akan Fujiwara lakukan untuk membalas dendam. Suasana hati Kondo yang juga menunggang kuda tak lebih baik dari Shizuka. Dia nampak menderita dan kesal karena dengan tiba-tiba dipecat. Beberapa kali dia berkata, "Seharusnya dia mempercayaiku! Setelah semua yang aku lakukan untuknya! Lagipula, aku telah bersumpah setia padanya. Aku tak akan menyakitinya." Dia juga telah tersihir oleh pesona Kaede, pikir Shizuka. Kondo merasa tersanjung dengan ketergantungan Kaede padanya. Kaede yang sering berpaling padanya, kini berpaling pada Takeo. "Dia mengusir kita atas perintah Takeo," kata Shizuka pada Kondo. "Takeo benar. Dia tidak boleh mempercayai kita." "Sungguh menyebalkan," ujar Kondo murung. "Kini aku harus ke mana? Aku senang bisa bersama Lady Shirakawa. Aku betah tinggal di tempat itu." Dia mendongak dan menghirup udara. "Mungkin keluarga Muto punya perintah baru untuk kita berdua," sahut Shizuka singkat. "Aku semakin tua," gerutu Kondo. "Aku tak keberatan untuk hidup tenang dan memberi kesempatan pada generasi muda. Andai saja jumlah mereka ada lebih banyak!" Kondo memalingkan wajah dan tersenyum getir pada Shizuka. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Shizuka merasa tidak nyaman, semacam kehangatan di balik sikap sinis. Dengan tetap menjaga sikap, Kondo mencoba menggoda Shizuka. Sejak Kondo menyelamatkan Shizuka dalam perjalanan ke Shirakawa tahun lalu, timbul rasa risih di antara mereka. Shizuka sangat berterima kasih pada Kondo dan sepintas pernah berpikir untuk berhubungan dengannya, tapi setelah menjalin asmara dengan tabib Ishida, tabibnya Lord Fujiwara, dia tidak menginginkan siapa pun selain tabib itu. Shizuka berpikir dengan penuh penyesalan karena hubungannya dengan tabib itu hampir tak mungkin dilanjutkan. Pernikahan Kaede telah menjauhkan ia dari Ishida untuk selamanya. Shizuka benar-benar tidak tahu bagaimana dapat bertemu dengan tabib itu lagi. Kata-kata perpisahan tabib itu begitu hangat; Ishida meminta Shizuka agar segera kembali, seakan mengatakan kalau dia akan merindu. Tapi bagaimana ia bisa kembali pada tabib itu bila ia tak lagi melayani serta menjadi bagian dari rumah tangga Kaede? Sejauh ini hubungan mereka berlangsung secara diam-diam, tapi bila sampai Fujiwara tahu, Shizuka mencemaskan keselamatan kekasihnya itu. Pikiran kalau ia tak akan pernah bertemu lagi dengan laki-laki yang baik hati serta pandai itu membuat Shizuka putus asa. Aku sama buruknya seperti Kaede, pikirnya. Tak seorang pun bisa lolos dari panasnya api cinta, berapa pun usianya. Mereka melewati Yamagata dan berjalan menuju desa tempat mereka akan menginap. Kondo mengenal pemilik penginapannya; bahkan mungkin mereka masih saudara, pikir Shizuka tanpa berminat mencari tahu. Seperti yang Shizuka takutkan, Kondo memberi isyarat yang jelas kalau dia ingin tidur dengannya. Kekecewaan nampak di mata laki-laki itu ketika ia berdalih kelelahan. Kondo tidak mendesak atau memaksa, meskipun dia bisa. Shizuka merasa sangat berterima kasih, dan kemudian ia merasa menyesal. Keesokan harinya, setelah mereka meninggalkan kuda di penginapan dan mulai mendaki pegunungan yang terjal dengan berjalan kaki, Kondo berkata, "Mengapa kita tidak menikah saja? Kita bisa jadi tim yang hebat. Kau mempunyai dua putra, kan? Akan kuanggap mereka sebagai anakku. Kita belum terlalu tua untuk punya anak lagi. Keluargamu pasti menyetujuinya." Shizuka merasa semangatnya langsung lenyap mendengar itu, terutama karena ia tahu kemungkinan keluarganya akan setuju. "Kau belum menikah?" tanya Shizuka. Hal itu tampak mengejutkan, dilihat dari usianya. "Aku pernah menikah dengan perempuan Kuroda saat usiaku tujuh belas tahun. Dia meninggal beberapa tahun lalu. Kami tidak mempunyai anak." Shizuka melirik, ingin tahu apakah Kondo sedih atas kematian istrinya. Kondo berkata, "Dia seorang perempuan yang sangat tidak bahagia. Dia tidak terlalu waras. Selama bertahun-tahun dia tersiksa oleh imajinasinya yang mengerikan dan menakutkan. Dia sering melihat hantu dan setan. Keadaannya tidak begitu buruk saat aku berada di sisinya, namun aku sering melakukan perjalanan karena tugas. Aku bekerja sebagai mata-mata untuk keluarga ibuku, keluarga Kondo, yang telah mengurusku sejak kecil. Suatu ketika aku menempuh perjalanan jauh dan terlambat pulang karena cuaca buruk. Ketika aku belum pulang pada waktu yang diperkirakan, dia sudah gantung diri." Untuk pertama kalinya tak terdengar nada sinis dalam suaranya. Shizuka merasakan kesedihan Kondo yang sehenarnya dan tanpa sadar ia merasa terharu. "Mungkin dia dididik terlalu keras," ujar Kondo. "Aku sering bertanya pada diriku apa yang akan kulakukan pada anak-anakku. Dalam banyak hal, aku lega tidak punya anak." "Saat kau kecil, semuanya nampak seperti sebuah permainan," ujar Shizuka. "Dulu aku bangga pada kemampuan yang kumiliki dan meremehkan orang lain karena tidak memilikinya. Kau tak bisa mempertanyakan bagaimana cara kau dibesarkan; memang begitu adanya." "Kau berbakat; kau adalah keponakan dan cucu tetua Muto. Menjadi seorang Kuroda tidaklah mudah. Dan jika kau tak punya bakat, latihan akan menjadi sangat sulit." Kondo berhenti bicara sejenak dan melanjutkan dengan pelan, "Mungkin juga istriku terlalu sensitif. Tidak ada yang dapat mengikis habis sifat dasar orang." "Kurasa begitu. Aku turut berduka atas kematiannya." "Itu sudah lama berlalu. Namun kejadian itu jelas membuatku mempertanyakan banyak hal yang selama ini diajarkan kepadaku, dan aku tidak pernah mengatakan ini pada banyak orang. Ketika kau menjadi bagian dari Tribe, kau harus patuh, hanya itu." "Seandainya Takeo dibesarkan oleh Tribe, mungkin dia bisa mempelajari kepatuhan seperti kita," ujar Shizuka, seolah menyuarakan pikirannya. "Dia tidak mau diperintah dan tak mau dikekang. Lalu apa yang Kikuta lakukan? Menyerahkannya pada Akio untuk dilatih seolah dia anak usia dua tahun. Mereka hanya bisa menyalahkan diri mereka sendiri atas kepergian Takeo. Shigeru tahu cara untuk mengendalikannya sejak awal, dan dia mendapatkan kesetiaan Takeo yang rela berbuat apa saja untuknya." Seperti kita semua juga akan melakukan untuknya, tiba-tiba Shizuka sadar telah memikirkan hal itu dan berusaha menyembunyikannya. Dia mempunyai banyak rahasia tentang Shigeru yang tak diketahui orang lain, dan ia takut Kondo tahu itu. "Apa yang Takeo lakukan cukup masuk akal," ujar Kondo, "bila kau pikirkan lagi." "Kau terkesan padanya, Kondo? Kukira tidak ada yang bisa membuatmu terkesan!" "Semua orang mengagumi keberanian," sahut Kondo. "Dan, seperti Takeo, dalam diriku juga mengalir darah Tribe maupun darah ksatria. Aku dibesarkan oleh Tribe hingga usiaku dua belas tahun dan kemudian aku menjalani dua peran, di satu sisi aku adalah ksatria, sedangkan di sisi lain aku seorang mata-mata. Aku bisa memahami konflik batin yang dia hadapi." Selama beberapa saat mereka berjalan dalam kesunyian; kemudian Kondo berkata, "Lagipula, kurasa kau tahu kalau aku terkesan pada dirimu." Sikap Kondo lebih santai hari ini, lebih terbuka tentang perasaannya. Shizuka menyadari betul hasrat Kondo pada dirinya, dan begitu muncul rasa kasihannya, akan semakin sulit untuk melawannya. Sebagai gundik Arai atau sebagai pelayan Kaede, ia memiliki status dan perlindungan, tapi kini tidak ada yang tersisa dari dirinya selain kemampuan yang ia miliki, dan laki-laki yang telah menyelamatkan hidupnya ini yang tidak terlalu buruk untuk dijadikan suami. Tidak ada alasan untuk menolak ajakan Kondo, maka setelah mereka selesai makan, sekitar tengah hari, Shizuka menerima ajakan Kondo untuk tidur dengannya. Aroma pucuk daun cemara dan pohon cedar mengelilingi mereka berdua, sinar mentari yang hangat juga angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut. Di kejauhan, gemuruh air terjun membisu. Semuanya berbicara tentang hidup baru dan musim semi. Shizuka berpikir, jika memang ini yang harus kulakukan, maka aku akan melakukan yang terbaik. Kemudian Shizuka berpikir, Apa yang terjadi padaku? Apakah aku tiba-tiba menjadi tua? Setahun lalu aku tak akan peduli pada orang seperti Kondo, namun setahun lalu aku juga masih merasa menjadi milik Arai. Dan sejak itu sudah banyak hal yang terjadi, begitu banyak intrik, begitu banyak kematian: kehilangan Shigeru dan Lady Maruyama, selalu berpura-pura tak peduli; hampir tak bisa menangis, bahkan ketika ayah dari anak-anakku mencoba membunuhku, juga bahkan di saat aku pikir Kaede akan mati.... Itu bukan pertama kalinya ia muak dengan kepurapuraan, dan kekejaman yang terus terjadi. Ia memikirkan keinginan Shigeru untuk mewujudkan kedamaian dan keadilan, juga memikirkan Ishida yang berusaha untuk menyembuhkan, bukan membunuh. Ia merasa hatinya begitu perih. Aku sudah tua, pikirnya. Tahun depan aku berumur tiga puluh tahun. Air mata mengambang di pelupuk matanya dan sadar kalau ia sudah hampir menangis. Wajahnya berlinang air mata, dan Kondo yang salah mengartikannya, malah memeluknya lebih erat lagi. Air mata Shizuka membasahi dada Kondo, membentuk genangan kecil di atas tato berwarna merah terang dan coklat tua di tubuh Kondo. Setelah beberapa lama, Shizuka berdiri dan berjalan ke air terjun. Mencelupkan kain ke air yang dingin seperti es, ia membasuh wajahnya, lalu menciduk air dengan tangan untuk minum. Hutan di sekelilingnya sunyi, yang terdengar hanyalah nyanyian katak dan jangkrik. Udara mulai terasa dingin. Mereka harus bergegas jika ingin sampai ke desa sebelum malam. Kondo telah mengangkat buntalan, mengikatnya pada sebatang kayu, lalu memanggulnya. "Kau tahu," katanya selagi mereka berjalan, meninggikan suara agar terdengar oleh Shizuka yang berjalan di depannya karena lebih mengenal jalan, "Aku tidak yakin kau bisa menyakiti Takeo. Kurasa kau tidak mungkin bisa membunuhnya." "Mengapa tidak?" tanya Shizuka sambil menoleh, "Aku pernah membunuh laki-laki!" "Aku tahu reputasimu, Shizuka! Tapi saat kau bicara tentang Takeo, wajahmu melembut seakan kau menyayanginya. Dan aku tak percaya kau bisa membuat Lady Shirakawa sedih karena rasa sayangmu yang begitu besar padanya." "Kau tahu semuanya! Kau tahu semua tentang diriku! Kau yakin kau bukan jelmaan roh rubah?" Shizuka bertanya-tanya apakah Kondo mengetahui hubungan dirinya dengan Ishida dan berdoa semoga dia tidak membicarakannya. "Darah Tribe juga mengalir dalam nadiku," balasnya. "Jika aku jauh dari Takeo, pikiranku tidak terpecah," ujar Shizuka. "Hal yang sama juga berlaku untukmu." Selama beberapa saat berjalan dalam keheningan, tiba-tiba dia bicara. "Sepertinya aku memang sayang padanya." "Tapi orang mengatakan kalau kau kejam." Nada suara Kondo kembali sinis. "Aku masih tersentuh oleh penderitaan seseorang. Bukan pada orang yang menderita karena kebodohannya, tapi pada penderitaan yang diakibatkan oleh takdir." Lerengnya curam dan Shizuka merasakan napasnya terengah-engah. Ia tidak bicara sampai lerengnya melandai lagi, namun ia memikirkan tentang untaian nasib yang telah mengikat hidupnya dengan Takeo dan Kaede, dan dengan takdir Otori. Jalannya cukup lebar untuk dilewati dua orang, dan Kondo menyusul berjalan di sampingnya. "Takeo besar dalam lingkungan kaum Hidden, lalu Shigeru mengangkat dia sebagai anak sehingga tuntutan dari Tribe nampaknya menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin didamaikan," Shizuka akhirnya berkata. "Semua itu justru membuat jiwanya terkoyak. Dan pernikahannya ini akan menimbulkan lebih banyak lagi permusuhan." "Kurasa dia tidak akan berumur panjang. Cepat atau lambat seseorang akan berhasil menangkapnya." "Kau tak akan pernah tahu," sahut Shizuka, berpura-pura santai padahal sebenarnya tidak. "Sepertinya tidak mungkin bagiku, atau orang lain, bisa membunuhnya karena kita tak akan pernah bisa mendekatinya." "Dua kali percobaan pembunuhan menghalanginya dalam perjalanan ke Terayama," ujar Kondo. "Keduanya gagal dan sudah tiga orang mati." "Kau tak pernah mengatakan itu padaku!" "Kurasa aku tidak ingin Lady Shirakawa gelisah dan sakit. Namun bersama setiap kematian, kemarahan pada Takeo semakin kuat. Bukan begitu cara yang ingin aku jalani." Tidak, pikir Shizuka, tidak seorang pun hidup seperti itu. Kita ingin hidup tanpa intrik dan kecurigaan. Kita ingin tidur nyenyak di malam hari, tanpa harus mendengarkan setiap suara dan bunyi yang mencurigakan, takut pada belati yang muncul dari bawah lantai, racun di makanan, pemanah yang tak terlihat di hutan. Setidaknya selama beberapa minggu aku bisa merasa aman di desaku. Mentari mulai terbenam, memancarkan sinarnya yang indah di antara pepohonan cedar dan mengubah batang pohonnya menjadi hitam. Pancaran sinarnya tumpah ruah memenuhi hutan. Selama beberapa saat, Shizuka sadar kalau ada orang yang sedang mengikuti mereka. Itu pasti anakku, pikirnya, dan terlintas kenangan bagaimana ia mengasah kemampuannya di daerah ini saat masih kecil. Ia mengenal setiap bebatuan, setiap pohon, setiap jengkal tanah. "Zenko! Taku!" serunya. "Kalian, kah?" Hanya suara cekikikan tertahan yang menjadi jawabnya. Ia seperti mendengar langkah kaki; langkah kaki di atas bebatuan di kejauhan. Anak-anak mengambil jalan pintas untuk pulang ke rumah, berlari melewati punggung bukit dan menuruninya lagi, sementara ia dan Kondo menyusuri jalan yang melebar. Ia tersenyum dan mencoba membuang kegalauan hatinya. Ia akan lakukan yang apa terbaik bagi kedua anaknya. Dan ia akan menuruti nasihat kakek-neneknya. Apa pun yang mereka minta, akan ia lakukan. Ada kenyamanan tersendiri dalam kepatuhan, seperti yang Kondo katakan, itu adalah segalanya bagi Tribe. Sekali lagi ia berusaha untuk tak memikirkan tentang ketidakpatuhannya di masa lalu dan berharap hal itu tetap terkubur dengan mereka yang sudah mati. Mereka keluar dari jalur utama, dan mulai merangkak menaiki setumpuk batu besar kemudian satu batu kecil lagi yang terhimpit di antara tebing batu terjal. Jalan di depannya menikung dan mulai menurun di lembah. Shizuka berhenti selama beberapa saat; pemandangan di hadapannya tak pernah berhenti membuatnya terpesona, lembah yang tersembunyi di tengah pegunungan terjal sangatlah mengagumkan. Samar-samar dari balik kabut terlihat asap dari tungku perapian dan sekumpulan rumah yang ada di bawah, tapi saat mereka menyusuri jalan melewati dataran, rumah-rumah itu terletak di atas, dilindungi oleh dinding kayu yang kuat. Dari gerbang yang telah terbuka, dua penjaga dengan ceria menyambut Shizuka. "Hei! Selamat datang!" "Beginikah cara kalian menyambut tamu? Begitu santai; bagaimana kalau aku musuh?" "Kedua putramu yang memberitahukan kami kalau kau sedang kemari," sahut seorang penjaga. "Mereka melihatmu di pegunungan." Rasa bangga menyelimuti diri Shizuka. Baru sekarang ia menyadari kecemasannya terhadap mereka. Tapi mereka masih hidup dan dalam kondisi sehat. "Ini Kondo...." ujar Shizuka terbata-bata, menyadari kalau ia tidak tahu nama belakang orang itu. "Kondo Kiicihi," sahut Kondo. "Ayahku adalah Kuroda Tetsuo." Mata para penjaga menyipit saat mendengar nama itu, mereka menarik kesimpulan tentang laki-laki itu baik dari penampilan maupun dari asal-usulnya. Mereka berdua sepupu atau keponakan Shizuka; mereka besar bersama, menghabiskan waktu bersama kakek-neneknya, dikirim ke sana untuk dilatih saat ia masih kecil, waktu yang sama ketika ia bersaing, juga belajar mengecoh kedua orang yang sekarang sedang bertugas jaga. Kemudian suratan takdir membawa hidupnya pada Kumamoto dan Arai. "Hati-hati dengan Shizuka!" salah seorang dari mereka memperingatkan Kondo. "Aku lebih baik tidur dengan ular berbisa daripada tidur dengannya." "Kau memang pantas tidur dengan ular berbisa," sahut Shizuka pedas. Kondo hanya melirik pada Shizuka tanpa berkata sepatah kata pun, sebelah alisnya naik saat mereka berjalan lagi. Dari luar, rumah-rumah di desa ini tampak seperti rumah petani, dengan atap dari jerami dan tiang dari kayu pohon cedar yang warnanya telah memudar. Alat-alat pertanian, kayu bakar, karung beras dan batang bambu disusun rapi di dalam lumbung yang ada di belakang rumah. Jendela luar dipalang dengan jeruji kayu dan anak tangga terbuat dari potongan kasar batu gunung. Namun rumah-rumah itu menyimpan banyak rahasia: lorong rahasia, terowongan dan gudang bawah tanah, lemari dan juga lantai palsu yang mampu menyembunyikan seluruh penduduk desa bila diperlukan. Hanya sedikit orang yang tahu keberadaan desa terpencil ini, meskipun begitu keluarga Muto selalu siap menghadapi serangan. Mereka juga mendidik anak-anaknya dengan tradisi kuno Tribe. Shizuka tergetar saat teringat kenangan masa kecilnya. Debaran jantungnya kian cepat. Tak satu pun peristiwa, bahkan pertempuran di Kastil Inuyama, yang dapat menyamai kegembiraan permainan semasa kecil. Rumah utama terletak di pusat desa dan, di pintu masuk, keluarga Shizuka telah menunggu untuk menyambut: kakeknya dan juga kedua putranya, dan yang membuatnya terkejut juga senang, di samping kakeknya, berdiri pamannya, Muto Kenji. "Kakek, Paman," ucap Shizuka memberi salam dengan sepenuh hati, dan ketika hendak memperkenalkan Kondo, putra keduanya berlari kegirangan menghampiri kemudian merangkul pinggang Shizuka. "Taku!" kakaknya menegur, kemudian berkata, "Selamat datang, Ibu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu." "Kemari, coba kulihat kalian," ujar Shizuka, gembira karena kedua putranya ada. Mereka berdua sudah bertambah besar dan tidak ada lagi kegemukan anak-anak yang menggemaskan. Usia Zenko dua belas tahun pada awal tahun ini, dan Taku sepuluh tahun. Putra keduanya berotot, dan mereka berdua memiliki pandangan yang tajam dan tidak mengenal rasa takut. "Dia tumbuh seperti ayahnya," ujar Kenji, menepuk bahu Zenko. Memang benar, pikir Shizuka sambil menatap putra pertamanya. Sosoknya seperti Arai. Sedangkan Taku, pikirnya, lebih memiliki paras seorang Muto, dan dia, tidak seperti kakaknya, memiliki garis lurus keturunan Kikuta di telapak tangannya. Pendengaran yang tajam dan kemampuan lainnya mungkin ada pada dirinya. Tapi Shizuka akan mencari tahu lebih banyak lagi nanti. Sementara itu, Kondo, berlutut di hadapan kedua tetua Muto, menyebut nama dan silsilah keluarganya. "Dia telah menyelamatkanku," ujar Shizuka. "Kalian mungkin sudah mendengarnya: pernah ada percobaan pembunuhan terhadapku." "Bukan hanya kau," kata Kenji, menangkap pandangan mata Shizuka, seolah menyuruh diam, dan memang Shizuka tidak ingin terlalu banyak bicara di depan kedua putranya. "Kita bicarakan itu nanti. Aku senang bertemu denganmu." Seorang pelayan datang membawa air untuk membasuh kaki kedua orang yang baru datang. Kakek Shizuka berkata pada Kondo, "Selamat datang di rumah ini dan kami sangat berterima kasih padamu. Kita pernah bertemu tapi sudah lama sekali; saat itu kau masih kecil, mungkin kau tidak ingat. Silakan masuk." Bersamaan ketika Kondo mengikuti sang kakek ke dalam, Kenji berbisik pada Shizuka, "Apa yang terjadi? Mengapa kau ke sini? Apakah Lady Shirakawa baik-baik saja?" "Kurasa tidak ada yang dapat mengubah rasa sayangmu padanya, ya," sahut Shizuka. "Dia bergabung dengan Takeo di Terayama. Kurasa mereka akan segera menikah-menentang semua nasihatku, kalau boleh kutambahkan. Pernikahan itu bencana bagi mereka berdua." Kenji menghela napas pelan. Shizuka seperti melihat senyum tipis di wajah pamannya itu. "Mungkin sebuah bencana," ujarnya, "tapi bencana yang ditentukan oleh takdir." Mereka masuk dalam ke rumah. Taku berlari lebih dulu untuk memberitahu nenek buyutnya agar membawa sake, sedangkan Zenko berjalan dengan tenang di samping Kondo. "Terima kasih telah menyelamatkan ibuku, tuan," ujar Zenko dengan sopan. "Aku berhutang nyawa kepadamu." "Kuharap kita bisa lebih saling mengenal dan berteman," sahut Kondo. "Kau senang berburu? Mungkin kau bisa mengajakku berburu. Sudah lama aku belum makan daging." Bocah itu tersenyum dan mengangguk. "Kadang kami menggunakan perangkap, dan di akhir tahun, kami menggunakan burung elang. Kuharap Anda masih ada di sini hingga akhir tahun." Dia sudah dewasa, pikir Shizuka. Andai aku dapat hersama mereka untuk selamanya. Nenek Shizuka datang membawa sake. Shizuka mengambil sake darinya dan menyajikannya untuk para laki-laki. Kemudian dia pergi bersama neneknya ke dapur, menghela napas dalam-dalam, menikmati semua aroma yang akrab dengannya. Para pelayan, sepupu-sepupunya, menyambut dengan riang. Shizuka hendak membantu, tapi mereka tidak mengijinkan. "Besok, besok saja," ujar neneknya. "Malam ini kau adalah tamu kehormatan kami." Shizuka duduk di tepi anak tangga kayu yang menghubungkan dapur berlantaikan tanah dengan ruang utama rumah. Samar-samar ia mendengar para laki-laki sedang bercakap-cakap, dan suara nyaring anak-anaknya. Suara Zenko sudah mulai terdengar pecah. "Ayo kita minum bersama," ujar neneknya sambil tertawa kecil. "Kami tidak menyangka kau akan datang, tapi kami gembira kalian datang. Dia sangat cantik, kan?" seru nenek pada pelayan yang langsung mengangguk setuju. "Shizuka kini lebih cantik," ujar Kana, "Dia lebih pantas jadi kakak daripada menjadi ibu dari anak-anaknya." "Dan seperti biasa dia menggandeng laki-laki tampan," Miyabi tertawa. "Benarkah dia telah menyelamatkanmu? Kejadian itu sepertinya tidak bisa dipercaya." Shizuka tersenyum dan meminum sake dalam satu tegukan, merasa bahagia karena berada di rumah, memperhatikan dialek kerabat-kerabatnya saat mereka memaksanya untuk mengatakan gosip dan kabar. "Orang-orang mengatakan Lady Shirakawa adalah perempuan tercantik di seluruh Tiga Negara," ujar Kana. "Benarkah?" Shizuka meneguk sake lagi, merasakan hangatnya menyentuh perutnya lalu menyebar ke sekujur tubuhnya. "Kalian tidak dapat membayangkan kecantikannya," sahut Shizuka. "Kalian mengatakan aku cantik. Nah, laki-laki melihatku langsung ingin tidur denganku, sedangkan bila mereka melihat Shirakawa Kaede, mereka akan langsung patah hati. Mereka tak mampu menerima kenyataan kalau ternyata ada perempuan secantik itu dan mereka tak akan pernah bisa memilikinya. Aku katakan pada kalian, aku lebih bangga pada kecantikannya dibanding kecantikanku sendiri." "Kabarnya Kaede membuat semua orang terpesona," ujar Miyabi, "Dan siapa pun yang menginginkannya akan mati." "Dia telah membuat paman kalian terpesona," ujar sang nenek. "Kalian harus dengar apa yang paman kalian katakan tentang Kaede." "Mengapa kau meninggalkan dia?" tanya Kana yang dengan cekatan memasukkan sayuran yang diiris tipis ke dalam panci. "Dia terpesona oleh cinta. Kaede bergabung dengan Otori Takeo, bocah Kikuta yang menimbulkan banyak masalah. Mereka memutuskan untuk menikah. Dia menyuruh aku dan Kondo pergi karena Kikuta mengeluarkan maklumat untuk menentangnya." Kana menjerit saat jarinya tanpa sengaja menyentuh panci yang panas. "Ah, sayang sekali," Miyabi menghela napas. "Berarti mereka berdua akan hancur." "Apa yang bisa kau harapkan?" Shizuka menjawab dengan nada pedas. "Kalian tahu hukuman bagi orang yang tidak patuh." Shizuka merasakan sudut matanya hangat oleh air mata, seakan tidak lama lagi air matanya akan berlinang. "Sudah, sudah," kata neneknya. Dia nampak lebih lembut dari yang Shizuka ingat. "Kau telah menempuh perjalanan jauh. Kau pasti lelah. Makanlah agar tenagamu pulih. Kenji pasti ingin bicara denganmu malam ini." Kana menyendok nasi dari panci ke mangkuk dan menumpuk sayuran di atasnya. Sayurannya terdiri dari sayuran musim semi yang dipetik di gunung, rumput berdaun besar dan lebar, akar pakis dan juga jamur. Shizuka makan di tempat ia duduk, di atas anak tangga, seperti yang sering ia lakukan semasa kecil. Miyabi bertanya dengan riang, "Aku harus menyiapkan alas tidur tapi-di mana tamu itu akan tidur?" "Dia bisa tidur dengan para laki-laki," sahut Shizuka dengan mulut yang penuh nasi. "Aku akan berbincang sampai larut malam dengan pamanku." Jika ia dan Kondo tidur bersama di rumah ini, sama artinya dengan mengumumkan pernikahan mereka. Shizuka belum yakin; ia tak akan melakukan apa pun tanpa meminta saran dari Kenji. Nenek menepuk bahunya, sinar matanya ceria dan bahagia, dan menuangkan sake lagi untuk mereka berdua. Ketika makanan telah masak, dan para gadis harus membawa nampan makanan untuk disajikan bagi para laki-laki, nenek bangkit dari duduknya. "Ikutlah bersamaku. Aku hendak ke kuil. Aku akan menaruh sesaji untuk berterima kasih karena kau pulang dengan selamat." Nenek mengambil nasi, membungkusnya dengan kain serta tabung kecil sake. Di samping Shizuka, tubuh perempuan tua itu tampak seperti menciut dan jalannya pun lambat, berterima kasih karena di tuntun oleh Shizuka. Malam tiba. Sebagian besar orang sudah masuk ke dalam rumah, makan atau bersiap-siap tidur. Seekor anjing menyalak di salah satu pintu rumah dan melompat ke arah mereka, tapi kemudian dipanggil oleh seorang perempuan yang memberi salam kepada mereka. Di hutan kecil yang mengelilingi kuil terdengar burung hamtu saling memanggil dan telinga tajam Shizuka menangkap decitan tinggi kelelawar. "Kau bisa mendengarnya?" tanya neneknya, memandang tajam pada kelelawar yang berlalu dengan cepat. "Aku hampir tak bisa melihat mereka lagi! Itulah kekuatan Kikuta yang ada dalam dirimu." "Pendengaranku tidak istimewa," ujar Shizuka. "Meskipun aku sangat menginginkannya." Sungai mengalir melintasi hutan kecil dan kunangkunang memancarkan sinarnya di sepanjang tepi sungai. Pintu kuil tampak di depan mereka, memancarkan warna merah cerah yang diterangi samarnya cahaya obor. Mereka lewat di bawahnya dan membasuh tangan serta berkumur di air mancur. Wadah airnya terbuat dari batu yang berwarna biru kehitaman, dan patung naga yang terbuat dari besi berjaga-jaga di atasnya. Sumber air dari pegunungan terasa begitu murni dan sedingin es. Obor menyala di depan kuil yang tampak terbengkalai. Perempuan tua itu meletakkan sesajian di atas alas kayu di depan patung Hachiman, dewa perang. Dia membungkuk memberi hormat dua kali, menepukkan tangan sebanyak tiga kali, dan mengulang ritual ini sebanyak tiga kali. Shizuka melakukan hal yang sama dan kemudian berdoa memohon perlindungan dewa, bukan hanya untuk dirinya dan keluarganya, tapi juga untuk Kaede dan Takeo. Ia hampir merasa malu, dan senang karena tak seorang pun-kecuali sang dewa-yang bisa membaca pikirannya. Neneknya berdiri sambil menatap ke atas. Wajahnya tampak sama tuanya dengan patung itu dan penuh dengan kekuatan suci dan misterius. Shizuka merasakan kekuatan serta ketabahan neneknya, dan terharu atas cinta dan penghormatan pada dirinya. Ia senang pulang ke rumah. Orang tua memiliki kearifan dari generasinya; mungkin sebagian kearifan itu akan dialihkan padanya. Mereka diam tak bergerak selama beberapa saat, dan kemudian terdengar suara terburu-buru, pintu bergeser terbuka, dan langkah kaki di beranda. Rahib datang menghampiri mereka, sudah mengenakan pakaian tidur. "Aku tak mengira akan ada yang datang selarut ini," ujarnya. "Masuk dan minumlah teh bersama kami." "Cucuku sudah pulang." "Ah, Shizuka! Sudah begitu lama. Selamat datang." Mereka duduk dengan rahib dan istrinya selama beberapa saat, bercakap-cakap dengan santai tentang kabar angin yang beredar di desa. Kemudian sang nenek berkata, "Sekarang Kenji pasti sudah ingin bertemu denganmu. Kita tidak boleh membuatnya menunggu." Mereka berjalan pulang, rumah penduduk sudah gelap dan sebagian besar sunyi. Penduduk desa tidur lebih awal di awal tahun seperti ini dan bangun lebih awal untuk mulai mengerjakan tugas musim semi, membajak dan menanam padi. Shizuka teringat hari-hari yang ia habiskan saat masih muda dulu, kaki terendam di sawah, menanam padi, berbagi masa muda dan kesuburannya dengan benih padi yang sedang ditanam, sementara lagu-lagu tradisional dilantunkan oleh perempuan yang lebih tua dari pematang sawah. Apakah sekarang ia sudah terlalu tua imtuk ikut ambil bagian dalam menanam di musim semi? Jika ia menikahi Kondo, masih bisakah ia punya anak lagi? Gadis-gadis sedang membersihkan dapur dan mencuci piring ketika mereka kembali. Taku sedang duduk di tempat tadi Shizuka duduk, matanya terpejam, kepalanya terkantuk-kantuk. "Dia mempunyai pesan untukmu," Miyabi tertawa. "Dia hanya mau menyampaikannya padamu!" Shizuka duduk di sampingnya dan menggelitik pipi 'Taku. "Seorang pembawa pesan tidak boleh tertidur," goda Shizuka. "Paman Kenji ingin bicara dengan ibu," ujar Taku bertingkah seperti orang penting, dan kemudian menghancurkan semua kelakuannya dengan menguap. "Paman ada di ruang tamu bersama Kakek, yang lainnya sudah t idur." "Seharusnya kau juga tidur," kata Shizuka sambil meraih Taku ke dalam pelukannya. Ia memeluk Taku dengan erat dan putranya membiarkan tubuhnya dipeluk seperti bocah kecil, membenamkan kepalanya di dada ibunya. Setelah beberapa saat, dia mulai menggeliat dan berkata dengan suara yang tidak jelas, "Jangan membuat Paman Kenji menunggu." Shizuka tertawa dan melepasnya. "Pergilah tidur." "Apakah ibu masih akan ada di sini besok pagi?" Tanya Taku sambil menguap. "Tentu!" Taku memberi senyum manis. "Akan kuperlihatkan semua yang aku pelajari sejak ibu pergi." "Ibumu pasti akan kaget," ujar Miyabi. Shizuka berjalan bersama putra bungsunya ke kamar para perempuan, tempat ia tidur. Malam ini ia akan tidur di sisi putranya, mendengar napas kanak-kanaknya sepanjang malam, dan terbangun esok paginya untuk melihat rambutnya yang kusut sehabis bangun tidur. Ia sangat merindukan semua itu. Zenko tidur di kamar laki-laki. Shizuka dapat mendengar suaranya bertanya pada Kondo tentang pertempuran Kushimoto tempat dia bertempur bersama Arai. Shizuka mendengar ada nada bangga dalam suara putranya saat menyebut nama ayahnya. Seberapa banyak yang bocah itu tahu tentang perlawanan Arai menentang Tribe, dan juga usahanya untuk membunuhku? Apa yang akan terjadi pada mereka? pikirnya. Apakah darah campuran yang mengalir dalam diri kedua anakku akan sama merusaknya seperti yang terjadi pada Takeo? Shizuka mengucapkan selamat tidur pada Taku, berjalan keluar kamar dan membuka pintu kamar sebelahnya, tempat paman dan kakeknya sedang menunggu. Shizuka berlutut di depan mereka, alisnya menyentuh lantai. Kenji tersenyum dan mengangguk, tanpa berkata sepatah kata pun. "Baiklah, baiklah," kata kakek. "Aku akan meninggalkan kalian berdua." Ketika Shizuka membantu kakeknya berdiri, ia kaget melihat betapa kakeknya juga sudah renta. Shizuka mengantarnya ke pintu tempat Kana sedang menunggu untuk membantunya pergi tidur. "Selamat tidur, anak-anak," ujar kakek. "Sungguh lega melihatmu berada di sini dengan selamat pada saat-saat seperti ini. Tapi sampai kapan kita akan aman?" "Beliau terlalu pesimis," ujar Shizuka pada pamannya saat ia kembali. "Kemarahan Arai akan segera reda. Dia akan menyadari kalau dia tak bisa membasmi Tribe dan dia membutuhkan mata-mata seperti halnya bangsawan lainnya. Pada akhirnya dia akan berbaikan dengan kita." "Aku setuju. Tak seorang pun menganggap Arai sebagai ancaman untuk jangka panjang. Cukup mudah untuk tetap berdiam diri hingga dia tenang, seperti yang kau katakan. Tapi ada satu hal lagi yang bisa menjadi jauh lebih serius. Tampaknya Shigeru meninggalkan warisan yang tidak terduga tentang kita. Kikuta yakin dia menyimpan catatan tentang jaringan kita yang kini ada pada Takeo." Jantung Shizuka berhenti berdetak, tak mampu bicara. Baginya, hanya dengan memikirkannya, dia telah mengorek kembali masa lalunya. "Benarkah?" sahut Shizuka, berusaha menjawab dengan biasa. "Pembesar Kikuta, Kotaro, yakin akan hal itu. Sebelum musim dingin, dia mengirim Takeo dan Akio ke Hagi untuk mengambil dan membawa catatan itu kembali. Sepertinya Takeo pergi ke rumah Shigeru, bertemu Ichiro lalu entah bagaimana dia lolos dari Akio dan pergi ke Terayarna. Di dalam perjalanan, dia membunuh dua orang kita dan satu prajurit Otori." "Prajurit Otori?" sahut Shizuka berlagak bodoh. "Ya, Kikuta meningkatkan hubungan dengan Otori, keduanya bersekutu untuk melawan Arai dan untuk menghabiskan Takeo." "Dan Muto?" Kenji menggerutu. "Aku belum memutuskan." Shizuka menaikkan alis dan menunggu pamannya meneruskan. "Kotaro menduga catatan itu disimpan di biara, dan sepertinya itu masuk akal. Matsuda tua yang licik itu tidak pernah berhenti bersekongkol meskipun sudah menjadi kepala biara. Dia dan Shigeru juga sangat dekat. Aku bisa mengingat kotak tempat Shigeru menyimpannya. Aku tidak menyangka benda itu bisa luput dariku. Satu-satunya alasanku adalah saat itu aku sedang memikirkan hal lain. Kikuta marah besar padaku, dan aku tampak seperti orang bodoh." Kenji meringis penuh penyesalan. "Shigeru telah menipuku yang dikenal sebagai Penipu!" "Itu menjelaskan maklumat yang dikeluarkan untuk membunuh Takeo," ujar Shizuka. "Tadinya kupikir itu hanya karena ketidakpatuhannya. Kelihatannya kejam, tapi itu tidak mengejutkan. Saat mendengar dia pergi bersama Akio, aku sudah tahu akan timbul masalah." "Putriku juga bilang begitu. Dia mengirim pesan saat Takeo masih di rumah kami di Yamagata. Ketika itu terjadi insiden: Takeo mengecoh istriku dan keluar semalaman, tidak terjadi apa pun, dan dia kembali keesokan paginya, tapi kemudian Yuki menulis dalam pesannya kalau Takeo dan Akio hampir saja saling bunuh. Oh ya, Akio hampir tewas. Anak buah Muto Yuzuru menariknya keluar dari sungai, nyaris tenggelam dan membeku." "Seharusnya Takeo membunuhnya," tak tahan Shizuka angkat bicara. Kenji tersenyum tanpa rasa gembira. "Kurasa reaksi pertamaku juga begitu. Akio menyatakan kalau dia berusaha mencegah Takeo kabur, tapi kemudian aku tahu dari Yuki kalau Akio telah diperintahkan untuk membunuh Takeo begitu catatan itu ditemukan." "Mengapa?" tanya Shizuka, "Apa untungnya kalau Takeo mati?" "Tak sesederhana itu. Kemunculan Takeo telah mengganggu banyak orang, terutama di kalangan Kikuta. Ketidakpatuhan serta kenekatannya semakin memperburuk keadaan." "Kikuta sepertinya sangat keras, sebaliknya paman tidak terlalu keras pada Takeo," kata Shizuka. "Itulah satu-satunya cara mengatasi Takeo. Aku tahu itu begitu aku sampai di Hagi. Dia memiliki naluri yang baik, dia akan melakukan apa pun untukmu jika kau mendapatkan kesetiaannya, tapi kau tak mungkin memaksanya. Dia lebih memilih untuk memberontak ketimbang menyerah." "Itu pasti sifat bawaan Kikuta," gumam Shizuka. "Mungkin." Kenji menghela napas panjang dan menatap ke arah bayangan. Setelah berhenti bicara sejenak, dia melanjutkan, "Bagi Kikuta, segalanya serba hitam dan putih; kau patuh atau kau mati, satu-satunya obat untuk kebodohan adalah kematian, mereka semua percaya itu sejak lahir." Jika Kikuta tahu peranku di balik semua peristiwa ini, mereka akan membunuhku, pikir Shizuka. Tapi aku juga tak berani mengatakannya pada Kenji. "Jadi sekarang Takeo bukan hanya lolos dari Tribe, tapi juga memegang informasi yang bisa membuatnya menghancurkan kita?" "Ya, cepat atau lambat informasi itu akan dia gunakan untuk bersekutu dengan Arai." "Dia tak akan dibiarkan hidup," ujar Shizuka, dia mulai sedih lagi. "Sejauh ini Takeo mampu bertahan. Itu membuktikan kalau dia jauh lebih sulit disingkirkan dari yang Kikuta perkirakan." Shizuka merasakan nada penyesalan dalam suara pamannya. "Takeo memiliki banyak keahlian dan memiliki pengikut yang setia. Separuh dari ksatria muda Klan Otori telah menyeberangi perbatasan untuk bergabung dengannya di Terayama." "Jika dia dan Kaede jadi menikah, dan aku yakin mereka akan menikah," ujar Shizuka, Jika Kikuta tahu peranku di balik semua peristiwa ini, mereka akan membunuhku. Arai akan marah besar. Perlu lebih dari catatan Shigeru untuk bisa membuat Arai tenang." "Yah, kau mengenal Arai lebih baik dari siapa pun. Masih ada juga pertanyaan tentang kedua putranya dan juga tentang kau. Aku tak mengatakan kalau ayah mereka hendak membunuhmu, tapi cepat atau lambat mereka akan tahu. Itu tidak akan mengganggu Taku, dia benar-benar seorang Tribe, tapi Zenko mengidolakan ayahnya. Ia tidak berbakat seperti Taku, dan dengan banyak alasan lebih baik baginya bila dibesarkan oleh Arai. Adakah kemungkinan untuk itu?" "Aku tidak tahu," sahut Shizuka. "Semakin banyak wilayah yang dia taklukkan, semakin banyak putra yang dia inginkan, kurasa." "Kita harus mengirim seseorang untuk mengetahui reaksinya tentang pernikahan Takeo, Otori, dan juga tentang perasaannya terhadap kedua putranya. Bagaimana dengan Kondo? Bisakah aku mengirim dia?" "Mengapa tidak?" sahut Shizuka, dengan rasa lega tertentu. "Kondo sepertinya senang padamu. Apakah kau akan menikah dengannya?" "Dia menginginkannya," sahut Shizuka. "Sudah kukatakan kalau aku harus meminta izinmu lebih dulu. Tapi sebenarnya aku perlu waktu untuk memikirkannya." "Tidak perlu terburu-buru dalam memutuskan," Kenji setuju. "Kau bisa memberi jawaban saat dia kembali." Sorot matanya memancarkan perasaan yang tak dapat Shizuka pahami. "Dan aku bisa memutuskan tindakan apa yang harus diambil." Shizuka tidak menanggapi, tapi dia memperhatikan wajah Kenji di bawah sinar lampu, mencoba mengerti semua potongan informasi yang pamannya sampaikan, berusaha menguraikan yang terucap maupun yang tak terucap. Shizuka merasakan kalau pamannya senang bisa berbagi keprihatinan dan menebak kalau pamannya belum mengatakan itu kepada orang lain, bahkan tidak pada orangtuanya sendiri. Shizuka menyadari betapa besar rasa sayang pamannya pada Shigeru juga pada Takeo, dan bisa membayangkan konflik batin yang dia alami karena harus bekerjasama untuk membunuh Takeo. Belum pernah Shizuka tahu kalau pamannya, atau anggota Tribe lainnya, dapat bicara terbuka mengenai pertentangan di antara para ketua. Bila keluarga Muto dan Kikuta bertengkar, dapatkah Tribe bertahan? Bagi Shizuka hal itu nampak jauh lebih berbahaya daripada apa yang mungkin dilakukan Arai maupun Takeo. "Di mana anak perempuan paman sekarang ini?" tanya Shizuka. "Setahuku, dia berada di desa rahasia Kikuta di utara Matsue." Kenji berhenti sejenak lalu berkata pelan, dia seperti sangat tersiksa, "Yuki sudah menikah dengan Akio di awal tahun ini." "Menikah dengan Akio?" Shizuka tidak tahan untuk tidak berteriak. "Ya, anakku yang malang. Kikuta memaksa dan aku tidak punya alasan untuk menolak. Perjodohan mereka memang sudah dibicarakan sejak mereka masih kecil. Lagi pula aku tidak punya alasan yang masuk akal untuk tidak merestui. Istriku tidak sependapat. Dia justru sangat mendukung, apalagi Yuki sudah lebih dulu hamil." Shizuka terperanjat. "Mengandung anak Akio?" Kenji menggelengkan kepala. Shizuka belum pernah melihat pamannya tak mampu bicara seperti ini. "Apakah Takeo?" Kenji mengangguk. Sinar lampu berkelap-kelip; rumah sunyi-senyap. Shizuka tak tahu bagaimana harus bereaksi atas cerita pamannya. Ia hanya memikirkan anak Kaede yang telah mati. Shizuka seakan mendengar pertanyaan yang Kaede ajukan padanya di taman di Shirakawa, Apakah mereka akan mengambil anakku seperti mereka mengambil Takeo? Bahwa Tribe akan mengambil anak Takeo tampak seperti sesuatu yang melawan takdir, kejamnya suratan takdir membuat manusia tidak mungkin untuk berpaling, atau mengelak darinya. Kenji menghela napas dalam-dalam dan melanjutkan, "Takeo tergila-gila Kaede setelah kejadian di Yamagata, sehingga dia sangat menentang ketua Kikuta dan aku, seperti yang kau duga, aku sangat sedih saat memutuskan untuk menculik Takeo di Inuyama sebelum dia berencana membunuh Iida. Aku telah mengkhianati Shigeru. Aku tak dapat memaafkan diriku karena berperan dalam kematiannya. Bertahun-tahun dia menjadi sahabat terdekatku. Namun, demi persatuan, aku melakukan apa yang Kikuta inginkan dan menyerahkan Takeo kepada mereka. Tapi, ini hanya antara kau dan aku, aku akan sangat senang bila aku mati di Inuyama, jika itu dapat menghapus rasa malu yang kurasakan. Aku belum pernah mengatakan hal ini pada siapa pun." "Sekarang ini Kikuta sedang bergembira karena akan mendapat anak. Yuki mungkin akan melahirkan tujuh bulan lagi. Mereka berharap anak itu akan mewarisi keistimewaan kedua orangtuanya. Mereka menyalahkan didikan Takeo yang salah; mereka bermaksud mengasuh sendiri anak itu sejak lahir-" Kenji berhenti bicara. Keheningan kian menyelimuti ruangan itu. "Katakan sesuatu, keponakanku, meskipun hanya untuk mengatakan kalau aku memang pantas mendapatkannya!" "Aku tak pantas menghakimi semua yang telah paman lakukan," sahut Shizuka dengan suara rendah. "Aku turut prihatin atas semua yang paman alami. Aku terkesima pada cara nasib mempermainkan kita seperti bidak di atas papan catur." "Kau pernah melihat hantu?" "Aku pernah bermimpi tentang Lord Shirakawa," balas Shizuka. Setelah berhenti agak lama, dia menambahkan, "Kau tahu kalau Kondo dan aku yang merenggut nyawanya demi melindungi Kaede dan janinnya." Shizuka mendengar desis napas pamannya, tapi Kenji tidak berkata sepatah kata pun. Setelah beberapa saat, Shizuka melanjutkan, "Saat itu ayahnya sudah gila, dia menganiaya dan hendak membunuh Kaede. Aku ingin menolong Kaede dan anaknya. Namun akhirnya dia juga kehilangan anaknya dan hampir menemui ajal. Aku tak tahu apakah dia ingat apa yang telah kami lakukan, dan aku tak akan ragu melakukan hal yang sama lagi; tapi mungkin karena aku tidak pernah mengatakannya pada siapa pun, bahkan pada Kondo, sehingga hal itu selalu menghantuiku." "Jika itu untuk menyelamatkan Kaede, aku yakin tindakanmu dapat dibenarkan," sahut Kenji. "Saat itu tidak ada waktu untuk berpikir. Kondo dan aku bertindak menurut naluri. Belum pernah aku membunuh laki-laki dengan derajat setinggi itu." "Yah, pengkhianatanku pada Shigeru juga merupakan suatu kejahatan. Dia selalu hadir dalam mimpiku. Aku seakan melihat saat kami mengangkatnya dari sungai. Aku menarik tudung dari wajahnya dan memintanya untuk memaafkanku, tapi dia hanya bicara pada Takeo. Malam demi malam dia hadir dalam mimpiku." Kemudian kesunyian yang panjang datang lagi. "Apa yang paman pikirkan?" bisik Shizuka. "Paman tak akan membuat Tribe terpecah, kan?" "Aku harus melakukan yang terbaik bagi keluarga Muto," sahut Kenji. "Di satu pihak Kikuta menahan putriku dan aku akan segera mempunyai cucu yang sudah jelas menjadi tanggung jawabku. Tapi aku pernah bersumpah pada Takeo saat pertama kali aku bertemu dengannya. Saat itu aku berjanji bahwa selama aku masih hidup dia akan tetap aman. Aku tidak akan membunuhnya. Kini kita terpaksa menunggu dan melihat ke mana dia akan melompat. Kikuta ingin Otori membuat Takeo marah agar terpancing untuk berperang. Mereka memusatkan seluruh perhatiannya di Hagi dan Terayama." Desis napas Kenji keluar dari sela-sela giginya. "Kurasa Ichiro yang malang akan menjadi sasaran pertama mereka. Menurutmu, apa yang Takeo dan Kaede lakukan setelah mereka menikah?" "Kaede yakin kalau dia mewarisi Maruyama," sahut Shizuka. "Menurutku, mereka akan bergerak ke selatan." "Maruyama hanya memiliki sedikit keluarga Tribe," ujar Kenji. "Takeo akan lebih aman di sana daripada di tempat lain." Kenji terdiam, larut dalam pikirannya. Kemudian dia tersenyum tipis. "Kita hanya dapat menyalahkan diri kita atas pernikahan mereka. Kita yang pertemukan mereka; kita bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Roh apa yang telah merasuki diri kita?" Tiba-tiba Shizuka ingat aula tempat latihan di Tsuwano, mendengar denting tongkat kayu, guyuran hujan deras di luar, melihat wajah mereka yang muda dan bersemangat, masa-masa yang penuh dengan kegairahan. "Mungkin kita iba pada mereka. Mereka adalah bidak yang dimanfaatkan dalam satu konspirasi yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan, kemungkinan besar mereka bisa mati sebelum memulai hidupnya." "Mungkin kau benar, mereka memang bidak, namun bidak yang digerakkan oleh tangan takdir," sahut pamannya. "Kondo akan berangkat besok. Aku ingin kau di sini selama musim panas. Senang rasanya berbincang-bincang denganmu tentang semua ini. Aku harus mengambil keputusan penting yang akan mempengaruhi generasi yang akan datang."* LIMA MINGGU-MINGGU pertama di Maruyama dilalui seperti yang Kaede duga, memperbaiki. Kami disambut dengan hangat dan nampaknya dengan sepenuh hati, tapi Maruyama adalah wilayah yang luas dengan pengawal yang secara turun temurun telah menetap di wilayah ini, dan juga ada sekumpulan besar tetua yang sama keras dan konservatifnya dengan orang-orang tua. Reputasi sebagai orang yang membalaskan dendam Lord Shigeru menempatkan diriku pada posisi yang menguntungkan, namun rumor yang selalu muncul yaitu tentang: asal-usulku yang meragukan, tentang ilmu sihir yang kumiliki. Aku mempercayai Sugita, keluarganya serta mereka yang sudah berjuang bersamanya, tapi aku curiga pada banyak yang lainnya, dan mereka pun mencurigaiku. Sugita sangat gembira dengan pernikahan kami dan dia yakin, seperti yang pernah dia katakan pada Kaede, aku dapat menyatukan Tiga Negara dan membawa kedamaian. Tapi sebagian besar tetua lainnya kaget dengan pernikahan kami. Tak seorang pun berani berkomentar di depanku, tapi dari berbagai isyarat dan bisik-bisik yang aku dengar, dapat kusimpulkan kalau pernikahan Kaede dengan Fujiwara yang mereka harapkan. Sebenarnya hal itu tidak menggangguku-aku belum tahu sampai sejauh mana kekuatan dan pengaruh bangsawan itu-tapi seperti semua hal lain yang terjadi di musim panas itu, hal itu membuat inderaku makin peka. Aku harus segera bergerak untuk melawan Hagi; aku harus mengambil alih Otori. Begitu aku berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi hakku dan memiliki pangkalan di Hagi, tak seorang pun akan berani mempertanyakan atau menentangku. Kini aku dan istriku menjadi petani, setiap hari kami berkeliling dengan menunggang kuda bersama Sugita, memeriksa sawah, hutan, penduduk serta sungai, memerintahkan perbaikan, menyingkirkan pohon yang tumbang, membabat dan juga menanam. Tanah diawasi dengan baik dan dibuat sistem pajak yang masuk akal dan adil. Wilayah ini memang kaya, meskipun terbengkalai, dengan penduduk yang mau bekerja keras. Mereka hanya perlu sedikit dorongan semangat untuk kembali pada kegiatan normal dan mendapatkan kemakmuran yang pernah mereka nikmati selama dipimpin Lady Maruyama Naomi. Kastil dan kediaman juga terbengkalai, namun setelah Kaede memerintahkan untuk diperbaiki, kedua tempat itu kembali terlihat cantik seperti di masa Naomi dulu. Tikar-tikar diganti, kasa-kasa dicat ulang, lantai kayu dipoles. Di taman berdiri rumah teh yang dibangun nenek Naomi, seperti yang pernah dia ceritakan saat pertama kali aku bertemu dengannya di Chigawa. Naomi pernah berjanji akan mengundangku minum teh di sini, dan ketika bangunan itu selesai diperbaiki dan Kaede menyiapkan teh, aku merasa kalau janji itu kini telah terpenuhi, meskipun Naomi telah tiada. Aku sadar kalau roh Naomi, dan Shigeru, selalu bersama kami. Seperti yang Kepala Biara katakan saat di Terayama, mereka berdua sepertinya memiliki kesempatan untuk hidup kembali dalam diriku dan Kaede. Kami akan raih impian yang belum berhasil mereka wujudkan. Kami meletakkan sesajian di kuil kecil di dalam kediaman kami, berdoa di depannya setiap hari untuk meminta petunjuk dan pertolongan. Rasa lega yang menyelimuti diriku karena berhasil melaksanakan permintaan terakhir Shigeru, dan Kaede nampak lebih bahagia dari sebelumnya. Seharusnya sekarang ini merupakan saat yang membahagiakan, saat untuk merayakan kemenangan dan melihat negeri dan juga penduduk yang mulai berkembang, tapi aku justru terpaksa untuk melakukan pekerjaan kotor yang sama sekali tak menyenangkan. Sugita berusaha menyakinkan bahwa tidak ada anggota Tribe di dalam kastil, tapi aku lebih tahu karena Shigeru telah mencatat mereka semua, dan aku belum lupa pada orang-orang yang Hi-roshi katakan muncul dengan berpakaian hitam-hitam dan membunuh ayahnya. Kami tak menemukan mayat yang seperti itu di antara para korban di Asagawa. Mereka berhasil lari dari pertempuran dan mungkin kini sedang membuntutiku. Dari para keluarga yang terdaftar dalam catatan itu, sebagian besar adalah keluarga Kuroda dan Imai, dan beberapa saudagar yang lebih kaya di keluarga Muto. Sangat sedikit keluarga Kikuta yang ada di wilayah barat. Meskipun aku percaya pada ramalan bahwa hanya putraku yang akan membunuhku, tapi aku tetap siaga atas setiap bunyi, tidak tidur nyenyak, hanya menyantap makanan yang dimasak atau dibuat dalam pengawasan Manami. Aku tidak mendengar kabar apa pun tentang Yuki dan tidak tahu apakah anaknya sudah lahir atau apakah bayinya laki-laki. Kaede kecewa karena terus mendapat menstruasi selama musim panas, namun aku merasa lega. Aku sangat menginginkan anak dari Kaede, tapi aku takut pada kesulitan yang akan ditimbulkan. Dan apa yang harus kulakukan jika Kaede melahirkan anak laki-laki? Cara menghadapi Tribe adalah masalah yang terus mengasah otakku. Di minggu pertama saat tinggal di kota, aku mengirim pesan kepada keluarga Kikuta dan Muto bahwa aku ingin berunding dan mereka harus menemuiku keesokan harinya. Malam itu ada yang mencoba menerobos masuk ke rumah kami serta mencuri catatan itu. Aku terbangun karena mendengar ada orang di kamar, merasakan bentuk tubuhnya yang hampir tidak terlihat, menantang serta mengejarnya sampai ke gerbang luar, sambil berharap bisa menangkapnya hidup-hidup. Dia kehilangan kekuatan menghilangnya ketika melompati dinding dan dibunuh para penjaga yang ada di balik dinding sebelum sempat aku cegah. Dia berpakaian hitam dan bertato seperti Shintaro, pembunuh bayaran yang mencoba membunuh Shigeru di Hagi. Aku kenali orang ini sebagai keluarga Kuroda. Keesokan hari aku mengirim pasukan ke rumah keluarga Kikuta untuk menangkap semua orang yang ada di sana. Kemudian menunggu untuk melihat siapa yang akan ditunjuk menemuiku. Dua orang tetua Muto datang, cerdik dan licik. Aku beri mereka pilihan: keluar wilayah ini atau menyangkal kesetiaan mereka pada Tribe. Mereka katakan bahwa mereka harus bicara dulu dengan anak-anak mereka. Tak terjadi apa-apa selama dua hari berkutnya; kemudian ada yang memanahku saat aku sedang berkuda bersama Amano dan Sugita di pedesaan terpenciL Shun dan aku sama-sama mendengar bunyi itu dan mengelak dari anak panah; kami memburu si pemanah, berharap akan mendapat informasi darinya, tapi dia bunuh diri dengan minum racun. Mungkin dia adalah orang yang Hiroshi lihat, orang yang menyerang perbatasan, tapi aku tak dapat memastikannya. Kini kesabaranku habis. Kupikir Tribe menyangka aku tak akan tega bersikap kejam pada mereka. Semua orang dewasa di keluarga Kikuta akan kuhukum mati dan malam ini aku mengirim patroli ke lima puluh rumah atau lebih dengan perintah untuk membunuh semua orang, kecuali anak-anak. Aku berharap agar anggota keluarga yang lebih muda tetap hidup, namun Tribe lebih memilih untuk meracuni anak-anaknya ketimbang menyerahkannya padaku. Kedua tetua itu datang lagi, tapi tawaranku telah melewati batas waktu. Satu-satunya pilihan yang mereka miliki adalah antara racun atau pedang. Mereka berdua langsung meminum racun saat itu juga. Beberapa orang Tribe berhasil kabur. Aku tidak punya cukup orang untuk mengejar. Kebanyakan dari mereka duduk berhimpitan, bersembunyi di ruang rahasia seperti yang pernah kulakukan atau mereka bersembunyi di desa-desa di pegunungan. Hanya aku yang tahu tempat persembunyian mereka. Aku tahu semua tentang mereka, dan mereka pernah melatihku. Sebenarnya aku muak dengan kekejamanku, dan aku selalu dihantui rasa takut kalau aku sedang membantai keluarga-keluarga seperti yang terjadi pada keluargaku. Tapi aku tidak punya pilihan dan kurasa aku tidak kejam. Mereka mati dengan cepat; aku tidak menyalib, atau membakar mereka hidup-hidup, atau menggantung mereka dengan kaki di atas. Tujuanku yaitu membasmi kejahatan, bukan meneror penduduk. Itu bukan tindakan yang disukai para ksatria karena mereka mengambil keuntungan dari para saudagar ini. Para ksatria diberi produk kedelai dan sake, meminjam uang dan terkadang demi keuntungan lain, yaitu pembunuhan. Ini semakin menambah ketidakpercayaan mereka padaku. Aku memberi mereka kesibukan dengan menyuruh mereka melatih pasukan serta menjaga perbatasan sementara aku mengawasi pemulihan ekonomi. Aku membuat pukulan besar bagi klas pedagang dengan menyingkirkan bagian-bagian Tribe, tapi aku menyita seluruh harta mereka untuk disalurkan kepada penduduk dengan sistem yang baik. Dua minggu lamanya kami kekurangan bahan-bahan pokok sebelum musim dingin, tapi kemudian kami mengetahui ada sekelompok petani yang muak dengan pemerasan Tribe, dan diam-diam melakukan penyulingan dan fermentasi kedelai dalam skala kecil, mereka pun cukup mengerti tentang prosesnya untuk mengambil alih produksi. Kami beri mereka modal agar dapat memulai usaha di bekas bangunan milik Tribe, dan sebagai gantinya kami mengambil enam puluh dari seratus bagian sebagai dana cadangan daerah. Praktik pertukaran ini ternyata sangat menjanjikan, nampaknya kami hanya perlu mengambil tak lebih dari tiga puluh bagian dari panen padi yang hasilnya membuat kami populer di kalangan petani dan penduduk desa. Aku lalu membagi-bagikan tanah-tanah Tribe serta harta lainnya pada orang-orang yang bergabung denganku sejak di Terayama. Satu komplek perumahan di tepi sungai yang terletak di pedesaan diberikan kepada para gelandangan yang langsung mereka pakai untuk menjemur kulit-kulit kuda yang sudah mati. Aku lega karena kelompok yang telah banyak membantuku kini bisa hidup dengan damai, tapi semua itu justru membuat para tetua semakin curiga padaku. Hampir setiap minggu beberapa prajurit Otori datang untuk bergabung denganku. Pasukan utama Otori yang mcngepungku di Terayama ternyata mengejar hingga ke sungai yang kami seberangi dengan jembatan yang dibuat para gelandangan, dan masih mendirikan kemah di sana, mengawasi jalan-jalan antara Yamagata, Inuyama serta wilayah Barat dan ternyata hal itu membuat Arai cemas. Hampir setiap sore aku menemani Kaede di rumah teh, dan bersama dengan Makoto dan Miyoshi bersaudara, kami mendiskusikan strategi. Aku takut terlalu lama tinggal di satu tempat karena aku akan dikepung Otori dari utara dan Arai di tenggara. Mungkin sekali Arai sudah kembali ke kotanya, Kumamoto, di musim panas. Aku tidak akan sanggup berperang di dua tempat yang terpisah sekaligus. Kami merasa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Kahei dan Gemba menghadap Arai guna berdamai, tidak peduli sesingkat apa pun waktunya. Aku sadar kalau daya tawarku sangat lemah: persekutuan yang singkat dalam melawan Iida, warisan Shigeru, dan catatan tentang Tribe. Di sisi lain, aku telah membuat dia murka saat aku menghilang waktu itu dan dia juga merasa terhina atas pernikahanku. Sejauh yang kutahu, kemarahan Arai pada Tribe telah diredakan oleh kepentingannya. Tak terlintas di benakku untuk berdamai dengan Otori. Aku tak mau bernegosiasi dengan kedua paman Shigerti karena mereka tak akan begitu saja menyerahkan Otori padaku. Klan Otori telah begitu terpecah-belah hingga hampir terjadi perang saudara. Jika aku serang mereka di perbatasan dan menang, mereka pasti akan mundur dan bertahan di Hagi, tempat mereka bisa dengan mudah bertahan hingga musim dingin yang dapat mengalahkan kami. Meskipun wilayah Maruyama sudah pulih, kami tidak memiliki cukup pasukan untuk pengepungan dalam waktu lama dengan jarak yang begitu jauh dari pangkalan utama kami. Aku bisa lolos dari pasukan Otori dengan memanfaatkan para gelandangan yang tak seorang pun mau mendekati mereka. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat menyergap mereka dengan kejutan lainnya lagi. Saat aku memikirkan kota itu, aku seakan dapat melihatnya ter letak di tepi teluk; sangat terlindungi di bagian daratannya, tapi terbuka ke arah laut. Jika aku tak bisa menyerang Hagi melalui darat, bisakah aku serang melalui laut? Pasukan dapat diangkut dengan cepat lewat laut: aku tidak mengenal seorang pun yang memiliki kekuatan semacam itu. Namun sejarah mengajarkan kita kalau ratusan tahun lalu sejumlah besar pasukan berlayar dari tanah daratan dan sebenarnya bisa menang seandainya Delapan Pulau tak ditolong badai yang dikirim dari Surga. Pikiranku terus saja tertuju pada seorang bocah yang menjadi kawanku sewaktu di Hagi, Terada Fumio, yang menyingkir bersama keluarganya ke pulau Oshima. Fumio mengajari aku tentang kapal laut dan berlayar, dia mengajariku berenang, dan dia juga membenci kedua paman Shigeru seperti halnya aku. Maukah dia bersekutu denganku sekarang? Aku tidak pernah menungkapkan gagasan ini secara terbuka pada siapa pun. Tapi pada suatu malam, setelah yang lainnya istirahat, Kaede-yang selalu tahu semua suasana hatiku- berkata, "Kau sedang memikirkan cara lain untuk menyerang Hagi?" "Saat tinggal di sana, aku berteman dengan putra dari keluarga nelayan, Terada. Para pemimpin Otori menaikkan pajak hasil tangkapan para nelayan begitu tinggi sampai mereka tidak mampu membayar. Keluarga Terada akhirnya pindah ke Oshima-pulau di pantai barat laut." "Mereka menjadi bajak laut?" "Mereka dilarang berbelanja ke pasar; mustahil bisa hidup hanya dengan menjala ikan. Aku sedang berpikir untuk mengunjungi mereka. Jika Terada memiliki cukup pasukan dan mau membantuku, kemungkinan Hagi bisa diserang melalui laut. Tapi harus dilakukan tahun ini, dan itu artinya aku harus pergi sebelum badai." "Mengapa harus kau yang pergi?" tanya Kaede. "Kirim saja utusan." "Fumio mungkin akan percaya, tapi kurasa keluarganya tak akan mau bicara dengan orang lain. Sekarang musim hujan telah berlalu, Kahei dan Gemba harus segera pergi ke Inuyama. Aku akan pergi dengan beberapa orang, Makoto dan mungkin Jiro." "Ijinkan aku ikut denganmu," ujar Kaede. Aku memikirkan keruwetan bila melakukan perjalanan dengan Kaede, setidaknya aku terpaksa mengajak satu pelayan perempuan untuk menemaninya, mencari akomodasi yang sesuai.... "Tidak, tetaplah di sini dengan Sugita. Aku tak ingin kita berdua pergi pada waktu bersamaan. Amano juga harus tetap di sini." "Aku berharap bisa menjadi Makoto," ujarnya, "Aku cemburu padanya." "Dia pun cemburu padamu," kataku dengan santai. "Menurutnya, aku menghabiskan terlalu banyak waktu bersamamu. Seorang istri hanya untuk satu hal, yaitu menghasilkan keturunan. Sedangkan untuk yang lainnya, seorang laki-laki harus mencari pada sahabat-nya." Aku hanya menggoda, tapi Kaede menanggapi dengan serius. "Seharusnya aku memberimu seorang anak." Bibirnya terkatup rapat dan aku melihat matanya mulai basah dengan air mata. "Terkadang aku takut tak akan pernah bisa hamil lagi. Seandainya anak kita tidak meninggal." "Kita akan mempunyai anak lagi," ujarku. "Semuanya perempuan, dan mereka semua sama cantiknya seperti ibunya." Aku merangkulnya. Malam terasa hangat, namun kulitnya terasa dingin dan Kaede gemetar. "Jangan pergi," pintanya. "Aku hanya pergi seminggu." Keesokan harinya Miyoshi bersaudara siap-siap berangkat untuk menyampaikan maksudku pada Arai, dan dua hari lagi aku pergi ke pantai bersama Makoto. Kaede masih kesal dan kami berpisah dalam keadaan kurang harmonis. Itu perselisihan pertama kami. Kaede ingin ikut denganku; aku bisa saja membiarkan dia ikut, namun itu tidak kulakukan. Aku tak tahu berapa lama atau seberapa menderitanya perjalanan ini sebelum aku bisa bertemu dengannya lagi. Namun tetap saja aku berkuda dengan riang bersama Makoto, Jiro, serta tiga pengawal. Kami pergi dengan berpakaianakaian biasa agar bisa bergerak dengan leluasa dan tanpa formalitas. Aku senang bisa meninggalkan kastil untuk beberapa saat, juga senang karena bisa mengensampingkan kekejaman yang telah kulakukan selama membasmi Tribe. Musim hujan telah berakhir, kini udara wrasa segar, langit biru cerah. Dalam perjalanan kami melihat kehidupan penduduk mulai makmur. Ladang dan sawah yang menghijau; musim dingin ini, setidaknya, tak seorang pun akan kelaparan. Makoto yang menjadi pendiam dan penyendiri sejak kehadiran Kaede, kini berbincang tentang berbagai hal yang hanya dibicarakan di antara sahabat karib. Makoto adalah laki-laki yang paling kupercaya. Aku membuka hatiku untuknya, dan selain Kaede, hanya dia yang tahu kecemasanku atas serangan kaum Tribe dan juga ketidaksenanganku atas apa yang telah kulakukan untuk membasmi mereka. Satu-satunya hal yang menyakitkan baginya adalah cintaku yang begitu dalam pada Kaede. Mungkin dia cemburu, namun dia berusaha menyembunyikannya; menurutnya tidaklah wajar bagi seorang laki-laki begitu mencintai istrinya. Dia tidak mengatakan itu, tapi dapat kulihat ketidaksetujuan di wajahnya. Dia mengasuh Jiro dengan penuh perhatian dan selalui menyempatkan diri untuk mengajarinya menulis, seni berlatih toya dan tombak. Ternyata Jiro cepat belajar. Nampaknya dia bertambah tinggi dan bertambah gemuk selama musim panas ini, mungkin karena dia sudah mulai makan teratur. Sesekali aku sarankan dia kembali pada keluarganya di Kibi untuk membantu orangtuanya memanen, namun dia memohon agar tetap diijinkan tinggal, dia bersumpah akan melayaniku atau Makoto selama sisa hidupnya. Dia tipe kebanyakan putra petani yang ikut serta untuk berperang bersamaku: cerdik, pemberani dan kuat. Kami mempersenjatai mereka dengan tombak panjang dan memasang perisai dada yang terbuat dari kulit. Membagi mereka menjadi kelompok-kelompok berjumlah dua puluh orang dan setiap kelompok memiliki pemimpin. Siapa pun yang memperlihatkan ketangkasan yang sesuai, kami latih menjadi pemanah. Aku menganggap mereka bagian dari asetku yang paling berharga. Pada sore hari ketiga kami tiba di pesisir. Pantainya tidak sesuram di sekitar wilayah Matsue; seperti di penghujung hari saat musim panas, pantainya nampak sangat indah. Beberapa pulau bertebing curam tiba-tiba muncul dari air laut yang tenang dan berwarna biru tua, hamper berwarna nila. Angin laut menggulung permukaan air menjadi ombak berbentuk laksana bilah pedang. Pulau-pulaunya seperti tak berpenghuni, tak ada yang merusak rimbunnya pepohonan cemara dan cedar. Di kejauhan, di balik kabut, terlihat pulau Oshima. Puncak gunung berapinya tersembunyi di balik awan. Di belakangnya, tidak terlihat, terbentang kota Hagi. "Kurasa itu sarang naganya," ujar Makoto. "Bagaimana kita akan ke sana?" Dari tebing tempat kuda kami berdiri, jalanan menurun ke teluk kecil di mana ada desa nelayan-beberapa gubuk, perahu-perahu yang ditambatkan di bebatuan yang hitam dan kuil untuk menyembah dewa laut. "Kita bisa naik perahu dari sini," kataku dengan ragu, karena tempatnya nampak tidak berpenghuni. Api unggun yang digunakan nelayan untuk mendapatkan garam dari air laut tidak lebih dari tumpukan kayu gelondongan yang hitam gosong. "Aku belum pernah naik perahu," teriak Jiro, "kecuali untuk menyeberangi sungai!" "Aku juga belum pernah," gumam Makoto saat kami menarik tali kekang untuk mengarahkan kuda ke desa. Penduduk desa sudah melihat kedatangan kami dan hngsung bersembunyi. Saat kami mendekati kampung itu, mereka mencoba melarikan diri. Keindahan tempat itu ternyata menipu; aku banyak melihat orang miskin di Tiga Negara, tapi desa ini jauh lebih miskin dan lebih menyedihkan. Pengawalku berlari mengejar orang yang jatuh tersandung, orang itu menggendong seorang anak berumur sekitar dua tahun. Pengawalku dapat menangkapnya dengan mudah. Anaknya meraung-raung sedangkan ayahnya ketakutan. "Kami tidak bermaksud menyakiti atau mengambil apa pun darimu," ujarku. "Aku mencari orang yang bisa memanduku ke Oshima." Orang itu menatapku sekilas, rasa tak percaya nampak di wajahnya. Salah seorang pengawalku menarik tangannya lebih keras. "Jawab bila Yang Mulia bertanya padamu!" "Yang Mulia? Menjadi seorang bangsawan tak akan menyelamatkannya dari Terada. Kalian tahu kami sebut apa Oshima? Pintu neraka." "Neraka atau bukan, aku harus ke sana," sahutku. "Dan aku bersedia membayar." "Apa gunanya uang perak bagi kami?" ujarnya getir. "Jika ada yang tahu aku memiliki uang perak, mereka akan membunuhku lalu mengambilnya. Aku tetap hidup karena aku tak punya apa pun yang pantas dicuri. Para bandit sudah menculik istri dan putri-putriku. Putraku tak bisa mencegah ketika ibunya diculik. Aku merawat lukanya dengan kain compang-camping yang dicelupkan ke air asin. Aku mengunyah ikan dan memberinya makan dari mulutku sendiri seperti burung laut. Aku tidak bisa meninggalkannya untuk pergi bersama Anda, pergi menyerahkan diri ke Oshima." "Kalau begitu cari orang yang bisa mengantarku," ujarku. "Begitu kembali ke Maruyama, kami akan mengirim pasukan untuk menghancurkan para bandit. Wilayah ini telah menjadi milik istriku, Shirakawa Kaede. Kami akan membuat daerah ini aman." "Tidak peduli daerah ini milik siapa, Yang Mulia tak akan pernah kembali dari Oshima." "Ambil anaknya," perintah Makoto kepada pengawal dengan gusar, sambil berkata pada si nelayan, "Anakmu akan mati bila kau membangkang!" "Ambil saja dia!" pekiknya. "Bunuh dia! Memang seharusnya aku sudah bunuh dia dengan tanganku sendiri. Lalu bunuh saja aku agar penderitaanku berakhir." Makoto turun dari kuda untuk mendekati bocah itu. Itocah itu bergelayut di leher ayahnya seperti monyet sambil menangis. "Lepaskan mereka," perintahku sambil turun dari kuda, kemudian memberi tali kekang pada Jiro. "Kita tidak boleh memaksa." Aku mengamati laki-laki itu, berhati-hati agar tatapan kami tidak bertemu; setelah menatapku, kini dia tak berani melihatku lagi. "Makanan apa yang kita punya." Jiro membuka tas di pelana dan mengeluarkan kue tizochi dengan rasa buah plum, dan ikan kering. "Aku ingin bicara denganmu," ujarku pada laki-laki itu. "Maukah kau dan anakmu duduk makan bersamaku?" Dia menelan air liur dengan susah payah, tatapan matanya tertuju ke makanan. Bocah itu menciumi ikannya dan menoleh. Sang ayah mengangguk. "Lepaskan dia," perintahku pada pengawal dan mengambil makanan dari Jiro. Di luar salah satu gubuk ada perahu yang terbalik. "Kita duduk di sana." Aku berjalan dan dia mengikutiku hingga ke perahu itu. Aku duduk dan dia berlutut dekat kakiku, menunduk. Dia menaruh anaknya di atas pasir dan menekan kepala anaknya agar menunduk juga. Bocah itu sudah berhenti menangis, tapi tetap terisak-isak dengan kerasnya. Aku mengeluarkan makanan dan menggumamkan doa pertama Hidden pada makanan itu dengan tetap memperhatikan wajah laki-laki itu. Bibirnya membentuk kata-kata. Dia tidak mengambil makanannya. Anaknya berusaha meraih makanan itu, lalu mulai meraung lagi. Ayahnya berkata, "Jika Anda hendak menjebakku, semoga Sang Rahasia mengampuni Anda." Dia memanjatkan doa yang kedua, kemudian mengambil makanan itu. Membelahnya menjadi beberapa bagian, lalu menyuapi anaknya. "Paling tidak anakku bisa merasakan nasi sebelum dia mati." "Aku tidak berusaha menjebakmu." Aku mengulurkan lagi nasi kepadanya, yang dijejalkan ke dalam mulut. "Aku Otori Takeo, pewaris Klan Otori. Tapi aku besar di antara kaum Hidden dan nama masa kecilku adalah Tomasu." "Semoga Dia memberkati dan menjaga Anda," ujarnya, sambil mengambil ikan dari tanganku. "Bagaimana Anda tahu aku orang Hidden?" "Saat mengatakan kalau seharusnya kau sudah membunuh putramu lalu bunuh diri, kau terlihat seperti sedang berdoa." "Aku sering berdoa pada Sang Rahasia untuk mencabut nyawaku. Tapi Anda tahu bahwa terlarang bagiku untuk bunuh diri atau membunuh." "Kalian semua di sini kaum Hidden?" "Ya, secara turun temurun, sejak guru pertama datang dari tanah daratan. Sebelumnya kami tak teraniaya seperti ini. Perempuan penguasa wilayah ini, yang meninggal tahun lalu, dulunya melindungi kami. Sejak kematiannya, para bandit dan bajak laut menjadi berani dan jumlahnya pun semakin banyak. Mereka tahu kalau kami tidak boleh melawan." Dia membelah sepotong ikan, lalu dia berikan kepada ;inaknya. Sambil menggenggam potongan ikan, bocah itu menatapku. Pinggiran matanya merah, wajahnya kotor dan tercoreng bekas air mata. Tiba-tiba dia tersenyum ceria padaku. "Seperti yang kukatakan, istriku mewarisi daerah ini dari Lady Maruyama. Aku bersumpah padamu kami akan membersihkan daerah ini dari semua bandit dan mengamankannya untukmu. Aku mengenal putra Terada di Hagi dan aku harus bicara padanya." "Ada satu orang yang dapat membantu Anda. Dia tidak punya anak, dan kudengar dia pernah ke Oshima. Akan kucoba untuk mencarinya. Pergilah ke kuil. Para rahib telah lari, jadi tak ada seorang pun di sana, tapi Anda dapat menggunakan bangunannya. Jika orang itu bersedia membantu, dia akan datang malam ini. Butuh waktu setengah hari berlayar ke Oshima dan Anda harus berangkat saat air pasang-pagi atau malam, aku serahkan hal itu padanya." "Kau tak akan menyesal telah membantuku," kataku. Untuk pertama kalinya senyum terpancar di wajahnya. "Yang Mulia mungkin akan menyesal begitu sampai di Oshima." Aku berdiri dan berjalan menjauh. Aku baru berjalan sejauh sepuluh langkah saat dia memanggilku, "Tuan! Lord Otori!" Saat aku menoleh, dia berlari menghampiriku, anaknya berjalan tertatih-tatih di belakangnya, masih menghisap ikan. Dia berkata dengan canggung, "Anda akan membunuh lagi?" "Ya," sahutku, "Aku pernah membunuh dan akan membunuh lagi, meskipun aku dikutuk karena melakukannya." "Semoga Dia mengampunimu," bisiknya. Matahari terik berwarna merah terang mulai tenggelam dan membentuk bayangan di sepanjang bebatuan pantai yang hitam. Burung-burung laut bersahutan dengan suara parau yang memilukan seakan jiwanya telah hilang. Ombak menarik bebatuan dengan helaan yang berat. Kuil sudah rusak, kayunya yang lapuk terbalut lumut, dan bentuk bangunannya aneh. Meskipun malam ini tak berangin dan panasnya menyesakkan dada, tapi deburan ombak tetap diikuti lengkingan jangkrik dan dengungan nyamuk. Kami membiarkan kuda-kuda makan rumput di taman yang tak terawat dan minum dari kolam yang kotor. Di kolam itu tidak ada lagi ikan; seekor katak yang kesepian berkuak dengan sedih dan sesekali terdengar teriakan burung hantu. Jiro menyalakan api unggun, membakar kayu hijau untuk mengusir serangga, dan makan sedikit makanan yang kami bawa, menjatah makanan karena sudah jelas di sini tidak ada makanan. Aku menyuruh pengawal tidur lebih dulu; kami akan bangunkan mereka saat tengah malam. Aku mendengar suara mereka berbisik-bisik selama beberapa saat, namun tak lama kemudian napas mereka menjadi teratur. "Jika orang itu tidak datang, lalu bagaimana?" tanya Makoto. "Dia akan datang," sahutku. Jiro terdiam di pinggir api unggun dengan kepala terkantuk-kantuk. "Berbaringlah," Makoto menyuruhnya, dan saat bocah itu dengan cepatnya tertidur, dia berkata dengan pelan padaku, "Apa yang kau katakan sehingga nelayan itu mau membantu?" "Aku memberi makan anaknya," jawabku. "Terkadang itu saja sudah cukup." "Lebih dari itu. Dia mendengarkan kau bicara seakan kalian bicara dengan bahasa yang sama." Aku mengangkat bahu. "Kita tunggu apakah orang itu akan muncul." Makoto berkata, "Sama seperti gelandangan itu. Dia berani mendekatimu seolah dia berhak atas sesuatu darimu, dan berbicara denganmu seperti orang yang sederajat. Aku ingin membunuhnya atas tingkahnya yang menghina di sungai, tapi kau mendengarkannya dan dia mendengarkanmu." "Jo-An pernah menyelamatkan aku dalam perjalanan ke Terayama." "Kau bahkan tahu namanya," kata Makoto. "Aku belum pernah mengenal nama satu gelandangan pun seumur hidupku." Mataku terasa pedih karena asap api. Aku diam membisu. Belum pernah aku katakan padanya kalau aku lahir dan besar di kalangan kaum Hidden. Aku pernah ceritakan itu pada Kaede, tapi tidak pada orang lain. "Kau pernah bercerita tentang ayahmu," ujar Makoto. "Aku tahu kalau dia memiliki campuran darah Tribe dan Otori. Tapi kau belum pernah menyebut tentang ibumu. Siapa dia sebenarnya?" "Ibuku seorang petani dari Mino. Sebuah desa kecil di pegunungan di seberang Inuyama, di perbatasan Tiga Negara. Tak seorang pun pernah mendengar keberadaan desa itu. Mungkin itu sebabnya aku memiliki ikatan kuat dengan gelandangan dan nelayan." Aku berusaha bicara dengan santai. Aku tidak ingin memikirkan tentang ibuku. Aku telah jauh meninggalkan hidupku dengannya, juga dari kepercayaan yang diajarkan saat aku kecil, sehingga saat memikirkannya membuat aku merasa tidak nyaman. Aku bukan hanya selamat di saat semua penduduk desaku mati, tapi aku tidak lagi mempercayai pada ajaran yang mereka pertahankan sampai mati. Kini aku memiliki tujuan lain-kepentingan lain, kepentingan yang jauh lebih mendesak. "Dulu? Dia sudah meninggal?" Dalam kesunyian, taman yang terbengkalai, asap api unggun, desahan air laut, situasi mulai tegang di antara kami. Dia ingin mengetahui rahasiaku yang paling dalam; aku ingin membuka hatiku padanya. Di saat ini, di saat yang lainnya tidur nyenyak dan hanya kami berdua yang masih terjaga di tempat yang menakutkan ini, mungkin hasrat juga merayap masuk. Aku selalu sadar akan rasa sayangnya padaku; itu sesuatu yang pernah kuandalkan, layaknya kesetiaan Miyoshi bersaudara, layaknya cintaku pada Kaede. Selalu ada Makoto di duniaku. Aku membutuhkannya. Hubungan kami mungkin telah berubah sejak dia menenangkan diriku di Terayama, tapi saat ini aku ingat betapa kesepian dan rapuhnya diriku setelah kematian Shigeru, aku seakan ingin mencurahkan isi hatiku padanya. Api hampir padam sehingga aku sulit melihat wajahnya, tapi aku sadar kalau dia sedang menatapku. Aku ingin tahu apa yang dia curigai. Aku berkata, "Ibuku orang Hidden. Aku besar dengan keyakinan mereka. Ibuku dan seluruh keluargaku, sejauh yang kutahu, mati dibunuh Tohan. Shigeru yang selamatkan aku. Jo-An dan nelayan itu juga orang Hidden. Kami... saling menghargai." Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku melanjutkan, 'Aku percaya kau tidak akan mengatakannya pada orang lain." "Kepala Biara tahu?" "Dia tidak pernah menyebut soal itu, tapi Shigeru mungkin sudah mengatakan padanya. Tapi aku tidak lagi menganut ajaran tersebut. Aku telah melanggar semua larangannya, terutama larangan membunuh." "Tentu saja tidak akan kukatakan pada orang lain karena dapat merusak reputasimu di kalangan ksatria. Sebagian besar dari mereka menganggap Iida benar saat melenyapkan kaum Hidden, dan tidak sedikit yang melakukan hal yang sama. Itu menjelaskan banyak hal tentang dirimu yang tak aku mengerti." "Kau, sebagai ksatria dan biarawan, pengikut Sang Pencerah, pasti membenci Hidden." "Rasa bencinya tidak sebesar kebingungan kami oleh kepercayaan mereka yang misterius. Aku hanya tahu sedikit tentang mereka dan apa yang aku tahu sekarang mungkin merubah pandanganku tentang mereka. Kelak, di saat tenang, kita akan diskusikan masalah ini." Dalam nada bicaranya, aku sadar kalau dia berusaha untuk tetap bersikap rasional, agar tidak menyakiti hatiku. "Hal penting yang ibuku ajarkan yaitu welas asih," ujarku, "Welas asih dan tidak boleh berlaku kejam. Namun sejak saat itu, aku diajarkan untuk melenyapkan rasa welas asih dan juga untuk menjadi kejam." "Semua itu adalah syarat untuk menjadi penguasa dan juga dalam peperangan," sahutnya. "Itu adalah jalan nasib yang membimbing kita. Di biara kami juga diajarkan untuk tidak membunuh, tapi itu hanya dilakukan oleh orang yang sudah tua. Bertarung untuk mempertahankan diri, untuk membalaskan dendam pemimpin, untuk mewujudkan kedamaian serta keadilan bukanlah dosa." "Itulah yang Shigeru ajarkan kepadaku." Keheningan melanda, dan saat itu kupikir dia hendak menenangkan diriku. Tiba-tiba aku merasa ingin sekali berbaring dan dipeluk seseorang. Aku bahkan bergerak sedikit untuk mendekat padanya, tapi dia justru menjauh. Sambil bangkit berdiri, dia berkata, "Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga sebentar, sebelum membangunkan pengawal untuk berganti jaga." Aku tetap berada di dekat api unggun untuk mengusir nyamuk, tapi mereka tetap saja berdengung di sekeliling kepalaku. Gelombang air laut tak henti-hentinya bergemuruh dan kemudian surut di bebatuan. Aku merasa gelisah dengan apa yang telah kuungkapkan, dengan diriku yang tanpa kepercayaan dan dengan apa yang akan Makoto pikirkan tentang diriku sekarang. Layaknya anak kecil, aku ingin sekali dia meyakinkanku kalau hal itu tak akan ada bedanya. Aku merindukan Kaede. Aku takut akan hilang di sarang naga di Oshima dan tak akan pernah bertemu dengan istriku lagi. Akhirnya aku tertidur. Untuk pertama kalinya aku memimpikan ibuku dengan begitu nyata. Ibuku berdiri di hadapanku, di luar rumah kami di Mino. Bisa kucium aroma masakan dan mendengar dentingan kapak ketika ayah tiriku memotong kayu bakar. Dalam mimpi itu aku merasa sangat bahagia dan lega karena ternyata mereka masih hidup. Tapi aku mendengar suara dan aku merasa ada sesuatu yang merayap di tubuhku. Ibuku menatap ke bawah dengan pandangan kosong dan kaget. Aku melihat apa yang ibuku perhatikan, dan ternyata tanah di sekeliling kakiku berwarna hitam oleh segerombolan kepiting dengan capit yang telah terlepas dari punggungnya. Kemudian mulai terdengar jeritan, suara yang kudengar dari kuil lain, jauh di masa lalu, seorang laki-laki dicincang prajurit Tohan. Aku tahu kepiting-kepiting itu akan mencabik-cabik diriku karena aku telah mencabut capit mereka. Aku terbangun dengan ketakutan, berkeringat. Makoto berlutut di sampingku. "lAda yang datang," ujarnya. "Dia hanya mau bicara denganmu." Rasa takut menggelayuti diriku. Aku tak ingin pergi dengan orang asing itu ke Oshima. Aku ingin segera kembali ke Maruyama, kembali pada Kaede. Berharap bisa mengirim orang lain yang mungkin akan langsung dibunuh para bajak laut tanpa sempat menyampaikan pesan. Tapi aku sudah sampai sejauh ini, dan orang yang telah dikirim untuk mengantarku ke Oshima, ke Terada, sudah datang, aku tak bisa kembali. Orang itu berlutut di belakang Makoto. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas di malam yang gelap ini. Dia meminta maaf karena tidak bisa datang lebih awal, dia juga mengatakan bahwa kami belum bisa berangkat karena air laut baru mulai pasang di paruh kedua Waktu Lembu*. Dia nampak lebih muda dari si nelayan yang mengirimkannya padaku, dan cara bicaranya yang halus serta lebih berpendidikan membuatku sulit untuk memposisikannya. Makoto ingin mengirim setidaknya salah satu pengawal untuk menemaniku, tapi penunjuk jalanku menolak untuk membawa orang lain, seraya mengatakan kalau perahunya terlalu kecil. Aku menawarkan uang padanya sebelum kami berangkat, namun dia tertawa dan mengatakan bahwa tak ada gunanya jika diberikan sekarang karena para bajak laut akan segera merampasnya; dia akan ambil bila kami telah kembali, dan jika kami tidak kernbali, akan ada orang lain yang mengambilnya. "Jika Lord Otori tidak kembali, maka tak akan ada pembayaran, yang ada hanyalah pedang," ujar Makoto serius. "Tapi jika aku yang mati, maka pewarisku berhak mendapat kompensasinya," sahutnya. "Itu syaratku." Aku menyanggupi, mengesampingkan kekhawatiran Makoto. Aku ingin segera berangkat untuk menyingkirkan rasa takut yang tersisa dari mimpiku tadi. Kudaku, Shun, meringkik padaku ketika aku pergi bersama orang itu. Aku perintahkan Makoto merawat kudaku itu seumur hidupnya. Aku membawa Jato dan seperti biasa, aku menyembunyikan senjata rahasia Tribe di balik pakaianku. Perahunya dinaikkan hingga ke pasir. Kami tak bicara saat berjalan ke perahu. Aku membantunya mendorong perahu ke laut lalu melompat masuk. Dia mendorongnya lebih jauh sebelurn melompat masuk, mendayung dari huritan. Beberapa saat kemudian aku mengambil alih dayungnya sementara dia menaikkan layar berbentuk persegi kecil yang terbuat dari jerami. Layarnya tampak bersinar kuning saat diterangi cahaya bulan, dan jimatjimat yang diikatkan di tiang kapal bergemerincing ditiup angin pantai, bersarnaan dengan arus gelombang yang membawa kami ke pulau. Malam bermandikan cahaya rembulan, bulan yang hampir penuh memancarkan sinar peraknya di laut yang tenang. Perahu mendendangkan nyanyiannya bersama angin dan ombak, seperti nyanyian yang pernah kudengar saat naik perahu bersama Furnio di Hagi. Kenangan itu menghalau rasa takut akibat mimpiku tadi. Kini bisa kulihat dengan jelas orang yang berdiri di ujung perahu. Wajahnya seperti tidak asing; tapi kurasa kami belurn pernah bertemu. "Siapa narnarnu?" "Ryoma, tuan." "Tidak ada narna lain?" Dia menggeleng dan kupikir dia tak akan bicara lagi. Dia akan mengantarku ke Oshirna; dia tidak harus berbincang-bincang denganku. Aku menguap dan menarik jubahku lebih rapat. Aku berpikir untuk tidur sejenak. Ryoma berkata, "Jika aku punya nama lain, pastinya sama dengan nama Anda." Mataku terbelalak dan tanganku langsung memegang Jato karena aku mengira yang dia maksud adalah Kikutakalau dia seorang pembunuh bayaran. Tapi laki-laki itu tak bergerak dari buritan kapal dan meneruskan bicaranya dengan tenang meskipun dengan nada getir. "Menurut hukum, seharusnya aku boleh menyebut diriku Otori, tapi aku tak pernah diakui oleh ayahku." Riwayatnya adalah cerita yang jamak terjadi. Ibunya pernah menjadi pelayan di Kastil Hagi, dua puluh tahun lalu atau lebih. Ibunya menarik perhatian Lord Otori yang termuda, Masahiro. Ketika diketahui hamil, Masahiro lalu mengatakan bahwa ibunya seorang pelacur dan itu berarti bisa hamil oleh orang lain. Keluarga ibunya tidak punya pilihan kecuali menjual putrinya ke tempat pelacuran; dia menjadi pelacur sehingga kehilangan semua kesempatan bagi pengakuan putranya. Masahiro punya banyak putra yang sah dan tidak tertarik dengan putranya yang lain. "Banyak orang yang mengatakan aku mirip dengannya," ujarnya. Saat itu bintang-bintang telah meredup dan langit memucat. Hari mulai subuh dengan matahari terbit berwarna merah menyala, sama merahnya dengan cahaya matahari tenggelam di malam sebelumnya. Aku sadar, sekarang aku dapat melihatnya dengan jelas, mengapa wajahnya nampak tak asing. Ada ciri Otori di wajahnya, seperti ayahnya: dagu yang tertarik ke belakang dan mata yang menakutkan. "Memang mirip," ujarku, "Jadi kita saudara sepupu." Aku tidak mengatakan pada Ryoma, tapi aku ingat dengan jelas suara Masahiro ketika tanpa sengaja aku mendengar orang itu berkata jika kita harus mengakui semua anak haram kita... Putranya membangkitkan rasa ingin tahuku; aku juga mengalami hal serupa, namun jalan hidup kami agak berbeda. Aku diakui oleh kedua belah pihak, sedangkan tak satu pihak pun yang mengakui dia. "Dan sekarang lihatlah," katanya. "Anda adalah Lord Otori Takeo, diangkat anak oleh Shigeru dan pewaris sah wilayah kekuasaannya, sedangkan aku tak jauh berbeda dengan gelandangan." "Kau tahu sedikit tentang riwayatku?" "Ibuku tahu semua tentang Otori," ujarnya tertawa. "Lagipula, Anda sangat terkenal." Sikapnya aneh, menyenangkan dan juga terasa akrab. Aku menduga dia dibesarkan dengan pengharapan yang tidak realistis serta gambaran-gambaran palsu tentang statusnya, mengatakan tentang kerabatnya, para pemimpin Otori, membuatnya bangga dan tak puas, tidak bisa menghadapi kenyataan dalam hidupnya. "Itukah alasannya kau membanRuku?" "Sebagian. Aku ingin bertemu Anda. Aku pernah bekerja pada keluarga Terada; aku sering ke Oshima. Orang menyebutnya pintu neraka, tapi aku pernah kesana dan masih hidup." Bicaranya terdengar seperti membual, tapi saat dia bicara lagi, nadanya seperti memohon. "Kuharap Anda bisa membalas bantuanku." Dia menatapku. "Anda akan menyerang Hagi?" Aku tidak ingin bicara banyak padanya, takut kalau dia seorang mata-mata. "Kurasa sudah jadi rahasia umum kalau ayahmu dan kakaknya mengkhianati Shigeru dan bersekongkol dengan Iida. Kuanggap merekalah yang bertanggung jawab atas kematiannya." Dia menyeringai. "Itulah yang kuharapkan. Aku juga ingin balas dendam pada mereka." "Pada ayahmu sendiri?" "Aku tak pernah membenci orang sebesar kebencianku padanya," sahutnya. "Keluarga Terada juga membenci Otori. Jika Anda hendak melawan mereka, mungkin Anda bisa mendapatkan sekutu di Oshima." Sepupuku ini bukan orang yang bodoh; dia tahu benar apa tujuanku. "Kau telah mengantarku, aku berhutang padamu," ujarku. "Aku telah berhutang budi pada banyak orang untuk menuntaskan dendam atas kematian Shigeru, dan bila aku menguasai Hagi kelak, akan kubayar semua itu." "Beri aku gelar yang sudah sepantasnya aku terima," ujarnya. "Hanya itu keinginanku." Ketika mendekati pulau, dia mengatakan betapa sering dia ke sana, membawa pesan dan informasi tentang ekspedisi ke tanah daratan atau pengiriman barang seperti perak, sutra dan barang berharga lainnya antarkota di pesisir. "Selama ini keluarga Terada hanya bisa mengganggu Otori," ujarnya, "namun bila bersama Anda, kalian bisa mengalahkan Otori." Aku tidak menyangkal maupun menyetujui ucapannya, tapi aku berusaha mengubah topik pembicaraan, menanyakan tentang si nelayan. "Bila maksud Anda, apakah aku percaya pada ajarannya, tentu jawabannya tidak!" sahutnya. Ketika tatapan mata kami bertemu, dia tertawa. "Tapi ibuku percaya. Ajaran itu tersebar luas di kalangan pelacur. Mungkin hal itu menenangkan bagi mereka yang hidupnya malang. Lagipula, mereka mestinya tahu jika ada yang mempercayai itu, maka semua manusia sama di balik hiasan-hiasan mereka. Aku tidak percaya pada tuhan mana pun atau kehidupan selain kehidupan yang ada sekarang. Tak seorang pun akan dihukum setelah mati. Itu sebabnya aku ingin melihat mereka dihukum sekarang juga." Sinar mentari membakar habis kabut, dan pulau itu mulai nampak jelas, menyembul dari permukaan laut, kabut membumbung keluar dari puncaknya. Buih putih ombak menghantam tebing yang berwarna abu-abu kehitaman. Angin bertiup lebih kencang dan mengantarkan kami meluncur di atas ombak besar. Gelombang pasang dengan cepat berpacu ke arah pul,ju. Perutku terasa mual saat kami meluncur cepat di permukaan ombak besar yang berwarna hijau dan naik ke sisi lain. Aku menatap ke depan, ke arah pulau dengan tebing batunya yang terjal, dan dua kali aku menghela napas panjang. Aku tak ingin mabuk laut saat menghadapi bajak laut. Kemudian kami memutari tanjung dan tiba di tempat yang tidak berangin. Ryoma berteriak kepadaku untuk mengambil alih dayung saat layar perahu berkibar dan melengkung. Dia melepaskan ikatan dan membiarkan layar itu jatuh, kemudian mendayung melewati perairan yang lebih tenang ke pelabuhan yang terlindungi. Pelabuhannya adalah pelabuhan buatan alam yang berada di perairan yang dalam, dengan dinding batu dan bendungan pemecah gelombang yang dibangun di sekelilingnya. Hatiku bersemangat melihat armada kapal laut tertambat di sana, mungkin ada sepuluh atau sebelas kapal, kokoh, aman dan dalam kondisi yang baik, mampu mengangkut lusinan orang. Di setiap sudut pelabuhan ada benteng kayu, dan bisa kulihat orang-orang di dalamnya dari celah untuk menaruh anak panah, panah yang sudah pasti ditujukan ke arahku. Ryoma melambai dan berteriak, dan dua orang muncul dari benteng yang terdekat. Mereka tidak membalas lambaiannya, tapi saat berjalan ke arah kami, salah satu di antaranya mengangguk acuh tak acuh sebagai tanda mereka mengenalnya. Ketika mendekati sisi dermaga, seseorang berteriak, "Hei, Ryoma, siapa penumpang itu?" "Lord Otori Takeo," pekik Ryoma dengan nada suara orang penting. "Benarkah? Kalau begitu dia saudaramu? Kesalahan lain dari ibumu?" Ryoma menarik perahu ke dermaga dengan cukup terampil, kemudian menahannya agar tidak bergoyang saat aku melompat naik ke dermaga. Kedua orang tadi masih tertawa cekikikan. Aku tak ingin memulai keributan, tapi tak akan kubiarkan mereka menghina tanpa diberi pelajaran. "Aku Otori Takeo," kataku. "Bukan kesalahan siapa-siapa. Aku ke sini untuk berbicara dengan Terada Fumio dan ayahnya." "Dan kami berada di sini untuk mencegah orang sepertimu mendekati mereka," ujar penjaga yang berbadan lebih besar. Rambutnya panjang, jenggotnya tebal, dengan codet di wajahnya. Dia mengayunkan pedang di depan wajahku sambil menyeringai. Semuanya terlalu mudah; kesombongan dan kebodohan yang membuat dia mudah tertidur dalam tatapan Kikuta. Kutatap matanya tanpa berkedip, mulutnya menganga, dan seringainya berubah menjadi terperangah kaget ketika bola matanya berputar. Badannya yang besar membuat dia jatuh bak seonggok karung, kepalanya membentur batu. Penjaga yang satu lagi langsung menyerangku dengan pedang, tapi gerakannya tepat seperti yang kuharapkan. Aku memisahkan diri menjadi dua sosok lalu menarik Jato. Saat pedangnya menebas bayangan, kuhantam tangannya, memelintir serta menarik pedangnya dengan paksa hingga lepas dari genggamannya. "Sampaikan pada Terada kalau aku datang," kataku. Ryoma mengencangkan tali perahu lalu berdiri di sisi dermaga. Dia memungut pedang penjaga itu. "Ini Lord Otori, bodoh. Orang yang sering diceritakan itu. Beruntung beliau tidak langsung membunuhmu." Penjaga lain berlarian dari benteng. Mereka semua langsung berlutut. "Maaf, tuan. Aku tidak bermaksud menyerang," si penjaga tergagap, matanya terbelalak begitu melihat apa yang menurutnya ilmu sihir. "Beruntung suasana hatiku sedang baik," ujarku. "Tapi kau telah menghina sepupuku. Kurasa kau harus meminta maaf padanya." Dengan Jato terarah di lehernya, penjaga itu melakukan apa yang kuminta, membuat Ryoma tersenyum menyeringai dengan rasa puas. "Bagaimana dengan Teruo?" ujar si penjaga, menunjuk ke arah rekannya yang tidak sadarkan diri. "Dia tidak terluka. Saat bangun nanti dia akan belajar untuk bersikap lebih sopan. Sekarang, sampaikan pada Terada Fumio kalau aku datang." Dua orang dari mereka bergegas pergi, sementara yang lainnya kembali ke benteng. Aku duduk di dinding dermaga. Seekor kucing jantan dengan warna bulu yang mirip warna tempurung kura-kura yang tertarik menyaksikan seluruh keributan, mendekat lalu mengendus orang yang tergeletak, kemudian melompat ke atas dinding di sampingku dan mulai menjilati bulunya. Itulah kucing tercepat yang pernah kulihat. Para pelaut dikenal sebagai orang yang mempercayai tahayul; tidak diragukan lagi mereka pasti percaya kalau warna bulu kucing itu membawa keberuntungan sehingga mereka memanjakan serta memberinya makan dengan baik. Aku ingin tahu apakah mereka membawa kucing itu dalam pelayarannya. Aku membelai kucing itu sambil melihat-lihat sekeliling. Di belakang pelabuhan terbentang sebuah desa kecil, separuh jalan menanjak ke arah bukit di baliknya ada bangunan kokoh yang terbuat dari kayu, sebagian berupa rumah dan sebagian lagi kastil. Bangunan itu mestinya memiliki pemandangan pesisir yang indah dan langsung mengarah ke kota Hagi. Aku tidak tahan untuk tidak mengagumi posisi dan konstruksi tempat ini, kini aku mengerti mengapa tidak seorang pun mampu memaksa keluar bajak laut dari sarangnya. Aku melihat para penjaga bergegas berjalan mendaki dan mendengar suara mereka saat melaporkan pesanku di gerbang rumah kediaman itu. Kemudian aku mendengar suara Fumio yang agak berat dan lebih dewasa dengan irama yang sama riangnya seperti yang pernah kuingat. Aku berdiri dan berjalan ke ujung dermaga. Kucing itu melompat lalu mengikutiku. Saat itu cukup banyak orang bergerombol, bersikap tidak ramah serta curiga. Tanganku tetap di dekat pedang, dan berharap kehadiran kucing itu bisa meyakinkan mereka. Mereka berdiri memperhatikanku dengan rasa ingin tahu, sebagian besar dari mereka sama tegangnya denganku, sementara Ryoma masih saja sibuk memberitahu mereka mengenai jati.diriku. "Ini Lord Otori Takeo, putra dan pewaris Lord Shigeru. Dia yang membunuh Iida." Sesekali dia menambahkan, seperti berkata pada dirinya sendiri, "Dia memanggilku sepupu." Fumio berjalan menuruni bukit. Aku khawatir apakah dia akan menerimaku atau tidak, tapi ternyata sambutan yang dia berikan sehangat seperti yang kuharapkan. Kami berpelukan layaknya saudara. Dia nampak lebih tua, berkumis dan tubuhnya lebih kekar sehingga bahunya tampak berisi-bahkan dia terlihat sama sehatnya dengan kucing tadi-namun wajah yang riang serta sinar matanya yang lincah tidak berubah. "Kau datang sendiri?" tanyanya, berdiri agak condong ke belakang dan memperhatikan diriku. "Orang ini yang mengantarku." Aku menunjuk Ryoma yang berlutut saat Fumio mendekat. Apa pun yang dia inginkan, dia tahu di mana letak kekuasaan berada. "Aku tidak bisa berlama-lama; kuharap dia akan mengantarku kembali malam ini." "Tunggu Lord Otori di sini," perintah Fumio padanya, dan kemudian, saat kami berjalan menjauh, dia berteriak tanpa menoleh pada para penjaga, "Beri dia makanan." Dan jangan mengganggunya, ingin aku menambahkan, tapi aku takut itu justru membuat dia semakin malu. Kuharap mereka memperlakukan dia dengan lebih baik sekarang, tapi aku meragukannya. Ryoma tipe orang yang memancing cemoohan, dia seperti dikutuk untuk selalu menjadi korban. "Kurasa kau punya maksud tertentu hingga datang kemari," ujar Fumio, melangkah mendaki bukit. Dia tidak pernah kehabisan energi dan stamina. "Setelah mandi dan makan, akan kuajak kau menemui ayahku." Tidak peduli betapa mendesaknya misiku, daya tarik mandi air panas terasa lebih memikat. Rumah yang dikelilingi benteng itu dibangun di sekeliling rangkaian kolam yang airnya berbusa, air yang keluar dari balik bebatuan. Bahkan tanpa penghuninya yang kejam, Oshima, pintu neraka, dengan sendirinya memang tempat yang berbahaya. Gunung berapi mengepulkan asap di atas kami, udaranya beraroma belerang, dan sungai kecil muncul dari permukaan kolam, dengan bebatuan besar yang terkikis air menyembul seperti mayat yang telah membatu. Kami membuka baju dan meluncur masuk ke dalam air panas. Belum pernah aku mandi di air sepanas ini. Kulitku terasa seperti akan terkelupas. Setelah menderita selama beberapa hari, kini sensasinya tak bisa dilukiskan. Airnya membasuh habis kelelahanku setelah berhari-hari menunggang kuda dan tidur yang tidak nyenyak, juga perjalanan semalaman di perahu. Aku tahu semestinya aku tetap waspada-persahabatan masa kecil tidak bisa terlalu diandalkan-tapi jika sekarang ini ada yang membunuhku, maka aku akan mati dengan bahagia. Fumio berkata, "Sesekali kami mendengar kabar tentang dirimu. Kau sangat sibuk sejak terakhir kali kita berjumpa. Aku turut berduka mendengar kematian Lord Shigeru." "Suatu kehilangan yang sangat besar, bukan hanya bagi diriku, tapi juga bagi klan Otori. Aku masih mengejar pembunuhnya." "Bukankah Iida sudah mati?" "Ya, Iida sudah membayarnya dengan kematian, tapi sebenarnya kedua pemimpin Otori yang merencanakan kematian Shigeru dengan menyerahkannya pada Iida." "Kau hendak menghukum mereka? Jika itu maksudmu, kau dapat mengandalkan keluarga Terada." Aku menceritakan secara singkat tentang pernikahanku dengan Kaede, tentang perjalanan kami ke Maruyama, dan pasukan yang ada di bawah komando kami. "Tapi aku harus ke Hagi dan mengambil warisanku karena jika pemimpin Otori tak menyerahkan secara suka rela, maka aku akan ambil secara paksa. Dan aku lebih memilih cara itu agar dapat kuhancurkan mereka." Fumio tersenyum dan menaikkan alisnya. "Kau telah berubah sejak pertama aku mengenalmu." "Aku terpaksa." Kami meninggalkan air panas, berpakaian dan makan di salah satu dari banyak ruang di rumah itu. Ruangan itu seperti gudang harta karun yang terdiri dari berbagai benda berharga nan indah, mungkin semuanya hasil rampasan dari kapal dagang: ukiran yang terbuat dari gading, vas dari batu pualam, kain brokat, mangkuk emas dan perak, serta kulit harimau dan macan tutul. Belum pernah aku di ruangan seperti itu, begitu banyak benda berharga yang dipajang, tapi tak satu pun yang memancarkan kekuatan maupun keanggunan yang biasa ditemukan di kediaman para ksatria. "Kau boleh lihat-lihat," ujar Fumio saat kami selesai makan. "Aku akan pergi untuk bicara dengan ayahku. Jika ada barang yang kau mau, ambil saja. Semua itu milik ayahku, tapi itu tidak berarti baginya." Aku berterima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak bermaksud mengambil apa pun untuk dibawa pulang. Aku duduk tanpa bersuara menunggunya kembali, santai tapi tetap waspada. Sambutan Fumio memang penuh dengan keakraban, namun aku tidak tahu apakah keluarga Terada telah bersekutu dengan pihak lain; aku menyadari kemungkinan mereka telah memiliki perjanjian dengan Kikuta. Aku mendengarkan dengan seksama, mengira-ngira posisi semua orang di dalam rumah itu, mencoba mengenal suara-suara, aksen-lama kemudian baru kusadari jika ini perangkap, maka peluangku untuk lolos sangatlah tipis. Aku datang seorang diri memasuki sarang naga. Aku bisa mendengar Terada-sang naga-kini sedang berada di belakang rumah. Aku mendengar dia memberi perintah, meminta teh, sebuah kipas serta sake. Suaranya berat, penuh energi seperti suara Fumio, sering berkata lembut dan sering juga kasar, tapi terkadang dia berbicara dengan jenaka. Tak terlintas di benakku untuk meremehkan Terada Fumifusa. Dia berhasil keluar dari hierarki keras sistem klan, menentang Otori dan membuat namanya menjadi salah nama yang paling ditakuti di Negara Tengah. Akhirnya Fumio kembali untuk menjemputku dan mengajakku ke bagian belakang rumah, ke ruangan yang nampak seperti sarang burung elang, bertengger tinggi di atas desa dan pelabuhan, menghadap ke arah Hagi. Dari kejauhan dapat kulihat garis yang tak asing bagiku terletak di balik kota. Lautnya tenang dan sunyi, bergarisgaris bak kain sutra, berwarna nila, ombak membentuk rumbai-rumbai keputihan di sekeliling bebatuan. Seekor burung elang melayang di bawahnya. Belum pernah aku berada di ruangan seperti ini. Bahkan lantai atas kastil yang paling tinggi pun tidak setinggi atau seterbuka. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika badai musim gugur datang melaju ke pesisir pantai. Bangunannya dinaungi oleh lekukan pulau; untuk membangun tempat seperti ini, sama saja dengan menyatakan diri sebagai bangsawan. Terada duduk di atas kulit harimau yang menghadap ke arah jendela yang terbuka. Di sampingnya, di atas meja pendek, terdapat peta dan coretan-coretan yang mirip catatan keberangkatan kapal laut, serta sebuah tabung yang tak mirip seruling bambu. Seorang juru tulis berlutut di salah satu ujung meja, tinta batu di hadapannya, kuas di tangannya. Aku membungkuk pada Terada dan menyebut nama serta asal-usulku. Dia balas menunduk dengan sopan. Bila ada orang yang memegang tampuk kekuasaan di tempat ini, tak diragukan lagi dialah orangnya. "Aku banyak mendengar tentangmu dari putraku," ujarnya. "Kau disambut baik di sini." Dia memberi isyarat agar aku masuk dan duduk di sampingnya. Saat aku melangkah masuk, juru tulis membungkuk hingga dahinya menyentuh lantai dan tetap bersikap begitu. "Aku dengar kau mengalahkan salah seorang anak buahku tanpa menyentuhnya sedikit pun. Bagaimana kau melakukannya?" "Dia sering melakukan itu pada anjing, saat kami masih kecil dulu," Fumio menambahkan, sambil duduk bersila di lantai. "Aku memiliki kemampuan seperti itu," ujarku. "Aku tidak bermaksud melukainya." "Kemampuan Tribe?" tanya Terada. Tak diragukan lagi kalau dia pasti pernah memanfaatkan orang Tribe dan tahu benar kemampuan seperti itu. Aku agak mengangguk. Matanya menyipit dan bibirnya mencibir. "Perlihatkan caramu melakukannya." Dia mengulurkan tangan dan memukul kepala juru tulis dengan kipasnya. "Lakukan pada orang ini." "Maaf," ujarku. "Kemampuanku yang rendah ini tidak layak dipertontonkan." "Unnh," gerutunya, sambil menatapku. "Maksudmu kau tidak bisa melakukannya bila diminta?" "Lord Terada benar." Keheningan yang tak nyaman terjadi, kemudian dia tertawa cekikikan. "Fumio telah memperingatkan kalau aku tak bisa memerintahmu seenaknya. Kau bukan hanya mewarisi wajah Otori; tapi kau juga mewarisi sifat keras kepala mereka. Baiklah, sihir juga tidak terlalu berguna untukku-kecuali bila itu semacam senjata yang bisa berguna." Dia mengambil tabung itu dan menaruhnya di depan salah satu mata dan menutup matanya yang satunya lagi, "Ini baru namanya sihir." Dia berkata sambil menyodorkan tabung itu kepadaku. "Bagaimana pendapatmu tentang benda ini?" "Taruh di depan matamu," ujar Fumio sambil menyeringai. Aku memegang dengan hati-hati, mencoba mengendusnya dengan diam-diam, aku takut benda itu telah dibubuhi racun. Fumio tertawa. "Itu tidak berbahaya!" Ketika melihat melalui tabung itu, aku tak mampu untuk tidak terperangah. Kota Hagi yang begitu jauh seakan melompat ke arahku. Aku menjauhkan tabung itu dari mataku dan kini kota itu terlihat seperti semula, samar-samar dan tidak jelas. Keluarga Terada, ayah dan anak, keduanya tertawa kecil. "Benda apa ini?" tanyaku. Benda itu tidak terlihat atau terasa seperti sihir. Benda itu buatan manusia. "Itu sejenis kaca yang dapat membuat benda-benda terlihat lebih besar dan mendekatkan jarak yang jauh," sahut Terada. "Apakah ini berasal dari tanah daratan?" "Kami mengambilnya dari sebuah kapal tanah daratan dan mereka sudah lama mengenal benda seperti ini. Tapi kurasa yang satu ini dibuat di negeri yang jauh, negeri orang barbar di selatan." Dia mencondongkan badan ke depan dan mengambil benda itu dariku, mengintip melalui tabung itu lagi, lalu tersenyum. "Bayangkan negeri dan orang-orang yang bisa membuat benda semacam ini. Kita mengira dunia hanya sebatas Delapan Pulau, tapi terkadang aku pikir kita tidak tahu apa-apa." "Anak buahku melaporkan ada benda yang bisa membunuh dari jarak yang sangat jauh, benda itu terbuat dari timah dan api," ujar Fumio. "Kami sedang berusaha mendapatkannya." Dia menatap keluar jendela, matanya penuh dengan hasrat untuk mencari tahu tentang dunia selain di delapan pulau. Aku menduga dia menganggap pulau ini ibarat penjara. Benda aneh yang ada di hadapanku dan juga senjatasenjata yang dibicarakannya memenuhi benakku dengan semacam firasat. Tingginya ruangan itu, tebing begitu curam dengan bebatuan di bawahnya, kelelahanku, membuat kepalaku pusing selama beberapa saat. Aku mencoba menghela napas dalam-dalam dengan tenang, tapi dapat kurasakan keringat dingin keluar di dahi dan ketiakku. Aku sudah menduga persekutuanku dengan bajak laut akan membuat mereka semakin kuat dan juga membuka jalan bagi mengalirnya hal-hal baru yang akan mengubah masyarakat yang sedang kuperjuangkan. Ruangan hening. Aku mendengar suara lembut orang-orang yang ada di rumah ini, hentakan sayap elang, gemuruh laut di kejauhan, dan orang yang berbicara di pelabuhan. Seorang perempuan sedang bernyanyi pelan sambil menumbuk padi, menyanyikan balada tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada seorang nelayan. Udara nampak berkilauan seperti air laut di bawah sana, seperti sehelai kerudung sutra yang secara perlahan disingkap dari kenyataan. Kenji pernah mengatakan, suatu saat semua orang akan memiliki kemampuan yang saat ini hanya dimiliki Tribe-dan di antara mereka ada yang memiliki kemampuan seperti diriku. Kami akan segera punah, dan kemampuan kami akan segera terlupakan, diambil alih oleh keajaiban teknis seperti yang Terada inginkan. Aku memikirkan peranku dalam membasmi semua kemampuan itu, memikirkan anggota Tribe yang telah kuhancurkan, dan timbul pclnyesalan. Tapi, aku sadar kalau aku akan tetap membuat perjanjian dengan Terada. Aku tak akan mundur sekarang. Dan jika tabung melihat jarak jauh dan senjata-senjata api yang akan membantuku, aku tidak akan ragu sedikit pun untuk menggunakannya. Ruangan itu tenang. Darahku mengalir lagi. Semua terjadi hanya dalam sekejap. Terada berkata, "Kurasa kau hendak mengusulkan sesuatu. Aku ingin mendengarnya." Aku katakan padanya kalau menurutku Hagi hanya bisa ditaklukkan melalui laut. Aku menguraikan rencanaku untuk mengirim separuh pasukanku sebagai umpan untuk menahan kekuatan Otori di tepi sungai, sementara separuh pasukan akan diangkut dengan kapal guna menyerang kastil dari laut. Sebagai imbalannya, aku akan mengembalikan nama baik mereka dan mempertahankan armada kapal perang di bawah perintah mereka. Begitu kedamaian telah tercapai, klan akan membiayai ekspedisi ke tanah daratan untuk bertukar pengalaman serta perdagangan. "Aku tahu kekuatan dan pengaruh keluarga Anda." kataku. 'Aku tidak yakin Anda akan tinggal di Oshima, di sini, selamanya." "Memang benar aku ingin kembali ke kampung halamanku," sahut Terada, "Tapi, seperti yang kau tahu, Otori telah mengambilnya." "Akan kukembalikan kepadamu," janjiku. "Nampaknya kau sangat yakin akan berhasil," serunya, mendengus dengan penuh sukacita. "Rencana ini akan berhasil dengan bantuanmu." "Kapan kau akan menyerang?" Fumio melihatku sekilas, matanya berbinar. "Secepat mungkin. Kecepatan dan kejutan adalah sebagian dari senjata andalanku." "Kami menduga badai pertama bisa datang kapan saja," ujar Terada. "Itu sebabnya semua kapal kami tetap di pelabuhan. Akan tetap begitu selama satu bulan sebelum kami bisa melaut lagi." "Maka kita akan bergerak begitu badai reda." "Kau tidak lebih tua dari putraku," ujarnya. "Apa yang membuatmu berpikir kau bisa memimpin pasukan?" Aku memberi rinci tentang kekuatan, perlengkapan, pangkalan kami di Maruyama, dan juga peperangan yang kami menangkan. Matanya menyipit dan menggerutu, tidak mengatakan sepatah kata pun selama beberapa saat. Aku bisa membaca di wajahnya, ekspresi kehati-hatian dan keinginan untuk balas dendam. Akhirnya dia memukulkan kipasnya ke meja, membuat juru tulis tersentak. Terada membungkuk sangat rendah padaku dan berkata dengan lebih formal. "Lord Otori, aku akan membantumu dan aku akan melihatmu menguasai Hagi. Kami, keluarga Terada, memberikan sumpah setia padamu, dan kapal-kapal serta pasukan kami siap menerima perintahmu." Aku berterima kasih padanya dengan penuh haru. Dia menyuruh dibawakan sake dan kami meminumnya sebagai tanda kesepakatan. Fumio sangat gembira; kelak aku tahu sebabnya, dia mempunyai alasan lain untuk kembali ke Hagi, setidaknya untuk bertemu lagi dengan kekasihnya. Kami makan siang bersama, mendiskusikan strategi. Ketika waktu hampir memasuki paruh kedua di siang itu, Fumio mengajakku ke pelabuhan untuk memperlihatkan kapal-kapalnya. Ryoma sedang menunggu.di dermaga, kucing jantan yang sama duduk di sampingnya. Dia menyapa kami secara berlebihan dan mengikutiku sedekat mungkin nyaris seperti bayanganku, saat kami menaiki kapal yang terdekat dan Fumio membawaku berkeliling untuk melihatnya. Aku terkesan dengan ukuran dan kapasitas kapalnya, juga cara para bajak laut memperkuat kapal dengan dinding dan perisai yang terbuat dari kayu. Kapalnya dilengkapi layar yang sangat lebar dan dayung yang banyak. Rencana yang semula hanya gagasan yang samar tiba-tiba langsung menjadi nyata. Kami menetapkan bahwa Fumio akan mengirim pesan kepada Ryoma begitu cuaca memungkinkan. Aku dan pasukanku akan bergerak ke utara di bulan purnama berikutnya. Kapal-kapal akan menjemput kami di kuil Katte Jinja, dan kemudian membawa kami ke Oshima. Kami akan menyerang kota dan kastil dari sana. "Menjelajahi Hagi di malam hari-seperti dulu lagi," ujar Fumio menyeringai. "Rasa terima kasihku tak akan pernah cukup atas bantuanmu. Pasti kau yang memohon pada ayahmu untuk membantuku." "Aku tak perlu melakukannya; dia bisa melihat semua keuntungan bila bersekutu denganmu dan mengakui dirimu sebagai pewaris klan yang sah. Tapi kurasa dia tak akan setuju bila bukan kau yang kemari, sendirian. Dia terkesan padamu. Dia menyukai keberanian." Sejak awal aku tahu kalau aku harus datang sendiri, tapi itu justru membebani diriku. Begitu banyak yang harus dicapai, dan hanya aku yang mampu melakukannya, hanya aku yang mampu menyatukan semua sekutuku. Fumio ingin aku tinggal lebih lama lagi, tapi saat ini aku justru sedang bersemangat untuk kembali ke Maruyama, untuk memulai persiapan, dengan segala upaya untuk mencegah serangan Arai. Lagipula, aku tak mempercayai cuaca. Udaranya tenang secara tidak wajar dan langit terselubung awan berwarna biru keabu-abuan, agak menghitam di kaki langit. Ryoma berkata, "Jika kita berangkat sekarang, kita akan terbantu lagi oleh air pasang." Fumio dan aku berpelukan di sisi dermaga dan aku menaiki perahu kecil itu. Kami melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan dan bertolak ke laut, membiarkan gelombang pasang membawa kami menjauhi pulau. Ryoma terus menatap langit yang kehitaman dengan gelisah, dan angin mulai bertiup saat kami belum jauh dari Oshima. Beberapa saat angin bertiup kencang, menghempaskan air hujan ke wajah. Kami tak bisa bergerak maju menantang angin hanya dengan dayung, dan layar langsung terenggut saat kami berusaha menaikkannya. Ryoma berteriak, "Kita harus kembali." Aku tidak bisa berdebat meskipun jiwaku terpuruk dalam keputusasaan karena memikirkan akan lebih terlambat pulang. Dia berusaha memutar balik perahu yang ringkih dengan dayung. Semakin lama gelombang semakin tinggi, gelombang hijau besar menghempas, kami seakan jatuh ke jurang yang dalam. Wajah kami sama hijaunya dengan ombak, dan pada hempasan keempat atau kelima kalinya, kami pun muntah di waktu yang bersamaan. Bau muntahan nampak sangat lemah bila dibandingkan dengan besarnya ombak dan angin. Angin topan membawa kami kembali ke arah pelabuhan, dan kami berjuang untuk mengarahkan perahu ke pintu masuk pelabuhan. Semula kupikir kami tak akan pernah sampai; kupikir kekuatan badai itu akan membawa kami ke laut terbuka, tapi dengan adanya tempat bernaung di bagian teduh dari pulau itu menyempatkan kami untuk mengendalikan perahu di balik bendungan laut. Tapi di tempat itu pun kami belum lepas dari bahaya. Gelombang di pelabuhan seperti tong air yang mendidih. Perahu kami terpelanting ke arah dinding, tertarik lagi, dan kemudian terhempas ke dinding dengan hentakan yang membuat mual. Perahu terbalik; aku sadar kalau sedang berjuang di bawah air, melihat permukaan air di atasku, dan berusaha berenang mencapai permukaan. Ryoma berada beberapa kaki dariku. Aku melihat wajahnya, mulutnya terbuka, seolah berteriak minta tolong. Kuraih dan kucengkram pakaiannya lalu menariknya ke atas. Kami berdua naik ke permukaan. Dengan terengah-engah Ryoma menghirup udara dan mulai panik, memukul-mukul permukaan air dengan tangannya, lalu memegang erat leherku sehingga hampir mencekikku. Berat tubuhnya menarikku tenggelam lagi. Aku tak bisa membebaskan diri dari pegangannya. Aku memang bisa menahan napas dalam waktu yang lama, namun cepat atau lambat, bahkan dengan seluruh kemampuan Tribe yang kumiliki, tetap saja aku harus menghirup udara. Jantungku mulai berdenyut kencang dan paru-paruku terasa sakit. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkramannya, mencoba meraih lehernya agar aku dapat melumpuhkannya, agar kami berdua bisa keluar dari air. Aku berpikir jernih, dia sepupuku, bukan putraku, jadi tidak bisa membunuhku. Tapi mungkin saja ramalan itu salah! Aku tidalc percaya akan mati tenggelam. Pandanganku mulai samar, kadang hitam dan dipenuhi sinar putih, dan kepalaku terasa sangat nyeri. Aku ditarik menuju kehidupan berikutnya, pikirku, lalu wajahku keluar dari permukaan air dan menghirup udara dalam-dalam. Dua anak buah Fumio juga ada di air bersama kami, diikat dengan tali yang ditambatkan di dermaga. Mereka berenang mendekat, kemudian menarik rambut kami. Mereka menarik kami ke daratan di atas bebatuan tempat di mana kami muntah lagi, hampir seluruh yang dimuntahkan adalah air asin. Keadaan Ryoma lebih buruk dariku. Layaknya sebagian besar pelaut dan nelayan, dia tidak bisa berenang dan sangat takut tenggelam. Hujan seakan tumpah ruah dari langit, benar-benar melenyapkan garis pantai. Kapal-kapal bajak laut berderit saat terombang-ambing oleh ombak. Fumio berlutut di sampingku. "Jika kau bisa berjalan, kita segera masuk sebelum badai semakin memburuk." Aku bangkit. Tenggorokanku terasa sakit dan mataku pedih, namun aku tidak terluka. Jato dan senjataku yang lain masih ada di ikat pinggangku. Tak ada yang dapat kulakukan dengan cuaca seperti ini, tapi diriku dipenuhi kecemasan. "Berapa lama badainya akan berlangsung?" "Kurasa ini bukan badai yang sebenarnya, mungkin hanya badai lokal. Kurasa besok pagi sudah reda." Tenyata Fumio terlalu optimis. Badai berlangsung selama tiga hari, dan selama dua hari selanjutnya gelombang laut terlalu besar untuk diarungi perahu Ryoma yang kecil. Lagipula perahunya perlu diperbaiki, dan itu perlu waktu empat hari setelah hujan reda. Fumio bermaksud mengantarku dengan menumpang salah satu kapal bajak laut, tapi aku tak ingin terlihat di atas perahu mereka atau pun bersama mereka, aku takut strategiku akan terlihat oleh mata-mata. Aku melewati hari-hari dengan gelisah, memikirkan Makoto-apakah dia akan menunggu, apakah dia akan kembali ke Maruyama, akankah dia meninggalkan aku karena dia sudah tahu aku orang Hidden? Aku bahkan lebih cemas lagi memikirkan Kaede. Aku tidak bermaksud berpisah begitu lama darinya. Fumio dan aku memiliki banyak kesempatan untuk berdiskusi tentang kapal dan navigasi, bertempur di laut, persenjataan para pelaut, dan sebagainya. Kemana pun aku pergi selalu diikuti oleh kucing jantan yang sama ingin tahunya seperti diriku, aku memeriksa semua kapal dan perlengkapan yang mereka miliki dan bahkan lebih terkesan lagi pada kekuatannya. Dan setiap malam, saat di bawah sana terdengar suara pelaut yang sedang berjudi dan perempuan menari dan menyanyi, kami berbincang hingga larut malam dengan ayahnya. Kini aku mulai lebih menghargai kelihaian dan keberanian laki-laki tua itu, dan aku senang dia akan menjadi sekutuku. Bulan sudah hampir penuh ketika akhirnya kami berlayar di lautan yang tenang pada sore menjelang malam untuk memanfaatkan gelombang pasang di malam hari. Ryoma telah pulih setelah insiden kami tenggelam dan atas permintaanku dia diterima di kediaman Terada pada malam terakhir dan kami makan bersamanya. Aku tahu dia tersanjung dan senang akan hal itu. Hembusan angin cukup kencang untuk mengembangkan layar baru yang dibuat bajak laut untuk kami. Mereka juga memberi jimat baru untuk menggantikan jimat lama yang hilang saat perahunya rusak, dan juga patung dewa laut kecil. Menurut mereka, kami berada dalam perlindungan khusus dewa laut. Gemerincing jimat yang tertiup angin mengiringi pelayaran kami, dan saat kami melaju melewati bagian selatan pulau, dari kejauhan terlihat asap hitam dan abu mengepul keluar dari kawah gunung. Lereng pulau terselubung kabut. Aku menatapnya lama, memikirkan tentang penduduk setempat yang menjuluki pulau ini sebagai pintu neraka. Berangsur-angsur kabutnya makin berkurang hingga akhirnya menghilang, sampai kabut ungu sore menghampiri kemudian menyembunyikan pulau itu. Untunglah kami telah melewati separuh perjalanan pulang sebelum malam tiba karena kabut berubah menjadi awan tebal sehingga keadaan benar-benar gelap. Ryoma berganti-ganti obrolan tanpa henti dengan keheningan yang lama. Dan yang dapat kulakukan hanyalah mendengarkan dan bergantian mendayung dengannya. Lama sebelum bentuk samar daratan muncul di depan kami, aku mendengar perubahan irama nyanyian laut, dan hempasan gelombang di bebatuan. Kami menepi tepat di tempat kami berangkat sebelumnya, dan Jiro sedang menunggu di pantai, di dekat api unggun. Dia melompat kegirangan ketika perahu menyentuh pasir dan memeganginya saat aku turun. "Lord Otori! Kami sudah putus asa. Makoto hampir saja kembali ke Maruyama untuk melaporkan bahwa Anda menghilang." "Kami tertahan badai." Aku lega saat melihat mereka masih di sana, mereka tidak meninggalkanku. Ryoma kelelahan, tapi dia tak ingin meninggalkan perahunya, dan dia juga tak ingin tinggal sampai hari siang. Kurasa, terlepas dari bualannya, dia sebenarnya ketakutan; dia ingin pulang ke rumahnya di waktu gelap agar tak seorang pun tahu darimana dia datang. Aku perintahkan Jiro kembali ke kuil untuk mengambil uang perak yang telah kami janjikan dan makanan apa pun yang tersisa. Bila sudah sampai di kastil, kami akan mengirimkan pasukan untuk membersihkan pesisir pantai dari para bandit. Aku meminta Ryoma menunggu kami segera setelah cuaca stabil. Sikapnya menjadi canggung lagi. Kurasa dia menginginkan kepastian janjiku yang tidak mampu kuberikan. Entah mengapa rasanya aku telah membuat dia kecewa. Mungkin dia mengharapkan aku langsung mengakuinya secara sah dan mengajaknya ke Maruyama, namun aku tak ingin terbebani dengan satu tanggungan lagi. Di sisi lain aku tidak mampu membencinya. Aku mengandalkan dia sebagai pembawa pesan dan aku ingin dia tetap tutup mulut. Kucoba mengingatkan pentingnya merahasiakan rencana itu, dan mengisyaratkan kalau masa depannya bergantung pada rencana itu. Dia bersumpah untuk tidak mengatakannya pada siapa pun, lalu mengambil uang dan makanan dari Jiro dengan ekspresi terima kasih yang sedalam-dalamnya. Aku berterima kasih padanya dengan hangat-aku sungguh-sungguh berterima kasih padanyatapi tak dapat menahan diri untuk tidak merasa kalau seorang nelayan biasa akan lebih mudah dihadapi dan lebih mudah dipercaya. Makoto sangat lega saat aku kembali dengan selamat. Ditemani Jiro, kami menuruni jalan kembali dari pantai dan saat kami berjalan ke kuil, aku menceritakan keberhasilan perjalananku, dia mendengarkan semuanya sementara kecipak bunyi dayung Ryoma lambat-laun menghilang dari pendengaran kami di malam yang gelap ini.* Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net ENAM MELIHAT kegembiraan dan harapan wajah mereka, saat Takeo pergi ke pesisir dan Miyoshi bersaudara pergi ke Inuyama, Kaede merasa sakit hati karena ditinggalkan. Hari-hari selanjutnya dia merasa takut dan cemas. Merindukan kehadiran suaminya lebih dari yang bisa dibayangkannya; cemburu pada Makoto yang boleh ikut dengan suaminya sementara ia sendiri tidak boleh; mencemaskan keselamatan tapi juga kesal pada suaminya. Dia lebih mementingkan balas dendam daripada diriku, pikiran itu sering muncul di benak Kaede. Apakah dia menikahiku hanya demi mewujudkan keinginannya untuk balas dendam? Kaede yakin Takeo sangat mencintainya, tapi suaminya itu juga seorang laki-laki, ksatria, dan bila harus memilih, Kaede tahu kalau Takeo akan lebih memilih untuk balas dendam. Aku juga akan melakukan hal serupa jika aku laki-laki, katanya pada dirinya sendiri. Aku bahkan tidak bisa memberinya anak: apa gunanya diriku sebagai perempuan? Mestinya aku dilahirkan sebagai laki-laki. Dapatkah aku bereinkarnasi menjadi laki-laki? Kaede tidak mengungkapkan hal ini pada siapa pun karena is tak mempercayai seorang pun. Sugita dan para tetua yang lain memang sopan, bahkan menyayanginya, namun nampaknya mereka berusaha menjauh. Kaede lalu menyibukkan diri dengan melihat-lihat keadaan rumah, berlcuda dengan Amano, dan menyalin catatan yang Takeo titipkan padanya. Setelah terjadi percobaan pencurian, Kaede merasa perlu membuat salinan catatan itu sebagai tindakan pencegahan sambil berharap dapat memahami keinginan Takeo melawan Tribe dan akibat yang ditimbulkan. Kaede merasa terganggu dengan adanya pembantaian dan banyaknya korban setelah perang Asagawa. Butuh waktu lama untuk membesarkan seseorang, tapi begitu mudahnya mengakhiri hidupnya. Ia takut akan hukuman di kemudian hari, baik dari mereka yang masih hidup maupun dari yang sudah mati. Tapi apa lagi yang bisa Takeo lakukan dengan begitu banyak konspirasi yang bertujuan untuk membunuhnya? Kaede pun pernah membunuh dan memerintahkan membunuh. Apakah kehilangan anaknya adalah hukumannya? Keinginannya berubah; kini ia tergerak untuk melindungi, memelihara, dan menciptakan kehidupan, bukan menghancurkannya. Mungkinkah mempertahankan serta memerintah tanpa kekerasan? Kaede menghabiskan waktu dengan merenungi hal ini. Takeo mengatakan akan kembali dalam seminggu; waktu berlalu, dia belum kembali,, menimbulkan kecemasan di hati Kaede. Banyak rencana dan keputusan yang mesti diambil tentang masa depan wilayah ini, tapi para tetua terns mengelak dan semua usul yang is kemukakan pada Sugita dibalas dengan bungkukan hormat sambil memberi saran untuk menunggu kedatangan suaminya. Dua kali Kaede memanggil para tetua untuk menghadiri pertemuan dewan, tapi satu demi satu mereka meminta ijin pulang dengan alasan kurang sehat. "Luar biasa, semua orang sakit di hari yang sama," ujar Kaede dengan sinis pada Sugita. "Aku tak tahu kalau Maruyama sangatlah tidak sehat bagi orang tua." "Bersabarlah, Lady Kaede," sahut Sugita. "Tak ada keputusan yang perlu diambil sebelum Lord Takeo kembali, dan beliau bisa kembali kapan saja dalam beberapa hari ini. Mungkin beliau mempunyai perintah mendesak; mereka harus siaga menunggu Takeo. Dan yang perlu kita lakukan hanyalah menunggu." Kejengkelan Kaede kian memuncak dengan kenyataan, meskipun ini wilayah kekuasaan miliknya, semua orang hanya tunduk pada Takeo. Takeo memang suaminya, dan ia pun mesti patuh; namun Maruyama dan Shirakawa adalah miliknya, mestinya ia dapat bertindak sesuai keinginannya. Sebagian dirinya masih terguncang karena Takeo memutuskan bersekutu dengan bajak laut. Sama halnya seperti hubungan Takeo dengan para petani dan gelandangan. Ada yang tak wajar dalam hubungan semacam itu. Kaede menduga hal itu pasti karena Takeo lahir dan besar di antara kaum Hidden. Masalah yang Takeo ceritakan membuat ia tertarik sekaligus jijik. Semua aturan klas Kaede mengajarkan bahwa darahnya lebih murni dari darah suaminya dan bila dilihat dari keturunannya, derajat Kaede lebih tinggi dari Takeo. Kaede merasa malu pada dirinya sendiri karena merasa seperti itu dan berusaha menghilangkannya, namun perasaan itu sangat mengganggunya, dan semakin lama Takeo jauh darinya, perasaan itu semakin mendesaknya. "Di mana keponakanmu?" tanya Kaede pada Sugita, ingin menghibur diri. "Suruh dia kemari. Aku ingin melihat orang yang berumur di bawah tiga puluh tahun!" Hiroshi bisa menjadi teman yang baik karena dia juga kesal tidak diajak oleh Takeo. Semula anak itu berharap bisa pergi ke Inuyama bersama Kahei dan Gemba. "Mereka bahkan tidak tahu jalan ke sana," gerutu Hiroshi. "Mestinya aku yang menunjukkan jalan, tapi aku malah harus tinggal di sini dan belajar dengan pamanku. Jiro saja boleh ikut dengan Lord Otori." "Jiro jauh lebih tua darimu," ujar Kaede. "Hanya beda lima tahun. Dan sebenarnya dialah yang harus belajar. Aku sudah mengenal jauh lebih banyak dokumen daripada dia." "Itu karena kau mulai belajar lebih dulu. Jangan pernah menghina orang karena mereka tidak memiliki kesempatan yang sama sepertimu." Kaede mengamati Hiroshi; perawakannya agak kecil untuk anak seumurnya, tapi dia kuat dan segalanya serba seimbang; dia akan menjadi laki-laki tampan. "Usiamu hampir sama dengan adikku," ujar Kaede. "Wajahnya seperti Anda?" "Banyak orang bilang begitu, tapi kurasa dia lebih cantik." "Itu tidak mungkin," sahut Hiroshi cepat, membuat Kaede tertawa. Wajah Hiroshi bersemu merah. "Semua orang bilang kalau Lady Otori adalah perempuan tercantik di seluruh penjuru Tiga Negara." "Apanya yang cantik?" sahut Kaede keras. "Di ibukota, di istana kaisar, banyak sekali perempuan cantik sehingga membuat para laki-laki menjadi layu saat melihatnya. Mereka tidak boleh keluar ruangan karena jika mereka keluar, seluruh penghuni istana bisa buta." "Bagaimana dengan suami mereka?" tanyanya ragu. "Mereka harus memakai kain penutup mata," Kaede menggoda Hiroshi, kemudian melempar sehelai kain yang tergeletak di sampingnya ke kepala Hiroshi. Kaede mempermainkan bocah itu selama beberapa saat, kemudian Hiroshi berkelit melepaskan diri. Kaede melihat Hiroshi jengkel; ia memperlakukan bocah ini seperti anak kecil, sedangkan dia ingin diperlakukan seperti laki-laki dewasa. "Anak perempuan memang beruntung, mereka tidak harus belajar," ujarnya. "Kedua adikku sangat senang belajar, begitu juga aku. Perempuan juga harus belajar baca tulis seperti halnya laki-laki. Dengan begitu mereka bisa membantu suaminya, seperti aku membantu suamiku." "Kebanyakan orang memiliki juru tulis untuk melakukan hal semacam itu, terutama jika mereka tidak bisa menulis." "Suamiku bisa menulis," sahut Kaede dengan cepat, "tapi seperti Jiro, dia mulai belajar saat usianya lebih tua darimu." Hiroshi nampak ketakutan. "Bukan maksudku hendak menjelek-jelekkan beliau! Lord Otori pernah menyelamatkanku dan membalaskan dendam atas kematian ayahku. Aku sangat berutang budi padanya, tapi.... " "Tapi apa?" desak Kaede, cemas karena melihat sekilas tanda ketidaksetiaan. "Aku hanya mengatakan padamu apa yang orangorang katakan," ujar Hiroshi. "Mereka mengatakan kalau Lord Otori itu aneh. Beliau bergaul dengan gelandangan; serta mengijinkan petani ikut bertempur; juga memulai menentang para pedagang tanpa seorang pun tahu tujuannya. Mereka bilang beliau tidak dibesarkan sebagai ksatria dan mereka ingin tahu bagaimana beliau dibesarkan." "Siapa yang mengatakan itu? Penduduk kota?" "Bukan, orang-orang seperti keluargaku." "Prajurit Maruyama?" "Ya, dan ada juga yang mengatakan beliau penyihir." Kaede tidak terlalu kaget; hal-hal semacam inilah yang membuat ia mencemaskan Takeo; namun ia gusar karena prajuritnya ternyata tidak setia pada suaminya. "Mungkin Takeo dibesarkan secara kurang wajar," ujar Kaede, "tapi dia adalah orang Otori bila dirunut dari keturunan dan pengakuan sebagai anak Lord Shigeru., sama halnya dengan menjadi suamiku." Kaede akan mencari tahu siapa yang mengatakan itu agar dapat dibungkam. "Kau harus menjadi mata-mataku," kata Kaede pada Hiroshi. "Laporkan kepadaku siapa pun yang memperlihatkan tanda-tanda ketidaksetiaan." Sejak itu Hiroshi datang kepadanya setiap hari, mencurahkan segala yang telah dia amati, serta mengatakan apa yang dia dengar di kalangan ksatria. Bukan sesuatu yang pasti, hanya bisik-bisik, terkadang lelucon, mungkin sekadar obrolan tak berguna antara anggota pasukan yang sedang menganggur. Kaede memutuskan kalau ia tidak akan bertindak apa pun sebelum Takeo kembali. Udara panas mulai datang, terlalu panas dan pengap mntuk berkuda. Karena tak dapat mengambil keputusan apa pun sampai Takeo kembali, dan karena setiap hari menunggu, Kaede menghabiskan waktu dengan berlutut di depan meja tulis berpernis, menyalin catatan Tribe. Pintu-pintu dibiarkan terbuka agar hembusan angin masuk ke ruangannya, agar nyanyian serangga yang memekakkan telinga terdengar. Ruangan kesukaan Kaede menghadap ke kolam dan air terjun; di balik warna-warni tanaman azalea, dia bisa melihat rumah teh keperakan yang lekang oleh cuaca. Setiap hari Kaede berjanji pada dirinya untuk membuatkan teh di malam kedatangan Takeo, dan setiap hari pula ia kecewa. Terkadang burung pemakan ikan mendatangi kolam, dan bulunya yang berwarna biru dan jingga untuk sesaat dapat menghibur. Sekali waktu pernah seekor burung bangau hinggap di luar beranda, dan Kaede mengira itu pertanda bahwa suaminya akan datang, tapi tetap saja kekasihnya tak kunjung datang. Kaede tidak mengijinkan seorang pun melihat apa yang ia tulis karena menyadari pentingnya catatan itu. Takjub dengan apa yang berhasil Shigeru singkap, dan ingin mengetahui apakah ada mata-mata Tribe di kastil. Kaede menyembunyikan catatan yang ash dan salinannya di tempat berbeda setiap hari, dan berusaha sedapat mungkin mengingat tempatnya. Ia pun menjadi terobsesi dengan gagasan jaringan kerja rahasia, memperhatikan tanda-tandanya di mana saja, dan tidak mempercayai siapa pun. Luasnya jaringan Tribe membuat ia ketakutan; ia tak melihat kemungkinan Takeo bisa lolos dari mereka. Lalu pikiran itu memenuhi benaknya, membayangkan mereka berhasil mengejar suaminya, dan Takeo tergeletak mati di suatu tempat, dan ia tak akan bertemu dengannya lagi. Takeo benar, pikirnya. Mereka semua harus dibunuh, mereka harus dibasmi sampai ke akarnya, karena mereka ingin menghancurkannya. Dan jika mereka menghancurkan Takeo, berarti mereka juga menghancurkan diriku. Wajah Shizuka dan Kenji sering muncul di benaknya. Kaede menyesali kepercayaan yang telah ia berikan pada Shizuka dan ingin tahu sudah berapa banyak kehidupannya yang telah diungkapkan sahabatnya itu pada anggota Tribe lainnya. Selama ini ia mengira Shizuka dan Kenji menyayanginya; apakah semua rasa sayang itu hanya pura-pura? Mereka nyaris tewas bersama di Kastil Inuyama; apakah itu tidak ada artinya? Kaede merasa dikhianati Shizuka, meskipun ia juga merindukannya serta berharap memiliki orang seperti Shizuka, orang tempat ia mencurahkan isi hatinya. Kecewa karena menstruasi lagi, Kaede lalu mengurung diri selama seminggu. Bahkan Hiroshi pun tidak boleh mengunjunginya. Ketika menstruasinya selesai, selesai pula ia membuat salinan catatan itu, dan ini membuatnya semakin gelisah. Berakhirnya Festival of the Death membuat Kaede bersedih dan berduka atas orang-orang yang telah tiada. Pekerjaan di rumah yang ia lakukan selama musim panas telah selesai, dan ruangan-ruangan tampak indah, namun terasa hampa, seperti tidak berpenghuni. Di suatu pagi, ketika Hiroshi bertanya, "Mengapa adik perempuan Anda tidak kesini?" tiba-tiba hatinya terdorong untuk berkata, "Kau mau pergi berkuda denganku untuk iiienjemput mereka?" Sudah seminggu langit gelap, seolah akan datang badai, namun tiba-tiba cuaca berubah cerah dan udara pengap agak berkurang. Udara malam lebih dingin dan nampaknya sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan. Sugita berusaha mencegah, bahkan para tetua yang tindakan mereka sukar dipahami pun datang satu demi satu untuk menentang rencananya, tapi Kaede mengacuhkan mereka semua. Shirakawa hanya berjarak dua atau tiga hari perjalanan. Jika Takeo pulang lebih dulu, dia bisa menyusul. Rencana perjalanan ini bisa membuatnya tak lagi kesal. "Kita akan mengirim orang untuk menjemput adikadikmu," ujar Sugita. "Itu gagasan yang bagus; mestinya sudah kupikirkan itu. Aku yang akan jemput mereka." "Aku ingin melihat rumahku," sahut Kaede. Gagasan itu memenuhi benaknya, dan Kaede tak mampu menyingkirkannya. "Aku belum bicara dengan anak buahku sejak aku menikah. Seharusnya aku sudah pergi bermingguminggu lalu. Aku harus memeriksa wilayahku dan melihat panen yang sebentar lagi akan tiba." Kaede tidak mengatakan pada Sugita kalau ia punya alasan lain dalam perjalanan ini, satu hal yang terpendam di benaknya selama musim panas. Ia ingin ke gua suci Shirakawa, meminum air sungainya, serta berdoa pada dewi agar dikaruniai seorang anak. "Aku hanya pergi beberapa hari." "Kurasa Takeo tidak akan setuju." "Dia mempercayai penilaianku atas semua hal," sahut Kaede. "Lagipula, bukankah Lady Maruyama Naomi sering bepergian?" Karena Sugita terbiasa menerima perintah dari seorang perempuan, Kaede mampu mengatasi kekhawatiran Sugita. Kaede memilih Amano untuk pergi bersamanya dan sedikit anggota pasukan yang telah mendampinginya sejak ia ke Terayama di musim semi. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Kaede memutuskan untuk tidak mengajak Manami. Dia ingin pergi cepat, menunggang kuda, tanpa formalitas yang harus ditanggungnya jika pergi secara terang-terangan. Manami memohon dan merajuk agar diajak, tapi Kaede tetap pada pendiriannya. Kaede menunggang Raku, dia bahkan menolak untuk membawa tandu. Sebelum pergi ia telah merencanakan untuk menyembunyikan salinan catatan Tribe di bawah lantai rumah teh, tapi tanda-tanda ketidaksetiaan masih membuatnya cemas, dan akhirnya dia membatalkan niatnya. Kaede memutuskan untuk membawa catatan yang asli dan salinannya, sambil memikirkan tempat menyembunyikannya di rumahnya di Shirakawa. Setelah memohon dan mengiba, Hiroshi akhirnya diijinkan ikut dan Kaede memintanya berjanji untuk selalu mengawasi kotak itu selama di perjalanan. Sesaat sebelum berangkat, Kaede mengambil pedang pemberian Takeo. Amano berhasil membujuk Hiroshi untuk tidak membawa pedang ayahnya, tapi bocah itu membawa sebilah belati dan panah serta seekor kuda putih kelabu kecil pemarah, yang tidak henti-hentinya membuat anggota pasukan terhibur dengan tingkahnya. Kuda itu dua kali berputar-putar dan melompat kesana-kemari, berjalan ke rumah, sampai bocah itu berhasil mengendalikannya kemudian bergabung bersama pasukan dengan wajah yang membiru karena marah. "Kuda yang tampan, tapi belum berpengalaman," ujar Amano. "Dan kau membuat dia tegang. Jangan berpegangan terlalu kuat. Santai saja." Amano menuntun Hidroshi berkuda di sampingnya; kuda itu mulai tenang dan tidak membuat masalah lagi. Kaede sangat senang berada di jalan. Seperti yang ia harapkan, perjalanan itu membuatnya tak lagi memikirkan hal-hal yang menyedihkan. Anggota pengawalnya riang gembira dengan harapan bisa pulang untuk bertemu keluarga yang telah mereka tinggalkan selama berbulanbulan. Hiroshi adalah teman seperjalanan yang baik, sarat dengan informasi tentang daerah yang mereka lewati. "Kuharap ayahku mengajariku sebanyak yang diajarkan ayahmu," ujar Kaede, terkesan dengan semua yang Hiroshi ketahui. "Saat seusiamu, aku menjadi sandera di kastil Noguchi." "Ayah selalu menyuruhku belajar. Beliau tidak membiarkan aku menyia-nyiakan waktu." "Hidup itu sangat pendek dan rapuh," ujar Kaede. "Mungkin dia sadar kalau dia tak akan sempat melihatmu dewasa." Hiroshi mengangguk dan terus berjalan tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Dia pasti merindukan ayahnya, meskipun dia tidak memperlihatkannya, pikir Kaede merasa iri dengan cara Hiroshi dididik. Aku akan membesarkan anakku dengan cara yang sama; perempuan maupun laki-laki akan aku ajarkan segala hal dan mereka akan belajar menjadi kuat. Di pagi hari ketiga mereka menyeberangi Sungai Shirakawa dan memasuki wilayah keluarga Kaede. Sungainya dangkal dan mudah diseberangi, airnya yang berbusa memutih berputar cepat di antara bebatuan. Tak ada palang penghalang di perbatasan; mereka berada di luar batas daerah yang dikuasai oleh klan-klan besar. Para ksatria di wilayah ini bersekutu dengan Kumamoto atau Maruyama, namun mereka tidak pindah ke kota kastil, lebih memilih tinggal dan berocok tanam di tanah mereka sendiri, sehingga dengan sendirinya hanya membayar pajak dalam jumlah kecil. "Belum pernah aku pergi hingga ke Shirakawa," ujar Hiroshi saat kuda-kuda menyeberangi sungai. "Ini jarak terjauh dari Maruyama yang pernah kulewati." "Kini giliranku yang memandumu," ujar Kaede, dan dengan senang ia menunjukkan tempat penting di wilayahnya. "Nanti akan kuajak kau ke sumber air sungai ini, ke gua-gua yang sangat indah, hanya saja, kau tidak boleh ikut masuk." "Kenapa?" tanya Hiroshi. "Tempat suci itu hanya untuk perempuan. Laki-laki tidak boleh masuk." Kaede bersemangat untuk segera tiba di rumahnya. Selama di perjalanan ia mengamati semua yang dilewati: keadaan tanah, perkembangan panen, kondisi lembu dan anak-anak. Dibandingkan setahun lalu, sewaktu ia pulang dengan Shizuka, banyak hal yang berkembang, tapi masih banyak tanda-tanda kemiskinan. Aku telah mengabaikan mereka, pikir Kaede merasa bersalah. Seharusnya aku pulang lebih cepat. Ia memikirkan perjalanannya yang penuh gejolak ke Terayama di musim semi: ia tampak telah berubah, seperti menjadi orang lain, terpesona. Amano mengirim dua orang berjalan lebih dulu, dan Shoji Kiyoshi, pengawal senior Shirakawa, sedang menunggu kedatangan Kaede di pintu gerbang. Dia memberi salam pada Kaede dengan kaget dan juga, sikap dingin, pikir Kaede. Para pelayan perempuan berbaris di taman, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan kedua adiknya maupun Ayame. Raku meringkik, memutar kepalanya ke arah istal dan padang rumput tempat dia pernah berlarian di musim dingin. Amano menghampiri dan membantu Kaede turun dari kuda. Saat Hiroshi meluncur turun dari kuda putih kelabunya, hewan itu menendang kuda di sebelahnya. "Di mana adik-adikku?" tanya Kaede, tanpa mempedulikan ucapan salam para pelayan. Tak ada yang menjawab. Pohon pengusir serangga di pintu gerbang berderik-derik tiada henti, membuat Kaede semakin jengkel. "Lady Shirakawa.... " Shoji mulai bicara. Kaede memutar badan agar dapat berhadapan dengan Shoji. "Di mana mereka?" "Kami diberitahu... kalau kau menyuruh mereka pergi ke tempat Lord Fujiwara." "Aku tidak pernah mengirimkan perintah semacam itu! Sudah berapa lama mereka di sana?" "Dua bulan," Shoji melihat sekilas ke arah penunggang kuda dan pelayan. "Kita harus bicara empat mata." "Ya, segera," Kaede menyetujui. Seorang pelayan perempuan berlari menghampiri dengan membawa sebaskom air. "Selamat datang, Lady Shirakawa." Kaede membasuh kakinya dan melangkah masuk ke beranda. Perasaan tidak nyaman mulai merayapi sekujur tubuhnya. Kesunyian rumah ini sangat mengerikan. Kaede ingin mendengar suara Hana dan Ai; baru kini ia sadari betapa ia sangat merindukan mereka. Waktu baru lewat tengah hari. Kaede memerintahkan para pelayan menyiapkan makanan untuk para pengawal, memberi minum kuda agar siap bila dibutuhkan. Kaede lalu mengajak Hiroshi ke kamarnya dan menyuruh bocah itu menunggui catatan Tribe saat ia berbicara dengan Shoji. Kaede memerintahkan para pelayan perempuan menyajikan makanan untuk Hiroshi. Kemudian ia pergi ke bekas kamar ayahnya dan memerintah seorang pelayan memanggil Shoji. Sepertinya ada orang yang baru keluar dari kamar itu. Sebuah kuas tergeletak di atas meja tulis. Pasti Hana terus belajar, bahkan setelah Kaede pergi. Kaede ambil kuas itu lalu menatapnya dengan jemu saat Shoji mengetuk pintu. Shoji masuk dan berlutut di hadapan Kaede, meminta maaf. "Kami tidak tahu kalau itu bukan keinginanmu. Kelihatannya seperti perintahmu. Lord Fujiwara yang datang dan berbicara dengan Ai." Kaede bisa merasakan ketidaktulusan suara orang itu. "Mengapa Lord Fujiwara mengundang adik-adikku? Apa yang dia inginkan?" Suara Kaede bergetar. "Kau sering kesana," sahut Shoji. "Tapi semuanya telah berubah!" seru Kaede. "Lord Otori dan aku sudah menikah di Terayama. Kini kami tinggal di Maruyama. Kau pasti sudah mendengarnya." "Kurasa hal itu sulit dipercaya," sahut Shoji. "Karena semua orang mengira kau telah ditunangkan dengan Lord Fujiwara dan akan menikah dengan beliau." "Tak pernah ada pertunangan!" sahut Kaede gusar. "Beraninya kau tidak mengakui pernikahanku!" Kaede melihat rahang Shoji mengeras dan sadar kalau orang itu juga marah. Shoji membungkuk. "Bagaimana kami bisa percaya?" desis Shoji. "Kami mendengar pernikahanmu dilakukan tanpa restu, tak seorang pun anggota keluarga yang hadir. Aku senang Lord Shirakawa telah meninggal. Beliau bunuh diri karena rasa malu akibat ulahmu, tapi setidaknya beliau tidak harus menanggung malu yang baru terjadi ini-" Shoji terdiam. Mereka saling berpandangan, Kaede kaget dengan semburan kata-kata Shoji. Aku harus bunuh dia, pikir Kaede ketakutan. Dia tak boleh menghinaku seperti itu. Tapi aku membutuhkannya: siapa lagi yang bisa mengurus semuanya di sini untukku? Rasa takut merasuki dirinya, ketakutan kalau Shoji akan merebut kekuasaannya, memanfaatkan kemarahan untuk menutupi ambisi dan keserakahannya. Kaede ingin tahu apakah Shoji telah menguasai pasukan yang ia rekrut bersama Kondo di musim dingin lalu. Kaede berharap Kondo ada di sini bersamanya, ia merasa lebih bisa mempercayai orang Tribe daripada pengawal senior ayahnya. Tak seorang pun bisa menolongnya. Sambil berusaha menyembunyikan rasa takut, Kaede terus menatap Shoji sampai orang tua itu menunduk. Shoji berhasil menguasai diri kembali, menyeka air ludah dari mulutnya. "Maaf. Aku telah mengenalmu sejak lahir. Sudah menjadi tugasku untuk mengatakannya, meskipun itu menyakitkan bagiku." "Sekali ini aku memaafkanmu," sahut Kaede. "Tapi justru kau yang mempermalukan ayahku dengan tidak menghormati pewarisnya. Jika kau bicara seperti itu lagi, aku akan memerintahkanmu untuk bunuh diri." "Kau hanyalah seorang perempuan," sahutnya, berusaha menenangkan, namun itu justru semakin membuat Kaede gusar. "Tak seorang pun yang membimbingmu." "Ada suamiku," sahut Kaede cepat. "Tak ada yang bisa kau maupun Lord Fujiwara lakukan untuk mengubahnya. Sekarang datangi dia dan katakan kalau adik-adikku harus segera pulang. Mereka akan ikut denganku ke Maruyama." Shoji segera pergi. Terguncang serta gelisah, Kaede tidak bisa duduk tenang menunggu Shoji kembali. Dia memanggil Hiroshi dan mengajaknya berkeliling rumah juga taman, sementara ia memeriksa semua perbaikan yang telah ia lakukan selama musim gugur. Burung ibis dengan jambul warna-warni sedang mematuk makanan di tepi sawah dan pekikannya seperti membentak saat mereka berdua melewati wilayah burung-burung itu. Kemudian Kaede menyuruh Hiroshi mengambil catatan Tribe, dengan masing-masing membawa satu catatan, mereka berjalan melewati hulu Sungai Shirakawa, atau Sungai Putih, yang sumber airnya muncul dari bawah bukit. Kaede tak akan menyimpan catatan itu di tempat yang dapat Shoji temukan; ia tak akan mempercayakan benda itu pada manusia. la telah memutuskan untuk menitipkannya pada sang dewi. Tempat suci itu, seperti biasa, membuat Kaede tenang, namun atmosfir suci dan tidak lekang waktu lebih mempesonanya ketimbang membangkitkan semangatnya. Di bawah lengkungan pintu masuk gua, sungai mengalir pelan dan tenang di kolam yang dalam dengan air yang berwarna kehijauan, tidak sesuai dengan nama sungainya, dan bebatuan kapur berbentuk melingkar yang memancarkan cahaya layaknya mutiara di keremangan. Sepasang suami-istri yang mengurus kuil menyambut. Meninggalkan Hiroshi bersama pelayan laki-laki, Kaede berjalan dengan pelayan perempuan, masing-masing membawa satu kotak. Lampu dan lilin telah dinyalakan di dalam gua besar, dan bebatuan yang lembab nampak berkilauan. Raungan sungai menenggelamkan semua suara di sekelilingnya. Mereka melangkah di bebatuan dengan hati-hati, melewati jamur raksasa, melewati air terjun yang membeku, melewati tangga-semuanya dibentuk oleh air kapur-hingga mereka tiba di bebatuan yang berbentuk patung dewi dengan air yang menetes layaknya air susu ibu. Kaede berkata, 'Aku harus memohon pada sang dewi agar melindungi benda berharga ini untukku. Sampai aku mengambilnya, kedua benda ini harus tetap di sini selamanya bersama sang dewi." Perempuan tua itu mengangguk dan membungkuk hormat. Di balik batu, dinding guanya telah dilubangi, sangat tinggi di atas permukaan air sungai. Mereka memanjat ke atas bebatuan lalu menaruh catatan itu di dalamnya. Di dalam lubang itu Kaede melihat berbagai benda yang dipersembahkan kepada sang dewi. la ingin tahu cerita apa di balik semua benda itu dan apa yang terjadi dengan para perempuan yang meletakkan semua benda itu di sana. Tercium aroma lembab dan kuno. Sebagian dari benda itu mulai membusuk; bahkan ada yang sudah busuk. Akankah catatan Tribe membusuk di bawah pegunungan ini? Udara yang dingin dan lembab membuat Kaede menggigil. Letika meletakkan kotak itu, tiba-tiba tangannya terasa hampa dan ringan. Kaede merasa kalau sang dewi tahu apa yang ia inginkan-bahwa tangannya yang kosong, rahimnya kosong akan segera terisi. Kaede berlutut di depan batu dan menangkup air kolam yang alirannya berpusat di bagian dasar. Airnya terasa selembut susu. Perempuan tua yang berlutut di belakang Kaede mulai melantunkan doa yang sangat kuno hingga Kaede tidak mengerti kata-katanya, namun lantunan doa itu merasuk dan berbaur dengan keinginannya. Patung berbentuk seperti orang itu tak bermata dan tak berwajah, tapi Kaede seakan dapat merasakan tatapan lembut sang dewi. Ia teringat penampakan dan perkataan sang dewi dalam mimpinya saat di Terayama: Bersabarlah; dia akan datang padamu. Kata-kata itu sempat membuat ia bingung, tapi kemudian ia paham kalau sekarang artinya, dia akan kembali. Tentu saja dia akan pulang. Aku akan bersabar, Kaede bersumpah lagi. Begitu adik-adikku ada di sini, kami akan segera pergi ke Maruyama. Dan ketika Takeo pulang, aku akan hamil. Aku telah melakukan hal yang benar dengan datang kemari. Kunjungan ke gua suci membuatnya merasa sangat kuat hingga sore hari ketika ia ziarah ke makam ayahnya. Hiroshi ikut bersamanya, juga seorang pelayan perempuan, Ayako, yang membawa sesaji berisi buah dan beras serta dupa yang menyala. Abu ayah Kaede dimakamkan di antara makam leluhurnya, para pemimpin Shirakawa. Di bawah naungan pohon cedar yang besar, udara terasa dingin dan suram. Ranting pohon berdesis ditiup angin, membawa serta jeritan jangkrik. Selama bertahun-tahun gempa telah menggeser tiang dan pilar, dan tanahnya terangkat seakan semua mayat di sini berusaha keluar dari makam. Makam ayahnya masih utuh. Kaede mengambil sesaji dari tangan Ayako kemudian menaruhnya di depan batu nisan. Menepukkan tangannya serta membungkuk untuk memberi hormat. Ia takut mendengar atau melihat arwah ayahnya; ia ingin menentramkannya. Ia tak bisa berpikir tenang tentang kematian ayahnya. Ayahnya memang ingin mati, namun tak berani bunuh diri. Shizuka dan Kondo telah membunuhnya: apakah itu pembunuhan? Kaede menyadari andilnya dalam kematian ayahnya, rasa malu yang harus ditanggung ayahnya; apakah kini roh ayahnya akan menuntut balas? Kaede mengambil mangkuk berisi dupa dari Ayako dan membiarkan asapnya melayang di atas makam dan juga di wajah serta tangannya untuk menyucikan dirinya. Kemudian Kaede meletakkan mangkuk itu dan menepuk tangan lagi sebanyak tiga kali. Angin berhenti berhembus, jeritan jangkrik tak terdengar lagi dan bumi terasa bergetar pelan di kakinya. Tanah tempatnya berpijak bergetar. Pohon-pohon bergoyang. "Gempa!" seru Hiroshi di belakang Kaede ketika Ayako berteriak ketakutan. Meskipun hanya gempa kecil, dan tak ada gempa susulan, tapi Ayako gugup dan gelisah selama perjalanan pulang. "Arwah ayah Anda berbicara pada Anda," gumamnya pada Kaede. "Apa yang dikatakannya?" "Beliau menyetujui semua yang kulakukan," sahut Kaede dengan keyakinan yang sama sekali tak ia rasakan. Sebenarnya gempa kecil tadi membuat ia terguncang. Ia takut pada kemarahan ayahnya, merasakan arwah ayahnya yang sakit hati menghancurkan semua yang telah ia alami di gua suci, di bawah kaki sang dewi. "Terpujilah surga," ucap Ayako, lalu bibirnya terkatup rapat dan sepanjang malam terus menatap Kaede dengan rasa gelisah. "Oh ya," tanya Kaede pada Ayako saat mereka makan bersama, "Di mana Sunoda, keponakan Akita?" Pemuda itu datang bersama pamannya musim dingin lalu dan Kaede jadikan dia sebagai tawanan di rumah Shoji. Kaede merasa kalau ia membutuhkan anak itu sekarang. "Dia pulang ke Inuyama," sahut Ayako. "Apa? Shoji telah melepaskan sanderaku?" Kaede tak percaya kalau pengkhianatan Shoji sudah sejauh itu. "Menurut kabar, ayahnya sakit," jelas Ayako. Kepergian sandera itu semakin mengurangi kekuatan Kaede. Hari menjelang malam ketika Kaede mendengar suara Shoji di luar. Hiroshi ikut bersama Amano yang hendak menemui keluarganya dan menginap di sana, dan Kaede sedang menulis di kamar ayahnya, mempelajari catatan tentang tanah miliknya. la bisa melihat banyak tanda-tanda salah urus, dan saat tahu Shoji kembali dari rumah Fujiwara sendirian, kemarahan Kaede memuncak. Ketika Shoji menemui Kaede, Ayako menyajikan teh, tapi Kaede telah kehilangan selera minum teh. "Di mana adik-adikku?" tanya Kaede. Shoji meminum tehnya sebelum menjawab. Dia nampak kepanasan serta kelelahan. "Lord Fujiwara senang kau sudah kembali," sahutnya. "Beliau kirim salam dan meminta Lady Kaede mampir ke rumahnya besok. Beliau akan mengirim tandu dan seorang pendamping." "Aku tidak berniat pergi ke rumahnya," bentak Kaede, berusaha agar tetap sabar. "Kuharap adik-adikku dikembalikan besok agar kami dapat segera ke Maruyama." "Kurasa adik-adikmu tidak ada di sana," sahut Shoji. Detak jantung Kaede langsung berhenti. "Di mana mereka?" "Lord Fujiwara meminta agar Lady Shirakawa jangan panik. Mereka sangat aman dan beliau akan memberitahu di mana mereka saat Lady mengunjunginya besok." "Berani benar kau menyampaikan pesan seperti ini kepadaku?" ia merasa suaranya begitu pelan sehingga ia tidak yakin terdengar oleh Shoji. Shoji memiringkan kepala. "Aku tidak senang mengatakannya. Tapi begitulah yang Lord Fujiwara sampaikan; aku tak bisa menentangnya, kurasa begitu juga lady." "Artinya kedua adikku disandera?" kata Kaede pelan. Shoji tidak langsung menjawab, dia hanya berkata, "Aku akan mempersiapkan perjalananmu besok. Bolehkah aku turut menemani? "Tidak!" pekiknya. "Dan kalau pun harus pergi, aku akan menunggang kuda. Aku tak akan menunggu tandu darinya. Katakan pada Amano kalau aku akan menunggang kuda abu-abuku dan dia harus ikut denganku." Sejenak Kaede berpikir kalau Shoji akan menentang, tapi orang itu membungkuk hormat, mematuhi tanpa protes sedikit pun. Setelah kepergian Shoji, pikiran Kaede kacau-balau. Jika ia tak bisa mempercayai Shoji, siapa lagi laki-laki di wilayah ini yang bisa dipercaya? Apakah ia akan dijebak? Bahkan Fujiwara pun pasti tak akan berani melakukannya. Sekarang ia telah menikah. Sejenak Kaede berpikir untuk secepatnya kembali ke Maruyama; namun setelah dipertimbangkan, ia sadar kalau Ai dan Hana berada di bawah kekuasaan orang lain. Jadi beginilah penderitaan yang harus ibuku dan Lady Naomi alami, pikirnya. Aku harus menemui Fujiwara dan melakukan tawar menawar dengannya demi keselamatan kedua adikku. Dia pernah menolongku. Sekarang dia tak akan berbalik menentangku. Di saat berikutnya, Kaede mulai mencemaskan tentang apa yang harus dia lakukan pada Hiroshi. Perjalanan ini tampak aman; tapi ia tak bisa menahan rasa bersalah karena telah membawa bocah itu dalam bahaya. Haruskah ia pergi menghadap Lord Fujiwara bersama Hiroshi atau mengirim anak itu pulang sesegera mungkin? Kaede bangun pagi-pagi sekali dan menyuruh orang memanggil Amano. Kaede mengenakan pakaian untuk perjalanan sederhana yang pernah ia pakai ke Fujiwara, meskipun ia seakan mendengar suara Shizuka: Jangan muncul di hadapan Lord Fujiwara dengan menunggang kuda layaknya seorang ksatria. Sementara kata hatinya mengatakan agar perjalanan ini ditunda selama beberapa hari, mengirim pesan dan hadiah, lalu melakukan perjalanan dengan tandu dan pengawal yang bangsawan itu kirim, berdandan dengan sempurna, tampil layaknya benda tak bercacat seperti yang bangsawan itu sukai. Shizuka, bahkan Manami, pasti akan menyarankan serupa. Namun ketidaksabaran Kaede tak terbendung lagi. Ia sadar kalau ia tak akan bisa bertahan dengan hanya menunggu dan berpangku tangan. Ia akan menemui Lord Fujiwara, mencari tahu keberadaan kedua adiknya dan juga keinginan bangsawan itu, lalu secepatnya pulang ke Maruyama, kembali pada Takeo. Ketika Amano kembali, Kaede menyuruh para pelayan pergi agar ia dapat bicara berdua, lalu secepatnya menjelaskan situasinya. "Aku harus pergi menemui Lord Fujiwara, tapi jujur aku katakan padamu, aku cemas pada maksud bangsawan itu. Kita mungkin harus secepatnya pergi dan secepatnya kembali ke Maruyama. Bersiaplah untuk itu, dan pastikan pasukan serta kudanya siap." Mata Amano menyipit. "Pastinya tidak akan ada pertempuran, kan?" "Entahlah. Aku takut mereka akan menahanku." "Secara paksa? Tidak mungkin!" "Sepertinya memang tidak mungkin, tapi aku cemas. Apa tujuan dia membawa pergi kedua adikku selain untuk memaksaku?" "Kita harus segera kembali," ujarnya, masih cukup muda untuk tidak gentar pada derajat bangsawan itu. "Biarkan suami Anda yang bicara pada Lord Fujiwara dengan pedang." "Aku takut dengan apa yang akan dia lakukan pada adik-adikku. Setidaknya aku harus tahu di mana mereka berada. Shoji mengatakan bahwa kami tak bisa menentang Fujiwara, dan kurasa dia memang benar. Aku memang harus pergi dan bicara dengannya. Tapi aku tak akan masuk ke rumahnya. Jangan biarkan mereka membawaku masuk ke dalam rumahnya." Amano membungkuk hormat. Kaede melanjutkan, "Haruskah aku menyuruh Hiroshi pulang? Aku tak ingin mengajaknya; aku menanggung beban atas keselamatannya sekarang." "Lebih aman bila jumlah kita banyak," sahut Amano. "Dia harus tetap bersama kita. Lagipula, jika ada masalah, kita bisa minta beberapa pengawal mendampinginya kembali ke Maruyama. Mereka harus melangkahi mayatku sebelum bisa menyakiti Hiroshi maupun Anda." Kaede tersenyum, bersyukur atas kesetiaan Amano. "Kalau begitu jangan membuang-buang waktu lagi, mari kita pergi." Cuaca berubah lagi. Cerahnya langit dan dinginnya udara selama beberapa hari terakhir, kini terasa menyesakkan napas. Udara terasa lembab dan hening, seakan menjadi pertanda akan terjadi badai pada akhir musim panas. Kuda-kuda berkeringat dan gelisah, kuda abu-abu Hiroshi makin gelisah. Kaede ingin memperingatkan Hiroshi tentang kemungkinan bahaya yang menanti, dan memaksa anak itu untuk berjanji tidak akan ikut ambil bagian dalam pertempuran apa pun; tapi kudanya terlalu gugup, dan Amano mengatur agar anak itu berkuda di depan bersamanya. Kaede merasakan keringat mengalir turun di balik pakaiannya. Berharap nantinya tak akan tiba dengan wajah memerah dan basah kuyup karena keringat. Kaede sudah mulai setengah menyesali keputusannya yang terburu-buru. Tapi seperti biasa, menunggang kuda membuatnya merasa lebih kuat. Sebelumnya ia hanya melakukan perjalanan dengan tandu, tanpa pernah bisa menikmati pemandangan di balik tirai sutra yang menutupi pandangannya. Kini ia dapat menyerap indahnya pemandangan, kekayaan ladang dan hutan, pegunungan yang menjulang di kejauhan. Jelaslah mengapa Lord Fujiwara tak ingin meninggalkan tempat seindah ini. Sosok bangsawan itu seakan muncul di depan matanya. Kaede teringat betapa bangsawan itu selalu mengaguminya, dan ia pun yakin orang itu tak akan menyakitinya. Tapi ia tetap merasa cemas. Inikah rasanya berjalan menuju pertempuran, pikirnya, hidup tak tampak lebih indah maupun lebih singkat, direnggut lalu dihempaskan dalam satu helaan napas? Kaede menaruh tangan di pedang yang ada di sabuknya, berusaha menenangkan diri dengan merasakan gagang pedang dalam genggamannya. Mereka hanya beberapa mil dari kediaman Fujiwara ketika melihat debu beterbangan di depannya, dan dari balik kabut berderap langkah para pemikul tandu dan pasukan berkuda yang dikirim Lord Fujiawara untuk menjemput. Pemimpin rombongan itu melihat lambang sunga li perak di pakaian luar Amano dan menarik tali kekang kuda untuk memberi salam. Tatapan matanya menyapu Kaede dari ujung rambut sampai ke ujung kaki lalu otot lehernya menegang saat matanya kembali menatap Kaede dengan penuh keheranan. "Lady Shirakawa," ujarnya terengah-engah, lalu berteriak pada para pemikul tandu, "Turunkan! Turunkan!" Mereka menurunkan tandu lalu berlutut di jalan berdebu. Pasukan berkuda turun dari kudanya dan berdiri menunduk untuk memberi hormat. Mereka terlihat menghormatinya, tapi Kaede segera melihat kalau jumlah pasukan mereka lebih banyak, dua berbanding satu. "Aku hendak mengunjungi Yang Mulia," ujar Kaede. Ia mengenali pengawal itu tapi tak ingat namanya. Dialah yang dulu selalu datang untuk mengawalnya ke tempat Lord Fujiwara. "Namaku Murita," ujarnya. "Bukankah lebih baik jika Lady Shirakawa naik tandu?" "Aku naik kuda saja," sahut Kaede singkat. "Kami sudah hampir sampai." Bibir orang itu terkatup membentuk satu garis tipis. Dia tidak setuju, pikir Kaede, lalu sekilas melihat Amano dan Hiroshi, yang ada di samping orang itu. Wajah Amano tidak menyiratkan ekspresi apa pun, namun darah Hiroshi menggelegak di balik kulitnya. Apakah mereka malu karena perbuatanku? Apakah aku mempermalukan diriku dan mereka? Kaede meluruskan punggungnya dan menghentak Raku agar maju. Murita memerintahkan dua anak buahnya berjalan lebih dulu. Ini membuat Kaede mencemaskan sambutan yang menantinya, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain terus berjalan. Kuda pun merasa cemas. Raku berjalan agak ke tepi, telinganya berdiri tegak, sedangkan kuda tunggangan Hiroshi menggoyang-goyangkan kepala dan menendang-nendang. Jemari Hiroshi yang memegang tali kekang terlihat memutih saat dia berusaha mengendalikannya. Ketika tiba di rumah Fujiwara, gerbang telah dibuka dan penjaga bersenjata berdiri di halaman rumah yang dikelilingi tembok. Amano turun dari kuda dan mendekat untuk membantu Kaede turun dari punggung Raku. "Aku tak akan turun sampai Lord Fujiwara keluar," ujar Kaede tegas. "Aku tidak akan lama." Murita bimbang, tidak ingin menyampaikan pesan seperti itu. "Katakan padanya aku sudah sampai," desak Kaede. "Lady Shirakawa." Murita menunduk lalu turun dari tunggangannya. Di saat yang sama, Mamoru, sang aktor, pelayan Lord Fujiwara, keluar dari rumah kemudian berlutut di hadapan kuda Kaede. "Selamat datang, lady," ujarnya. "Silakan masuk." Kaede takut ia tak akan pernah keluar lagi bila masuk. "Mamoru," sahut Kaede pendek, "Aku tak akan masuk. Aku kemari untuk mencari tahu keberadaan adik-adikku." Mamoru lalu berdiri dan menghampiri sisi kanan kuda Kaede, melangkah di antara Kaede dan Amano. Mamoru, yang jarang menatap Kaede secara langsung, mencoba memandang sekilas ke arah Kaede. "Lady Shirakawa," memulai ucapannya, dan Kaede mendengar sesuatu dalam nada suaranya. "Naik kembali ke kudamu," ujar Kaede pada Amano yang segera mematuhi perintahnya. "Kumohon," ujar Mamoru pelan, "sebaiknya Anda menurut. Kumohon. Demi keselamatan Anda dan juga anak buah Anda, anak itu.... " "Jika Lord Fujiwara tidak keluar untuk bicara padaku dan tidalc mengatakan apa yang ingin kuketahui, berarti aku talc ada urusan lagi di sini." Kaede tidak melihat siapa yang memberi perintah. Ia hanya menyadari selama beberapa saat kalau Mamoru dan Murita saling menatap. "Pergi!" pekik Kaede pada Amano, dan berusaha membelokkan kepala Raku, tapi Murita memegang tali kekang Raku. Kaede condong ke depan, menarik pedang dan memaksa Raku mundur. Raku menggeleng-gelengkan kepala berusaha melepaskan diri dari pegangan Murita lalu berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki belakang dan menghantam dengan kaki depannya. Kaede mengayunkan pedang ke arah Murita dan melihat pedangnya mengiris tangan orang itu. Murita memekik marah sambil menarik pedang. Kaede mengira Murita akan membunuhnya, tapi ternyata tangan orang itu menyambar kekang Raku lagi, memiting kepalanya. Kaede merasakan sesuatu menghempas dan menendang di belakangnya: ternyata kuda Hiroshi yang panik. Mamoru tidak henti-hentinya menarik pakaian Kaede, meneriakkan namanya, memohon Kaede menyerah. Di atas Mamoru, Kaede melihat Amano menarik pedang, tapi belum sempat dia menggunakannya, anak panah menembus dadanya. Kaede melihat mata Amano yang terbelalak, lalu darah mulai keluar bergelembung di tiap tarikan napasnya, dan dia pun jatuh terjerembab. "Tidak!" jerit Kaede. Pada saat bersamaan, dengan kemarahan yang tak terbendung lagi, Murita menikam dada Raku yang tidak terlindung. Kuda itu memekik kesakitan dan ketakutan, darahnya menyembur. Saat Raku terhuyung dengan kaki berayun dan kepala menunduk, Murita menangkap dan menyeret Kaede dari punggung Raku. Sekali lagi Kaede mengayunkan pedang ke Murita, tapi kudanya terjatuh, menariknya ke bawah, sehingga tebasannya tak bertenaga. Murita menyambar pergelangan tangan Kaede dan dengan sekuat tenaga memiting hingga pedang terlepas dari tangan Kaede. Tanpa berkata sepatah kata pun, Murita separuh menyeret, separuh membopong Kaede ke dalam rumah. "Tolong! Tolong!" teriak Kaede sambil berusaha menengok ke arah pasukannya, namun serangan yang terjadi dengan begitu cepat dan kejam itu telah membuat mereka semua mati atau sekarat. "Hiroshi!" pekiknya, mendengar dentuman tapak kaki kuda. Hal terakhir yang dia lihat sebelum Murita membawanya ke dalam adalah kuda putih kelabu itu meloncat-loncat, membawa bocah itu pergi tanpa bisa dikendalikannya. Kejadian itu membuat Kaede agak lega. Murita menggeledah Kaede untuk mencari senjata lain, dan menemukan belati; marah karena lengannya terluka, membuat Murita bersikap kasar. Mamoru berlari di depan mereka untuk membuka pintu saat Murita membawa Kaede ke kamar tamu. Saat dibebaskan, Kaede terjatuh ke lantai, menangis terisak dengan rasa geram dan sedih. "Raku! Raku!" isaknya, berduka seakan ia telah kehilangan anaknya. Ia menangisi Amano dan para pengawalnya yang kini dijemput ajal. Mamoru berlutut di sampingnya, mengoceh, "Maaf, Lady Shirakawa. Anda harus menyerah. Tak seorang pun akan menyakiti Anda. Percayalah, kami semua sayang dan hormat pada Anda. Kumohon tenangkan diri Anda." Ketika Kaede menangis lebih memilukan lagi, Mamoru berkata pada pelayan, "Panggil tabib Ishida." Tak lama kemudian Kaede menyadari kehadiran sang tabib yang sedang berlutut didekatnya. Kaede mendongak dan menatap tajam si tabib. "Lady Shirakawa-" tabib itu mulai bicara, tapi Kaede memotong kalimatnya. "Namaku Otori. Aku sudah menikah. Kebiadaban apa ini? Jangan biarkan mereka menahanku di sini. Kau akan meminta mereka untuk agar segera melepasku." "Aku berharap bisa melakukannya," sahutnya dengan suara pelan. "Tapi kami semua di sini menggantungkan hidup pada Yang Mulia Lord Fujiwara, bukan atas kehendak kami sendiri." "Apa yang dia inginkan dariku? Mengapa dia lakukan semua ini? Dia menculik adik-adikku, membunuh semua anak buahku!" Air mata berlinang lagi di wajahnya. "Dia tidak perlu membunuh kudaku." Kaede tersiksa oleh isak tangisnya. Ishida menyuruh pelayan mengambil ramuan di kamarnya dan juga mengambilkan air panas. Kemudian dia memeriksa Kaede dengan lemah-lembut. Memeriksa keadaan mata dan urat nadi Kaede. "Maaf," ujarnya, "tapi aku harus tahu apakah Anda sedang hamil." "Mengapa kau harus tahu? Itu tidak ada hubungannya denganmu!" "Yang Mulia hendak menikahi Anda. Beliau merasa telah bertunangan dengan Anda dan telah mendapat restu kaisar dan Lord Arai." "Kami tidak pernah bertunangan," isak Kaede. "Aku telah menikah dengan Otori Takeo." Ishida berkata dengan lembut, "Aku tak dapat membahas hal ini. Nanti Anda akan bertemu langsung dengan Yang Mulia. Tapi sebagai tabib, aku harus tahu apakah Anda sedang hamil." "Bagaimana jika aku sedang hamil?" "Kita harus menyingkirkan janinnya." Saat tangis Kaede meledak karena sedih, Ishida berkata, "Lord Fujiwara telah memberi banyak kelonggaran pada Anda. Beliau bisa saja membunuh atas ketidaksetiaan Anda. Beliau akan memaafkan, lalu menikahi Anda, tapi tak akan memberi namanya untuk anak dari laki-laki lain." Kaede tak menjawab selain makin tersedu-sedu. Pelayan kembali dengan ramuan dan ketel teh, lalu Ishida menyeduh ramuan. "Minumlah," pintanya pada Kaede. "Ini akan membuat Anda tenang." "Andai aku menolak?" sahut Kaede, tiba-tiba duduk dan merenggut mangkuk tehnya dari Ishida. Kaede memegang dengan tangan terentang seakan hendak menuangnya ke tikar. "Andai aku menolak makan dan minum? Akankah dia mau menikahi mayatku?" "Itu berarti kedua adik Anda akan mati-atau mungkin lebih buruk lagi," sahutnya. "Maaf, aku tidak senang maupun bangga menjalani situasi seperti ini. Yang dapat kulakukan hanyalah bersikap jujur pada Anda. Jika Anda patuh pada keinginan Yang Mulia, Anda dapat mempertahankan kehormatan dan nyawa kedua adik Anda." Kaede menatap tabib itu lama sekali. Perlahan ia mendekatkan mangkuk teh ke bibir. "Aku tidak hamil," sahutnya, lalu meneguk teh itu sampai habis. Ishida duduk di dekat Kaede yang mulai mati rasa, dan ketika ia sudah tenang, Ishida menyuruh pelayan mengantar ke rumah mandi untuk membersihkan darah dari tubuhnya. Sewaktu Kaede selesai mandi dan berpakaian, ramuan obatnya telah mengurangi kesedihannya, dan kejadian pembantaian yang terjadi sebelumnya kini terasa seperti mimpi. Sore harinya dia bahkan sempat tertidur sebentar, sambil mendengarkan lantunan doa rahib yang sedang menyingkirkan pencemaran akibat kematian dan untuk mengembalikan kedamaian serta keharmonisan rumah. Ketika terbangun dan sadar dirinya berada di kamar yang tidak asing baginya, ia berpikir, aku berada di rumah Fujiwara. Sudah berapa lama aku di sini? Aku harus memanggil Shizuka dan bertanya padanya. Kemudian ia teringat, tanpa perlu berusaha, apa yang telah terjadi. Waktu beranjak senja, akhir yang tenang dari hari yang panjang dan berat. la bisa mendengar langkah ringan para pelayan dan bisikan mereka. Seorang pelayan datang ke kamar membawa sebaki makanan. Kaede mengambilnya dengan lesu, tapi aroma makanan membuat ia mual dan segera menyuruh agar makanan itu disingkirkan. Si pelayan kembali dengan membawa teh. Dia datang bersama seorang perempuan setengah baya dengan mata yang sipit dan tatapan yang keji. Bila dilihat dari pakaian dan perilakunya yang sopan, perempuan itu tidak mirip pelayan. Perempuan itu memberi hormat, lalu berkata, "Namaku Ono Rieko, sepupu mendiang istri Lord Fujiwara. Aku yang mengurus rumah ini. Yang Mulia Lord Fujiwara menyuruhku menyiapkan upacara pernikahan. Dengan kebaikan hati Anda, sudilah kiranya menerimaku." Dia menunduk lagi sampai ke lantai dengan sikap formal. Secara naluriah Kaede merasa tidak suka pada perempuan di depannya itu. Penampilannya tidak menyenangkan-ia membayangkan Fujiwara membuat orang-orang di sekitarnya menderita-dan Kaede merasakan kebanggaan diri maupun ketidaksimpatikan karakter perempuan itu. "Boleh aku memilih?" tanya Kaede dingin. Rieko tertawa hingga badannya agak bergetar saat dia duduk tegak. "Aku yakin Lady Shirakawa akan berubah pendapat tentang diriku. Aku hanyalah orang biasa tapi ada banyak hal yang dapat kusarankan." Dia menuangkan teh sambil berkata, "Tabib Ishida ingin kau minum teh ini. Dan karena sekarang adalah malam pertama bulan ini, Lord Fujiwara akan menemuimu untuk melihat bulan. Minumlah dan akan kupastikan penampilanmu rapi." Kaede meminum tehnya sedikit-sedikit, berusaha agar tidak meneguknya sampai habis meskipun ia sangat haus. Ia bersikap tenang; merasakan denyut aliran darah di balik pelipisnya. Ia takut bertemu dengan bangsawan itu, takut pada kekuasaan orang itu atas dirinya. Kekuasaan yang digenggam laki-laki terhadap perempuan, di semua aspek kehidupan perempuan. Ia merasa tak akan sanggup melawan kekuasaan itu. Ia ingat dengan sangat jelas ucapan Lady Naomi: Aku harus terlihat sebagai perempuan yang tak berdaya, bila tidak ingin dihancurkan para ksatria. Kini mereka sedang menghancurkan dirinya. Shizuka pernah memperingatkan kalau pernikahannya akan membangkitkan kemarahan para tetua di kalangannya-bila pernikahan itu tak mendapat restu. Tapi jika ia mengikuti anjuran itu, berarti ia tak bisa bersama Takeo. Terasa sangat menyakitkan saat memikirkan Takeo, meskipun dengan teh yang semestinya dapat membuat ia tenang. Perasaan itu ia sembunyikan jauh di lubuk hatinya, seperti tersembunyinya catatan Tribe di Gua Suci. Ia mulai sadar kalau Rieko sedang mengamati dari dekat. Ia memalingkan wajah dan menghirup teh lagi. "Ayolah, ayolah, Lady Shirakawa," ujar Rieko tajam. "Jangan memikirkan hal-hal yang bisa membuat Anda bersedih. Sebentar lagi Anda akan melangsungkan pernikahan yang meriah." Rieko bergeser lebih dekat, beringsut ke depan dengan berlutut. 'Anda memang secantik yang orang-orang bicarakan, meskipun terlalu tinggi. Warna kulit yang cenderung pucat, dan tatapan mata yang berat seperti itu tidak baik buat Anda. Kecantikan adalah harta terbesar yang Anda miliki: kita harus melakukan apa saja untuk dapat mempertahankannya." Rieko menuangkan teh lalu dia letakkan di nampan. Setelah itu dia menggerai rambut Kaede dari gelungan lalu mulai menyisirnya. "Berapa umur Anda?" "Enam belas," sahut Kaede. "Kupikir Anda lebih tua, setidaknya dua puluh tahun. Anda pasti jenis orang yang cepat tua. Kita harus berhati-hati dengan hal itu." Sisirnya menggaruk kulit kepala, membuat air mata Kaede mengambang di pelupuk matanya karena kesakitan. Rieko berkata, "Sulit menata rambut Anda; rambut Anda sangat lembut." "Aku biasanya mengikatnya," sahut Kaede. "Mode penataan rambut di ibukota sekarang bergaya tinggi di atas kepala," tutur Rieko sambil dengan sengaja menyentak rambut Kaede hingga terasa sakit. "Rambut tebal dan kesat yang lebih diinginkan." Simpati dan pengertian mungkin dapat mengurangi kesedihan Kaede, sebaliknya sikap kasar Rieko justru membuat ia menguatkan hati, membuatnya mantap untuk tidak menangis, tak akan memperlihatkan perasaannya. Aku pernah tidur es, pikirnya. Sang Dewi berbicara denganku. Aku akan menemukan kekuatan lalu menggunakannya sampai Takeo datang menjemput. Kaede yakin Takeo akan datang atau mati dalam upayanya untuk menjemputku, dan bila ia melihat tubuh tak bernyawa suaminya, maka ia terbebas dari janji dan akan segera menyusul suaminya ke alam baka. Di kejauhan, anjing-anjing menyalak, dan tidak lama kemudian, rumah bergoyang diguncang gempa, lebih lama dan lebih keras dibandingkan sebelumnya. Kaede merasakan apa yang selalu ia rasakan: kaget, kagum karena bumi bisa bergetar layaknya air mendidih, dan juga kegembiraan karena tak ada satu pun yang tetap atau pasti. Talc ada yang abadi, bahkan tidak bagi Fujiwara beserta kediamannya yang penuh dengan benda berharga. Rieko menjatuhkan sisir dan berusaha bangkit. Para pelayan berhamburan keluar. "Ayo keluar," pekik Rieko, panik. "Mengapa?" sahut Kaede. "Gempa susulan tidak akan lebih kencang." Rieko sudah keluar kamar. Kaede bisa mendengar dia memerintahkan pelayan mematikan semua lampu, hampir menjerit karena panik. Kaede tetap di tempatnya, mendengarkan bunyi kaki berlarian, teriakan, dan gonggongan anjing. Setelah beberapa saat, ia memungut sisir dan meneruskan menyisir. Karena kepalanya terasa sakit, maka ia membiarkan rambutnya tergerai. Kimono yang mereka kenakan pada Kaede nampak sesuai untuk melihat bulan: warnanya kelabu lembut, berhiaskan bordiran bunga dan burung yang berwarna kuning pucat. Kaede ingin menatap bulan yang memancarkan cahaya keperakan, dan diingatkan bagaimana bulan muncul lalu pergi ke surga, menghilang selama tiga hari kemudian muncul lagi. Para pelayan membiarkan pintu-pintu ke beranda terbuka. Kaede melangkah keluar dan berlutut di lantai kayu, menatap pegunungan, mengingat saat-saat ia duduk di sini bersama Fujiwara, berselimutkan kulit beruang di saat salju mulai turun. Getaran kecil gempa terjadi lagi, namun ia tidak takut. Kaede memandang gunung yang menjulang ke langit yang berwarna ungu pucat. Bayang gelap pepohonan taman bergoyang, meskipun tak berangin, dan burung-burung yang merasa terganggu mencicit seolah fajar telah tiba. Perlahan kicau burung mulai berkurang dan gonggongan anjing berhenti. Lengkung tipis bulan sabit menggelantung di sisi bintang malam yang tepat berada di puncak gunung. Kaede memejamkan mata. Tercium wewangian Fujiwara sebelum Kaede sempat mendengar kedatangannya. Lalu telinganya menangkap bunyi langkah kaki, gemerisik kain sutra. Kaede membuka mata. Lord Fujiwara berdiri beberapa kaki jauhnya, menatap dengan penuh perhatian, tatapan mata penuh ketamakan yang Kaede tahu dengan baik. "Lady Shirakawa." "Lord Fujiwara." Kaede balas menatap, lebih lama dari yang seharusnya, sebelum perlahan-lahan menunduk hingga alisnya menyentuh lantai. Lord Fujiwara melangkah masuk ke beranda, diikuti Mamoru yang membawa karpet dan bantal. Setelah Fujiwara duduk, dia lalu meminta Kaede bangkit. Fujiwara meraih lalu menyentuh jubah sutra. "Memang sudah sepantasnya. Aku sudah menduga hal itu akan terjadi. Kau membuat Murita cukup kaget waktu kau tiba dengan menunggang kuda. Dia hampir saja, tanpa sengaja, menombakmu." Kaede merasa seperti hendak pingsan karena amarah yang tiba-tiba meledak. Haruskah Fujiwara menyinggung hal itu dengan santai, menganggap pembunuhan terhadap pasukannya, juga Amano yang ia kenal sejak kecil, hanyalah lelucon.... "Beraninya kau lakukan itu padaku?" sahut Kaede, dan mendengar Mamoru menarik napas karena kaget. "Tiga bulan lalu aku telah menikah dengan Otori Takeo di Terayama. Suamiku akan menghukummu-" Kaede berhenti bicara, berusaha mengendalikan diri. "Kupikir kita akan menikmati indahnya bulan sebelum berbincang-bincang," sahut Fujiwara, tanpa menunjukkan reaksi atas ucapan Kaede yang menghina. "Di mana pelayan perempuanmu? Mengapa kau kemari sendirian?" "Mereka semua lari ketakutan di saat gempa," sahut Kaede pendek. "Tidakkah kau takut?" "Aku tidak takut pada apa pun. Anda telah melakukan hal terburuk yang bisa orang lain lakukan padaku." "Tampaknya kita sudah berbincang-bincang sekarang," sahutnya. "Mamoru, bawakan sake lalu pastikan kami tidak diganggu." Fujiwara menatap bulan dengan tenang tanpa bicara sepatah kata pun sampai Mamoru datang lagi. Saat anak muda itu menghilang di kegelapan, Fujiwara memberi tanda pada Kaede untuk menuangkan sake. Dia minum lalu berkata, "Pernikahanmu dengan orang yang menyebut dirinya Otori telah diabaikan. Pernikahan itu tidak direstui sehingga dinyatakan tidak sah." "Tidak sah menurut siapa?" "Lord Arai, pengawal seniormu, Shoji, dan aku. Klan Otori tidak lagi mengakui Takeo dan telah mengumumkan kalau pengakuannya tidak sah. Sesuai pandangan yang berlaku, seharusnya kau dihukum mati atas ketidakpatuhan dirimu pada Arai dan ketidaksetiaanmu padaku, terutama atas keterlibatanmu dalam kematian Iida yang sudah tersebar luas." "Kau telah berjanji untuk tidak mengatakan rahasiaku pada orang lain," ujar Kaede. "Kupikir perjanjiannya adalah kita akan menikah." Kaede tak menjawab, perkataan Fujiwara membuat ia takut. Kaede sadar sepenuhnya bila ia bertingkah, Fujiwara bisa langsung memberi perintah hukuman mati. Tak akan ada yang punya nyali untuk tidak mematuhi perintah, atau mengkritiknya setelah melakukannya. Fujiwara melanjutkan, "Kau menyadari rasa hormatku padamu. Aku telah membuat semacam transaksi dengan Arai. Dia setuju membiarkanmu hidup, jika aku menikahi serta mengasingkanmu. Aku akan mendukung tujuannya pada kaisar suatu saat. Sebagai balasannya, adik-adikmu aku kirim kepadanya." "Anda menyerahkan mereka pada Arai? Mereka ada di Inuyama?" "Kurasa sudah biasa menyerahkan perempuan sebagai tawanan," sahutnya. "Lagipula Arai sangat gusar saat kau menahan keponakan Akita sebagai sandera. Sebenarnya itu bisa menjadi langkah yang bagus, tapi kau telah menghancurkan semuanya ketika bertindak gegabah di musim semi. Akhirnya yang kau dapatkan hanyalah kemarahan Arai dan para pengawal seniornya. Arai adalah junjunganmu. Sungguh tindakan yang bodoh dengan memperlakukan dia sedemikian buruk." "Kini aku yakin Shoji telah berkhianat," ujar Kaede sengit. "Keponakan Akita seharusnya tidak boleh pulang." "Kau tidak boleh kasar pada Shoji." suara Fujiwara kedengaran halus dan lembut. "Dia hanya melakukan apa yang benar untukmu dan keluargamu. Sama seperti kami semua. Aku ingin pernikahan kita segera dilangsungkan: mungkin sebelum akhir minggu ini. Rieko akan mengajarimu cara berpakaian dan juga tata krama." Rasa putus asa menyelimuti Kaede seperti jaring pemburu yang berhasil menjaring bebek liar. "Semua laki-laki yang menginginkan diriku sudah mati kecuali suamiku yang sah, Lord Otori Takeo. Tidakkah kau takut?" "Menurut kabar yang tersiar, hanya laki-laki yang berhasrat padamu yang mati; sedangkan aku tidak memiliki hasrat pada dirimu. Aku tidak ingin punya anak lagi. Pernikahan ini hanya untuk menyelamatkanmu. Pernikahan ini hanya sebatas status." Fujiwara minum lagi lalu menaruh mangkuknya di lantai. "Sudah sepantasnya kau berterima kasih padaku." "Aku hanya akan menjadi benda berharga seperti yang Anda miliki?" "Lady Shirakawa, kau salah satu dari sedikit orang yang telah kuperlihatkan harta bendaku-satu-satunya perempuan. Kau tahu bagaimana aku ingin menjauhkan hartaku yang berharga dari mata dunia, disimpan, disembunyikan." Hati Kaede bergetar. Ia terdiam seribu bahasa. "Dan jangan pikir Takeo akan datang menyelamatkanmu. Arai memutuskan untuk menghukumnya. Dia sedang melancarkan operasi militer untuk menentang suamimu saat ini. Wilayah Maruyama dan Shirakawa akan diambil alih atas namamu kemudian diberikan kepadaku sebagai suamimu." Fujiwara menatap lekat seakan ingin meneguk setiap tetes penderitaan Kaede. "Hasratnya padamu telah menghancurkan dirinya. Takeo bisa dipastikan mati sebelum musim dingin tiba." Kaede telah mengamati Lord Fujiwara selama musim dingin lalu dan mengenal ekspresi di wajahnya. Fujiwara selalu berpikir kalau dia orang yang selalu tenang, selalu bisa mengendalikan diri dengan sempurna, tapi Kaede dapat membaca ekspresi bangsawan itu. Kaede mendengar nada bengis dalam suaranya, serta merasakan betapa Iidah bangsawan itu menikmati setiap ucapan menghina yang keluar dari mulutnya. Ia dengar itu saat Fujiwara menyebut nama Takeo. Kaede telah menduga Fujiwara hampir gila karena Takeo saat ia memberitahukan rahasianya di saat gundukan salju meninggi. Kaede pernah melihat pancaran hasrat di mata orang ini, bibirnya yang mengendur, bagaimana Iidahnya naik ketika menyebut nama itu. Kini Kaede sadar kalau Fujiwara menginginkan kematian Takeo, kematian yang akan membuat dia gembira dan terbebas dari obsesinya selama ini. Kaede tidak ragu kalau penderitaan dirinya semakin menambah kepuasan Fujiwara. Saat itu Kaede menyimpulkan dua hal: Ia tak akan memperlihatkan perasaannya, dan akan tetap hidup. la akan tunduk pada keinginan Fujiwara agar orang itu tidak punya alasan untuk membunuhnya sebelum Takeo datang, tapi ia tak akan membiarkan Fujiwara dan perempuan yang ditugaskannya, puas melihat ia menderita. Kaede membiarkan tatapan matanya dipenuhi dengan rasa jijik saat memandang Fujiwara, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah bulan. Pernikahan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Kaede minum obat ramuan buatan Ishida, bersyukur tidak dapat merasakan apa-apa karena ramuan itu. la memutuskan untuk mematikan perasaannya, layaknya es, mengingat berapa lama waktu berlalu sejak tatapan Takeo membuat ia tertidur pulas. Ia tidak menyalahkan Ishida atau Mamoru karena turut ambil bagian dalam penculikannya, sebab ia mengerti mereka terikat oleh aturan yang sama kakunya seperti dirinya. Tapi ia bersumpah, Murita harus membayar karena telah membunuh anak buahnya dan Raku. Ia pun mulai membenci Rieko. Kaede memperhatikan dirinya menjalani semua ritual seakan dirinya hanyalah boneka yang dikendalikan dari balik panggung. Keluarganya diwakilkan Shoji dan dua pengawal senior: salah satunya ia kenal sebagai saudara Hirogawa, orang yang telah Kondo bunuh atas perintahnya karena menolak memberi janji setia di hari kematian ayahnya. Seharusnya aku bunuh seluruh keluarganya, pikir Kaede getir. Ternyata aku membiarkan mereka hidup hanya untuk menambah jumlah musuhku. Juga hadir beberapa bangsawan lain yang menurut perkiraannya pasti utusan Arai. Mereka tidak mengenalnya dan ia juga tidak diberitahu nama mereka. Hal itu membuat Kaede menyadari posisinya: bukan lagi pemimpin klan, sekutu dan memiliki kedudukan yang sama seperti suaminya, tapi hanya istri kedua dari seorang bangsawan, tanpa kehidupan yang dapat ia jalani sesuai keinginannya, hanya menuruti apa yang diatur suaminya. Upacara berlangsung jauh lebih mewah dibandingkan pernikahannya di Terayama. Doa serta puji-pujian seperti tak berkesudahan. Aroma dupa dan gema lonceng membuatnya pusing dan saat harus menjalani ritual menukar tiga mangkuk sake dengan suaminya, Kaede takut tak sadarkan diri. Ia hanya makan sedikit seminggu ini, dan merasa seperti hantu. Hari terasa menyesakkan dada, tapi tenang. Menjelang malam tiba, hujan turun deras. Kaede dibawa dari biara dengan tandu. Rieko dan pelayan lainnya lalu melepaskan pakaian Kaede kemudian memandikannya. Mereka membalurkan krim di sekujur tubuhnya dan memberi wewangian di rambutnya. Kaede mengenakan kimono malam, lebih mewah dari yang biasa ia kenakan di siang hari. Kemudian ia diantar ke bangunan baru, bagian rumah yang belum pernah dilihatnya, bahkan tidak tahu kalau bangunan itu pernah ada. Bangunan itu baru didekorasi. Tiang dan langit-langitnya rumah bercahaya karena dilapisi emas, kasa dipenuhi lukisan burung dan bunga, dan aroma tikar jerami yang masih segar dan harum. Hujan lebat membuat ruangan itu menjadi remang-remang, tapi lusinan lampu menyala di tiang besi yang diukir begitu indah. "Semua ini untuk Anda," ujar Rieko dengan nada iri. Kaede tak menjawab. Ia ingin mengatakan, Untuk apa, untuk melihat kalau dia tidak akan berada di sini? Tapi apa hubungannya semua ini dengan Rieko? Lalu pikiran itu mampir di benaknya: mungkin Fujiwara memang bermaksud tidur dengannya, seperti yang dia lakukan dengan istri pertamanya untuk mendapatkan anak. Kaede mulai gemetar dengan rasa benci dan takut. "Tidak perlu takut," cemooh Rieko. "Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang diharapkan dari suatu pernikahan. Sekarang, jika kau masih perawan.... " Kaede tak percaya kalau perempuan itu berani bicara padanya dengan nada mencemooh seperti itu, apalagi di depan para pelayan. "Suruh pelayan pergi," ujar Kaede, dan kemudian melanjutkan saat hanya berdua: "Jika kau menghinaku lagi, akan kuminta kau diusir dari sini." Rieko tertawa terbahak-bahak. "Kurasa kau tidak tahu posisimu. Lord Fujiwara tak akan memecatku. Jika aku menjadi dirimu, aku lebih mencemaskan masa depanku. Jika kau melampaui batas jika kau bertingkah kurang baik seperti yang diharapkan dari seorang istri Lord Fujiwara-kau yang akan melihat dirimu dipecat. Mungkin kau merasa berani bunuh diri. Biar kujelaskan, hal itu lebih sulit dari yang dibayangkan. Saat hendak bunuh diri, kebanyakan perempuan gagal melakukannya. Kita, perempuan, memang makhluk yang lemah." Rieko mengambil dan mengangkat lampu sehingga cahayanya jatuh tepat di wajah Kaede. "Mungkin kau selalu dipuji cantik, tapi kau tidaklah secantik minggu lalu, dan kecantikanmu akan terus berkurang. Kau telah mencapai masa kejayaan; sejak saat ini kecantikanmu akan memudar." Rieko lebih mendekatkan lagi lampu yang dipegangiiya. Kaede bisa merasakan panasnya lampu di pipinya. "Aku bisa saja mencakar wajahmu sekarang," desis Rieko. "Dan kau akan dilempar dari rumah ini. Lord Fujiwara hanya akan mempertahankanmu jika kau indah dipandang. Setelah itu, satu-satunya tempat untuk perempuan sepertimu hanyalah rumah bordil." Kaede balas menatap Rieko tanpa menjauhkan wajahnya. Sinar lampu berkedap-kedip di antara wajah mereka. Di luar angin semakin kencang sehingga mengguncangkan bangunan. Di kejauhan, seakan berasal dari negeri lain, seekor anjing melolong. Rieko tertawa lagi dan meletakkan lampu di lantai. "Kau tidak bisa memecatku. Tapi kurasa kau mengatakan itu hanya karena kau sedang tegang. Kau kumaafkan. Kita harus berteman baik seperti keinginan Yang Mulia. Beliau akan segera menemui Anda. Aku ada di ruang sebelah." Kaede duduk dengan tenang mendengarkan desiran angin yang semakin kencang. Ia tak dapat menahan diri untuk mengenang saat-saat yang indah bersama Takeo, saat malam pernikahannya. Kaede berusaha membuang kenangan itu, tapi hasrat telah menguasai sehingga meluluhkan perasaannya yang sedang membeku. Mendengar ada langkah kaki di luar, Kaede mengatur sikapnya agar nampak kaku. Ia bersumpah tidak akan menyerah pada perasaannya, tapi yakin gerakan tubuhnya bisa saja mengkhianatinya. Setelah menyuruh pelayan tetap di luar, Fujiwara lalu masuk ke kamar. Kaede langsung membungkuk hingga menyentuh lantai, tidak ingin wajahnya terlihat, namun sikap menyerah seperti itu malah membuat dirinya makin gemetar. Mamoru mengikuti di belakang bangsawan itu sambil membawa satu kotak ukiran kecil yang terbuat dari kayupawlonia. Setelah meletakkan di lantai dan membungkuk dalam-dalam, dia lalu merangkak mundur ke pintu penghubung ke kamar sebelah. "Duduklah, istriku sayang," ujar Lord Fujiwara, dan saat menegakkan badan, Kaede melihat Rieko menyodorkan sake melalui pintu kepada Mamoru. Perempuan itu membungkuk hormat lagi lalu beringsut menghilang dari pandangan, tapi Kaede tahu dia hanya sejauh jarak pendengaran. Mamoru menuangkan sake dan Fujiwara minum, memandang Kaede dengan penuh perhatian. Pemuda itu menyodorlcan semangkuk sake yang Kaede terima lalu ia dekatkan ke bibirnya. Rasanya manis dan kuat. Kaede minum dengan perlahan. Nampak jelas semua telah diatur untuk membuat ia terbakar gairah. "Tak kusangka dia akan terlihat secantik ini," kata Lord Fujiwara pada Mamoru. "Perhatikan betapa penderitaan telah memperjelas bentuk wajahnya yang sempurna. Ekspresi matanya lebih dalam dan kini bentuk bibirnya seperti bibir perempuan. Pastinya akan menjadi suatu tantangan untuk dapat menangkapnya." Mamoru membungkuk hormat tanpa bicara. Setelah diam sejenak, Fujiwara lalu berkata, "Tinggalkan kami," dan ketika pemuda itu pergi, dia mengambil kotak tadi lalu bangkit dari duduknya. "Mari," ajaknya pada Kaede. Kaede mengikuti seperti orang yang berjalan dalam tidur. Beberapa pelayan yang tidak terlihat menggeser layar kasa di balik kamar lalu mereka pindah ke ruangan lain. Di dalam ada ranjang yang berlapiskan sutra dan bantal kayu. Aroma kuat wewangian tercium di kamar itu. Layar kasa ditutup dan kini hanya mereka berdua. "Jangan panik," ujar Fujiwara. "Atau mungkin aku salah menilaimu dan kau justru akan kecewa." Untuk pertama kalinya Kaede merasakan sengatan hinaan Fujiwara. Hawa panas menjalar ke sekujur tubuhnya. "Duduklah," ujarnya. Kaede membenamkan dirinya di lantai, tetap menunduk. Fujiwara duduk, meletakkan kotak di antara mereka. "Kita harus menghabiskan waktu sebentar bersama. Hanya untuk formalitas." Kaede tidak menyahut, tidak tahu apa yang harus ia katakan. "Bicaralah," perintah Fujiwara. "Katakan sesuatu yang menarik atau yang menyenangkan." Hal itu nampak sangat mustahil. Akhirnya Kaede berkata, "Bolehkah kuajukan satu pertanyaan?" "Ya, boleh." "Apa yang harus kulakukan di sini? Bagaimana aku menghabiskan waktuku?" "Melakukan apa yang biasa dilakukan para perempuan. Rieko akan memberitahu." "Bolehkah aku melanjutkan belajarku?" "Kurasa mendidik perempuan adalah kesalahan. Sepertinya itu tidak memperbaiki sifatmu. Kau boleh membaca sedikit-Kung Fu Tzu, saranku." Angin berhembus semakin kencang. Di bagian dalam kediaman ini mereka terlindungi dari kuatnya hembusan angin, meskipun begitu, tetap saja tiang dan pilar bergetar sedangkan atap terdengar berkeriut-keriut. "Bolehkah aku bertemu adik-adikku?" "Saat Lord Arai berhasil mengalahkan Otori, kita bisa pergi ke Inuyama." "Bolehkah aku menulis surat kepada mereka?" tanya Kaede, merasakan kemarahan dalam dirinya karena harus memohon untuk hal sepele seperti itu. "Jika kau perlihatkan lebih dulu surat itu pada Rieko." Lampu berkelap-kelip terkena angin, dan hembusan angin mengerang mirip suara manusia. Tiba-tiba Kaede teringat para pelayan yang tidur bersamanya saat di Kastil Noguchi. Di malam saat badai semua orang akan terjaga, dan mereka saling menakut-nakuti dengan cerita hantu. Kini Kaede seperti mendengar suara dan bayangan menakutkan dalam hembusan angin yang seolah bicara. Semua cerita para pelayan adalah tentang para gadis seperti mereka yang dibunuh secara tidak adil atau mati karena cinta. Gadis-gadis yang ditinggalkan kekasih, dikhianati suami maupun yang dibunuh tuan mereka. Roh mereka yang gentayangan marah dan cemburu, menangis memohon keadilan dari dunia lain. Kaede agak gemetar. "Kau kedinginan?" "Tidak, aku memikirkan tentang hantu. Mungkin salah satunya menyentuhku. Angin semakin kencang. Apakah itu badai?" "Kurasa begitu," sahut Fujiwara. Takeo, di mana kau? pikir Kaede. Apakah kau sedang di luar sana dalam cuaca seperti ini? Apakah kau sedang memikirkanku? Apakah tadi itu rohmu yang bergelayut di belakangku, membuatku gemetar? Fujiwara memperhatikan. "Salah satu dari banyak hal yang kukagumi pada dirimu adalah kau tak pernah memperlihatkan rasa takut. Tidak pada gempa dan badai. Sebagian besar perempuan biasanya langsung panik karena hal-hal seperti itu. Tentu saja, akan terlihat lebih feminin, dan keberanianmu telah membawamu terlalu jauh. Kau harus dilindungi dari hal-hal tersebut." Dia tidak boleh tahu betapa takutnya aku mendengar berita kematian, pikir Kaede. Bukan hanya takut mendengar berita kematian Takeo, tapi juga Ai dan Hana. Aku tak boleh memperlihatkan rasa takut. Fujiwara agak membungkuk dan dengan satu jarinya yang panjang dan pucat memberi isyarat kalau Kaede harus melihat isi kotaknya. "Ini hadiah pernikahan dariku," ujarnya, membuka penutupnya lalu mengangkat benda yang terbungkus kain sutra. "Kurasa kau tidak terbiasa dengan benda antik seperti ini. Beberapa di antaranya benar-benar antik. Aku telah mengoleksinya selama bertahun-tahun." Fujiwara meletakkan benda itu di lantai, di hadapan Kaede. "Kau boleh melihatnya setelah aku pergi." Kaede memperhatikan bungkusan itu dengan hati-hati. Nada bicara Fujiwara memperingatkannya kalau orang itu menikmati saat dia menggoda Kaede dengan kata-kata yang tajam. Kaede tak bisa menduga benda apa itu: apakah patung kecil, atau mungkin, parfum. Kaede menaikkan pandangannya ke wajah Fujiwara dan melihat senyum tipis menari-nari di bibir bangsawan itu. Kaede tak memiliki senjata atau pertahanan apa pun selain kecantikan dan keberanian. Pandangannya tenang, tak berkedip. Orang itu bangkit dan mengucapkan selamat malam. Kaede membungkuk hingga dahinya menyentuh lantai saat Fujiwara pergi. Angin mengguncang atap, hujan memukul-mukul wuwungan. Kaede tak mendengar langkah Fujiwara pergi; seolah hilang ditelan badai. Kaede sendirian, meskipun tahu kalau Rieko dan para pelayan menunggu di ruang sebelah. Ia melayangkan pandangannya pada kain sutra ungu tua dan setelah beberapa saat, Kaede mengambil lalu membuka bungkusan itu. Ternyata isinya sebuah ukiran berbentuk alat vital laki-laki. Ukira kayu yang halus dan berwarna kemerahan, mungkin kayu ceri. Kaede merasa jijik sekaligus terpesona oleh benda itu. Bangsawan itu tak akan pernah menyentuh tubuhnya, tak akan pernah tidur dengannya. Dan dengan hadiah yang keji ini, Fujiwara menghina sekaligus menyiksanya. Air mata mengambang di matanya. Kaede bungkus kembali ukiran itu dan menaruhnya ke dalam kotak. Lalu berbaring di kamar pengantinnya dan menangisi tanpa bersuara pada laki-laki yang ia cintai, laki-laki yang ia rindukan.* TUJUH "AKU takut harus melaporkan pada istrimu tentang menghilangnya dirimu," ujar Makoto saat kami berjalan melewati kegelapan ke biara. "Aku lebih takut dibanding semua pertempuran yang pernah kuhadapi." "Aku takut kau meninggalkanku," sahutku. "Kuharap kau mengenalku lebih baik dari itu! Sudah menjadi kewajibanku untuk menyampaikannya pada Lady Otori. Semula aku akan meninggalkan Jiro untuk menyampaikan hal ini, lalu kembali lagi secepatnya." Makoto menambahkan dengan suara pelan, "Aku tak akan meninggalkanmu, Takeo; kau harus tahu itu." Aku malu dengan keraguanku dan tidak ingin mengatakannya pada Makoto. Makoto memanggil anggota pasukan yang sedang berjaga dan mereka berteriak membalas. "Kalian masih terjaga?" tanyaku, karena biasanya kami bergantian jaga. "Kami semua tidak bisa tidur," sahutnya. "Malam ini terlalu hening. Badai yang membuat kau terlambat datang terjadi dengan tiba-tiba. Dan selama beberapa hari kami merasa seperti ada orang yang mengawasi. Kemarin Jiro pergi mencari ubi liar di hutan, dia melihat ada orang yang mengintip di balik pepohonan. Kurasa para bandit yang si nelayan katakan sudah mengetahui kedatangan kita dan sedang menyelidiki kekuatan kita." Saat menyusuri jalanan yang tertutup tumbuhan menjalar, suara kami lebih berisik dibanding serombongan lembu. Kalaupun ada yang sedang mengawasi kami, tak diragukan lagi mereka pasti tahu aku sudah kembali. "Mungkin mereka takut kita akan menjadi pesaing," ujarku. "Segera setelah kembali dengan lebih banyak pasukan, kita langsung menyingkirkan mereka, tapi kita berenam tidak akan sanggup mengalahkan mereka. Kita pergi besok pagi saat matahari terbit dan berharap mereka tidak menyergap kita di perjalanan." Mustahil rasanya mengetahui waktu sekarang atau berapa lama lagi hingga fajar. Bangunan bekas biara dipenuhi bunyi-bunyian aneh, keriat-keriut kayu, gemerisik atap jerami. Seruan burung hantu terdengar sepanjang malam, dan sekali aku mendengar langkah kaki: mungkin anjing liar atau serigala. Aku mencoba tidur tapi benakku dipenuhi orang-orang yang ingin membunuhku. Si nelayan-bahkan Ryoma-mungkin tanpa sengaja mengatakan tentang kepergianku ke Oshima, dan aku tahu betul kalau mata-mata Tribe ada di mana-mana. Terlepas dari hukuman mati yang mereka jatuhkan padaku, banyak dari mereka yang saat ini hendak membalas dendam atas kematian kerabat mereka. Meskipun di siang hari aku mempercayai kebenaran ramalan itu, namun di malam hari aku gelisah. Tak lama lagi tujuanku akan tercapai; aku tidak tahan berpikir akan mati sebelum berhasil mewujudkan cita-cita. Tapi dengan begitu banyak orang yang memusuhiku, apakah aku sama gilanya dengan Jo-An yang percaya kalau aku mampu mengalahkan mereka semua? Pasti aku tertidur, karena saat membuka mata, langit sudah kelabu cerah dan burung-burung mulai berkicau. Jiro masih tertidur di sampingku, bernapas panjang dan teratur seperti anak-anak. Aku menyentuh bahunya untuk membangunkan dan dia membuka mata, tersenyum. Lalu seolah kembali dari dunia lain, aku melihat kekecewaan dan kesedihan terpancar di wajahnya. "Tadi kau bermimpi?" tanyaku. "Ya, aku bertemu kakakku. Aku senang dia masih hidup. Dia memintaku mengikutinya, lalu dia berjalan menjauh ke hutan di belakang rumah kami." Jelas terlihat kalau dia berusaha menguasai perasaannya, lalu bangkit. "Kita segera pergi, kan? Aku akan menyiapkan kuda." Aku memikirkan mimpi tentang ibuku dan ingin tahu apa yang ingin para mendiang sampaikan kepada kami. Di bawah sinar pada saat fajar menyingsing, biara itu nampak jauh lebih menakutkan. Tempat ini begitu dingin dan menyeramkan sehingga aku tak sabar untuk segera pergi. Kuda-kuda sudah segar karena telah beberapa hari beristirahat, ini membuat kami bisa melakukan perjalanan dengan cepat. Cuaca masih pangs menyengat, dengan awan kelabu serta tak berangin. Aku menoleh ke pantai scat kami melewati jalan menanjak, ingin tahu tentang si nelayan dan anaknya, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan dari kumpulan gubuk itu. Kami semua gugup. Kupasang telingaku tajam-tajam pada tiap suara, tegang mendengarkan derap kaki kuda dan bunyi keriat-keriut serta gemerincing tali kekang, sama halnya dengan bunyi deburan ombak di laut. Di atas bukit aku berhenti sejenak lalu memandang lepas ke arah Oshima. Tempat itu tersembunyi di balik kabut, namun sekumpulan awan tebal menunjukkan di mana tempat itu berada. Jiro berhenti di sampingku sedangkan yang lainnya terus berjalan ke arah hutan di depan kami. Untuk sesaat keheningan melanda, dan di saat itu aku mendengar suara yang tak diragukan lagi, di antara helaan napas, tarikan tali busur. Aku berteriak memperingatkan Jiro dan berusaha mendorongnya turun dari kuda, namun Shun melompat ke samping, hampir melontarkanku, lalu aku bergelantung di lehernya. Jiro memalingkan kepala dan melihat ke arah hutan. Anak panah melesat melewati kepalaku dan langsung menghujam mata Jiro. Jiro berteriak kaget dan kesakitan; tangannya menutup wajahnya dan dia terkulai di atas leher kuda. Kudanya meringkik panik, menendang-nendang, dan berusaha mengejar kawannya yang ada di depan, Jiro terayun-ayun tak berdaya ke sana-kemari. Shun meregangkan leher dan menjulurkan kepala ke tanah mengarah ke bawah pepohonan. Di depan, Makoto dan para pengawal berbalik. Salah seorang prajurit maju dan berhasil menangkap tali kekang kuda tunggangan Jiro yang panik. Makoto mengangkat Jiro dari pelana, namun saat aku tiba di tempat mereka, bocah itu sudah tak bernyawa. Anak panah itu menembus tepat di kepalanya, menghancurkan bagian belakang tengkorak kepalanya. Aku turun dari kuda, mematahkan ujung anak panah, lalu menarik batangnya. Anak panahnya besar dan dihiasi bulu elang. Busur untuk melesatkannya pastilah sangat besar, jenis yang dipakai pemanah jarak jauh. Aku diselimuti kesedihan yang tak tertahankan. Anak panah itu sebenarnya ditujukan padaku. Seandainya aku tak mendengar dan menghindarinya, Jiro pasti tak akan mati. Rasa geram dalam diriku meledak. Akan kubunuh orang itu atau lebih baik aku yang mati. Makoto berbisik, "Ini pasti penyergapan. Ayo cari tempat berlindung dan kita lihat ada berapa banyak jumlah mereka." "Bukan, anak panah ini dibidikkan padaku," bisikku. "Ini perbuatan Tribe. Tetap di sini; berlindunglah. Aku akan mengejar pelakunya. Hanya ada satu-paling banyak dua orang." Aku tak ingin pasukan ikut denganku. Hanya aku yang dapat bergerak tanpa terlihat, hanya aku yang mampu mendekati si pembunuh. "Datanglah saat aku memanggil; aku ingin menangkapnya hidup-hidup." Makoto berkata, "Jika hanya satu orang, lebih baik kami melanjutkan perjalanan. Berikan topi bajamu; aku akan menunggang Shun. Mungkin kita bisa mengecohnya. Dia akan mengikuti kami sehingga kau bisa menyergapnya." Aku tak tahu sampai seberapa jauh tipuan ini akan berhasil atau seberapa dekat pemanah itu berada. Dia pasti melihat kalau anak panahnya luput. Dia pasti menduga kalau aku mengejarnya. Tapi, bila pasukanku tetap berjalan, setidaknya mereka tak akan menghalangiku. Saat ini si pemanah bisa berada di mana saja di hutan, tapi aku bisa bergerak lebih cepat darinya. Sementara kuda berderap dengan beban di punggung, aku menghilangkan diri lalu berlari menuruni lereng, menyusup di antara pepohonan. Kurasa si pemanah tak akan diam di tempat, dia melesatkan anak panah yang mematikan itu; kurasa dia ke barat daya untuk memotong jalur perjalanan kami, tempat di mana jalannya berbelok kembali ke selatan. Kecuali dia memiliki kemampuan Tribe tingkat tinggi, dia talc akan tahu di mana aku berada. Tak lama kemudian aku mendengar napas orang dan pijakan kaki ringan di tanah yang basah. Aku berhenti dan menahan napas. Dia melewatiku sejauh sepuluh langkah tanpa menyadari kehadiranku. Ternyata orang itu adalah Kikuta Hajime, pesumo muda dari Matsue yang pernah berlatih bersamaku. Terakhir kali aku melihatnya di padepokan sumo saat aku pergi ke Hagi bersama Akio. Saat itu dia merasa tak akan bertemu denganku lagi. Tapi karena Akio gagal membunuhku sesuai rencana, maka Hajime dikirim untuk membunuhku. Busur raksasa menggantung di bahunya; dia bergerak, seperti kebanyakan orang bertubuh besar, tetap seimbang berjalan dengan sisi luar telapak kakinya, meskipun dengan berat badan yang melebihi rata-rata orang, gerakannya sigap dan tanpa suara. Hanya aku yang dapat mendengar gerakannya. Kuikuti dia yang menuju ke jalan di mana aku mendengar kuda-kuda berjalan di depan kami, bergerak sigap seolah terbang. Aku bahkan bisa mendengar salah seorang pengawal berteriak pada Makoto untuk berjalan lebih cepat, memanggilnya dengan sebutan Lord Otori, membuat aku menyeringai getir pada tipuan yang kami. Aku berlari secepat kilat menyusuri lereng lalu turun lagi dan muncul di atas bongkahan batu yang merupakan tempat yang berada lebih tinggi. Hajime menjejakkan kaki dengan mantap di bebatuan dan meraih busur dari bahunya. Menaruh anak panah di tali busurnya; aku mendengar dia menghela napas saat menarik tali busur: otot lengannya menonjol. Bisa saja kutebas dia dari belakang, tapi aku harus yakin dapat membunuhnya dengan sekali tebas, tapi aku juga ingin menangkapnya hidup-hidup. Hajime berdiri diam laksana patung, menunggu sasarannya muncul dari balik pepohonan. Sekarang aku hampir tak bisa mendengar napasnya. Aku tahu teknik konsentrasi yang sedang dia gunakan. Dia bersatu dengan busur dan anak panahnya. Itu bisa menjadi pemandangan yang menakjubkan, tapi aku sepenuhnya sadar kalau aku ingin melihat dia menderita, lalu mati. Aku hanya punya waktu beberapa saat untuk berpikir. Aku masih membawa senjata khas Tribe, di antaranya ada pisau lempar. Aku kurang mahir menggunakannya, namun barangkali senjata ini bisa menjawab kebutuhanku saat ini. Pisau-pisau ini sudah kujemur dan kuminyaki setelah mencucinya di pelabuhan bajak laut; pisau-pisau itu aku cabut dari sarungnya tanpa berbunyi. Saat kuda-kuda bermunculan di bawah, aku berlari, masih kasat mata, keluar dari persembunyian sambil melemparkan pisau-pisauku. Dua pisau pertama luput, tapi cukup untuk membuyarkan konsentrasi Hajime dan membuat dia berpaling ke arahku. Dia menengok ke arahku dengan ekspresi wajah bingung yang sama seperti saat melihatku menghilang di aula pelatihan. Ekspresinya itu membuatku ingin tertawa sekaligus sedih. Pisau ketiga kena pipinya, ujung pisau yang bergerigi membuat darahnya memancar deras. Tanpa sadar dia mundur dan aku melihatnya berdiri tepat di tepi bebatuan. Aku lempar dua pisau lagi tepat di wajahnya, lalu aku menampakkan diri di depannya. Jato melompat ke tanganku. Hajime meloncat ke belakang untuk menghindari serangan Jato sehingga dia tergelincir di pinggiran batu, lalu terjatuh di dekat rombongan Makoto. Hajime berguling-guling karena jatuh, darah mengucur dari pipi dan matanya. Tapi tetap dibutuhkan lima orang untuk dapat menaklukkannya. Dia diam membisu, sorot matanya penuh kemarahan dan kebencian. Aku memutuskan untuk membawanya ke Maruyama, tempat di mana aku akan mencari cara untuk membunuhnya secara perlahan agar dapat meringankan kesedihanku atas kematian Jiro. Begitu Hajime diikat dan tak dapat bergerak, aku lalu meminta saran Makoto. Aku tak mampu menyingkirkan kenangan bagaimana aku dan Hajime berlatih bersama; kami hampir seperti teman, dan dia lakukan ini atas perintah Tribe. Meskipun aku telah belajar dari pengalaman, dari pengkhianatan Kenji pada Shigeru, aku masih terguncang atas masalah itu. Hajime berseru, "Hei, Anjing!" Seorang pengawal menendangnya. "Berani benar kau panggil Lord Otori begitu." "Kemarilah, Lord Otori," pesumo itu menyeringai. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." Aku menghampiri. "Putramu ada di tangan Kikuta," ujarnya. "Dan ibunya sudah mati." "Yuki mati?" "Begitu anaknya lahir, mereka memaksa dia minum racun. Akio yang akan membesarkan anakmu. Kikuta akan menangkapmu. Kau telah berkhianat; mereka tak akan membiarkan kau hidup. Dan putramu ada di tangan mereka." Hajime menggeram mirip suara binatang lalu, menjulurkan lidah sepanjang mungkin, menjepitnya dengan gigi, menggigitnya sampai putus. Matanya memancarkan kesakitan juga kemarahan; tapi dia tak juga bicara. Dia meludahkan potongan lidahnya lalu darah menyembur. Darah memenuhi tenggorokannya, membuatnya tercekik. Tubuh kuatnya melengkung dan meronta-ronta, bertarung melawan kematian yang dipaksakan saat dia tenggelam dalam genangan darahnya sendiri. Aku membalikkan badan, muak dan sedih yang tak terperi. Kemarahanku telah berkurang. Di tempat ini beban terasa sangat berat, seolah langit runtuh menimpa jiwaku. Aku perintahkan pasukan menyeret tubuhnya ke hutan, memenggal kepalanya, lalu meninggalkan tubuhnya untuk santapan serigala dan rubah. Kami membawa jenazah Jiro. Berhenti di kota kecil di pesisir, Ohama, tempat kami menguburkannya di biara setempat dan membayar biaya pemasangan lampion batu untuk Jiro di bawah pepohonan cedar. Kami menyumbangkan busur beserta anak panahnya untuk biara, dan kurasa benda-benda itu masih tergantung di sana, tempat di bawah kaso bersama lukisan-lukisan kuda, karena tempat itu adalah tempat suci bagi dewi kuda. Di antara lukisan itu ada lukisan kudaku. Hampir dua minggu kami menginap di kota itu, pertama untuk melakukan upacara pernakaman dan membersihkan diri dari polusi kematian, dan yang kedua untuk Festival of the Death. Aku meminjam tinta batu serta kuas dari rahib dan melukis Shun di selembar papan. Dalam lukisan itu, aku percaya, aku bukan hanya memasukkan rasa hormat dan terima kasihku pada kuda yang telah menyelamatkanku, tetapi juga dukacitaku untuk Jiro, untuk Yuki, untuk hidupku yang hanya menjadi saksi atas kematian orangorang yang dekat denganku. Dan mungkin keinginanku bertemu Kaede, yang teramat kurindukan hingga tubuhku terasa nyeri kala kesedihan menyalakan hasratku padanya. Aku melukis tiada henti: Shun, Raku, Kyu, Aoi. Sudah lama sekali aku tidak melukis, dan sapuan dingin tinta menenangkan diriku. Selagi duduk sendiri di kuil yang tenang, kubiarkan diriku membayangkan bahwa inilah hidupku. Aku menarik diri dari dunia dan menghabiskan waktuku melukis. Teringat pada perkataan Kepala Biara di Terayama saat pertama kali aku ke sana bersama Shigeru: Datanglah lagi bila semuanya berakhir. Akan ada tempat bagimu di sini. Kapan semua ini akan berakhir? tanyaku, pertanyaan yang sama kuajukan padanya saat itu. Air mata sering mengambang di pelupuk mataku. Berduka atas kematian Jiro dan Yuki, atas hidup mereka yang begitu singkat, atas kesetiaan mereka padaku yang tak pantas kudapatkan, karena mereka dibunuh akibat diriku. Ingin sekali kubalaskan dendam mereka, tapi cara Hajime bunuh diri membuatku jijik. Lingkaran kematian dan balas dendam tanpa akhir macam apa yang aku ciptakan? Aku terkenang apa yang telah kulakukan bersama Yuki dan aku menyesalinya... apa? Apakah karena aku tidak mencintainya? Mungkin aku tidak mencintainya seperti aku mencintai Kaede, tapi aku pernah menginginkan dirinya, dan kenangan itu sekali lagi membuatku nyeri karena menahan hasrat dan berderai air mata karena tubuh rampingnya yang kini kaku untuk selamanya. Aku senang karena khidmatnya Festival of the Death memberiku kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal pada arwahnya. Aku menyalakan lilin untuk semua orang yang telah pergi mendahuluiku, memohon bimbingan dan ampunan mereka. Satu tahun telah berlalu sejak aku berdiri di tepi sungai di Yamagata bersama Shigeru dan kami menghanyutkan perahu kecil menyala di arus sungai; sudah satu tahun sejak aku menyebut nama Kaede, melihat wajahnya bercahaya dan tahu kalau dia mencintaiku. Hasrat menyiksa diriku. Aku bisa saja tidur dengan Makoto dan menikmatinya, dan juga untuk menghiburnya. Meskipun sering tergoda, sesuatu menahanku untuk melakukannya. Di siang hari, di saat melukis, aku merenungi semua yang pernah kulakukan dalam kurun waktu setahun lalu, berbagai kesalahan dan kesedihan serta.penderitaan orang-orang di sekitarku. Selain kesalahanku karena bergabung dengan Tribe, kini kusadari kalau semua kesalahanku muncul karena hasrat yang tidak terkendali. Andai aku tidak tidur dengan Kaede, dia tak akan keguguran yang hampir merenggut nyawanya. Andai aku tidak tidur dengan Yuki, dia pasti masih hidup dan anak lakilaki yang kelak akan membunuhku tak akan lahir. Lalu aku teringat pada Shigeru yang menolak untuk menikah karena dia telah bersumpah setia kepada Lady Maruyama. Belum pernah aku mendengar ada orang yang bersumpah seperti itu, dan semakin aku memikirkannya, semakin kuat tekadku untuk bersumpah seperti Shigeru, melakukan apa yang dia lakukan. Berlutut di hadapan arca Kannon berkepala kuda, aku bersumpah di hadapan sang dewi kalau seluruh cintaku, lahir dan batin, sejak saat ini, hanya akan kuberikan pada Kaede, istriku. Perpisahan kami membuatku kian sadar betapa aku sangat membutuhkannya, betapa dia telah menjadi penenang dan membuat aku kuat menjalani hidup ini. Cintaku padanya adalah penawar atas kemarahan dan kesedihan yang menimpaku; layaknya semua penawar racun, aku sembunyikan dan akan kujaga itu dengan baik. Makoto, yang sama berdukanya sepertiku, menghabiskan waktu dengan bermeditasi. Kami hampir tidak berbincang di siang hari, tapi setelah makan malam kami kerap berbincang hingga larut malam. Dia tentu mendengar perkataan Hajime dan berusaha bertanya padaku tentang Yuki, tentang putraku, tapi aku tak mampu membicarakannya. Di malam pertama Festival of the Death, setelah kembali dari lepas pantai, kami minum sake bersama. Merasa lega karena kebekuan di antara kami telah mencair, aku merasa sudah seharusnya mengatakan katakata kata yang ada dalam ramalan. Makoto mendengarkan dengan seksama selagi aku menceritakan tentang perempuan tua buta, si peramal, penampilannya yang mirip orang suci, gua, kincir doa, dan lambang Hidden. "Aku pernah mendengar tentang perempuan itu," ujar Makoto. "Banyak orang yang ingin meraih kesucian pergi mencarinya, tapi belum pernah aku mendengar ada orang yang berhasil bertemu dengannya." "Si gelandangan, Jo-An, yang mengantarku." Makoto tidak bicara. Malam itu hangat, tenang, dan semua jendela terbuka. Bulan purnama menyirami biara dan pepohonan keramat dengan cahayanya. Ombak di laut terdengar meraung di bebatuan pantai. Seekor tokek melintas di langit-langit, kaki-kakinya yang kecil menempel di tiang penyangga. Nyamuk berdengung dan laron beterbangan mengibaskan sayapnya di sekitar tiang penyangga. Aku matikan lampu agar sayap laron-laron tak terbakar: cahaya rembulan sudah cukup terang menyinari ruangan. Akhirnya Makoto berkata, "Itu berarti dia disayang oleh Sang Pencerah, seperti halnya kau." "Perempuan suci itu mengatakan bahwa semua itu satu," kataku. "Saat itu aku belum mengerti, tapi kemudian di Terayama aku teringat kata-kata Shigeru tepat sebelum kematiannya, lalu kebenaran yang dikatakan perempuan itu nampak jelas di depan mataku." "Bisakah kau menguraikannya dengan kata-kata?" "Tidak, tapi kurasa itu benar, dan aku menjalani hidup dengan ramalan itu. Tak ada perbedaan di antara manusia: kasta kami, sama halnya seperti kepercayaan kami, hanyalah ilusi yang datang antara kami dan kebenaran. Begitulah cara Surga mengatur seluruh umat manusia, dan begitu pula seharusnya apa yang kulakukan." "Aku mengikutimu karena rasa sayangku padamu dan karena aku percaya pada keadilan yang kau perjuangkan," ujarnya sambil tersenyum. "Tanpa kusadari ternyata kau juga menjadi penasihat spiritualku!" "Aku tak tahu apa-apa soal spiritual," kataku, curiga kalau dia sedang menertawaiku. "Aku telah mengabaikan kepercayaan masa kecilku dan aku tak bisa menggantinya dengan kepercayaan lain. Di balik semua ajaran itu, ada satu tempat kebenaran di mana semuanya menjadi satu." Makoto tertawa. "Nampaknya kau memiliki pengetahuan yang lebih mendalam di balik sikap tidak acuhmu dibanding aku yang telah belajar dan berdebat selama bertahun-tahun. Apa lagi yang orang suci itu katakan?" Aku mengulangi kata-kata dalam ramalan itu. "Tiga darah bercampur dalam dirimu. Kau terlahir di Hidden, tapi hidupmu dibawa ke alam keterbukaan dan tak lagi menjadi milikmu sendiri. Bumi akan menghantarkan apa yang menjadi keinginan Surga. Wilayah kekuasaanmu akan terbentang dari laut hingga laut," akhirnya dia berkata. "Tapi damai akan terwujud melalui pertumpahan darah. Lima peperangan akan membayar perdamaian, empat kali menang dan satu kali kalah.... " Aku berhenti di situ, tak yakin apakah akan meneruskan atau tidak. "Lima peperangan?" tanya Makoto. "Sudah berapa banyak yang kita jalani?" "Dua, bila termasuk Jin-emon dan bandit-banditnya." "Jadi itu sebabnya kau tanya apakah itu bisa disebut perang! Kau mempercayai ramalan itu?" "Seringkali ya. Semestinya begitu, kan?" "Aku akan mempercayai semua yang kudengar dari perempuan itu jika aku beruntung bisa berlutut di kakinya," ujar Makoto pelan. "Apakah ada yang lain lagi?" "Banyak yang mati," aku mengutip, "tapi kau akan selamat, kecuali di tangan anak laki-lakimu sendiri." "Aku turut prihatin," ujar Makoto dengan nada iba. "Itu beban teramat berat yang harus ditanggung laki-laki mana pun, apalagi kau yang memiliki ikatan kuat dengan anak-anak. Kurasa kau sudah lama menginginkan anak laki-laki, darah dagingmu sendiri." Aku terharu karena ternyata Makoto sangat mengenal diriku. "Di saat aku merasa telah kehilangan Kaede untuk selamanya, saat pertama kali ke perkampungan Tribe, aku tidur dengan gadis yang membantuku membawa Shigeru keluar dari Inuyama. Namanya Yuki. Dialah yang membawa kepala Shigeru ke kuil." "Aku ingat dia," sahut Makoto pelan. "Pastinya aku tak akan lupa saat dia datang dan betapa mengejutkannya kabar yang dibawanya." "Yuki adalah putri Kenji Muto," kataku, rasa kehilangan itu muncul. 'Aku tidak percaya Tribe memanfaatkannya sampai sejauh itu. Mereka ingin mendapatkan seorang anak, dan begitu Yuki melahirkan mereka langsung membunuhnya. Aku sangat menyesal dan seharusnya aku tidak melakukannya, karena itu menjadi penyebab kematian Yuki. Jika memang hanya putraku yang dapat membunuhku, aku memang pantas mendapatkannya." "Semua anak muda pasti pernah berbuat salah," kata Makoto. "Sudah menjadi takdir kalau kita harus menjalani hidup dengan konsekuensinya." Dia meraih lalu menggenggam tanganku. "Aku senang kau mengatakan semua ini padaku. Ini menegaskan banyak hal yang kurasakan padamu, bila kau memang pilihan Surga, maka kau akan dilindungi hingga cita-citamu terwujud." "Aku berharap akan terlindungi dari kesedihan," sahutku. "Bila itu terjadi, maka kau pasti bisa mendapatkan pencerahan," sahutnya acuh tak acuh. Bulan purnama membawa perubahan cuaca. Hawa panas berkurang dan udara terasa bersih. Bahkan tanda-tanda akan datangnya musim gugur di dinginnya pagi. Begitu festival berakhir, semangatku agak terpompa. Perkataan Kepala Biara yang lain terlintas di benakku, mengingatkan kalau para pengikutku, semua orang yang mendukungku, melakukannya atas kemauan mereka sendiri. Aku harus membuang kesedihanku dan kembali lagi pada cita-citaku agar mereka tak mati sia-sia. Dan ucapan Shigeru padaku di desa kecil bernama Hinode, di pelosok Tiga Negara, juga kembali terngiang di benakku. Hanya anak-anak yang menangis. Orang dewasa dapat menahannya. Kami berencana pergi keesokan harinya, namun sore itu terjadi gempa kecil, cukup kuat untuk membunyikan genta angin dan membuat anjing melolong panjang. Sore harinya terjadi lagi, lebih kuat lagi. Sebuah lampu jatuh di rumah di ujung jalan tempat kami menginap dan kami menghabiskan hampir semalaman membantu penduduk kota memadamkan kebakaran yang terjadi setelah gempa. Akibatnya, perjalanan kami tertunda lagi beberapa hari. Saat kami meninggalkan kota itu, aku hampir gila karena tidak sabar lagi ingin bertemu Kaede. Perasaan itu membuatku bergegas menuju Maruyama, bangun sebelum fajar menyingsing dan berkuda hingga larut malam dengan ditemani pudarnya sinar rembulan. Kami jarang berbincang; ketidakhadiran Jiro membuat semua orang merindukan canda tawa yang biasa kami lakukan, dan aku merasakan firasat kuat yang tak bisa kusingkirkan dari dalam diriku. Tepat memasuki Waktu Anjing* ketika kami tiba di kota. Lampu di sebagian besar rumah sudah dimatikan dan gerbang kastil telah dipasangi palang. Para penjaga menyapa kami dengan hangat, tapi itu semua tak mampu melenyapkan kecemasanku. Aku meyakinkan diriku kalau kecemasanku itu hanya karena letih karena perjalanan yang melelahkan. Aku ingin mandi air panas, makan enak, dan tidur dengan istriku. Tapi, begitu melihat raut wajah pelayan istriku, Manami, di pintu rumah, aku langsung tahu kalau ada yang tidak beres. Saat aku memintanya mengatakan pada Kaede kalau aku sudah pulang, dia langsung berlutut. "Tuan...Lord Otori.... " suara Manami terputus-putus, "Lady pergi ke Shirakawa untuk menjemput adik-adiknya." "Apa?" aku tidak mempercayai apa yang kudengar. Kaede pergi sendirian, tanpa mengatakan atau meminta ijinku? "Sudah berapa lama? Kapan seharusnya dia kembali?" "Lady Kaede pergi tidak lama setelah Festival of the Death." Tangis Manami nampaknya akan segera meledak. "Aku tak ingin membuat tuan panik, tapi seharusnya lady sudah kembali." "Mengapa kau tidak ikut dengannya?" "Beliau tidak mengijinkannya. Lady ingin menunggang kuda, pergi dengan cepat agar bisa kembali sebelum Anda pulang." "Nyalakan lampu dan minta orang memanggil Lord Sugita," perintahku, tapi sepertinya Sugita telah mendengar kedatanganku dan sedang ke arah kami. Aku berjalan memasuki rumah. Aku seakan masih mencium wewangian Kaede di udara. Ruangan yang indah dengan hiasan menggantung dan layar kasa yang dilukis membuat kehadirannya masih terasa di mana-mana. Manami menyuruh pelayan membawakan lampu, dan bayangan tubuh mereka bergerak tanpa suara melewati kamar-kamar. Salah seorang dari mereka menghampiriku dan membisikkan kalau air mandi telah disiapkan, tapi aku katakan padanya kalau aku akan bicara dengan Sugita lebih dulu. Aku masuk ke ruangan kesukaan Kaede dan pandanganku jatuh ke meja tulis tempat ia seringkali berlutut untuk menyalin catatan Tribe. Kotak kayu tempat menyimpan catatan itu biasanya selalu ada di sisi meja; tapi kotak itu kini tidak ada. Saat aku mengira-ngira apakah Kaede menyembunyikan atau membawanya, seorang pelayan memberitahukan kedatangan Sugita. "Aku mempercayakan istriku padamu," ujarku. Kemarahanku tak terbendung. "Mengapa kau ijinkan dia pergi?" Sugita tampak terkejut pada pertanyaanku. "Maaf," sahutnya. "Lady Otori memaksa pergi dengan membawa pengawal yang dipimpin Amano Tenzo. Keponakanku, Hiroshi, juga ikut. Itu hanya perjalanan santai, untuk mengunjungi rumahnya dan menjemput adik-adiknya." "Lalu mengapa dia belum juga kembali?" Sepertinya tidak berbahaya: mungkin sikapku terlalu berlebihan. "Aku yakin dia akan kembali besok," ujar Sugita. "Lady Naomi sering bepergian seperti itu; kamu sudah terbiasa dengan penguasa perempuan yang bepergian dengan cara seperti itu." Pelayan masuk membawa teh dan makanan, dan kami membicarakan tentang perjalananku dengan singkat selagi makan. Aku tidak mengatakan semuanya, khawatir kalau semua itu tidak terlaksana, tapi hanya mengatakan sekilas kalau aku sedang merencanakan strategi jangka panjang. Tidak ada kabar dari Miyoshi bersaudara dan tidak ada laporan mengenai apa yang sedang Arai maupun Otori lakukan. Semua itu membuatku merasa seolah berjalan tanpa tujuan dalam keadaan separuh gelap. Aku ingin bicara dengan Kaede dan aku sangat membenci keadaan tanpa informasi yang seperti ini. Andaikan aku punya jaringan mata-mata... aku sadar sedang berandai-andai seperti yang kulakukan sebelumnya, andai aku mendapatkan anak-anak yang berbakat, anak-anak yatim-piatu Tribe, jika anak-anak seperti itu memang ada, lalu membesarkan mereka demi kepentinganku sendiri. Aku memikirkan putraku dengan kerinduan yang ganjil. Akankah dia memiliki kemampuan Yuki dan diriku? Bila memang begitu, mereka akan memanfaatkannya untuk melawanku. Sugita berkata, "Kudengar Jiro tewas." "Ya, menyedihkan. Dia tertembus anak panah yang ditujukan padaku." "Tuan sangat diberkati bisa selamat!" serunya. "Apa yang terjadi pada pembunuhnya?" "Mati. Dan itu bukanlah usaha pembunuhan yang terakhir. Itu pekerjaan Tribe." Aku ingin tahu seberapa banyak yang Sugita tahu tentang hubunganku dengan Tribe, gunjingan apa yang beredar tentang diriku. "Oh ya, istriku sedang menyalin sesuatu. Apa yang terjadi dengan kotak beserta gulungan kertasnya?" "Benda itu tidak pernah lepas dari pandangannya," sahut Sugita. "Jika kedua benda itu tak ada di sini, pasti beliau membawanya." Agar tidak terlihat cemas, aku tak bertanya apa-apa lagi. Saat Sugita keluar, aku pergi mandi, memanggil pelayan agar datang dan menggosok punggungku, sambil berharap Kaede tiba-tiba muncul seperti yang dia lakukan di kediaman Niwa, lalu aku teringat, hampir tidak bisa kutahan, Yuki. Ketika pelayan pergi, aku berendam dalam air panas sambil memikirkan apa yang akan kukatakan pada Kaede, karena aku sadar harus mengatakan ramalan tentang putraku padanya, tapi aku tak bisa membayangkan bagaimana merangkainya dalam kata-kata. Manami menggelar alas tidur dan sedang menunggu untuk mematikan lampu. Aku bertanya tentang kotak catatan dan jawabannya sama seperti jawaban Sugita. Lama sekali sebelum aku bisa tidur. Aku mendengar kokok ayam di pagi hari, kemudian tertidur pulas tepat saat fajar menyingsing. Saat terbangun, matahari sudah tinggi dan aku mendengar suara-suara penghuni rumah. Manami masuk membawa sarapan. Dia memintaku beristirahat setelah perjalanan panjang dan melelahkan saat aku mendengar suara Makoto di luar. Aku suruh Manami memanggilnya masuk, tapi Makoto sudah memanggilku dari arah taman, tanpa membuka sandal. "Cepat kemari. Bocah itu, Hiroshi, sudah kembali." Begitu cepatnya aku berdiri sampai tanpa sengaja menyenggol nampan makanan hingga terlempar. Manami memekik kaget, lalu memunguti tumpahan makanan. Dengan kasar aku menyuruhnya membiarkan tumpahan itu. Aku menyuruhnya mengambilkan pakaianku. Selesai berpakaian, aku menghampiri Makoto di luar. "Di mana dia?" "Di rumah pamannya. Keadaannya sangat tidak baik." Makoto mencengkram bahuku. "Maaf, berita yang dia bawa sangat buruk." Pikiranku langsung tertuju pada gempa. Terlintas di benakku api yang kami padamkan dengan penuh perjuangan dan membayangkan Kaede terjebak di dalamnya, terperangkap di rumah yang sedang terbakar. Aku menatap Makoto, melihat derita di matanya, dan sedang berusaha merangkai kata-kata yang tidak mampu dia ucapkan. "Dia belum mati," sahutnya cepat. "Tapi Amano dan seluruh pasukan, sepertinya habis dibantai. Hanya Hiroshi yang lolos." Aku tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi. Tak seorang pun bernyali untuk menyakiti Kaede, baik di Maruyama maupun di Shirakawa. Apakah Tribe menculiknya untuk melawanku? "Lord Fujiwara yang melakukannya," urai Makoto. "Kaede ada di rumahnya." Kami berlari melintasi bailey* di halaman luar kastil, melewati gerbang kastil, menuruni lereng, dan melewati jembatan ke arah kota. Rumah Sugita tepat di seberang sungai. Orang-orang berkumpul di luar rumah, menatap rumah tanpa berbicara. Kami berdesakan melewati mereka dan masuk ke taman. Dua pelayan laki-laki berusaha agar seekor kuda yang kelelahan untuk tetap berdiri. Warna kelabu kuda itu cantik, warna punggungnya gelap karena keringat. Bola matanya berputar-putar, mulutnya berbusa. Kurasa hewan itu tak akan bangun lagi. "Bocah itu berkuda siang malam tiada henti untuk bisa sampai ke sini," ujar Makoto, tapi aku hampir tak mendengarnya. Bahkan lebih dari biasanya, aku begitu waspada pada setiap detil di sekelilingku: pantulan sinar lantai kayu dari dalam rumah, wangi bunga yang ditaruh di sudut ruangan, kicau burung di semak taman. Di benakku terngiang samar-samar suara berulang-ulang Fujiwara? Sugita menghampiri kami, wajahnya pucat pasi. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia terlihat seperti orang yang telah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. "Lord Otori...." ujarnya, tergagap. "Anak itu terluka? Dia bisa bicara?" "Sebaiknya Anda masuk dan bicara dengannya." Hiroshi berbaring di kamar yang terletak di belakang rumah. Kamar itu menghadap ke taman kecil yang menghijau; aku mendengar bunyi aliran sungai yang melewati taman itu. Lebih sejuk di sini dibandingkan di ruang utama, dan cerahnya mentari pagi agak terhalang oleh pepohonan besar. Dua perempuan berlutut di samping anak itu, salah seorang mengelap wajah, tangan dan kakinya dengan kain basah. Sedangkan seorang lagi memegang mangkuk teh dan berusaha membujuk Hiroshi meminumnya. Mereka berdua berhenti dan membungkuk hormat saat kami masuk. Hiroshi menoleh, melihatku dan berusaha duduk. "Lord Otori," bisiknya, berusaha keras bicara meskipun air mata mengambang di matanya. Berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis, dia berkata, "Maafkan aku. Maafkan aku. Ampuni aku." Aku merasa iba. Dia berusaha menjadi seorang ksatria, berusaha menjalani hidup sesuai dengan cara ksatria yang keras. Aku berlutut di sampingnya dan menaruh tanganku di rambutnya dengan penuh kasih sayang. Rambutnya masih ditata seperti anak-anak; usianya masih jauh dari usia akil balik, tapi dia berusaha bersikap seperti lakilaki dewasa. "Ceritakan apa yang terjadi." Pandangannya terpaku ke wajahku, aku tak membalas tatapannya. Hiroshi berbicara dengan tenang, mantap, seolah dia sudah berlatih mengucapkan apa yang telah terjadi selama di perjalanan. "Ketika sampai di kediaman Lady Otori, pengawalnya, Lord Shoji jangan percaya padanya, dia mengkhianati kami! Mengatakan kalau adik-adik lady sedang berkunjung ke tempat Lord Fujiwara. Lady menyuruh dia jemput, tapi pengawal itu kembali dengan mengatakan bahwa kedua adik lady tidak ada lagi di sana, tapi Lord Fujiwara berpesan bahwa dia akan mengatakannya-beliau hanya akan mengatakan di mana kedua adiknya berada jika Lady mengunjunginya. Kami berangkat keesokan harinya. Seorang laki-laki bernama Murita menyambut kami. Begitu melewati gerbang, Lady Otori langsung diserang. Amano yang waktu itu ada di sampingnya langsung dibunuh. Setelah itu, aku tak melihat apa-apa lagi." Suaranya terputus dan dia menarik napas panjang. "Kudaku melompat. Aku tak mampu mengendalikannya. Mestinya aku membawa kuda yang lebih tenang, tapi aku menyukai kuda itu karena sangat gagah. Amano mengkritikku karena memilih kuda itu; katanya kuda itu terlalu kuat untukku. Aku tidak menggubrisnya. Aku tak bisa membela lady." Air mata mulai berlinang di pipinya. Salah seorang perempuan yang ada di situ membungkuk dan menyeka air matanya. Makoto berkata dengan lembut, "Kita sangat berterima kasih pada kuda itu. Seandainya kau tidak berhasil lari, kami tak akan pernah tahu apa yang telah terjadi." Kucoba memikirkan sesuatu yang dapat menenangkan Hiroshi, tapi keadaannya sama sekali tidak tenang. "Lord Otori," tandas Hiroshi, sambil mencoba bangkit. "Akan kutunjukkan jalan ke sana. Kita bisa ke sana untuk menjemput lady pulang!" Anak itu terlalu keras berusaha. Dapat kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Kuraih bahunya dan menariknya agar berbaring. Peluh dan air matanya bercampur, dan sekujur tubuhnya gemetar. "Dia perlu istirahat, tapi dia tidak bisa diam, selalu berusaha bangun," ujar Sugita. "Lihat aku, Hiroshi." Aku membungkuk di atas badannya dan membiarkan mataku menatap matanya. Dia segera tertidur. Tubuhnya melemas dan napasnya teratur. Kedua perempuan itu kaget, menarik napas, dan aku melihat mereka saling berpandangan dengan takjub. Mereka agak beringsut menjauhiku, memalingkan wajah dan berhati-hati agar tidak menyentuh pakaianku. "Dia akan tertidur lama," kataku. "Itu yang dia butuhkan. Katakan padaku saat dia bangun nanti." Aku bangkit. Makoto dan Sugita juga, sambil menatapku dengan penuh harap. Aku terhuyung-huyung karena geram, tapi ketenangan yang mematikan rasa akibat kekagetan menghampiriku diriku. "Ikut denganku," kataku pada Sugita. Aku ingin bicara berdua dengan Makoto, tapi aku tak ingin ambil resiko meninggalkan Sugita sendirian. Takut dia bunuh diri, dan aku tak mau kehilangan dia. Kesetiaan utama Klan Maruyama adalah pada Kaede, bukan padaku; aku tidak tahu bagaimana reaksi mereka atas berita ini. Aku mempercayai Sug-ita lebih dari yang lainnya dan yakin bila dia tetap setia, maka begitu pula yang lainnya. Kami berjalan kembali menyeberangi jembatan dan menanjak ke bukit menuju kastil. Kerumunan orang di luar semakin banyak, dan para laki-laki bersenjata bermunculan di jalanan. Suasana kacau-tidak terlalu panik atau bahkan terkejut, hanya segerombolan orang yang sulit diatur yang berdesakan, saling bertukar kabar, menyiapkan diri untuk tindakan yang tidak diharapkan. Aku harus segera mengambil keputusan sebelum situasinya semakin memanas dan tak terkendali. Begitu sampai di dalam gerbang, aku berkata pada Makoto, "Siapkan pasukan. Siapkan separuh prajurit kita untuk menghadapi Fujiwara. Sugita, kau harus tetap di sini dan mempertahankan kota. Dua ribu pasukan akan tetap di sini dalam komandomu. Timbun bahan makanan di kastil untuk bertahan dari pengepungan. Aku akan pergi saat fajar menyingsing." Wajah Makoto berkerut dan suaranya terdengar cemas. "Jangan terburu-buru. Kita tidak tahu di mana Arai berada. Mungkin ini perangkap. Untuk menyerang Lord Fujiwara, orang dengan derajat dan status setinggi dia, hanya akan membuat orang-orang menentangmu. Mungkin yang terbaik adalah jangan tergesa-gesa-" Aku menyela, "Tidak mungkin aku menunggu. Akan kulakukan apa pun untuk mendapatkan istriku kembali. Mulai sekarang juga." Kami menghabiskan sehari penuh untuk melakukan persiapan dengan perasaan kalut. Aku tahu kalau aku benar dengan bertindak secepatnya. Reaksi pertama dari orang-orang Maruyama adalah marah dan merasa terhina. Aku ingin memanfaatkan itu. Bila serangan ditunda, aku akan terlihat setengah hati, membuat mereka meragukan legitimasiku. Aku menyadari resiko yang kuambil, dan tahu kalau aku bertindak terlalu terburu-buru, tapi aku tak tahu cara yang lain. Saat menjelang malam, aku memerintahkan Sugita memanggil semua tetua. Dalam waktu singkat mereka semua telah berkumpul. Aku memberitahukan maksud dan tujuanku, mengingatkan tentang konsekuensinya, dan juga mengatakan kalau aku mengharapkan kesetiaan penuh mereka padaku dan pada istriku. Tak seorang pun keberatan-kurasa kemarahanku terlalu kuat untuk itu-tapi tetap saja aku cemas. Mereka berasal dari generasi yang sama dengan Fujiwara dan Arai, dan besar dengan cara yang sama. Aku mempercayai Sugita, tapi dengan perginya Kaede, dapatkah dia mempertahankan kesetiaan para tetua selagi aku tak berada di sini? Aku minta dibawakan Shun, lalu aku menungganginya untuk menjernihkan pikiran, melemaskan kaki-kakinya sebelum mengajaknya melakukan satu perjalanan berat lagi, dan juga untuk melihat keadaan wilayah ini. Sebagian besar padi telah dipanen, para petani bekerja siang dan malam memotong padi sebelum cuaca berubah. Petani yang kuajak bicara merasa cemas, memperkirakan badai yang akan datang: melihat dari lingkaran cahaya bulan purnama terakhir, angsa-angsa yang bermigrasi. Aku mengatur prajurit Sugita untuk membantu memperkuat bendungan dan bantaran sungai agar dapat menahan banjir; tidak diragukan lagi, mereka pasti akan mengeluh, tapi kuharap kesadaran akan adanya krisis bisa mengalahkan kesombongan mereka. Akhirnya tersadar kalau aku sudah berada di dekat dusun kecil tempat para gelandangan bermukim. Bau kulit yang dijemur dan darah segar seperti biasa merebak di sekitarnya. Beberapa laki-laki, Jo-An di antaranya, sedang menguliti seekor kuda mati. Aku mengenali warna kelabu cerah binatang itu; itu kuda milik Hiroshi yang kulihat sekarat pagi itu. Kupanggil Jo-An lalu turun dari kuda, sambil memberikan tali kekang pada pelayan laki-laki yang menemaniku. Aku berjalan lalu berdiri di tepi sungai dan Jo-An menghampiri, membasuh darah di lengan sampai telapak tangannya di sungai. "Kau sudah dengar beritanya?" Dia mengangguk, menatapku, lalu berkata, "Apa yang akan kau lakukan?" "Apa yang seharusnya kulakukan? Aku ingin mendengar kata-kata dari Tuhan. Aku ingin mendengar ramalan lagi, ramalan yang memasukkan Kaede di dalamnya, yang mengikat masa depan kami bersama. Akan kuikuti itu tanpa pikir panjang." "Masih tersisa tiga pertempuran lagi," ujar Jo-An. "Sekali kalah dan dua menang. Kemudian kau akan berkuasa dalam damai, sejauh laut membentang." "Bersama istriku?" Jo-An memalingkan wajah ke arah sungai. Dua burung bangau putih sedang mencari ikan di dekat bendungan. Terlihat kelebatan warna jingga dan biru burung pekakak menukik dari pohon willow. "Jika memang harus kalah satu kali, seharusnya kau kalah sekarang ini," tandasnya. "Jika aku kehilangan istriku, tak satu pun dari kemenangan itu berarti bagiku," sahutku. "Aku akan mengakhiri liidupku." "Itu dosa," sahutnya cepat. "Tuhan mempunyai rencana padamu. Yang harus kau lakukan hanyalah mengikutinya." Saat aku tak menjawab, dia menambahlcan, "Sangat berarti bagi kami yang telah meninggalkan segalanya demi dirimu. Juga sangat berarti bagi mereka yang menderita di tanah Otori saat ini. Kami bisa bertahan dalam peperangan jika memang kedamaian datang dari situ. Jangan tinggalkan kami." Aku berdiri di tepi sungai yang tenang diterangi matahari sore, sambil berpikir bila aku tak bisa mendapatkan Kaede kembali, maka hatiku akan hancur. Seekor bangau abu-abu terbang rendah di permukaan air, tepat di atas bayangannya sendiri. Burung itu melipat sayap besarnya dan mendarat dengan mulus tanpa mencipratkan banyak air. Kemudian bangau itu berpaling ke arah kami, memandangi kami, lalu setelah menyadari kalau kami tak berbahaya baginya, hewan itu mulai mencari ikan di tempat yang dangkal. Tujuanku yang sebenarnya adalah membalaskan dendam Shigeru hingga tuntas dan mengambil warisanku. Ini artinya ramalan itu akan terpenuhi. Tapi mustahil aku membiarkan ada yang merebut Kaede tanpa perlawanan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengejarnya, meskipun itu berarti melepas semua yang telah aku perjuangkan selama ini. Kuucapkan selamat tinggal pada Jo-An dan kembali ke kastil. Aku mendapat kabar kalau Hiroshi sudah sadar dan kondisinya mulai membaik. Aku menyuruh orang memanggilnya untuk menghadap padaku. Selagi menunggu, aku mencari kotak catatan di seluruh penjuru rumah, tapi tidak juga menemukannya. Hal itu juga menjadi sumber kekhawatiranku yang lainnya. Aku takut kotak itu dicuri, yang bisa diartikan kalau Tribe telah menembus kastil ini satu kali, berarti mereka bisa melakukannya lagi. Hiroshi datang tepat sebelum matahari terbenam. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, tapi selain itu, anak itu pulih sangat cepat. Secara fisik dan mental Hiroshi memang tangguh seperti laki-laki dewasa. Aku bertanya tentang setiap detil perjalanan itu dan memintanya menggambarkan daerah di sekitar kediaman Shirakawa dan Fujiwara. Dia mengatakan bagaimana Raku dibunuh, dan kabar itu membawa kesedihan yang dalam bagiku. Kuda abu-abu bersurai hitam itu adalah kuda pertama yang kulatih, suatu mata rantai dengan Shigeru dan hidup singkatku sebagai putranya di Hagi. Raku adalah pemberianku untuk Kaede ketika tak ada yang dapat kuberikan padanya, dan kuda itulah yang membawa Kaede ke Terayama. Aku menyuruh orang lain keluar agar aku dapat bicara berdua dengannya, dan aku meminta dia lebih mendekat. "Berjanjilah bahwa kau tak akan mengatakan pada siapa pun tentang apa yang akan kita bicarakan." "Aku bersumpah," sahutnya, menambahkan tanpa berpikir lagi, "Lord Otori, aku berhutang nyawa pada Anda. Akan kulakukan apa pun untuk membantu menyelamatkan Lady Otori." "Kita akan menyelamatkannya," sahutku. "Aku akan berrangkat besok." "Ajak aku bersamamu," pintanya. Aku tergoda dengan permohonannya, tapi kupikir dia masih belum pulih benar. "Tidak, kau harus tetap di sini." Wajahnya terlihat seolah hendak mengajukan keberatan, tapi dia diam dengan menggigit bibirnya. "Catatan yang disalin istriku-apakah dia membawanya?" Hiroshi berbisik, "Kami membawa catatan yang asli dan salinannya. Kami menyembunyikannya di Shirakawa, di Gua Suci." Aku memberkati Kaede atas kearifannya. "Ada orang lain yang tahu hal ini?" Hiroshi menggeleng. "Kau bisa menemukannya lagi?" "Tentu saja." "Jangan pernah mengatakan pada siapa pun tempat penyimpanannya. Kelak kita akan mengambilnya." "Lalu kita hukum Shoji," sahutnya dengan penuh kemenangan. Beberapa saat kemudian, dia menambahkan, "Lord Otori, bolehkah aku bertanya sesuatu?" "Pasti." "Pada hari kematian ayahku, orang-orang yang membunuh para penjaga membuat diri mereka tak terlihat. Bisakah Anda melakukannya?" "Mengapa kau menanyakannya? Kau pikir aku bisa melakukannya?" "Kedua pelayan perempuan di kamarku mengatakan Anda penyihir-maaf. Anda bisa melakukan banyak hal aneh, seperti membuatku tertidur." Wajahnya berkerut saat menatapku. "Itu bukan sekadar tidur biasa; aku melihat mimpi yang nyata dan mengerti hal-hal yang tadinya tidak kumengerti. Jika Anda bisa menghilang, bisakah Anda mengajariku caranya?" "Ada beberapa hal yang tak bisa diajarkan," sahutku. "Semua kemampuan itu terlahir dalam dirimu. Kau sudah punya banyak keahlian, dan juga telah dibesarkan dengan cara yang terbaik." Sesuatu yang kukatakan tiba-tiba membuat matanya dipenuhi liangan air mata. "Mereka bilang Jiro mati." "Ya, dia dibunuh oleh pembunuh bayaran yang sedang membidikku." "Anda mencabut nyawa pembunuh bayaran itu?" "Aku membunuhnya, tapi sebenarnya dia sudah sekarat. Dia menggigit Iidahnya sendiri." Mata Hiroshi berkaca-kaca. Aku ingin menjelaskan rasa kehilangan atas kematian Hajime dan Jiro, perubahan perasaanku tentang siklus tanpa akhir dari pertumpahan darah dan balas dendam, namun kurasa anak ini tak akan mampu memahaminya, meskipun setelah tertidur oleh kekuatan tidur Kikuta, dan aku juga ingin menanyakan hal lain padanya. "Banyakkah orang percaya aku penyihir?" "Sebagian orang bergunjing tentang hal itu," akunya. "Kebanyakan perempuan dan orang bodoh." "Aku mengkhawatirkan ketidaksetiaan di kastil ini. Itulah sebabnya aku ingin kau tetap di sini. Bila menurutmu ada bahaya mengancam, atau Maruyama akan berpihak pada Arai selagi aku pergi, kabari aku secepatnya." Hiroshi menatapku. "Tak seorang pun di sini akan mengkhianati Lord Otori." "Seandainya aku bisa seyakin dirimu." "Aku yang akan mencari Anda," janjinya. "Pastikan kau menunggang kuda yang lebih tenang," perintahku padanya. Aku menyuruhnya untuk kembali ke rumah pamannya dengan membawa makanan. Makoto kembali dengan laporan tentang persiapan; segalanya sudah siap untuk keberangkatan kami di pagi hari. Meskipun begitu, selesai makan, dia mencoba membujukku lagi. "Ini sungguh gila," ujarnya. "Aku tak akan mengatakan apa-apa lagi setelah malam ini dan aku akan tetap ikut denganmu, namun menyerang bangsawan yang tunangannya telah kau rebut.... " "Kami menikah secara sah," sahutku. "Dialah yang bertindak keterlaluan." "Bukankah sudah kuperingatkan sewaktu di Terayama, bagaimana orang memandang penikahanmu? Inilah hasil dari tindakanmu yang gegabah, jika kau tetap berkeras hendak menyerang, maka inilah kehancuranmu." "Kau yakin ucapanmu ini bukan karena cemburu? Kau selalu menentang rasa cintaku pada Kaede." "Hanya bila itu dapat menghancurkan kalian berdua," sahutnya tenang. "Hasrat telah membuatmu buta. Kau di pihak yang salah. Sebaiknya kau tunduk saja pada keadaan ini dan mencoba berdamai dengan Arai. Jangan lupa kalau kemungkinan dia menahan Miyoshi bersaudara sebagai sandera. Menyerang Lord Fujiwara hanya akan membuat dia marah.... " "Jangan memberi saran seperti itu!" sahutku geram. "Menyerah pada keadaan kalau istriku direbut? Seluruh dunia akan mengejekku. Lebih baik aku mati!" "Mungkin kita semua akan mati," sahutnya. "Maaf kalau aku harus mengatakan semua ini, Takeo, tapi itu sudah menjadi kewajibanku. Bagaimanapun juga, sudah kukatakan berulangkali bahwa cita-citamu adalah cita-citaku juga dan aku akan tetap mengikuti apa pun keputusanmu." Aku terlalu marah untuk meneruskan perbincangan. Aku mengatakan ingin beristirahat dan memanggil Manami. Pelayan itu masuk, matanya merah karena menangis, dan menyingkirkan nampan makanan lalu menghamparkan kasur. Aku harus mandi sekarang, jika tidak, akan lama lagi baru aku bisa mandi. Aku tidak ingin berhenti merasa marah, karena jika marahku reda, kesedihan dan sesuatu yang lebih buruk lagi-ketakutan-akan datang menggantikan perasaan itu. Ingin aku menjaga agar suasana hatiku tetap kelam, mengeluarkan sisi gelap Kikuta yang membuat rasa takutku lenyap. Satu ajaran Matsuda muncul di benakku: Jika orang menyerang sungguh-sungguh, maka dia akan menang. Jika mencoba bertahan, dia akan mati. Kini saatnya menyerang sungguh-sungguh, karena bila aku kehilangan Kaede, berarti alcu'kehilangan segalanya. Manami bahkan lebih gelisah lagi keesokan paginya. Dia menangis tersedu-sedu tanpa bisa mengendalikan diri saat mengucapkan selamat jalan. Sedangkan saat di jalan, pasukan dan penduduk kota yang bergembira berkerumun di luar untuk berteriak dan melambaikan tangan saat kami lewat. Aku hanya membawa prajurit berpengalaman, terutama ksatria Otori dan ksatria lainnya yang sudah ikut denganku sejak dari Terayama, meninggalkan para petani untuk memanen, melindungi rumah serta kota. Sebagian besar prajurit Maruyama tetap tinggal untuk mempertahankan kastil, namun beberapa di antaranya turut serta bersama kami sebagai penunjuk jalan dan pengintai. Aku membawa sekitar lima ratus prajurit berkuda dan lima ratus pemanah yang berkuda dan berjalan kaki. Sisanya adalah prajurit pejalan kaki yang bersenjatakan tongkat dan tombak. Juga ada iring-iringan kuda beban, dan pengangkut barang yang membawa perbekalan. Aku bangga melihat betapa cepatnya pasukanku berkumpul dan mempersenjatai diri. Kami belum berjalan jauh dan hampir menyeberangi sungai Asagawa, tempat kami pernah mengalami kemenangan besar atas Iida Nariaki, saat aku menyadari kalau Jo-An dan kelompoknya mengikuti kami. Setelah menyeberangi sungai, kami ke selatan menuju Shirakawa. Belum pernah aku melewati jalan itu, tapi aku tahu setidaknya akan perlu waktu dua hari untuk sampai ke rumah Kaede. Makoto mengatakan kalau kediaman Fujiwara agak ke selatan. Saat berhenti makan siang, aku menghampiri Jo-An, sepenuhnya sadar pada tatapan para prajurit ke arahku. Kupasang telingaku untuk mendengarkan. Aku memutuskan untuk menghukum siapa pun yang berkomentar buruk, namun tak seorang pun berani melakukannya. Jo-An menyembah, namun aku menyuruhnya dudulc. "Mengapa kau ikut?" Dia tersenyum, lebih mirip menyeringai, memperlihatkan ompongnya. "Untuk menguburkan orang mati." Jawaban yang dingin, jawaban yang tidak ingin kudengar. "Cuacanya berubah," sambung Jo-An, sambil menatap sekumpulan awan yang berarak di langit dari arah barat seperti ekor kuda. "Akan ada badai." "Ada kabar baik untukku?" "Tuhan selalu mempunyai kabar baik untukmu," sahutnya. "Akulah yang memperingatkanmu setelah itu." "Setelah itu?" "Setelah kalah dalam pertempuran." "Mungkin aku tidak kalah!" Tentunya aku tak bisa membayangkan akan kalah karena pasukanku sedang bersemangat dan segar serta kemarahanku yang membara. Jo-An tak bicara lagi, tapi bibirnya berkomat-kamit, dan aku tahu dia sedang berdoa. Makoto juga tampak berdoa saat diperjalanan, atau sedang berada dalam tingkatan meditasi yang dicapai rahib. Dia nampak begitu tenang dan menyendiri, seakan hubungannya dengan dunia telah terputus. Aku hampir tidak bicara dengannya karena aku masih marah, tapi kami berjalan berdampingan seperti yang sering kami lakukan. Betapa pun Makoto ragu pada penyerangan ini, aku tahu dia tak akan meninggalkanku, dan sedikit demi sedikit, aku ditenangkan oleh irama derap kuda, kemarahanku padanya mereda. Langit perlahan dipayungi warna gelap di kaki langit. Cuaca tenang namun terasa tidak alami. Malam itu kami mendirikan kemah di luar suatu kota kecil; saat dini hari hujan mulai turun. Saat tengah hari, hujan semakin deras, melambatkan perjalanan serta mengurangi semangat kami. Tetap saja, aku terus mengatakan pada diriku, belum ada badai. Kami bisa hadapi sedikit hujan. Makoto tidak terlalu optimis, takut kalau kami akan tertahan di Shira-kawa yang sering dilanda banjir dalam cuaca seperti ini. Namun kami tidak pernah sampai ke Shirakawa. Saat di dekat perbatasan Maruyama, aku mengirim pengintai ke baris depan. Mereka kembali pada sore hari dengan berita bahwa ada sepasukan berkekuatan sedang, mungkin berjumlah seribu dua ratus atau seribu lima ratus orang mendirikan tenda di tanah lapang di depan. Ada umbul-umbul Seishuu, tapi mereka juga melihat hiasan lambang Lord Fujiwara. "Dia hendak menghadang kita," ujarku pada Makoto. "Dia sudah mengetahui reaksiku." "Hampir dipastikan Fujiwara tak ada di sini," sahut Makoto. "Tapi dia mampu mengerahkan sekutu-sekutunya. Seperti yang kutakutkan, kita telah terperangkap. Tak sulit untuk menerka reaksimu." "Kita serang mereka saat subuh." Aku lega karena pasukannya tak besar. Aku tidak merasa terintimidasi oleh Fujiwara; yang kutakutkan adalah bentrokan dengan Arai dan sebagian dari tiga puluh ribu pasukan di bawah perintahnya. Kabar terakhir yang kudengar, Arai berada di Inuyama. Tapi aku tak mendengar kabar tentang kegiatannya selama musim panas ini; mungkin dia telah kembali ke Kumamoto yang kutahu hanya berjarak satu hari perjalanan dari Shirakawa. Aku menanyai secara detail kepada para pengintai tentang daerah ini. Salah satu dari mereka, Sakai, sangat mengenal wilayah ini. Dia menganggap tempat ini sebagai medan perang yang bagus, dan akan lebih baik lagi jika cuacanya cerah. Tanah datar itu tidak luas, diapit barisan pegunungan di bagian selatan dan timur, tapi terbuka di bagian lainnya. Ada jalan kecil ke selatan, kemungkinan yang dilalui musuh saat mereka datang, dan lembah yang luas mengarah ke utara, dan berujung di jalan ke pantai. Jalan yang kami lalui dari Maruyama mengarah ke lembah ini beberapa mil sebelum tiba di bagian tanah berbatu. Hanya ada sedikit air di dataran tinggi ini sehingga tanahnya tidak digarap. Kuda memakan rumput yang disiangi sekali setahun pada saat musim gugur. Pada awal musim semi, rerumputan dibakar. Sakai mengatakan kalau Lady Maruyama sering ke sini saat masih muda untuk melihat beberapa burung dang berburu makanan sebelum matahari tenggelam. Lembah di belakang kami bisa menjadi jalan untuk mundur, jika terpaksa, meskipun aku tak berniat mundur. Tujuanku hanya maju, melumatkan siapa pun yang menghalangi jalan untuk mengambil istriku, dan menghapus hinaan keji pada penculikannya. Aku teringat pada pesan Matsuda yang mengatakan agar jangan maju berperang bila tidak tahu jalan mundur. Meskipun kemarahanku masih memuncak, aku tak akan mengorbankan pasukanku dengan sia-sia. Malam itu mentari seakan segan untuk menampakkan diri meskipun hujan tidak lagi deras. Rintik hujan masih ada saat fajar menyingsing, dan ini membangkitkan semangatku. Kami bangun di kegelapan dan mulai berjalan begitu langit terang. Umbul-umbul Otori dibentangkan walaupun terompet belum dibunyikan. Sebelum tiba di ujung lembah, aku memerintahkan pasukan berhenti. Aku dan Sakai berjalan kaki menuju ke pinggiran tanah lapang itu. Hamparan terbentang sampai ke tenggara dalam rangkaian bukit kecil bundar yang ditutupi rumput tinggi dan bunga-bunga liar, terputus oleh tonjolan bebatuan abu-abu keputihan berbentuk aneh yang banyak di antaranya ditumbuhi lumut kuning dan jingga. Hujan membuat tanah di kaki kami berlumpur dan licin, kabut menggantung di rerumputan di atas tanah lapang itu. Jarak pandang tak lebih dari beberapa ratus langkah; tapi, aku bisa mendengar musuh dengan jelas: ringkik kuda, teriakan pasukan, dan gemerincing pelana. "Seberapa jauh kau pergi semalam?" aku berbisik pada Sakai. "Hanya sampai di punggung bukit yang pertama; kirakira sejauh ini. Pengintai mereka juga berkeliaran." "Mereka pastinya tahu kalau kita di sini. Mengapa mereka belum juga menyerang?" Aku menduga mereka akan menyerang kami di depan lembah; bunyi dan suara yang kudengar adalah pasukan yang sedang siaga, tapi belum bergerak. "Mungkin mereka tak ingin melewatkan keuntungan lereng," usulnya. Lereng itu memang menguntungkan mereka, namun lereng itu tidak terlalu curam dan tidak terlalu menguntungkan. Kabut semakin mengganggu, aku tidak dapat melihat berapa banyak pasukan di depan kami. Aku mendekatkan telinga ke tanah dengan hening selama beberapa saat, memasang telinga. Di bawah tetesan air hujan dan desau pepohonan bisa kudengar jumlah pasukan musuh yang sama banyaknya dengan pasukan kami... benarkah perkiraanku? Dari kebisingan pihak musuh, jumlah mereka sepertinya semakin banyak layaknya, gelombang di laut. "Kau melihat sekitar seribu lima ratus orang?" "Lebih mendekati seribu dua ratus," sahut Sakai. "Aku berani taruhan." Aku mengangguk. Mungkin karena cuaca, kegelisahan dan ketakutan yang membuatku salah menduga. Mungkin pendengaranku telah menipuku. Tapi, selagi kami kembali ke pasukan utama, aku memanggil Makoto dan para kepala pasukan lalu menyatakan kekhawatiranku bahwa jumlah pasukan kami kalah banyak, dan jika memang begitu, maka kami akan segera mundur saat terompet kerang dibunyikan sebagai aba-aba. "Kita akan mundur ke Maruyama?" tanya Makoto. Itulah rencanaku, tapi aku memerlukan alternatif lain karena tindakan itu pasti telah diperkirakan musuh, dan dugaanku mereka telah menyerang kastil sehingga kami akan terperangkap. Aku menarik Makoto dan berkata, "Jika Arai juga menentang kita, maka kita tak bisa bertahan. Satu-satunya harapan kita yaitu mundur ke pesisir dan meminta Terada membawa kita ke Oshima. Saat kita mulai mundur, kuingin kau berjalan lebih dulu untuk menemui Ryoma. Dia harus mengaturnya dengan Terada Fumio." "Orang-orang akan mengatakan aku pengecut," protesnya. "Aku lebih memilih tetap di sampingmu." "Tak ada lagi orang yang bisa kukirim ke sana. Kau mengenal Ryoma dan tahu jalan ke sana. Lagi pula, kemungkinan kami semua akan mundur perlahan." Dia memandangku dengan rasa ingin tahu. "Apakah kau punya firasat buruk mengenai pertempuran ini? Inikah pertempuran di mana kita akan kalah?" "Hanya untuk berjaga-jaga. Bila memang itu terjadi, aku ingin melindungi pasukanku," sahutku. "Aku sudah kehilangan begitu banyak orang, aku tak ingin kehilangan mereka juga. Lagi pula masih ada dua pertempuran untuk dimenangkan!" Makoto tersenyum; sesaat kami saling berpegangan tangan. Aku menaiki kuda berjalan ke depan pasukan dan memberi aba-aba untuk maju. Pasukan pemanah berjalan di depan, diikuti prajurit pejalan kaki, dengan pasukan berkuda di sisi lainnya. Saat kami keluar dari bukit, dengan aba-aba dariku, pasukan pemanah memisahkan diri menjadi dua kelompok lalu bergerak kedua sisi. Aku memerintahkan pasukan pejalan kaki untuk berhenti sebelum mereka masuk dalam jangkauan panah musuh. Kekuatan musuh muncul dari balik kabut. Kukirim salah seorang ksatria Otori ke garis depan. Dia berteriak sekeras-kerasnya. "Lord Otori Takeo sedang bergerak melewati wilayah ini! Biarkan beliau lewat atau bersiaplah untuk mati!" Salah satu anggota pasukan musuh berteriak menyahut, "Kami diperintahkan Lord Fujiwara untuk menghukum orang yang bernama Otori itu! Kami akan memenggal kepalanya dan kepalamu sebelum siang!" Kekuatan kami pasti terlihat menyedihkan di hadapan mereka. Prajurit pejalan kaki mereka dengan sangat percaya diri mulai mengaliri lereng dengan tombak terhunus. Pemanah kami segera melepaskan anak panah dan musuh berlarian di bawah hujan anak panah. Pemanah mereka membalas serangan, namun kami masih di luar jangkauan mereka, dan prajurit berkuda kami menyapu bersih prajurit pejalan kaki dan melawan pemanah sebelum mereka sempat memasang anak panah ke busur. Kemudian prajurit pejalan kaki kami merangsek maju dan memaksa musuh mundur ke lereng. Aku tahu kalau pasukanku terlatih dengan baik, tapi kekejaman mereka masih membuatku terkejut. Mereka tampak tak terbendung saat merangsek maju. Musuh nampak mulai mundur, lebih cepat dari yang kuperkirakan, dan kami mengejar mereka, pedang-pedang terhunus, menyabet dan menebas pasukan yang terdesak. Makoto berada di sebelah kananku, peniup terompet kerang ada di sebelah kiriku saat kami berdiri di puncak bukit. Tanah datar itu terbentang menuju ke Timur. Tapi di belakang pasukan kecil yang sedang mundur, kami dihadapkan dengan pemandangan yang menakutkan. Di lereng antara bukit-bukit kecil ada pasukan dalam jumlah besar, pasukan Arai, panji-panjinya berkibaran, dan pasukannya dalam keadaan siaga. "Tiup terompetnya!" perintahku. Seharusnya aku lebih mempercayai pendengaranku. Si peniup menaruh terompet di mulutnya dan suara penuh kedukaan nyaring terdengar ke seluruh penjuru tanah lapang, gemanya memantul dari pebukitan. "Pergi!" teriakku pada Makoto, dan dia membelokkan kuda dengan susah-payah dan memaksanya berlari kencang. Kuda Makoto agak melawan, tak ingin meninggalkan teman-temannya, dan Shun meringkik padanya. Namun selama beberapa saat kami semua berbalik arah dan menyusul Makoto kembali ke lembah. Aku bangga pada pasukanku yang bertempur dengan gagah berani, tapi aku lebih bangga lagi saat ini, pagi di musim gugur yang berkabut, ketika mereka langsung mematuhi perintahku dan mulai bergerak mundur. Kecepatan kami berbalik arah membuat musuh kaget. Mereka berharap kami maju ke lereng untuk mengejar, tempat mereka dan pasukan Arai akan menghabisi kami. Dalam serangan pertama, lebih banyak korban di pihak musuh, dan selama beberapa saat keuntungan mereka terhalang oleh korban yang tewas, dan kebingungan yang melanda kedua pasukan musuh. Saat itu hujan makin deras sehingga mengubah tanah di bawah kaki menjadi lumpur yang licin, dan ini memberi kami keuntungan karena kami hampir sampai di lembah dengan permukaan yang berbatu. Aku berada di belakang, menyuruh pasukan maju dan sesekali berbalik untuk menjatuhkan musuh terdekat yang mengejar. Saat mencapai bagian lembah yang menyempit, aku memerintahkan dua ratus prajurit yang terbaik untuk menahan musuh selama mungkin, memberi waktu bagi pasukan utama mundur. Hari itu kami berkuda seharian, dan saat malam tiba kami telah jauh meninggalkan musuh yang mengejar, tapi dengan korban luka dan penjaga baris belakang yang tertinggal, jumlah kami tersisa separuh. Aku membiarkan pasukan beristirahat sejenak, tapi cuacanya memburuk, dan seperti yang kutakutkan, angin mulai bertiup kencang. Maka kami meneruskan perjalanan semalam suntuk: tidak makan, tidak beristirahat, sesekali melawan pasukan berkuda musuh yang kebetulan berpapasan dengan kami di jalan. Kami bergerak maju dengan susah payah menuju pantai. Malam itu kami berada tak jauh dari Maruyama, dan aku mengirim Sakai berjalan lebih dulu ke depan untuk melihat situasi kota. Karena cuaca memburuk, Sakai berpendapat kalau sebaiknya kami mundur ke sana, tapi aku masih belum yakin kota akan berpihak pada siapa. Kami berhenti sejenak, makan sedikit, dan mengistirahatkan kuda. Kelelahanku tidak terkatakan lagi, dan ingatanku pun samar-samar. Aku sadar telah mengalami kekalahankalah total. Sebagian dari diriku menyesal mengapa tak mati saat bertempur untuk menyelamatkan Kaede; sebagian lagi berpegang pada ramalan itu, percaya kalau ramalan itu masih bisa dipenuhi; dan sebagian lagi hanya memikirkan apa yang sedang kulakukan, duduk laksana hantu di kuil tempat kami berlindung, kelopak mataku terasa sakit dan seluruh tubuhku menjerit minta tidur. Hembusan angin meraung di antara pilar, dan sesekali atap terangkat seolah hendak terlepas. Tak seorang pun bicara; suasana kekalahan menghantui: kami belum sepenuhnya menyeberangi pulau kematian, namun sedang menuju ke sana. Selain pasukan yang berjaga, anggota pasukan lainnya tidur, tapi tidak begitu denganku. Aku tak akan tidur hingga yakin mereka semua aman. Menyadari kalau kami akan meneruskan perjalanan-harus kembali berjalan semalaman-tapi aku enggan membangunkan sebelum mereka beristirahat. Kukatakan pada diriku berulang kali, "Sebentar lagi Sakai akan kembali," lalu aku mendengar langkah kuda dalam hembusan angin dan siraman hujan: bukan satu, tapi dua ekor kuda. Aku berjalan ke beranda untuk mengintai dalam kegelapan dan hujan, dan aku melihat Sakai dan Hiroshi turun dari kuda yang tua dan kurus. Sakai berseru, "Aku bertemu dengannya di jalan tepat di luar kota. Dia sedang memacu kudanya untuk mencari Anda! Dalam cuaca seperti ini!" Mereka berdua masih kerabat, sepupu, dan bisa kudengar nada bangga dalam suaranya. "Hiroshi!" seruku, dan dia berlari ke beranda, melepas sandalnya yang basah lalu berlutut. "Lord Otori." Kutarik bocah itu ke dalam agar tidak kehujanan, menatapnya keheranan. "Pamanku tewas dan kota telah menyerah pada Arai," ujarnya dengan penuh kemarahan. "Aku tak percaya! Tak lama setelah Anda pergi, para tetua memutuskan untuk menyerah pada Arai, tapi pamanku lebih memilih bunuh diri ketimbang setuju dengan mereka. Pasukan Arai tiba dini hari tadi." Meskipun sudah menduga berita ini, tetap saja aku terpukul, dan diperburuk dengan berita kematian Sugita, orang yang begitu setia. Tapi aku juga lega karena telah mengikuti instingku dan tetap mempertahankan jalur mundur pasukanlcu ke pesisir. Kini kami harus segera berangkat. Aku menyuruh pasukan yang berjaga untuk membangunkan seluruh pasukan. "Kau berkuda jauh-jauh hanya untuk mengatakan ini?" tanyaku pada Hiroshi. "Meskipun seluruh Maruyama meninggalkan Anda, aku tak akan melakukan hal yang sama," sahutnya. "Aku telah berjanji pada Anda untuk memberi kabar; aku pun telah memilih kuda yang paling tua di istal!" "Seharusnya kau tetap di rumah. Masa depanku kini menjadi suram." Sakai berkata pelan, "Aku juga malu. Kupikir mereka akan berpihak pada Anda." "Aku tak bisa menyalahkan mereka," kataku. "Arai jauh lebih kuat dan kita sudah tahu kalau Maruyama tak bisa bertahan lama bila dikepung. Lebih baik menyerahkan diri; membiarkan rakyat hidup, dan menyelamatkan panen." "Mereka menduga Anda akan mundur ke kota," ujar Hiroshi. "Sebagian besar pasukan Arai sedang menunggu Anda di Asagawa." "Berarti hanya sedikit pasukan yang mengejar kita," ujarku. "Mereka tak menduga kita akan bergerak ke pantai. Bila kita berjalan siang dan malam, kita bisa sampai di sana dalam beberapa hari." Aku berpaling pada Sakai. "Tak ada untungnya anak seperti Hiroshi mengingkari klannya dan menjerumuskan dirinya pada tujuan yang tak jelas. Ajak dia kembali ke Maruyama. Kubebaskan kalian berdua dari kewajiban apa pun padaku." Mereka berdua hendak menolak, tapi tak ada waktu untuk berdebat. Pasukan sudah bangun dan siap. Hujan masih deras, meskipun angin tak lagi kencang, membangkitkan harapan kalau badai terburuk telah lewat. Jarak pandang kami tidak lebih dari langkah seekor lembu. Pasukan di depan membawa obor untuk menerangi jalan, meskipun sering padam karena diterpa hujan. Kami mengikuti bak orang buta. Ada banyak cerita dan balada tentang orang Otori yang gagah berani, namun tak satu pun yang menggambarkan pelarian yang penuh keputusasaan dan penderitaan saat melintasi negeri ini. Kami semua masih muda, dengan energi dan kegilaan laksana orang muda. Kami bergerak lebih cepat dari yang bisa dibayangkan, tapi ternyata masih kurang cepat. Aku selalu berjalan di belakang, mendesak pasukan agar terus maju, tak membiarkan seorang pun tertinggal. Di hari pertama kami mematahkan dua serangan dari arah belakang, memaanfaatkan waktu yang berharga bagi pasukan utama untuk terus maju. Kemudian pengejaran makin berkurang. Aku membayangkan tak seorang pun menduga kami akan terus berjalan karena sudah jelas kami sedang menuju ke pusat badai. Badai menghalangi perjalanan, dan aku sadar bila badainya kian memburuk, maka pupuslah harapan kami untuk melarikan diri dengan kapal laut. Di malam kedua, Shun begitu kelelahan sampai nyaris tak mampu mengangkat kaki lagi. Selagi Shun berjalan dengan susah payah, aku tertidur di punggungnya, sesekali bermimpi ada roh berjalan di sampingku. Aku mendengar Amano memanggil Jiro dan terdengar sahutan bocah itu, tertawa riang. Kemudian aku merasa kalau Shigeru menunggang kuda di sampingku dan aku sedang menunggangi Raku. Kami sedang berjalan ke kastil di Hagi, seperti yang kami lakukan di hari dia mengangkatku sebagai anaknya. Aku melihat musuh Shigeru, orang bertangan satu, Ando, ada di kerumunan dan mendengar percakapan para pengkhianat, kedua pemimpin Otori. Aku berpaling dan berseru pada Shigeru untuk memperingatkannya dan aku melihat dia seperti terakhir kali aku melihatnya di tepi sungai Inuyama. Sinar matanya redup kesakitan, dan darah mengalir dari mulutnya. "Jato ada padamu?" dia bertanya, seperti yang dia tanyakan padaku waktu itu. Aku tersentak bangun. Tubuhku basah kuyup, hingga aku merasa seperti roh sungai yang menghirup air, bukan udara. Pasukan di depanku bergerak seperti segerombolan hantu. Tapi bisa kudengar deburan ombak, dan saat fajar menyingsing, pantai terbentang di depan kami, angin berhembus tiada henti. Pulau-pulau di tepi pantai seakan hilang ditelan derasnya air hujan, hembusan angin semakin kencang. Hembusan angin terdengar menyerupai raungan setan yang tersiksa saat kami tiba di tebing tempat Hajime pernah menungguku. Dua pohon pinus roboh dan tergeletak merintangi jalan. Kami terpaksa menyingkirkannya sebelum kuda-kuda kami bisa lewat. Aku lalu berjalan ke depan dan memimpin pasukan ke kuil Katte Jinja. Salah satu bangunan telah kehilangan atapnya, dan jerami beterbangan di taman. Tapi di situ ada kuda milik Makoto diikat di bangunan yang membelakangi arah angin. Di sampingnya ada kuda hitam lain yang tidak kukenal. Makoto berada di aula utama bersama Ryoma. Aku sudah dapat menebak kalau memang tak ada harapan bahkan sebelum mereka bicara. Makoto bisa sampai di sini saja sudah membuatku heran, apalagi dia telah bertemu Ryoma. Ini seperti keajaiban. Aku peluk mereka, bersyukur atas kesetiaan mereka. Kemudian aku diberitahu kalau Fumio meminta Ryoma menyampaikan pesan kalau dia akan menemuiku begitu cuacanya membaik. Kami belum gagal bila dilihat rencana, keberanian, atau daya tahan. Namun kami dikalahkan oleh cuaca, oleh kekuatan alam, oleh takdir. "Jo-An juga ada di sini," ujar Makoto. "Dia mengambil seekor kuda tanpa penunggang lalu mengikutiku." Aku tidak memikirkan Jo-An selama pelarian, tapi aku tak kaget ketika tahu dia ada di sini. Seolah aku memang mengharapkan kemunculannya dengan cara yang hampir tidak masuk akal, seperti dia muncul dalam hidupku. Aku terlalu lelah untuk berpikir selain mengumpulkan pasukan di dalam kuil, sedapat mungkin melindungi kuda, serta menyelamatkan persediaan makanan yang basah kuyup. Setelah itu, tak ada satu pun yang dapat dilakukan, selain menunggu badai reda. Perlu waktu dua hari sebelum badai reda. Aku terbangun di malam hari kedua dan menyadari kalau aku terjaga dari tidurku oleh kesunyian. Angin tidak lagi bertiup. Meskipun masih ada tetesan air dari atap, tapi hujan telah reda. Di sekelilingku pasukan tertidur seperti orang mati. Aku bangkit dan berjalan ke luar. Bintang bersinar seterang lampu, dan udara terasa bersih dan dingin. Aku berjalan untuk melihat kuda. Para penjaga menyapa dengan suara pelan. "Cuaca membaik," seorang penjaga berkata dengan ceria, tapi aku tahu sudah terlambat bagi kami. Aku terus berjalan ke pemakaman tua. Jo-An muncul seperti hantu di reruntuhan bangunan. Dia mengamati waj ahku. "Kau baik-baik saja, tuan?" "Kini aku harus memutuskan apakah mesti bertindak layaknya ksatria atau tidak," ujarku. "Seharusnya kau bersyukur pada Tuhan," sahutnya. "Sekarang peperangan di mana Anda harus kalah telah terjadi, peperangan yang tersisa akan kau menangkan." Aku mengatakan hal yang sama pada Makoto, namun itu sebelum badai dan hujan. "Seorang ksatria sejati pasti akan bunuh diri," sahutku, menyuarakan pikiranku. "Bukan Anda yang memutuskan kapan akan mati. Tuhan masih mempunyai rencana untuk Anda." "Bila tidak bunuh diri, berarti aku harus menyerah pada Arai. Pasukannya sudah begitu dekat, dan mustahil Terada bisa sampai ke sini lebih dulu." Malam ini begitu indah. Terdengar kepakan sayap burung hantu, dan katak menguak dari kolam tua. Deburan ombak di bebatuan mulai berkurang. "Apa yang akan kau lakukan, Jo-An? Kau akan kembali ke Maruyama?" Aku berharap para gelandangan akan diperlakukan dengan baik saat aku tidak ada di sana untuk melindungi mereka. Di negara yang kacau, mereka pastinya lebih rapuh dari sebelumnya, mereka akan menjadi korban: dicela penduduk desa, dianiaya prajurit. Dia berkata, "Aku merasa sudah begitu dekat dengan Tuhan. Kurasa dia akan segera memanggilku." Aku tak tahu bagaimana menanggapi ucapannya. Jo-An berkata, "Kau telah membebaskan kakakku dari penderitaan di Kastil Yamagata. Bila tiba waktunya, maukah kau melakukan hal yang sama padaku?" "Jangan bicara seperti itu," sahutku. "Kau telah menyelamatkan aku; bagaimana mungkin kau memintaku mencabut nyawamu?" "Maukah kau melakukannya? Aku tidak takut mati, tapi aku takut pada siksaan." "Kembalilah ke Maruyama," desakku. "Bawalah kuda yang kau tunggangi. Menjauhlah dari jalan utama. Aku ingin mengantarmu. Tapi, kau tahu, kemungkinan besar Arai akan membunuhku. Mungkin kita tak akan bertemu lagi." Dia memberi senyumnya yang khas itu. "Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku," ujarku. "Semua yang pernah terjadi di antara kita adalah bagian dari rencana Tuhan. Kau seharusnya berterima kasih pada dia." Aku berjalan bersamanya ke barisan kuda dan berbicara pada para penjaga. Mereka memperhatikan dengan tidak percaya selagi aku melonggarkan tali kuda hitam dan Jo-An melompat naik ke punggung kuda. Setelah kudanya berlari di kegelapan, aku berbaring tanpa bisa tidur. Aku memikirkan Kaede dan kerinduanku padanya. Memikirkan tentang hidupku yang tidak wajar. Aku bahagia telah menjalani hidup seperti ini, meskipun aku melakukan beberapa kesalahan. Aku tak menyesalinya kecuali bagi orang-orang yang telah pergi mendahuluiku. Belim pernah aku melihat fajar menyingsing secerah dan sesempurna pagi ini. Aku membasuh badan sebersihbersihnya dan menata rambutku, dan saat pasukanku yang compang-camping bangun, aku perintahkan mereka melakukan hal serupa. Aku memanggil Ryoma, berterima kasih atas bantuannya, dan memintanya untuk menunggu sampai dia mendengar berita kematianku untuk dikabarkan kepada Fumio di Oshima. Aku lalu mengumpulkan semua pasukan dan berbicara pada mereka. "Aku akan menyerah pada Lord Arai. Sebagai balasannya, aku yakin dia akan membiarkan kalian tetap hidup dan mau menerima pelayanan kalian. Aku berterima kasih atas kesetiaan kalian. Tak seorang pun pernah mendapatkan pelayanan yang lebih baik daripada aku." Aku perintahkan mereka menunggu di dalam kuil di bawah perintah pimpinan mereka masing-masing dan meminta Makoto, Sakai dan Hiroshi ikut bersamaku. Makoto membawa panji Otori dan Sakai membawa panji Maruyama. Kedua panji itu sobek dan berlumpur. Kuda melangkah dengan berat dan pelan, namun sinar matahari agak menghangatkan mereka. Barisan bebek liar terbang di atas kami dan rusa jantan berteriak di hutan. Di tengah laut kami melihat awan di atas Oshima; selain itu, langit tampak cerah kebiruan. Kami melewati pohon-pohon pinus yang tumbang. Badai telah menumbangkan pohon-pohon itu ke jalan dan meruntuhkan karang terjal tempat Hajime pernah berdiri. Bongkahan bebatuan telah berjatuhan akibat longsor, dan ketika kuda-kuda melewati jalur itu, aku teringat pada pesumo muda itu. Andai anak panahnya tepat sasaran, Jiro pasti masih hidup-begitu juga dengan banyak dari anggota pasukan lainnya. Aku memikirkan jasad Hajime yang tergeletak tidak jauh dari sana: dendamnya akan segera terbalaskan. Kami belum berjalan jauh saat aku mendengar derap kuda di depan. Aku mengangkat tangan dan kami berempat berhenti. Pasukan berkuda itu datang dengan cepat, sepasukan beranggotakan sekitar seratus orang, dua pembawa umbul-umbul Klan Arai. Saat melihat kami di jalan, mereka langsung berhenti. Pemimpin mereka berjalan maju. Dia mengenakan baju zirah lengkap dengan penutup kepala mewah yang berhiaskan bulan sabit. Aku bersyukur atas kehangatan sinar mentari karena aku mampu berkata dengan tegas. "Aku Otori Takeo. Ini Sugita Hiroshi, keponakan Lord Sugita dari Maruyama. Aku memintamu untuk membiarkannya hidup dan memulangkannya dengan aman pada klannya. Sakai Masaki adalah sepupunya dan juga akan menemaninya." Hiroshi diam. Aku bangga padanya. Si pemimpin agak mendongak yang aku artikan sebagai tanda setuju. "Namaku Akita Tsutomu," ujarnya. "Aku diperintahkan untuk membawa Lord Otori menemui Lord Arai. Beliau ingin bicara dengan Anda." "Aku hendak menyerahkan diri pada Lord Arai," ujarku, "dengan syarat beliau mengampuni pasukanku dan menerima mereka sebagai pelayannya." "Mereka boleh menemani Anda bila mereka datang dengan damai." "Kirim beberapa pasukanmu bersama Kubo Makoto," ujarku. "Dia akan meminta mereka untuk menyerah tanpa perlawanan. Di mana Lord Arai?" "Tidak jauh dari sini. Kami sedang menunggu badai reda di Shuho." Makoto pergi bersama sebagian besar prajurit Arai, sedangkan Sakai, Hiroshi dan aku berkuda dalam kesunyian bersama Akita. DELAPAN MUSIM semi berganti musim panas; waktu menanam telah berlalu. Hujan deras mulai turun; padi mulai tumbuh sehingga sawah berwarna hijau cerah. Hujan membuat Shizuka tetap di dalam rumah, tempat dia memandangi tetesan air hujan dari tepian atap sambil membantu neneknya menganyam sandal dan jubah hujan dari jerami dan memelihara ulat sutera di loteng. Kadang dia pergi ke ruang menenun dan menghabiskan waktu di mesin tenun. Selalu ada yang bisa dilakukan, menjahit, mewarnai kain, mengawetkan makanan, memasak, dan Shizuka merasa kalau tugas rutin seperti itu membuat ia tenang. Meskipun lega telah bebas dari peran yang dia mainkan dan gembira bisa bersama keluarga dan putra-putranya, seringkali perasaan depresi yang ganjil menghinggapinya. Shizuka biasanya tidak pernah merasa takut, tapi kini dia merasa gelisah. Dia tak bisa tidur; ketika dia tidur, dia bermimpi tentang orang sudah mati. Ayah Kaede sering hadir dalam mimpinya, menatap dengan pandangan kosong. Shizuka membawa sesajian ke kuil dengan harapan dapat menenangkan arwah ayah Kaede, namun mimpi buruk masih saja mengganggunya. Dia merindukan Kaede, merindukan Ishida, sangat ingin Kondo kembali dengan membawa kabar tentang mereka, tapi juga takut akan kepulangan laki-laki itu. Hujan berhenti, dan diikuti dengan hari-hari panas serta lembab di musim panas. Shizuka Bering membuat acar mentimun kesukaan Kenji. Shizuka juga sering menjelajahi gunung untuk mengumpulkan jamur, mugwort untuk diramu dengan moxa, bugle dan madder untuk pewarna pakaian, serta tumbuhan lainnya, tumbuhan yang Kenji gunakan sebagai racun. Shizuka memperhatikan kedua putranya dan anakanak lain yang sedang berlatih, setengah takjub karena kemampuan Tribe mulai tumbuh pada diri mereka. Menyelinap kemudian menghilang, dan terkadang ada getaran udara, melihat bayangan yang tidak terang saat mereka belajar menggunakan sosok kedua. Putra tertuanya, Zenko, kurang terampil dibandingkan adiknya. Usianya hampir akil baliq, dan seharusnya bakatnya telah berkembang. Tapi Shizuka bisa melihat putranya itu lebih tertarik soal kuda dan pedang: dia mengikuti jejak ayahnya. Apakah kini Arai ingin memilikinya? Ataukah dia masih berusaha melindungi putranya yang Bah dengan menyingkirkan putranya yang tidak sah? Zenko lebih membuatnya khawatir ketimbang Taku. Sudah jelas kalau Taku kelak akan memiliki kemampuan tinggi; kemampuannya akan semakin tinggi bila tinggal di antara kaum Tribe. Kenji tidak mempunyai anak laki-laki sehingga mungkin Taku akan menjadi pemimpin keluarga Muto kelak. Bakatnya sangat berharga: mampu menghilang dan memiliki pendengaran yang tajam; pada awal masa pubertas kemampuannya mungkin bisa menyamai Takeo. Taku memiliki badan yang lentur seperti ibunya dan mampu melipat badan di ruangan sempit dan bersembunyi di dalamnya. Anak itu suka mempermainkan pelayan dengan bersembunyi di dalam tong kosong atau keranjang bambu, lalu melompat keluar untuk mengejutkan mereka seperti tanuki yang nakal dalam cerita dongeng. Shizuka sadar kalau dia telah membandingkan putra keduanya dengan Takeo. Andai sepupunya itu dibesarkan dengan cara yang sama, andai Kikuta mengetahui keberadaannya sejak dia lahir, dia akan menjadi salah satu anggota Tribe seperti kedua anaknya dan dirinya: kejam, patuh, tidak mempertanyakan perintah apa pun... Tapi, pikirnya, aku mempertanyakan banyak hal. Bahkan kurasa aku tak patuh lagi. Lalu apa yang terjadi dengan kekejamanku? Aku tak akan membunuh Takeo atau melakukan apa pun yang dapat menyakiti Kaede. Mereka tak bisa memaksaku. Aku diperintahkan untuk melayani Kaede dan aku sayang padanya. Telah kuberikan seluruh kesetiaanku kepadanya dan aku tak akan menariknya kembali. Aku pernah mengatakan padanya, di Inuyama, bahwa perempuan pun dapat bertindak secara terhormat. Shizuka memikirkan Ishida lagi dan penasaran apakah kelembutan dan welas asih memang menular, dan tabib itu menularkan perasaan itu padanya. Kemudian dia memikirkan rahasia lain yang is simpan sendiri. Lalu kemana perginya kepatuhan dalam dirinya? Perayaan Tanabata* jatuh di malam yang berhujan. Anak-anak merasa cemas, karena langit mendung berarti burung gagak hitam tak bisa membangun jembatan ke Surga agar sang putri bisa bertemu dengan kekasihnya. Sang putri akan kehilangan kesempatan bertemu, dan akan terpisah dengan kekasihnya selama setahun lagi. Shizuka menganggap itu sebagai pertanda buruk, dan semakin merasa tertekan. Sesekali datang pembawa pesan dari Yamagata dan sekitarnya. Mereka membawa kabar tentang pernikahan Takeo dengan Kaede, kepergian mereka dari Terayama, jembatan yang dibuat para gelandangan, dan kekalahan Jin-emon. Para pelayan takjub, bagi mereka itu seperti legenda lalu membuatkan lagu tentang kabar itu. Kenji dan Shizuka membicarakan berbagai kejadian itu di malam hari, perasaan keduanya tercabik oleh kekhawatiran dan kekaguman yang enggan mereka perlihatkan. Kemudian ada kabar kalau pasangan muda itu dan pasukannya bergerak ke Maruyama dan kabar tentang mereka semakin berkurang, meskipun laporan tentang perlawanan Takeo menentang Tribe selalu datang. "Tampaknya dia telah belajar tentang kekejaman," ujar paman Shizuka, tapi mereka tidak membicarakannya lebih jauh. Kenji memikirkan hal lain. Dia tak lagi membicarakan Yuki, tapi saat lewat bulan ketujuh dan tak ada kabar berita dari putrinya, seluruh anggota keluarga memasuki masa penantian. Semua orang mencemaskan anak keluarga Muto, cucu pertama pemimpinnya, yang diakui dan akan dibesarkan oleh Kikuta. Di sore hari, tepat sebelum Festival of the Death, Shizuka berjalan ke air terjun. Di hari yang panas dan tak berangin itu Shizuka duduk dengan membiarkan kakinya menyentuh air yang dingin. Air terjun yang berwarna putih menerpa bebatuan yang berwarna abu-abu dan embunnya membentuk pelangi. Nyanyian jangkrik di pohon cedar terasa menusuk urat syaraf. Di balik nyanyian jangkrik yang monoton, Shizuka mendengar putra bungsunya mendekat, meskipun ia pura-pura tidak mendengar; tepat di saat terakhir, ketika Taku mengira dia bisa mengejutkan ibunya, Shizuka meraih lalu menangkapnya dari belakang. Shizuka tarik si bungsu ke pangkuannya. "Ibu mendengarku ya," ujarnya kecewa. "Kau lebih berisik dibanding babi hutan." "Tidak!" "Mungkin ibu punya pendengaran Kikuta," Shizuka menggoda putranya. "Aku punya itu." "Ibu tahu. Dan ibu rasa kemampuan itu akan semakin tajam saat kau dewasa nanti." Shizuka membuka telapak tangan Taku dan menelusuri garis tangannya. "Kau dan ibu memiliki tangan yang sama." "Seperti Takeo," ujarnya dengan bangga. "Apa yang kau tahu tentang Takeo?" tanya Shizuka sambil tersenyum. "Dia Kikuta juga. Paman Kenji menceritakan tentang Takeo: bagaimana dia mampu melakukan hal-hal yang tak mampu dilakukan orang lain, meskipun dia sulit diajari kata Paman." Taku berhenti sesaat lalu berkata pelan, "Kuharap kita tidak harus membunuhnya." "Bagaimana kau bisa tahu? Paman yang mengatakan itu padamu?" "Aku dengar. Aku mendengar banyak hal. Orang-orang tidak tahu kalau aku ada di sana." "Kau disuruh memanggil ibu?" tanya Shizuka, mengingatkan dirinya untuk tidak mengatakan suatu rahasia di rumah kakek neneknya tanpa lebih dulu mengetahui keberadaan putranya. "Tidak juga. Tak ada yang menyuruhku ke sini, tapi menurutku ibu harus pulang." "Apa yang terjadi?" "Bibi Seiko pulang. Dia sangat sedih. Dan Paman... " Taku berhenti dan menatap ibunya. "Belum pernah aku lihat Paman seperti itu." Yuki, pikir Shizuka cepat. Dia cepat-cepat berdiri dan memakai sandalnya. Hatinya berdebar-debar, bibirnya terasa kering. Bila bibinya pulang, itu berarti kabar burukkabar yang paling buruk. Ketakutannya semakin kuat begitu melihat kain penutup peti mati yang dipasang di seluruh desa. Para penjaga nampak pucat, dan tidak ada senyum maupun canda. Shizuka tidak berhenti untuk bertanya, melainkan bergegas ke rumah kakek-neneknya. Para perempuan di desa berkumpul, meninggalkan tungku yang belum dinyalakan dan masakan untuk makan malam yang belum dimasak. Shizuka mendesak maju selagi para perempuan menyampaikan keprihatinan serta belasungkawa. Di dalam, bibinya, dan istri Kenji berlutut di lantai, dan di sebelah neneknya penuh dengan pelayan. Wajah neneknya berkerut, matanya merah, tubuhnya bergetar karena menangis tersedu-sedu. "Bibi!" Shizuka berlutut di hadapannya dan membungkuk dalam-dalam. "Apa yang terjadi?" Seiko meraih tangan Shizuka dan menggenggamnya erat tanpa mampu bicara. "Yuki sudah tiada," kata neneknya pelan. "Dan bayinya?" "Bayinya sehat; laki-laki." "Aku turut berduka," ujar Shizuka. "Karena melahirkan.... " Bibinya terguncang oleh tangis yang meledak lebih keras lagi. "Bukan karena melahirkan," sahut sang nenek, melingkarkan lengannya di tubuh Seiko dan membelainya seperti anak kecil. "Di mana paman?" "Di sebelah, bersama ayahnya. Datangi dia. Mungkin kau bisa membuatnya tenang." Shizuka bangkit dan berjalan pelan ke ruang sebelah, merasakan pelupuk matanya hangat dipenuhi air mata yang tak mampu mengalir. Kenji duduk tidak bergerak di samping ayahnya di ruangan yang remang-remang. Semua pintu dan jendela ditutup, udaranya terasa mencekik. Air mata mengalir di wajah sang kakek; sesekali dia menyeka dengan lengan pakaiannya, namun mata pamannya kelihatan kering. "Paman," bisik Shizuka. Kenji diam tak bergerak. Shizuka berlutut tanpa berkata. Kemudian sang paman menoleh lalu menatapnya. "Shizuka," katanya. Matanya mengkilap saat air mata mengambang di pelupuk matanya namun tak mengalir jatuh. "Istriku sudah pulang; kau sudah menemuinya?" Shizuka mengangguk. "Putri kami meninggal." "Kabar yang menyedihkan," sahutnya, "Aku turut berduka." Kalimat itu terdengar tanpa makna. Kenji diam membisu. Akhirnya Shizuka memberanikan diri untuk bertanya, "Bagaimana kejadiannya?" "Kikuta membunuhnya. Mereka memaksanya minum racun." Kenji berkata seakan tak mempercayai kata-katanya sendiri. Shizuka pun tak dapat mempercayai kata-kata pamannya. Meskipun udara panas, namun dia merasa hawa dingin menusuk hingga ke tulang. "Mengapa? Bagaimana mungkin mereka lakukan itu?" "Mereka menduga Yuki tak akan mampu menjauhkan anak itu dari Takeo. Mereka ragu Yuki dapat mendidik anaknya untuk membenci Takeo." Shizuka sadar kalau Tribe memang tidak berperasaan, namun tetap saja peristiwa ini membuat jantungnya seakan berhenti berdetak dan suaranya lenyap. "Mungkin mereka juga ingin menghukumku," kata Kenji. "Istriku menyalahkanku karena tak mengejar Takeo, karena tidak tahu apa-apa tentang catatan Shigeru, karena memanjakan Yuki sejak kecil." "Jangan bicara hal-hal itu sekarang," sahut Shizuka. "Jangan menyalahkan diri, Paman." Tatapan Kenji menerawang. Shizuka ingin tahu apa yang sedang pamannya pikirkan. "Mereka tidak perlu membunuhnya," ujarnya. "Aku tak akan memaafkan mereka." Suaranya terputus dan meskipun raut wajahnya mengeras namun akhirnya air matanya pun menetes. Festival of the Death diselenggarakan lebih khidmat dari biasanya. Sesajian diletakkan di kuil dan api unggun dinyalakan di puncak gunung untuk menerangi jalan ke dunia arwah. Tapi para arwah sepertinya enggan kembali ke tempat mereka seharusnya berada. Mereka ingin tetap tinggal bersama orang yang masih hidup, berusaha mengingatkan bagaimana mereka mati dan betapa mereka membutuhkan penyesalan dan balas dendam. Dalam kedukaan, Kenji dan istrinya tak mampu saling menenangkan, mereka tidak mampu mendekatkan diri, mereka bahkan saling menyalahkan atas kematian Yuki. Secara bergantian Shizuka menemani mereka. Neneknya menyeduh teh penenang untuk Seiko, dan perempuan itu seringkali tertidur lama. Kenji tidak minum apa pun untuk mengurangi kesedihannya, dan Shizuka kerap duduk menemaninya hingga larut malam, mendengarkan pamannya bercerita tentang putrinya. "Aku membesarkan dia seperti laki-laki," katanya pada suatu malam. "Dia sangat berbakat. Dan tidak mengenal takut. Istriku menuduhku terlalu memberinya kebebasan. Dia menyalahkanku karena memperlakukan Yuki seperti laki-laki. Yuki menjadi terlalu mandiri; berpikir dia bisa melakukan segalanya. Pada akhirnya, Shizuka, dia mati karena dia seorang perempuan." Setelah beberapa saat Kenji menambahkan, "Mungkin dialah satu-satunya perempuan yang kucintai." Dengan gerakan lembut Kenji meraih dan menyentuh tangan Shizuka. "Maafkan aku. Tentu saja aku juga sangat menyayangimu." "Sama seperti aku menyayangi Paman," sahut Shizuka. "Aku berharap dapat mengurangi kesedihan Paman." "Tak ada yang bisa menguranginya," sahut Kenji. "Aku tak bisa melupakannya. Aku harus ikut mati bersamanya atau hidup dengan penyesalan, seperti semua orang yang hidup dalam kesedihan. Untuk sementara waktu.... " Kenji menghela napas panjang. Penghuni rumah yang lain sudah beristirahat. Udaranya agak dingin dan layar kasa dibiarkan terbuka, memberi kesempatan pada semilir angin yang merayap dari pegunungan hingga masuk ke dalam rumah. Satu lampu menyala di sisi Kenji. Shizuka beringsut pelan agar bisa melihat wajah pamannya dengan lebih jelas. "Apa?" tanya Shizuka cepat. Sepertinya Kenji mengubah topik pembicaraan. "Aku mengorbankan Shigeru pada Kikuta demi persatuan. Kini mereka juga telah merenggut putriku dari tanganku." Dia diam lagi. "Apa rencana Paman?" "Anaknya Yuki adalah cucuku-satu-satunya keturunanku. Sulit sekali menerima kenyataan kalau cucuku itu lenyap dari keluarga Muto. Kurasa ayahnya juga pasti tertarik padanya, jika aku menjadi Takeo. Aku pernah bersumpah untuk menjaga Takeo; itu juga sebagian alasan mengapa aku bersembunyi di sini selama musim panas. Kini aku akan bertindak lebih jauh lagi: aku ingin keluarga Muto membuat kesepakatan damai dengan Takeo." "Dan menentang Kikuta?" "Aku tak akan membuat perjanjian dengan mereka lagi. Jika Takeo bisa menghancurkan mereka, aku akan lakukan apa pun untuk membantunya." Shizuka tahu kalau pamannya berharap Takeo dapat membalaskan dendam. "Paman pasti bisa menghancurkan Tribe," bisik Shizuka. "Kita memang sedang menghancurkan diri sendiri," sahut Kenji dingin. "Terlebih lagi, segalanya telah berubah di sekitar kita. Aku yakin kita sedang di akhir suatu jaman. Bila perang berakhir, pemenangnya yang akan menguasai seluruh Tiga Negara. Takeo ingin mengambil warisannya dan menghukum kedua paman Shigeru, tapi siapa pun yang memimpin Otori, Arai pasti akan melawannya: Klan Otori harus menang atau musnah karena tak ada kedamaian bila mereka memberontak di perbatasan." "Nampaknya Kikuta memanfaatkan pemimpin Otori untuk melawan Takeo?" "Ya, aku dengar Kotaro sedang berada di Hagi. Aku yakin Arai tak akan berhasil mengalahkan Otori. Mereka memiliki legitimasi untuk menguasai Tiga Negara, kau tahu, karena hubungan leluhur mereka dengan Kaisar. Pedang Shigeru, Jato, ditempa dan diberikan atas pengakuan itu, ratusan tahun lalu." Kenji diam dan senyum tipis tersungging di bibirnya. "Tapi pedang itu menemukan Takeo. Jato tidak jatuh pada Shoichi atau Masahiro." Kenji menoleh pada Shizuka dan senyumnya semakin lebar. "Akan kukatakan sesuatu padamu. Mungkin kau sudah tahu kalau aku bertemu Shigeru di Yaegahara. Waktu itu usiaku dua puluh lima tahun; usia Shigeru mestinya sembilan belas tahun. Aku bekerja sebagai mata-mata dan pembawa pesan rahasia untuk Noguchi yang ketika itu menjadi sekutu Otori. Aku tahu kalau mereka akan berpihak pada musuh begitu terjadi perang, kembali pada sekutu lama mereka, dan memberi kemenangan pada Iida. Aku selalu memisahkan antara salah dan benarnya perbuatan kami, tapi begitu dalamnya pengkhianatan membuatku kagum. Ada sesuatu yang mengerikan tentang pengkhianatan yang ingin kuamati. Aku ingin melihat wajah Otori Shigemori ketika Noguchi berbalik menyerangnya. "Karena tujuan itulah aku berada di tengah pertempuran. Kerapkali aku menghilangkan diri. Ada sesuatu kenikmatan berada di tengah-tengah peperangan tanpa terlihat. Aku melihat Shigemori; aku melihat ekspresi wajahnya ketika sadar kalau dia telah kehilangan segalanya. Aku melihat dia terjatuh. Pedangnya yang terkenal dan diinginkan banyak orang lepas dari tangannya ketika dia sekarat dan jatuh di kakiku. Saat aku mengambilnya, pedang itu menyerap kemampuanku menghilang dan seperti menggantung di tanganku. Benda itu masih terasa hangat karena belum lama terlepas dari genggaman pemiliknya. Pedang itu meminta perlindungan dan juga memintaku untuk menemukan pemiliknya." "Pedang itu berbicara pada Paman?" "Kira-kira begitulah gambarannya. Setelah Shigemori tewas, Klan Otori terjerumus dalam jurang keputusasaan. Pertempuran semakin menjadi-jadi selama beberapa saat setelah itu, sedangkan aku menghabiskan waktu untuk mencari Shigeru. Aku sudah mengenalnya: aku pernah melihatnya sekali, beberapa tahun sebelumnya, ketika dia berlatih di gunung bersama Matsuda. Sebelum pertempuran usai, aku berhasil menemukannya. Saat itu pasukan Iida sedang mencarinya ke segala penjuru. Jika dia bisa dipastikan tewas, itu akan memuaskan semua orang. "Aku menemukannya di tepi sumber mata air kecil. Dia sendirian dan sedang bersiap-siap bunuh diri, membasuh darah dari wajah dan tangannya serta memberi wewangian pada rambut dan jenggotnya. Dia melepas topi besinya dan melonggarkan baju zirahnya. Dia nampak tenang. "Pedang itu berkata padaku, "Inilah tuanku," maka aku panggil dia, 'Lord Otori!' dan ketika dia berpaling, aku lalu menampakkan diri dan menyerahkan pedang itu padanya. 'Dia berkata Jato.' Dia ambil pedang itu dengan dua tangan, lalu membungkuk dalam-dalam. Kemudian dia melihat pedang itu lalu melihatku dan dia seperti tersadar dari kerasukan yang menguasai dirinya. "Kira-kira aku berkata seperti ini, 'Jangan bunuh diri,' dan kemudian, seolah pedang itu bicara melalui diriku, 'Tetaplah hidup dan balaskan dendammu,' dan dia tersenyum dan melompat bangkit, dengan pedang di tangan. Aku membantunya meloloskan diri dan mengajaknya kembali ke rumah ibunya di Hagi. Sesampai di sana, kami sudah berteman." "Aku sering bertanya-tanya di mana paman mengenalnya," ujar Shizuka. "Jadi Paman yang menyelamatkan dia." "Bukan aku, tapi Jato. Begitulah caranya pedang itu berpindah tangan. Takeo memilikinya karena Yuki yang memberikan pedang itu padanya di Inuyama. Dan karena ketidakpatuhannyalah maka Kikuta mulai tidak mempercayainya." "Sungguh aneh jalannya nasib," gumam Shizuka. "Ya, ada semacam ikatan yang tidak bisa kulawan. Sebagian besar karena Jato memilih Takeo, melalui putriku, yang membuatku merasa harus bekerjasama dengan Takeo. Selain itu, aku bisa tetap memenuhi janjiku untuk melindungi dan mungkin memperbaiki kesalahan atas peranku dalam kematian Shigeru." Kenji berhenti sejenak, kemudian berkata pelan, 'Aku tak melihat ekspresi di wajah Shigeru ketika Takeo dan aku tidak kembali malam itu di Inuyama, tapi mungkin itulah ekspresi wajahnya saat dia hadir dalam mimpiku." Keduanya diam selama beberapa saat. Sekilas kilat menerangi ruangan itu, dan Shizuka mendengar gemuruh guntur di pegunungan. Kenji melanjutkan, "Kuharap darah Kikutamu tak akan menjauhkanmu dari kami sekarang." "Tidak, keputusan Paman membuatku lega karena itu berarti aku dapat memenuhi janjiku pada Kaede. Aku tak akan membiarkan apa pun menyakiti mereka berdua." Pengakuan Shizuka membuat Kenji tersenyum. "Aku selalu berpikir begitu. Bukan hanya karena rasa sayangmu pada Kaede-aku tahu betapa kuatnya perasaanmu pada Shigeru maupun Lady Maruyama serta peran yang kau mainkan dalam persekutuan mereka dengan Arai." Kenji memperhatikan Shizuka dengan seksama. "Shizuka, sepertinya kau tidak terlalu kaget ketika kukatakan tentang catatan Shigeru. Aku sudah bisa menebak siapa orang yang memberikan informasi itu kepada Shigeru." Shizuka gemetar. Ketidakpatuhannya-pengkhianatan, dalam arti yang sebenarnya- mulai terungkap. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan Tribe lakukan pada dirinya. "Kaulah orangnya, kan?" tanya Kenji. "Paman," Shizuka mulai bicara. "Jangan panik," sahut Kenji cepat. "Takkan kukatakan pada orang lain. Aku hanya ingin tahu alasannya." "Setelah perang Yaegahara," ujar Shizuka. "Seperti yang Paman tahu, aku memberi informasi pada Iida bahwa Shigeru hendak bersekutu dengan Seishuu. Karena akulah, Tohan bisa menang, karena akulah sepuluh ribu orang mati di medan perang dan tak terhitung lagi korban yang berjatuhan akibat siksaan dan kelaparan. Aku memperhatikan Shigeru pada tahun-tahun berikutnya, dan aku kagum atas kesabaran dan ketabahannya. Dialah satu-satunya orang paling baik yang pernah kutemui, dan aku memiliki andil besar dalam kehancurannya. Aku lalu bertekad untuk membantunya, untuk memperbaiki kesalahanku. Dia menanyakan banyak hal tentang Tribe dan aku mengatakan semua yang aku ketahui. Tidak sulit untuk menyimpan rahasia-aku memang terlatih untuk itu." Shizuka berhenti sejenak, lalu berkata, "Aku takut Paman marah." Kenji menggeleng. "Seharusnya, ya. Bila aku tahu ini sebelumnya, aku akan perintahkan agar kau dibunuh." Dia menatap Shizuka dengan penuh kekaguman. "Sejatinya kau memiliki anugrah Kikuta yaitu tidak mengenal takut. Bahkan aku senang dengan apa yang telah kau lakukan. Kau telah membantu Shigeru, dan sekarang warisan itu telah melindungi Takeo. Benda itu bahkan mungkin dapat menebus kesalahan atas pengkhianatan yang kulakukan." "Maukah Paman menemui Takeo?" tanya Shizuka. "Aku menunggu kabar lagi. Seharusnya dalam beberapa hari ini Kondo akan kembali. Kalau belum, ya aku akan ke Maruyama." "Utuslah pembawa pesan, utus aku. Berbahaya bila Paman yang pergi. Tapi apakah Takeo akan mempercayai orang dari Tribe?" "Mungkin kita berdua yang akan pergi. Dan kita akan ajak kedua putramu." Shizuka terpaku menatap Kenji. Seekor nyamuk berdengung di dekat rambutnya, tapi dia tidak mengusirnya. "Kedua anakmu akan menjadi jaminan kita," sahut Kenji tenang. Cahaya petir terlihat; guntur bergemuruh. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Siraman hujan membasahi tepian atap rumah dan aroma tanah yang basah merebak dari taman. Badai menghempas desa itu selama tiga atau empat hari, Sebelum Kondo kembali, ada pesan lain yang datang, pesan dari gadis Muto yang bekerja di kediaman Lord Fujiwara. Pesannya pendek, tanpa merincian situasi yang ingin mereka dengar, ditulis dengan tergesa-gesa, dan jelas terlihat kalau gadis itu berada dalam bahaya. Pesannya hanya menyebut bahwa Shirakawa Kaede berada di sana dan telah menikah dengan Fujiwara. "Sekarang apa lagi yang mereka lakukan padanya?" tanya Kenji, gemetar karena gusar. "Kita sudah tahu kalau pernikahannya dengan Takeo akan ditentang," sahut Shizuka. "Kurasa Fujiwara dan Arai yang mengatur semua ini. Lord Fujiwara hendak menikahi Kaede pada musim semi lalu. Aku takut aku telah menyemangati dia agar mendekati Fujiwara." Shizuka membayangkan Kaede terpenjara di rumah yang mewah itu, mengingat kekejaman bangsawan itu, dan menyesali apa yang telah ia lakukan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku," ujar Shizuka kepada pamannya. "Dulu aku tak peduli akan halhal semacam ini. Sekarang aku merasa amat terganggu; aku marah dan takut, dan iba pada mereka berdua." "Sejak pertama kali melihat Lady Shirakawa, aku langsung kasihan padanya," sahut Kenji. "Kini semakin sulit untuk tidak mengasihaninya." "Apa yang akan Takeo lakukan?" tanya Shizuka keras. "Dia akan berperang," Kenji meramalkan. "Dan dapat dipastikan dia akan kalah. Mungkin kita sudah terlambat untuk berdamai dengannya." Shizuka melihat kesedihan menggelayuti pamannya. Shizuka takut pamannya itu akan menyusul Yuki menuju kematian sehingga dia berusaha agar pamannya tidak ditinggal sendirian. Seminggu berlalu sebelum Kondo akhirnya kembali. Cuaca lebih cerah dan Shizuka pergi ke kuil untuk berdoa pada dewa perang agar melindungi Takeo. Ia membungkuk di hadapan lukisan dan berdiri, bertepuk tangan tiga kali, dan meminta, dengan putus asa, agar Kaede bias diselamatkan. Selagi Shizuka berbalik pergi, Taku menghampiri, samar-samar dia menampakkan diri. "Ha!" ujarnya penuh kemenangan. "Tadi Ibu tidak mendengar, kan!" Shizuka takjub, karena memang dia tak mendengar maupun melihat putranya dengan jelas. "Bagus sekali!" Taku menyeringai. "Kondo Kiichi sudah datang. Dia sedang menunggu Ibu. Paman ingin Ibu mendengar kabar darinya." "Jadi pastikan kau tidak ikut mendengarkan," Shizuka menggoda putranya. "Aku mendengar banyak hal," sahut Taku. "Aku suka mengetahui rahasia semua orang." Taku berlari mendahului ibunya menyusuri jalan berdebu, menghilang setiap kali melewati tempat yang terkena sinar matahari lalu muncul di tempat yang teduh. Semua ini hanyalah permainan baginya, pikir Shizuka, sama seperti aku dulu. Namun pada beberapa kejadian tahun lalu, itu tak lagi menjadi permainan. Mengapa? Apa yang terjadi padaku? Apakah aku telah mengenal takut? Takut.akan kehilangan orang-orang yang kucintai? Kondo duduk bersama Kenji di ruang utama rumah itu. Shizuka berlutut di hadapan mereka dan menyapa laki-laki yang dua bulan lalu ingin melamarnya. Sekarang Shizuka tahu, saat bertemu dengannya lagi, ternyata ia tak menginginkan laki-laki itu. Ia akan mencari alasan untuk menolak. Wajah Kondo kurus dan cekung, meskipun sapaannya hangat. "Maaf atas keterlambatanku," ujarnya. "Aku sempat berpikir untuk tidak kembali. Aku tertangkap begitu tiba di Maruyama. Penyerangan yang gagal atas dirimu telah dilaporkan pada Arai, dan aku dikenali oleh pasukan yang pernah bersama kita ke Shirakawa. Semula aku hendak dihukum mati. Tapi terjadi tragedi itu: wabah cacar air. Putra Arai mati. Ketika masa berkabung selesai, Arai memanggilku dan menanyakan banyak hal tentangmu." "Sekarang dia tertarik pada kedua putramu," komentar Kenji. "Arai menyatakan kalau dia berhutang padaku karena telah menyelamatkanmu. Dia berharap aku kembali melayaninya dan hendak mengangkatku menjadi ksatria dari garis keturunan keluarga ibuku." Shizuka menatap pamannya, tapi Kenji tidak berkata apa-apa. Kondo melanjutkan, "Aku terima tawarannya. Kuharap aku melakukan hal yang benar. Tentu saja, tawaran itu sesuai denganku, saat ini aku tak mengabdi pada siapa pun, tapi bila keluarga Muto keberatan.... " "Kau bisa berguna bagi kami di sana," sahut Kenji. "Lord Arai sudah menduga kalau aku mengetahui keberadaanmu. Dia memintaku menyampaikan pesan bahwa dia ingin bertemu denganmu dan juga kedua putranya untuk membicarakan pengangkatan mereka secara sah." "Dia ingin memperbaiki hubungan?" tanya Shizuka. "Dia ingin kau pindah ke Inuyama, sebagai ibu dari kedua anak itu." Kondo tidak mengatakan dengan jelas dan sebagai selirnya, tapi Shizuka tahu maksudnya. Kondo tak terlihat marah atau cemburu saat bicara, tapi ekspresi mengejek sekilas tergambar di wajahnya. Tentu saja, jika dia ditempatkan pada tingkatan ksatria, dia bisa mendapatkan jodoh yang sesuai dengan jabatannya. Hanya di saat tidak memiliki tuan, Kondo melihat jalan keluarnya hanya pada diri Shizuka. Shizuka tak tahu apakah dia marah atau senang atas sikap Kondo yang pragmatis, yang hanya melihat sesuai berdasarkan untung-rugi. Shizuka tidak ingin mengirim kedua putranya pada Arai atau menikah dengan Kondo. Shizuka berharap Kenji tidak akan menyuruhnya melakukan salah satunya. "Semua ini harus dipertimbangkan masak-masak," ujar Kenji. "Ya, tentu saja," sahut Kondo. "Dan lagi, masalahnya diperumit dengan adanya kampanye untuk menentang Otori Takeo." "Kami berharap mendapat kabar tentangnya," gumam Kenji. "Pernikahan itu membuat Arai murka. Dia langsung menyatakan pernikahan itu tidak sah dan mengirim pasukan dalam jumlah besar kepada Lord Fujiwara. Setelah itu dia ke Kumamoto agar cukup dekat untuk menyerang Maruyama. Kabar terakhir yang kudengar yaitu Lady Shirakawa telah menikah dengan Lord Fujiwara. Lady Shirakawa diasingkan, di penjara tepatnya." Kondo mendengus keras. "Aku tahu Fujiwara merasa kalau telah bertunangan dengan Lady Shirakawa, tapi seharusnya dia tidak bertindak seperti itu. Fujiwara mendapatkannya dengan kekerasan; beberapa anak buah Lady Shirakawa tewasAmano Tenzo salah satunya. Hal itu seharusnya tidak perlu terjadi. Ai dan Hana telah menjadi sandera di Inuyama. Semua masalah seharusnya dapat dirundingkan tanpa harus terjadi pertumpahan darah." Shizuka mendadak merasa sedih atas nasib kedua gadis itu. "Kau bertemu mereka di sana?" "Tidak, aku tidak diijinkan menemui mereka." Kondo nampaknya benar-benar marah atas perlakuan Fujiwara pada Kaede. Shizuka teringat betapa sayang Kondo pada Kaede. "Dan Takeo?" tanya Shizuka. "Sepertinya Takeo hendak melawan Fujiwara, tapi dia justru berperang melawan pasukan Arai. Dia terpaksa mundur. Setelah itu semuanya tidak jelas lagi. Ada badai besar di Barat. Kedua pasukan berpapasan di pesisir. Tak ada yang tahu bagaimana hasilnya." "Jika Takeo kalah, apa akan Arai lakukan padanya?" tanya Shizuka. "Itulah yang membuat semua orang penasaran! Ada yang mengatakan Arai akan menghukum mati; ada yang mengatakan Arai tak akan berani karena reputasi Takeo; ada juga yang mengatakan Arai akan bersekutu dengan Takeo untuk melawan Otori di Hagi." "Di pesisir?" tanya Kenji. "Di mana tepatnya?" "Di Shuho, kurasa. Aku tidak tahu daerah itu." "Shuho?" sahut Kenji. "Belum pernah aku kesana, tapi orang bilang tempat itu memiliki kolam alam biru yang indah sehingga aku ingin kesana. Sudah lama aku tidak mengadakan perjalanan. Cuaca sekarang ini sempurna untuk melakukan perjalanan. Kalian berdua sebaiknya ikut denganku." Suaranya terdengar santai, namun Shizuka merasakan nadanya yang mendesak. "Dan anak-anak?" tanya Shizuka. "Kita ajak mereka; itu bisa menjadi pengalaman yang bagus buat mereka, bahkan kita mungkin akan membutuhkan kemampuan Taku." kata Kenji sambil berdiri. "Kita harus segera berangkat. Kita ambil kuda di Yamagata." "Apa rencana Paman?" tanya Kondo, "Jika boleh aku bertanya, apakah Paman hendak memastikan kalau Takeo telah disingkirkan?" "Tidak juga. Akan kukatakan padamu nanti di jalan." Ketika Kondo membungkuk dan meninggalkan ruangan, Kenji bergumam pada Shizuka, "Mungkin kita bisa sampai di sana tepat waktu untuk menolong Takeo."* SEMBILAN TIDAK ada yang bicara selama di perjalanan, tapi sikap Akita dan prajuritnya tampak sopan dan penuh hormat. Aku berharap ini dapat menyelamatkan nyawa pasukanku dan Hiroshi, tapi aku tidak berharap bisa selamat. Aku berterima kasih pada Arai karena telah memperlakukanku layaknya bangsawan, segolongan dengannya, karena tidak mempermalukan diriku. Tapi aku membayangkan bila dia tidak mengeksekusiku, maka dia akan menyuruhku bunuh diri. Meskipun aku ingat ajaran di masa kecilku, kata-kata Jo-An dan janjiku pada Kaede, aku sadar tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya. Badai membersihkan udara dari kelembaban, dan pagi itu terang dan cerah. Aku pun dapat berpikir jernih. Arai mengalahkanku; aku sudah menyerah; aku tunduk serta mematuhinya, melakukan apa pun permintaannya. Aku mulai mengerti mengapa ksatria sangat menjunjung tinggi kode etik mereka. Itu membuat hidup menjadi sangat sederhana. Kata-kata dalam ramalan singgah di benakku, namun aku segera menyingkirkannya. Aku tak ingin ada yang mengalihkan pikiranku dari jalur yang benar. Sekilas aku melihat Hiroshi sedang menunggang kuda di sampingku, bahunya tegap, kepalanya tegak. Kuda tua yang dia tunggangi berderap pelan, sesekali mendengus senang dengan hangatnya sinar mentari. Aku memikirkan cara dia dibesarkan yang membuat keberanian tumbuh secara alami dalam dirinya. Secara naluriah dia tahu cara bertindak dengan penuh kehormatan. Aku menyesal dia harus menyerah dan kalah di usia muda. Di sekeliling kami terlihat kerusakan akibat angin topan yang menyapu sepanjang pesisir. Rumah-rumah kehilangan atap, pepohonan besar tumbang, sawah yang rata, dan sungai yang meluap dengan menenggelamkan lembu, anjing dan hewan lainnya. Sesaat aku mencemaskan para petani di Maruyama, ingin tahu apakah tanggul yang kami bangun mampu melindungi ladang. Siapa kini penguasa wilayah itu? Wilayah itu sempat menjadi milikku selama satu musim panas yang singkat, namun aku merasa sangat kehilangan. Aku telah mengerahkan seluruh tenaga untuk memperbaikinya. Tak diragukan lagi, Tribe pasti akan kembali dan menghukum orang-orang yang telah menganiaya keluarga mereka. Dan tak seorang pun, selain aku, yang dapat menghentikan mereka. Ketika kami hampir sampai di kota kecil Shuho, pasukan Arai terlihat hilir-mudik mencari makanan. Aku membayangkan beban yang ditanggung kota ini karena begitu banyak pasukan dan kuda. Semua hasil panen pasti diambil, dan yang belum dipanen pasti telah hancur akibat badai. Kuharap penduduk desa ini memiliki lading rahasia dan gudang tersembunyi; jika tidak, mereka akan kelaparan saat musim dingin tiba. Shuho terkenal karena banyaknya mata air dingin yang membentuk danau berwarna biru cerah. Konon, airnya dapat menyembuhkan dan dipersembahkan pada dewi keberuntungan. Mungkin inilah yang membuat tempat ini memiliki suasana yang menyenangkan, meskipun dengan penyerbuan pasukan dan kehancuran akibat badai. Hari yang cerah tampak menjanjikan kembalinya nasib baik. Penduduk kota telah mulai memperbaiki bangunan yang rusak, saling meneriakkan lelucon, bahkan menyanyi. Ketukan palu, desau gergaji, menjadi satu rangkaian lagu indah yang berlawanan dengan bunyi gemuruh air sungai yang meluap ke segala arah. Kami sedang berada di jalan utama ketika, yang membuatku kaget, aku mendengar ada orang yang meneriakkan namaku. "Takeo! Lord Otori!" Aku mengenali suaranya meski tak segera tahu siapa dia. Kemudian aroma kayu yang baru dipotong membuatku teringat: Shiro, tukang kayu dari Hagi yang membangun rumah teh dan nightingale floor untuk Shigeru. Aku berpaling ke arah datangnya suara dan melihat dia melambaikan tangan dari atas atap rumah. Dia memanggil lagi, "Lord Otori!" dan perlahan nyanyian kota menghilang ketika satu demi satu orang menurunkan peralatan kerja mereka dan berpaling untuk melihatku. Tatapan mata mereka tertuju padaku, tatapan yang sama ditujukan pada Shigeru ketika kembali dari Terayama ke Yamagata, membuat pasukan Tohan yang mengawal kami marah dan terkejut. Tatapan seperti itu pula yang aku terima ketika berada di antara para gelandangan. Aku menatap ke depart, tak menjawab. Aku tak ingin membuat Akita marah. Lagi pula aku adalah tawanan. Tapi aku mendengar berulangkali namaku disebut dari mulut ke mulut, seperti dengungan serangga di dekat serbuk sari. Hiroshi berbisik, "Mereka mengenal Lord Otori." "Jangan bicara," sahutku, seraya berharap mereka tak dihukum karena hal itu. Aku ingin tahu mengapa Shiro ada di sini, dan aku juga ingin tahu berita apa yang dia bawa dari Hagi. Arai telah menjadikan biara yang terletak di pebukitan di atas kota sebagai markasnya. Tidak seluruh pasukan ada bersamanya, tentu saja; aku tahu kemudian kalau sebagian pasukannya masih di Inuyama dan sisanya membangun kemah di jalan antara Hagi dan Kumamoto. Kami turun dari kuda dan aku menyuruh Hiroshi menjaga dan memastikan kalau kuda diberi makan. Dia seperti hendak menolak, tapi kemudian menunduk. Wajahnya dirundung kesedihan. Sakai menyentuh bahu anak itu dan Hiroshi mengambil tali kekang Shun. Hatiku terasa pedih saat melihat kuda coklat kemerahan itu berjalan dengan jinak di sisinya, menggosokkan kepalanya ke lengan Hiroshi. Shun telah berulangkali menyelamatkanku dan aku tak ingin berpisah dengannya. Merasa kalau aku mungkin tak akan bertemu dengan kuda itu lagi, dan aku sadar betapa aku tidak ingin mati. Sesaat aku membiarkan diriku merasakannya, lalu aku bentengi diriku dengan sisi Kikuta dalam diriku, bersyukur atas kekuatan gelap Tribe yang membuatku bertahan hingga saat ini. "Mari lewat sini," ujar Akita. "Lord Arai ingin segera menemui Anda." Aku mendengar suara Arai dari dalam biara, marah dan lantang. Di tepi beranda, seorang pelayan datang membawa air dan aku hanya membasuh kaki. Aku tak bisa berbuat banyak untuk bagian diriku yang lain; baju zirah dan pakaianku sangat kotor, penuh lumpur dan darah. Aku takjub melihat Akita bisa tampak begitu rapi setelah bertempur dan mengejar melalui hujan, namun ketika dia mengantarku ke ruangan tempat Arai dan semua pengawal utamanya berkumpul, aku lihat mereka semua sama rapi dan bersihnya. Di antara para laki-laki ini, tubuh Arai yang paling besar. Sepertinya dia bertambah tinggi sejak terakhir kali aku bertemu dengannya di Terayama. Semua kemenangan yang dia raih semakin menambah bobot kekuasaannya. Dia memperlihatkan sifat tegasnya dalam merebut kendali kekuasaan setelah kematian Iida dan Shigeru; dia pemberani, berpikir cepat dan kejam, dan dia mampu mengikat orang agar setia padanya. Kelemahannya yaitu gegabah dan keras kepala; dia bukanlah orang yang luwes atau pun sabar, dan kurasa dia juga tamak. Sementara Shigeru mencari kekuasaan agar bisa memerintah dengan adil, Arai mencari kekuasaan demi kepentingannya sendiri. Semua ini terlintas di benakku selagi aku melihat sekilas pada orang yang duduk di bagian yang lebih tinggi dalam ruangan mi. Arai dikelilingi para pengawalnya. Dia mengenakan baju zirah yang indah, berwarna merah dan emas gemerlapan, tanpa penutup kepala. Dia memanjangkan jenggot dan kumis, dan aku bisa mencium wewangiannya. Sesaat tatapan mata kami bertemu, yang terlihat di matanya hanyalah kemarahan. Ruangan ini pasti memang dibuat sebagai aula bagi biarawan; di balik pintu-pintu bagian dalamnya, yang setengah terbuka, aku mendengar gerakan dan bisikan para biksu dan rahib, serta aroma dupa melayang-layang di udara. Aku menjatuhkan diri untuk berlutut, tak berdaya. Keadaan hening dalam waktu yang lama, yang terdengar hanyalah ketukan kipas Arai yang tidak sabar. Dapat kudengar napas yang semakin memburu dari orangorang di sekelilingku, detak keras jantung mereka, dan di kejauhan terdengar nyanyian kota yang sedang membangun kembali. Rasanya aku mendengar Shun meringkik dari barisan kuda, dan ringkikan kuda yang bersemangat ketika melihat makanan. "Sungguh bodoh kau ini, Otori," teriak Arai memecah keheningan. "Aku perintahkan kau untuk menikah, tapi kau menolaknya. Kau menghilang, meninggalkan warisanmu. Lalu kau muncul lagi dan punya nyali untuk menikahi gadis yang ada di bawah perlindunganku tanpa restu dariku. Kau bahkan berani menyerang seorang bangsawan, Lord Fujiwara. Semua ini seharusnya bisa dihindari. Kita bisa bersekutu." Dia melanjutkan dengan nada seperti ini selama beberapa waktu, menyela setiap kalimat dengan pukulan kipasnya seakan dia ingin memukul kepalaku. Tapi kemarahannya tak menyentuh diriku, sebagian karena aku sudah selubungi diriku dalam kegelapan, sebagian lagi karena aku merasa sudah dapat menduga kemarahannya. Aku tidak merasa tersinggung; dia berhak memarahiku. Aku menunggu, dengan wajah di lantai, melihat apa yang akan dia lakukan. Situasi menjadi hening saat Arai kehabisan makian serta hinaan. Akhirnya dia menggerutu, "Tinggalkan kami berdua. Aku ingin bicara berdua dengannya." Seseorang di sebelah kirinya berbisik, "Apakah itu bijaksana, Tuan? Reputasinya "Aku tidak takut pada Otori!" bentak Arai, kemarahannya tersulut lagi. Aku mendengar satu demi satu orang-orang keluar, lalu aku mendengar Arai berdiri dan melangkah turun dari singgasananya. "Duduk tegak," perintahnya. Aku duduk, tetap menunduk. Dia berlutut hingga lutut kami saling berhadapan. Kini kami dapat bicara tanpa terdengar orang lain. "Baiklah, mereka sudah pergi," ujarnya, nyaris bersikap ramah. "Sekarang kita bisa membicarakan tentang strategi." "Maaf bila aku telah menyinggung," ujarku. "Baiklah, baiklah, yang lalu biarlah berlalu. Penasihatku berharap kau disuruh bunuh diri atas kekurangajaranmu." Tanpa kuduga dia mulai tertawa kecil. "Lady Shirakawa adalah gadis yang cantik. Pasti sudah cukup menjadi hukuman bagimu atas kehilangan dirinya. Kupikir banyak orang yang iri karena kau melangkah terlalu jauh dan melakukan apa yang tidak berani mereka lakukan. "Dan kau masih hidup, dan itu dianggap mukjizat oleh banyak orang, dilihat dari reputasi gadis itu. Lagipula, perempuan datang dan pergi; yang penting adalah kekuasaan-kekuasaan dan balas dendam." Aku membungkuk hormat lagi, menghindar agar kemarahanku yang bangkit karena kata-katanya yang dangkal tidak terlihat. Dia meneruskan. "Aku menyukai keberanian, Takeo. Aku mengagumi apa yang telah kau lakukan demi Shigeru. Dulu aku berjanji padanya bahwa aku akan mendukungmu jika dia telah tiada; menjengkelkan bagiku, sama seperti yang kau rasakan, ternyata kedua paman Shigeru bebas tanpa dihukum. Aku sempat berbicara dengan Miyoshi bersaudara ketika kau mengirim mereka. Kahei ada di sini bersama pasukanku; kau bisa bertemu dengannya nanti. Adiknya masih di Inuyama. Aku tahu dari mereka bagaimana kau memperdaya pasukan Otori dan berapa banyak ksatria yang berpihak kepadamu. Perang Asagawa berakhir dengan baik. Nariaki selalu mengganggu dan aku senang dia telah disingkirkan. Kami datang melalui Maruyama dan melihat hasil pekerjaanmu di sana, Kahei juga mengatakan caramu menghadapi Tribe. Kau menguasai pelajaran Shigeru dengan sangat baik. Dia pasti bangga padamu." "Aku tak pantas menerima pujianmu," kataku. "Aku akan bunuh diri jika kau menginginkannya. Atau aku akan menarik diri dan pergi ke biara Terayama, misalnya." "Ya, boleh juga," sahutnya acuh tak acuh. "Aku menyadari reputasimu. Lebih baik kugunakan sendiri daripada melihatmu bersembunyi di biara sehingga menarik semua orang yang tidak puas dari seluruh Tiga Negara." Dia menambahkan, "Kau boleh bunuh diri bila kau mau. Itu hakmu sebagai ksatria dan aku tak akan mencegah. Tapi aku jauh lebih senang bila kau ada di pihakku," tambah Arai. "Lord Arai." "Saat ini seluruh Tiga Negara tunduk padaku, selain Otori. Aku ingin serang mereka sebelum musim dingin. Pasukan utama mereka yang ada di Yamagata bisa dikalahkan, tapi mereka akan mundur ke Hagi dan kabarnya kota itu tak bisa direbut melalui pengepungan, apalagi saat musim dingin." Arai menatapku, mengamati wajahku. Aku menjaga agar ekspresi wajahku tetap tenang, aku mengalihkan pandanganku. "Ada dua pertanyaan untukmu, Takeo. Bagaimana kau dapat mengenali anggota Tribe di Maruyama? Dan apakah kau mundur ke pesisir dengan sengaja? Kami mengira sudah berhasil menjebakmu, tapi pergerakanmu begitu cepat, seakan-akan telah direncanakan." Aku mengangkat kepala dan sesaat tatapan kami bertemu. "Aku terima tawaranmu untuk bersekutu," ujarku. "Aku akan melayanimu dengan setia. Sebagai imbalannya, kau mengakui diriku sebagai pewaris sah Klan Otori dan akan mendukungku meminta kembali warisanku di Hagi." Arai bertepuk tangan dan, ketika seorang pelayan muncul di pintu, dia memerintahkan agar disediakan sake. Aku tidak mengatakan kalau aku tak akan melepaskan Kaede, dan tak diragukan lagi dia pun tidak berterusterang padaku, namun kami minum untuk upacara persekutuan. Aku lebih senang makan atau minum teh. Sake menerjang perutku seperti api. "Sekarang kau boleh jawab pertanyaanku," kata Arai. Aku katakan padanya mengenai catatan Shigeru tentang Tribe dan bagaimana aku mendapatkannya di Terayama. "Di mana catatan itu sekarang? Di Maruyama?" "Tidak." "Jadi di mana? Kau tak ingin mengatakan padaku?" "Catatan itu tidak ada di tanganku, tapi aku tahu di mana. Sebagian besar informasi di kepalaku." "Jadi itu sebabnya kau sangat berhasil," ujarnya. "Tribe ingin sekali membunuhku," kataku. "Meskipun mereka tidak banyak di Maruyama, tapi mereka menjadi ancaman sehingga terpaksa kubunuh. Aku lebih senang bila dapat memanfaatkan mereka, aku tahu apa yang dapat mereka lakukan dan betapa bergunanya mereka." "Kau akan berbagi catatan itu denganku?" "Jika itu bisa membantu kita mencapai tujuan." Arai duduk sebentar, memikirkan kata-kataku. "Aku sangat marah atas peran yang dimainkan Tribe tahun lalu," katanya. "Aku tak menyangka mereka begitu kuat. Mereka membawamu pergi dan mengatur agar kau tetap tersembunyi sementara pasukanku mencarimu ke seluruh Yamagata. Tiba-tiba aku sadar mereka seperti rayap yang menggerogoti pondasi bangunan raksasa. Ingin aku singkirkan mereka-tapi akan lebih berguna bila aku bisa memanfaatkan mereka. Ini membuatku teringat pada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Kau ingat Muto Shizuka?" "Tentu." "Kau mungkin tahu kalau aku mempunyai dua anak laki-laki darinya." Aku mengangguk. Aku tahu nama mereka, Zenko dan Taku, dan juga usia mereka. "Kau tahu di mana mereka?" tanya Arai. Ada nada ingin tahu dalam suaranya: hampir memohon. Aku memang tahu, tapi aku tak ingin mengatakannya. "Tidak juga," ujarku. "Rasanya aku bisa menebak dari mana mulai mencarinya." "Putraku, dari istriku yang sah, baru saja meninggal," katanya dengan tiba-tiba. "Aku tidak mendengar hal itu. Aku turut berduka." "Dia terserang penyakit cacar, anak malang. Kesehatan ibunya memburuk karena sangat berduka." "Aku turut berduka dari lubuk hatiku yang terdalam." "Aku telah mengirim pesan pada Shizuka dan mengatakan padanya kalau aku ingin kedua putraku tinggal bersamaku. Aku akan mengakui dan mengangkat mereka secara sah. Tapi aku belum mendengar kabar apa pun darinya." "Itu memang hakmu sebagai ayah mereka," kataku. "Tapi Tribe akan menyatakan semua anak yang mewarisi bakat mereka adalah hak mereka." "Apa saja bakat itu?" tanyanya ingin tahu. "Aku tahu Shizuka adalah mata-mata yang tak ada bandingnya dan aku pernah mendengar kabar tentang kemampuanmu." "Tidak istimewa," sahutku. "Orang terlalu membesarbesarkannya. Sebagian besar kemampuanku itu diperoleh melalui latihan." "Aku ingin tahu," katanya, seraya menatapku. Aku menahan godaan untuk menatapnya. Tiba-tiba kusadari kalau sake dan penangguhan hukuman mati telah membuat kepalaku lebih ringan. Aku duduk tenang tanpa berkata apa pun, menarik kembali pengendalian diriku. "Baiklah, kita akan bicarakan ini lagi. Pertanyaanku yang lain, tentang mundurnya kau ke pesisir. Kami berharap kau mundur ke Maruyama." Aku mengatakan tentang perjanjianku dengan Terada dan rencanaku untuk masuk ke Hagi dengan kapal dan menembus kastil dari arah laut seraya mengirim pasukan dari darat untuk mengecoh kekuatan Otori dan menahan mereka di daratan. Dia langsung termakan oleh rencana itu, seperti yang kuduga, dan menambah semangatnya untuk menyerang Otori sebelum Hagi tertutup di musim dingin. "Bisakah kau membuat Terada bersekutu denganku?" pintanya, matanya berapi-api dan tidak sabar. "Kurasa mereka akan meminta imbalan." "Cari tahu apa yang mereka inginkan. Seberapa cepat kau bisa menghubungi mereka?" "Jika cuacanya baik, aku bisa mengirim pesan pada mereka kurang dari satu hari." "Aku mempercayaimu, Otori. Jangan kecewakan aku." Dia berkata dengan kesombongan seorang tuan besar, tapi kurasa kami berdua tahu seberapa besar kekuatan yang kumiliki dalam persekutuan ini. Aku membungkuk lagi dan, setelah duduk tegak, aku berkata, "Boleh aku bertanya?" "Tentu." "Jika aku datang di musim semi dan meminta restumu untuk menikahi Kaede, apakah kau akan merestuinya?" Arai tersenyum, giginya kelihatan putih di sela-sela jenggotnya. "Perjodohan telah diatur dengan Lord Fujiwara. Meskipun aku menyayangi Lady Shirakawa dan kau, tapi pernikahanmu sangatlah tidak mungkin. Aku tidak bisa menghina orang dengan derajat setinggi Fujiwara. Lagipula,"-dia mencondongkan badan ke depan dan merendahkan suaranya-"Fujiwara mengatakan satu rahasia tentang kematian Iida yang tidak diketahui orang lain." Dia tertawa kecil lagi. "Lady Shirakawa sangat berbahaya bila dibiarkan bebas. Aku jauh lebih memilih melihatnya dipingit orang seperti Fujiwara. Banyak orang yang berpikir kalau dia seharusnya dihukum mati; dengan kata lain, Fujiwara telah bermurah hati dengan menyelamatkan Lady Shirakawa." Aku tak ingin mendengar lagi tentang Kaede; hal itu membuatku terlalu marah. Aku tahu situasi masih terlalu berbahaya dan aku tak boleh membiarkan emosi memperkeruh penilaianku. Meskipun dengan keramahan dan tawaran bersekutu Arai, aku tak sepenuhnya mempercayainya. Aku merasa dia membebaskanku terlalu mudah dan sedang memendam sesuatu yang belum dia ungkap. Saat kami berdiri, dia berkata dengan santai, "Kulihat kau membawa pedang Shigeru. Boleh aku melihatnya?" Aku tarik pedang yang masih di sarungnya dari sabuk lalu menyerahkan kepadanya. Dia terima dengan takzim dan menariknya keluar dari sarung. Cahaya jatuh menimpa mata pedang yang berwarna biru keabu-abuan, memamerkan bentuknya yang berkelok-kelok. "Sang Ular," ujar Arai. Dapat kulihat betapa dia mendambakan pedang itu. Terlintas di benakku untuk menghadiahkan pedang itu padanya. Tapi aku mengurungkan niatku. "Aku telah bersumpah akan memilikinya sampai mati dan mewariskannya kepada keturunanku," gumamku. "Pedang itu adalah pusaka Otori.... " "Tentu," sahut Arai dengan santai, tanpa melepaskan pedang dari tangannya. "Berbicara tentang pewaris, aku akan mencarikanmu jodoh yang lebih sesuai. Lady Shirakawa mempunyai dua adik perempuan. Aku berpikir untuk menikahkan yang lebih tua dengan keponakan Akita, tapi belum ada pengaturan apa pun untuk yang bungsu. Dia gadis yang cantik, mirip kakaknya." "Terima kasih, tapi aku tidak berpikir untuk menikah hingga masa depanku jelas." "Baiklah, tidak perlu buru-buru. Gadis itu baru berumur sepuluh tahun." Arai membuat beberapa gerakan dengan pedang, dan Jato bernyanyi penuh duka di udara. Ingin sekali aku merebut dan membiarkan pedang itu menggorok leher Arai. Aku tak menginginkan adik Kaede; aku menginginkan Kaede. Aku tahu dia sedang mempermainkanku, tapi aku tidak tahu ke mana arah permainannya. Aku berpikir betapa mudahnya menatap dia dengan tatapan Kikuta dan, selagi dia pingsan, mengambil Jato... kemudian menghilangkan diri, menghindar melewati penjaga, lari ke pedesaan. Lantas bagaimana? Aku akan menjadi buronan lagi, dan prajuritku, Makoto, dan Miyoshi bersaudara-Hiroshi, mungkin-akan dibantai. Semua bayangan ini terlintas di benakku selagi Arai mengayunkan Jato di atas kepalanya. Indah untuk dilihat: seorang laki-laki besar bergerak begitu ringan, pedang melayang-layang di udara lebih cepat dari pandangan mata. Aku ada di hadapan seorang jago pedang, tidak diragukan lagi, yang kemampuannya berasal dari latihan dan disiplin selama bertahun-tahun. Aku tergerak oleh rasa takjub pada orang di hadapanku ini. Aku akan bersikap layaknya ksatria; apa pun perintahnya, aku akan patuh. "Ini senjata yang luar biasa," akhirnya dia berkata. Dia telah menyelesaikan latihannya, tapi tidak mengembalikan Jato padaku. Napasnya agak tersengal dan butirbutir keringat muncul di alisnya. "Ada satu hal lagi yang harus kita bicarakan, Takeo." Aku hanya diam. "Ada banyak rumor tentang dirimu. Dan yang paling sering dibicarakan orang adalah kau memiliki hubungan dengan kaum Hidden. Keadaan di sekitar kematian Shigeru dan Lady Maruyama tidak mengurangi intensitasnya. Tohan selalu menyatakan kalau Shigeru mengaku sebagai pengikut ajaran Hidden dan dia tidak mau bersumpah menentang atau menginjak-injak simbol Hidden saat diperintah Iida. Sayangnya tak ada saksi yang hidup setelah kejatuhan Inuyama, sehingga kita tak dapat memastikannya." "Dia tidak pernah mengatakannya padaku," jawabku jujur. Nadiku berdetak cepat, aku merasa sedang dipaksa menyangkal keyakinan masa kecilku di depan umum, dan aku tak ingin melakukan itu. Aku tak bisa membayangkan pilihan yang akan kuhadapi. "Lady Maruyama memiliki reputasi karena sikapnya yang bersimpati pada kaum Hidden. Kabarnya banyak anggota sekte ini yang diberi tempat di wilayahnya. Apakah kau tak menemukan bukti keberadaan mereka?" "Aku lebih peduli untuk melacak keberadaan Tribe," sahutku. "Kaum Hidden tampak tidak berbahaya bagiku." "Tidak berbahaya?" kemarahan Arai meledak lagi. "Kepercayaan merekalah yang paling berbahaya dan paling merusak. Itu menghina semua dewa; mengancam struktur masyarakat. Kepercayaan itu menyatakan bahwa lapisan masyarakat yang paling rendah-petani, gelandangan sederajat dengan bangsawan dan ksatria. Kepercayaan itu juga berani mengatakan bahwa para penguasa yang hebat akan dihukum setelah mati seperti rakyat jelata. Mereka juga menyangkal ajaran dan keberadaan Sang Pencerah." Dia menatapku, urat nadinya membiru, matanya melotot. "Aku bukan pengikutnya," kataku. Aku mengatakan yang sebenarnya, tapi aku merasakan penyesalan yang pedih atas ketidakpatuhanku pada ajaran masa kecilku. Arai menggerutu, "Mari ikut denganku." Dia meninggalkan ruangan menuju beranda. Pengawalnya segera melompat berdiri, salah satunya membawakan sandalnya. Aku mengikuti para pengiringnya saat dia berjalan dengan cepat ke sisi kolam biru dan melewati barisan kuda. Shun melihatku dan meringkik. Hiroshi sedang berdiri di sisinya, memegang ember. Ketika melihatku dikelilingi pengawal, wajahnya memucat. Dia menjatuhkan ember, lalu mengikuti kami. Saat itu aku sadar ada satu gerakan jauh di sebelah kiriku. Aku mendengar suara Makoto dan, seraya memalingkan wajah, aku melihat dia naik kuda melewati gerbang yang lebih rendah di area biara. Pasukanku sedang berkumpul di luar. Suasana menjadi hening. Aku membayangkan semua orang berpikir kalau aku akan dieksekusi karena saat Arai melangkah ke bukit, Jato masih ada di tangannya. Di bebatuan yang menonjol, ada sekelompok tawanan diikat; mereka sepertinya gabungan antara bandit, mata-mata, prajurit tanpa tuan, dan orang-orang malang yang hanya berada di waktu dan tempat yang salah. Sebagian besar dari mereka meringkuk tanpa bersuara, pasrah; satu dua merintih ketakutan; satu orang sedang meratap. Di balik erangan mereka, aku mendengar Jo-An sedang berdoa di antara hembusan napasnya. Arai menyerukan perintah dan gelandangan itu ditarik ke depan. Aku menatapnya. Tubuhku dingin. Aku tidak merasa kasihan maupun takut. Aku hanya akan melakukan apa yang Lord Arai perintahkan. Arai berkata, "Semula aku ingin memerintahkan kau menginjak-injak simbol Hidden yang hina itu di depan umum, Otori, tapi kami tak punya satu pun benda itu di sini. Makhluk ini, gelandangan ini, ditangkap dari jalanan tadi malam, sedang menaiki kuda seorang ksatria. Beberapa anak buahku mengenali kalau dia berasal dari Yamagata. Kemudian kami curiga dia ada hubungan denganmu. Dia dipercaya telah mati. Sekarang dia muncul lagi, melanggar hukum dengan lari dari tempat tinggalnya. Kami tahu dia mendampingimu dalam banyak pertempuran. Dia menyatakan kalau dia pengikut Hidden." Dia menatap Jo-An dengan ekspresi jijik. Kemudian dia berpaling padaku dan menyerahkan pedang. "Aku ingin melihat tebasan Jato," ujarnya. Aku tak bisa melihat mata Jo-An. Aku ingin menatapnya lekat-lekat, namun dia terikat dengan kepala yang dipaksa menunduk. Dia terus berdoa dan hanya aku dapat mendengarnya, doa kaum Hidden saat ajal menjelang. Tak ada waktu untuk melakukan apa pun kecuali mengambil pedang, lalu menggunakannya. Bila aku ragu, aku takkan mampu melakukannya dan aku akan menyia-nyiakan semua yang telah kuperjuangkan. Aku merasakan bobot Jato yang tak asing dan nyaman di tanganku, berdoa agar pedang itu tidak membuatku kecewa, dan mengarahkan mataku pada tulang leher JoAn yang menonjol. Bilah pedang itu memenggal tanpa ampun. Kau telah membebaskan kakakku dari penderitaannya di Yamagata. Bila tiba waktunya, maukah kau melakukan hal yang sama padaku? Waktunya telah tiba, dan aku melakukan apa yang pernah dia minta. Aku menyelamatkannya dari siksaan dan memberinya kematian yang cepat dan terhormat, sama seperti yang kuberikan pada Shigeru. Namun aku masih menganggap kematian Shigeru sebagai tindakan terburuk dalam hidupku, dan ingatan itu membuat gigiku terasa goyah dan perutku terasa mual. Aku tidak memperlihatkan perasaan itu. Memperlihatkan tanda kelemahan atau penyesalan pasti akan menamatkan riwayatku. Kematian seorang gelandangan tidak lebih penting dari kematian seekor anjing. Aku tak mau melihat ke arah kepala yang terpenggal, darah yang mengalir. Aku memeriksa tepian tajam pedang; tak ada noda darah yang menempel. Aku melihat Arai. Tatapan mata kami bertemu selama beberapa saat sebelum aku menunduk. "Nah begitu," ujarnya dengan puas, melihat ke pengawalnya, "Aku tahu kita tidak perlu mencemaskan Otori." Dia menepuk bahuku, suasana hatinya sudah benar-benar membaik. "Kita akan makan bersama dan membicarakan rencana kita. Pasukanmu boleh beristirahat di sini; akan kupastikan mereka diberi makan." Aku tidak tahu waktu apa saat ini. Pasti sekitar tengah hari. Selagi makan, suhu mulai menurun dan angin dingin berhembus dari barat laut. Dinginnya udara membuat Arai memutuskan untuk berangkat saat fajar menyingsing keesokan harinya, bertemu dengan sisa pasukannya, dan segera bergerak ke Hagi. Aku harus membawa pasukanku ke pesisir, menghubungi Terada dan mengatur rencana untuk penyerangan melalui laut. Kami berencana menyerang pada bulan purnama berikutnya, bulan kesepuluh. Jika kami gagal menyerang lewat laut, maka Arai akan menghentikan penyerangan, menggabungkan wilayah yang telah dia kuasai, dan pensiun di Inuyama, tempat aku akan bergabung dengannya. Tak seorang pun dari kami memikirkan masak-masak rencana kedua ini. Kami menetapkan untuk menyelesaikan urusan ini sebelum musim dingin. Kahei dipanggil dan ketika bertemu, kami saling memberi salam dengan gembira, kami berdua takut tak akan bertemu lagi. Karena tak bisa membawa seluruh pasukan dengan kapal, aku mengijinkan mereka beristirahat selama satu atau dua hari sebelum mengirim mereka ke timur di bawah komando Kahei. Aku belum berbicara dengan Makoto dan tidak yakin apakah akan mengajaknya bersamaku atau mengirimnya pergi bersama Kahei. Aku ingat dia pernah mengatakan kalau dia memiliki sedikit pengalaman soal kapal dan laut. Ketika bertemu dengannya, kami sangat sibuk mengatur penginapan dan makanan pasukan. Aku menyadari ada sesuatu dalam tatapan matanya-simpati? kasihan?-tapi aku tak ingin membicarakannya dengan dia atau siapa pun juga. Di saat semuanya sudah beres, aku kembali ke kolam, waktu sudah hampir malam. Sisa tubuh Jo-An tak ada lagi. Begitu pula dengan tawanan yang lain, mungkin mereka telah dieksekusi dan dikuburkan dengan upacara kecil. Aku ingin tahu siapa yang mengubur mereka. Biasanya Jo-An yang menguburkan, tapi siapa yang melakukan hal yang sama kepadanya? Karena melintasi barisan, aku juga memeriksa kuda. Sakai dan Hiroshi ada di sana, sedang memberi makan kuda, gembira karena kuda mendapat waktu beristirahat satu-dua hari. "Mungkin sebaiknya kau pergi dengan Lord Arai besok," kataku pada Sakai. "Sepertinya kita melewati jalur yang sama ke Maruyama; kau bisa membawa Hiroshi pulang." "Maaf, Lord Otori," ujarnya, "tapi kami lebih memilih untuk tetap bersama Anda." "Kuda sudah terbiasa dengan kami," Hiroshi menambahkan, menepuk leher Shun yang pendek dan berotot. "Jangan kirim aku pulang." Aku terlalu lelah untuk berdebat dan, memang, aku lebih memilih untuk mempertahankan kuda dan bocah itu dalam pasukanku. Aku meninggalkan mereka dan berjalan ke biara, seraya merasa perlu melakukan sesuatu untuk menandai kematian Jo-An dan andilku dalam kematiannya. Kubasuh mulut dan tanganku di tangki air, berharap bisa bersih dari polusi kematian, dan memohon rahmat, dari dewa; sepertinya aku percaya pada semua kepercayaan atau tidak percaya pada apa pun. Aku duduk sebentar saat mentari mulai hilang di balik pohon cedar, menatap birunya air kolam yang menakjubkan. Ikan kecil berenang di tempat dangkal, dan seekor bangau datang mencari mangsa. Bangau itu berdiri dengan sabar, tenang, kepalanya berpaling ke kanan-kiri, mata hitamnya tak berkedip. Burung itu menyerang. Si ikan meronta sebentar dan langsung ditelan. Asap membumbung tinggi, bercampur dengan kabut yang berkumpul di atas kolam. Bintang-bintang pertama bermunculan di langit bak sutra kelabu. Tak akan ada bulan malam ini. Angin membawa kabar tentang musim dingin yang makin mendekat. Kota bersenandung dengan nyanyian sore dari begitu banyak orang yang sedang makan; aroma masakan menjalar ke arahku. Aku tidak lapar; bahkan seharian aku berjuang melawan rasa mual. Aku memaksakan diri untuk makan dan minum bersama Arai dan anak buahnya, dan tahu kalau aku akan segera bergabung dengan mereka lagi, bersulang atas kemenangan bersama kami. Namun aku hentikan pemikiran itu, sebaliknya aku menatap kolam ketika warnanya luluh dan menjadi sekelabu langit. Bangau itu, yang lebih bijaksana dariku, terbang dengan mengepakkan sayap untuk kembali ke tempatnya bertengger. Saat mulai gelap, sepertinya aku dapat memikirkan Jo-An tanpa menyesali diri. Apakah kini dia bersama Tuhan, dengan Sang Rahasia yang melihat segalanya dan akan menghakimi kami semua? Aku tak percaya tuhan seperti itu ada: jika memang ada, mengapa dia meninggalkan pengikutnya dengan penderitaan, seperti yang dialami kaum Hidden? Bila dia memang ada, aku pasti dikutuk untuk masuk neraka. Hidupmu dibawa ke alam keterbukaan dan tak lagi menjadi milikmu sendiri. Jo-An mempercayai ramalan ini. Damai terwujud melalui pertumpahan darah. Meskipun ajaran Hidden melarang untuk membunuh, dia tahu dan dia menerimanya. Kini aku menjadi lebih mantap untuk membawakan kedamaian itu agar kematiannya tidak sia-sia. Aku berkata pada diriku agar jangan duduk bersedih. Aku bangkit ketika mendengar suara Makoto di kejauhan. Seseorang menjawabnya dan aku tahu itu suara Shiro. Makoto memanggil. "Takeo! Orang ini mencarimu. Dia ingin kau datang ke rumahnya." Shiro menyeringai. "Kami hanya punya separuh atap. Tapi kami punya makanan dan perapian. Suatu kehormatan bagiku bila Anda datang ke rumahku." Aku berterima kasih padanya, merasa kalau keahliannya sangat kubutuhkan. Makoto berkata pelan kepadaku, "Kau baik-baik saja?" Aku mengangguk, tiba-tiba aku tidak mempercayai lagi suaraku sendiri. Makoto berkata, "Aku berduka atas kematian Jo-An." Itu kedua kalinya dia menyebut nama si gelandangan. "Dia tidak pantas mendapatkannya," ujarku. "Dalam banyak cara, hal itu lebih dari yang pantas dia dapatkan: kematian cepat di tanganmu. Bila tidak, mungkin akan jadi jauh lebih buruk." "Jangan bicarakan itu lagi; itu sudah berlalu." Aku berbalik menghadap Shiro dan bertanya padanya kapan dia meninggalkan Hagi. "Lebih dari setahun lalu," jawabnya. "Kematian Lord Shigeru membuatku sedih. Aku tak ingin lagi melayani Klan Otori begitu beliau-dan kau-pergi. Ini kota asalku; aku bekerja sambil belajar di Hagi saat berumur sepuluh tahun, lebih dari tiga puluh tahun lalu." "Aku heran mereka membiarkan kau pergi," kataku, karena tukang kayu ahli sekaliber Shiro biasanya sangat dihargai dan mengundang rasa iri antar klan. "Aku menyogok mereka," sahutnya, seraya tertawa kecil. "Penguasa tidak mempunyai uang; mereka melepaskan siapa pun yang dapat memberi cukup uang sebagai gantinya." "Tak ada uang?" seruku. "Tapi Otori adalah klan terkaya di Tiga Negara. Apa yang terjadi?" "Perang, keserakahan. Dan bajak laut semakin memperparah. Perdagangan melalui laut terhenti." "Ini berita yang membesarkan hati," kata Makoto. "Mampukah mereka mengeluarkan biaya untuk mempertahankan pasukan mereka?" "Hampir tidak bisa," sahut Shiro. "Pasukan bersenjata lengkap-sebagian besar pendapatan penguasa dihabiskan untuk baju zirah dan senjata-tapi makanan selalu kurang dan pajak melambung setinggi langit. Banyak yang tak senang. Jika Lord Takeo kembali ke Hagi, kurasa separuh pasukan akan bergabung dengannya." "Apakah sudah diketahui umum kalau aku hendak kembali?" tanyaku. Aku ingin tahu mata-mata seperti apa yang Otori pelihara dan seberapa cepat berita ini sampai ke mereka. Bahkan jika mereka tak mampu lagi membayar, tak diragukan lagi Kikuta mau bekerja tanpa bayaran. "Itu yang diharapkan semua orang," sahut Shiro. "Dan sejak Lord Arai tidak mengeksekusimu seperti yang kami pikir akan dia lakukan..." "Aku juga berpikir begitu!" kata Makoto. "Sepertinya aku tiba untuk melihat kau yang terakhir kalinya!" Shiro menatap kolam yang tenang, sekarang berwarna kelabu tua di bawah cahaya yang memudar. "Mestinya kita bisa menghabisinya," ujarnya pelan. "Waktu itu lebih dari satu pemanah siap dengan busur tertuju ke Lord Arai." "Jangan berkata seperti itu," aku memperingatkan. "Kini kami bersekutu." "Mungkin," gerutu Shiro. "Tapi bukan Arai yang menghendaki Inuyama untuk membalaskan dendam Lord Shigeru." Shiro dan keluarganya-istri, dua putri, dan menantu laki-lakinya-membuat kami merasa nyaman di bagian rumah yang baru diperbaiki. Kami makan malam bersama mereka, kemudian aku dan Makoto pergi minum sake bersama Arai. Suasananya gembira; Arai merasa yakin kalau musuh terakhirnya akan segera menyerah. Lalu apa? Aku tak ingin terlalu memikirkan masa depan. Arai ingin melihatku menjadi pemimpin di Hagi, tempat aku membawa Otori bersekutu dengannya dan aku yakin dia ingin melihat kedua paman Shigeru dihukum. Tapi aku masih berharap mendapatkan istriku kembali, dan jika aku ditakdirkan berkuasa sejauh laut membentang, berarti aku akan melawan Arai. Tapi aku sudah bersumpah setia padanya.... Aku minum dengan kasar, menyambut tajamnya sake yang membuatku nyaman, seraya berharap bisa mematirasakan pikiranku selama sesaat. Malam terasa pendek. Tepat sebelum fajar menyingsing, pasukan pertama Arai bergerak, menyiapkan perjalanan panjang. Saat masuk Waktu Naga* mereka semua sudah berangkat, meninggalkan kota yang menjadi senyap selama beberapa saat sampai suara perbaikan mengambil alih lagi. Sakai dan Hiroshi tidur dengan kuda-itu menguntungkan karena ternyata Hiroshi mengatakan bahwa dua kali ada prajurit yang mencoba merebut Shun, mengakui kalau kuda itu milik mereka. Tampaknya reputasi kuda itu naik bersama dengan naiknya reputasiku. Aku menghabiskan waktu seharian untuk menyusun rencana. Aku memilih prajurit yang bisa berenang atau yang mengetahui tentang kapal dan laut: semuanya adalah orang Otori dan penduduk lokal yang bergabung dengan kami sejak kami tiba di pantai. Memeriksa seluruh baju zirah dan senjata serta perlengkapan untuk melaut dengan sebaik-baiknya. Aku menyebarkan penombak ke hutan untuk membuat papan pelindung dan tombak bagi pasukan yang berjalan bersama Kahei. Prajurit lainnya aku perintahkan untuk melakukan perbaikan kerusakan akibat badai dan sedapat mungkin menyelamatkan hasil panen. Makoto pergi ke pantai untuk menghubungi Ryoma dan menjelaskan rincian rencana kami pada Terada. Perjalanan Arai melalui daratan dua kali lebih jauh daripada perjalanan melalui Taut, maka kami ada cukup waktu untuk menyiapkan segalanya. Aku lega karena ternyata kota ini memang memiliki gudang rahasia yang luput dari pasukan Arai yang kelaparan, dan penduduk kota ini rela membaginya dengan kami. Begitu banyak pengorbanan yang mereka lakukan untukku. Lalu bagaimana bila musim dingin tiba? Apakah perebutan kekuasan ini hanya akan membuat ribuan orang kelaparan? Aku tak ingin memikirkan hal itu. Aku telah memutuskan. Aku harus maju terus. Malam itu aku duduk bersama Shiro dan menantu laki-lakinya, dan berbincang tentang bangunan. Mereka bukan hanya bekerja di rumah Lord Shigeru, mereka juga membangun sebagian besar rumah di Hagi dan melakukan semua pekerjaan kayu untuk Kastil Hagi. Mereka menggambar denah bagian dalam kastil untukku, membuatku teringat scat pengangkatan diriku sebagai Otori. Mereka mengungkapkan rahasia tentang lantai, pintu jebakan, dan ruang rahasia yang mereka pasang atas perintah Masahiro. "Ini tampak seperti rumah Tribe," kataku. Kedua tukang kayu saling berpandangan. "Hmmm, mungkin ada orang-orang tertentu yang membantu merancangnya," ujar Shiro, seraya menuangkan sake lagi. Aku berbaring, memikirkan hubungan Tribe dengan para pemimpin Otori. Apakah sekarang mereka sedang berbaring menungguku di Hagi, sudah tahu kalau mereka tak perlu mengejar karena aku akan mendatangi mereka? Belum beberapa minggu berlalu sejak usaha terakhir mereka untuk membunuhku di wilayah ini. Aku memejamkan mata, namun tidak bisa tidur pulas, sering terjaga untuk mendengar suara malam musim gugur dan kota yang sedang tidur. Aku sendirian di kamar kecil di bagian belakang rumah; Shiro dan keluarganya di kamar sebelahnya. Penjaga ada di luar di beranda, dan ada anjing di setiap rumah di sepanjang jalan. Mustahil orang bisa mendekatiku. Tapi, kira-kira memasuki waktu yang paling gelap di malam itu, aku terjaga dari tidur yang gelisah karena mendengar desah napas di dalam kamar. Tak ragu lagi kalau itu penyusup, karena siapa pun orangnya, dia bernapas dengan pelan, tak terlihat, cara yang sama dengan latihan yang pernah kuikuti. Tapi ada sesuatu yang lain: napasnya ringan dan bukan napas orang dewasa. Aku tak bisa melihat apa-apa di kegelapan, tapi aku segera menghilang karena mungkin si penyusup punya penglihatan malam yang lebih baik dariku. Aku bergeser tanpa bersuara dari kasur dan meringkuk di sudut kamar. Bisa kurasakan dari suara yang halus dan perubahan di udara kalau dia mendekati kasur. Kini aku bisa mencium aromanya, tapi bukan aroma laki-laki dewasa. Apakah Kikuta mengirim perempuan atau anak-anak untuk membunuhku? Aku sangat benci bila terpaksa membunuh anak-anak; aku mengira-ngira letak lubang hidungnya, dan melangkah ke arahnya. Tanganku melingkar di lehernya, mencari urat nadi. Aku bisa saja membunuhnya, tapi segera setelah kupegang lehernya, aku sadar kalau itu memang leher anak-anak. Aku melonggarkan peganganku; dia mengencangkan semua ototnya untuk mengelabui agar aku mengira dia lebih besar dari yang sebenarnya. Merasakan peganganku mengendur, dia menelan ludah dan berbicara cepat, "Lord Takeo. Keluarga Muto ingin berdamai." Aku pegang lengannya, memaksa tangannya terbuka, mengambil belati dan garotte dari dalam pakaiannya, memencet hidungnya agar dia membuka mulut, dan meraba di dalam mulutnya untuk mencari jarum atau racun. Aku lakukan ini dalam kegelapan dan dia patuh tanpa melawan. Kemudian aku memanggil Shiro untuk membawakan lampu dari dapur. Saat melihat si penyusup, dia hampir menjatuhkan lampunya. "Bagaimana dia bisa masuk? Ini mustahil!" Shiro ingin memukul anak itu tapi aku menahannya. Aku membalikkan telapak tangan bocah itu dan melihat garis khas itu terlukis di atasnya. Aku menamparnya. "Kebohongan tentang Muto apa ini sementara kau punya tanda Kikuta?" "Aku putra Muto Shizuka," sahutnya pelan. "Ibuku dan ketua Muto datang untuk menawarkan perdamaian." "Jadi mengapa kau di sini? Aku tak terbiasa berunding dengan anak kurang ajar!" "Aku ingin tahu apakah aku mampu melakukannya," sahutnya, sedikit terbata-bata untuk pertama kalinya. "Ibumu tak tahu kau kemari? Hampir saja aku membunuhmu! Lalu bagaimana dengan tawarannya damainya?" Aku memukulnya lagi tapi tidak keras. "Dasar anak bodoh!" Aku sadar kalau aku terdengar persis seperti Kenji. "Kau Zenko atau Taku?" "Taku," bisiknya. Si bungsu, pikirku. "Di mana Shizuka?" "Tidak jauh. Mau kuantar ke sana?" "Mungkin nanti saat sudah terang." "Aku harus kembali," ujarnya gugup. "Ibu pasti akan marah besar bila dia tahu aku tidak ada." "Rasakan. Tidakkah kau pikirkan itu sebelum pergi?" "Kadang aku lupa berpikir," sahutnya dengan menyesal. "Ketika aku ingin mencoba sesuatu, aku langsung melakukannya." Aku menahan diri untuk tidak tertawa. "Aku akan mengikatmu sampai pagi. Setelah itu kita pergi menemui ibumu." Aku menyuruh Shiro mengambil tali, lalu mengikat bocah itu, memerintahkan para penjaga yang malu agar mengawasinya. Taku kelihatannya rela dijadikan tawanan, dan aku ingin tidur. Aku menyuruhnya menatap mataku. Dengan enggan dia mematuhinya, dan segera bola matanya berputar dan kelopak matanya tertutup. Apa pun bakatnya-dan aku tak ragu lagi kalau banyak yang dia miliki-dia tak bisa melawan tatapan tidur Kikuta. Itu sesuatu yang bisa kuajarkan padanya, tanpa sadar aku berpikir, tepat sebelum aku tertidur. Taku masih tidur saat aku terbangun. Kuamati wajah nya selama beberapa saat. Aku tak melihat kemiripan dia denganku atau Kikuta; dia lebih mirip ibunya, tapi sekilas ada kemiripan dengan ayahnya. Jika putra Arai ada di tanganku... jika Muto ingin berdamai denganku... tapi aku sadari betapa dalamnya rasa takutku bertemu mantan guruku, Kenji. Taku masih tertidur. Itu tidak membuatku cemas. Aku tahu cepat atau lambat Shizuka akan datang mencarinya. Aku sarapan dengan Shiro dan duduk di beranda dengan denah Kastil Hagi di hadapanku, sambil berusaha menghapalnya selagi menunggu Shizuka. Meskipun aku sedang memandang keluar untuk menunggunya, dia hampir sampai di rumah itu sebelum aku mengenalinya. Dia sudah melihatku, tapi pasti dia akan berjalan lurus melewatiku bila tidak kupanggil. "Hei, kau!" Aku tak ingin menyebut namanya. Dia berhenti dan berkata tanpa membalikkan badan. "Aku, tuan?" "Masuklah bila menginginkan apa yang kau cari." Dia mendekat, melepas sandal di beranda, dan membungkuk dalam-dalam padaku. Tanpa berkata aku berjalan ke dalam. Dia mengikutiku. "Sudah lama sekali, Shizuka!" "Sepupu. Sebaiknya kau tidak menyakitinya." "Hampir saja aku membunuhnya, dasar anak bodoh. Seharusnya kau mendidiknya dengan lebih baik." Kami saling bertukar pandang. "Rasanya aku harus memeriksa apakah kau membawa senjata," ujarku. Aku sangat gembira bertemu dengannya dan tergoda untuk memeluknya, namun aku tak ingin ada belati menembus tulang rusukku. "Aku kemari bukan untuk menyakitimu, Takeo. Aku datang bersama Kenji. Dia ingin berdamai denganmu. Paman memutuskan hubungan dengan keluarga Kikuta. Kuroda akan mengikutimu, dan yang lainnya mungkin juga. Aku membawa Taku sebenarnya untuk membuktikan niat baik kami. Tak kusangka dia akan pergi sendirian." "Catatan kepercayaan Tribe denganku tidaklah baik," kataku. "Mengapa aku harus mempercayaimu?" "Bila pamanku datang, maukah kau bicara padanya?" "Tentu. Bawa juga putra sulungmu. Kedua putramu akan dijaga anak buahku selagi kita bicara." "Kudengar kau kejam sekarang, Takeo," ujar Shizuka. "Kerabat-kerabat kita di Yamagata dan Matsue yang mengajarinya. Kenji selalu mengatakan hanya kekejaman yang tidak kumiliki." Aku memanggil anak gadis Shiro dan memintanya untuk menyediakan teh. "Duduklah," kataku pada Shizuka. "Putramu tertidur. Setelah minum teh, kita ajak Kenji dan Zenko kemari." Teh datang dan Shizuka menghirupnya dengan perlahan. "Kurasa kau sudah mendengar tentang kematian Yuki?" tanyanya. "Ya, aku sedih mendengar kabar itu. Sangat keterlaluan dia dimanfaatkan seperti itu. Kau tahu tentang anaknya?" Shizuka mengangguk. "Pamanku tak bisa memaafkan Kikuta. Itu sebabnya dia siap menentang Kotaro dan mendukungmu." "Dia tidak menyalahkanku?" "Tidak, dia menyalahkan kekejaman Kikuta. Dia juga menyalahkan dirinya karena banyak hal: kematian Shigeru, mendorong kau dan Kaede jatuh cinta-mungkin juga karena kematian putrinya." "Kita semua menyalahkan diri sendiri, tapi nasiblah yang mempermainkan kita," kataku pelan. "Itu benar," ujar Shizuka. "Kita tinggal di dunia ini; kita tak bisa hidup dengan cara lain." "Ada kabar tentang Kaede?" Sebenarnya aku tak ingin bertanya tentang Kaede. Aku tak ingin memperlihatkan kelemahan dan rasa malu. "Dia sudah menikah dan dipingit. Dia masih hidup." "Adakah cara agar kau bisa menghubunginya?" Raut wajah Shizuka agak melunak. "Aku berteman baik dengan tabib di rumah Fujiwara, dan seorang gadis Muto yang menjadi pelayan rumah itu. Jadi kami selalu mendengar kabar tentangnya. Namun hanya sedikit yang bisa kami lakukan. Aku tak berani berhubungan langsung. Kurasa bahkan Kaede tidak menyadari bahaya yang sedang dia hadapi. Fujiwara pernah memerintahkan untuk membunuh pelayan, bahkan pendampingnya, hanya karena alasan sepele seperti menjatuhkan nampan, tanaman yang rusak, atau kesalahan kecil lainnya." "Makoto mengatakan kalau Fujiwara tak tidur dengannya.... " "Kurasa tidak," sahut Shizuka. "Biasanya dia tidak suka perempuan, tapi Kaede menarik baginya. Dia kini menjadi salah satu koleksi Fujiwara." Gigiku bergemeletuk karena geram. Pikiranku menerawang menembus kediaman Fujiwara dan mencarinya. Akan kucincang orang itu perlahan-lahan. "Dia dilindungi karena ada hubungan dengan Kaisar," komentar Shizuka seakan bisa membaca pikiranku. "Kaisar! Apa yang dia lakukan untuk kita, bermil-mil jauhnya di ibukota? Bahkan mungkin tak ada yang namanya kaisar. Orang itu hanya cerita hantu, dikarang untuk menakuti anak-anak!" "Jika kita bicara tentang rasa bersalah," ujar Shizuka, mengabaikan kegusaranku, "Akulah yang bersalah. Aku yang membujuk Kaede untuk menarik perhatian Fujiwara. Tapi bila tidak dibantu Fujiwara, kami semua pasti sudah mati kelaparan di Shirakawa pada musim dingin lalu." Shizuka menghabiskan tehnya dan membungkuk hormat padaku. "Bila Lord Otori berkenan, aku hendak memanggil pamanku sekarang." 'Akan kutemui dia di sini, setelah aku memeriksa beberapa persiapan." "Lord Otori." Dipanggil seperti itu oleh Shizuka terasa aneh bagiku, karena sebelumnya aku hanya mendengar sebutan itu dia berikan kepada Shigeru. Aku sadar kalau selama percakapan ini aku naik tingkat dari Sepupu, lalu Takeo, lalu Lord Otori. Sebutan itu tanpa sadar membuatku senang. Kurasa Shizuka mengakui bahwa kekuasaanku memang nyata. Setelah memerintahkan penjaga mengawasi Taku, aku lalu pergi memeriksa pasukan. Istirahat selama dua hari dan makanan yang layak telah memulihkan kekuatan pasukan maupun kuda. Aku tak sabar ingin segera kembali ke pesisir, secepatnya mendengar kabar dari Fumio, dan berpikir aku akan pergi ke sana bersama sedikit pasukan, tapi aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan sisa pasukan. Persoalannya kembali ke soal makanan. Penduduk Shuho telah bermurah hati kepada kami, tapi lama-kelamaan akan menguras persediaan mereka. Bahkan jika aku mengirim pasukan dalam jumlah besar di bawah komando Kahei, untuk mengikuti Arai melewati jalan darat, aku tetap membutuhkan perbekalan. Aku mempertimbangkan masalah ini ketika kembali ke rumah Shiro pada tengah hari. Aku teringat si nelayan di pantai dan bandit-bandit yang dia takuti. Satu serangan mendadak melawan bandit dapat mengisi waktu, membuat pasukan sibuk, mengembalikan semangat tempur mereka setelah mengalami kekalahan, menyenangkan penduduk setempat, dan mungkin mendapat tambahan perbekalan dan peralatan. Gagasan cemerlang itu muncul di benakku. Saat memikirkan, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki sedang berjinjit di bawah bayangan atap rumahorang biasa, memakai pakaian berwarna biru keabu-abuan yang kusam dan tak terlihat membawa senjata. Seorang bocah berusia dua belas tahun ada di sampingnya. Mereka berdua perlahan-lahan berdiri ketika melihatku. Aku mengisyaratkan dengan kepala. "Ayo masuk." Kenji melepas sandal di beranda. "Tunggu di sini," kataku padanya. "Biarkan anak itu ikut denganku." Aku berjalan ke dalam bersama Zenko, ke tempat Taku tidur. Kuambil garotte milik Taku lalu menyuruh penjaga mencekiknya jika ada yang menyerangku. Zenko tidak bicara dan tak memperlihatkan rasa takut. Dapat kulihat kemiripan anak itu dengan Arai. Kemudian aku kembali menghampiri guruku. Setelah di dalam rumah, kami berdua duduk. Kami saling mengamati, kemudian Kenji membungkuk hormat dan berkata dengan nada mengejek, "Lord Otori." "Muto," sahutku. "Taku juga ada di kamar sebelah. Dia dan kakaknya akan mati jika kau menyerangku." Kenji tampak lebih tua dan aku melihat kelelahan di wajahnya yang dulu belum terlihat. Rambut di pelipisnya mulai memutih. "Aku tak bermaksud menyakitimu, Takeo." Melihat dahiku berkerut, dia kemudian agak memperbaiki kata-katanya dengan tidak sabar. "Lord Otori. Mungkin kau tak percaya padaku, tapi aku memang tidak pernah berniat menyakitimu. Aku bersungguh-sungguh malam itu ketika di rumah Shigeru, saat bersumpah akan melindungimu selama aku hidup." "Cara yang aneh untuk memenuhi janji," kataku. "Kupikir kita tahu bagaimana rasanya tercabik antara kewajiban yang saling bertentangan," ujarnya. "Bisakah kita lupakan masalah itu sekarang?" "Aku lebih senang bila kita tidak lagi bermusuhan." Aku bersikap lebih dingin dari yang kurasakan, merasa dipaksa oleh apa yang telah terjadi antara mantan guruku itu dengan diriku sendiri. Selama ini aku menganggap dia mempunyai andil atas kematian Shigeru; kini rasa benciku luluh oleh penderitaannya karena kematian Yuki, atas kesedihannya. Aku juga menyesali atas kejadian terhadap Yuki, lalu masalah anaknya, putraku, cucunya. Kenji menghela napas. "Situasinya tak bisa dibiarkan. Apa gunanya saling menjatuhkan? Alasan utama Kikuta mengakuimu adalah berusaha melindungi bakatmu. Jika ada yang menjilat ludah kembali, merekalah orangnya! Aku tahu kau memiliki catatan yang Shigeru simpan. Tidak kuragukan kalau kau mampu menghabisi Tribe." "Aku lebih senang bekerjasama dengan Tribe daripada menghancurkan mereka," ujarku. "Tapi kesetiaan mereka harus total. Dapatkah kau jamin itu?" "Aku dapat menjamin semua keluarga, kecuali Kikuta. Mereka tak akan mau berdamai denganmu." Kenji terdiam selama beberapa saat, kemudian melanjutkan dengan nada muram, "Begitu pula sikapku pada mereka." Aku berkata, "Aku turut berduka atas kematian putrimu. Aku merasa bersalah. Tidak ada alasan bagiku untuk mengelak. Aku hanya berharap seandainya aku bisa mengulangi hidupku, aku akan bertindak lain." "Aku tidak menyalahkanmu," ujar Kenji. "Yuki telah memilihmu. Aku menyalahkan diriku karena membesarkan dia untuk percaya bahwa dia memiliki lebih banyak kebebasan dari yang sebenarnya. Sejak dia membawakan Jato padamu, Kikuta mulai meragukan kepatuhannya. Mereka takut Yuki akan mempengaruhi anaknya. Anak itu harus membencimu, kau mengerti. Kikuta sangatlah sabar. Dan Yuki tidak membencimu, tak akan pernah. Dia selalu ada di pihakmu." Kenji tersenyum pahit. "Yuki sangat marah saat kami menculikmu di Inuyama. Dia mengatakan akan percuma menahanmu jika itu bertentangan dengan kemauanmu." Sudut mataku menghangat. "Dia mencintaimu," ujar Kenji. "Mungkin kau bisa mencintainya andai kau belum bertemu Lady Shirakawa. Aku juga menyalahkan diriku atas hal itu. Sebenarnya aku yang mengatur pertemuan kalian; aku melihat kau jatuh cinta pada Kaede selama latihan. Apa sebabnya, aku tak tahu. Kadang kupikir kita semua tersihir dalam perjalanan itu." Aku juga merasa seperti itu. Aku teringat rintik hujan, kuatnya perasaanku pada Kaede, kegilaan untuk memasuki Kastil Yamagata, perjalanan Shigeru menuju kematian. "Aku juga berharap keadaannya berbeda, Takeo, tapi aku tak menyalahkan atau dendam padamu." Kali ini aku tidak menangkap keakrabannya. Dia meneruskan bicaranya, lebih mirip mantan guruku. "Kau sering bertindak seperti orang bodoh, namun nasib sepertinya memanfaatkanmu untuk tujuan lain, dan hidup kita saling terikat. Aku siap mempercayakan Zenko dan Taku padamu sebagai tanda niat baikku." "Mari kita bersulang," kataku, dan memanggil putri Shiro untuk menyediakan sake. Ketika gadis itu selesai menuangkan sake dan kembali ke dapur, aku bertanya, "Kau tahu di mana putraku?" Sulit kubayangkan seorang bayi tanpa ibu. "Entahlah. Tapi kurasa Akio akan membawanya ke selatan, di luar wilayah Tiga Negara. Kau akan mencarinya?" "Saat semua ini berakhir." Aku tergoda untuk mengatakan pada Kenji tentang ramalan itu, kalau putraku yang akan menghancurkanku, namun pada akhirnya rahasia itu kusimpan untuk diriku sendiri. "Sepertinya Ketua Kikuta, Kotaro, ada di Hagi," cerita Kenji padaku selagi kami minum. "Berarti kita akan bertemu dia di sana. Kuharap kau ikut bersamaku." Kenji berjanji akan ikut dan kami lalu berpelukan. "Apa yang ingin kau lakukan pada kedua bocah itu?" tanya Kenji. "Apakah kau akan menahan mereka di sini bersamamu?" "Ya. Taku tampaknya sangat berbakat. Bolehkah aku mengirimnya dalam misi mata-mata seorang diri? Rasanya ada tugas yang cocok untuknya." "Ke Hagi? Itu di luar kemampuannya." "Tidak, hanya di sekitar sini. Aku ingin mencari tempat persembunyian beberapa bandit." "Dia belum mengenal daerah sini. Mungkin dia akan tersesat. Apa yang ingin kau ketahui?" "Berapa banyak jumlah mereka, seperti apa pertahanan mereka, hal-hal semacam itu. Dia bisa menghilang, kan? Dia tak akan bisa melewati penjagaku tanpa kemampuan itu." Kenji mengangguk. "Mungkin Shizuka bisa menemaninya. Tapi, adakah penduduk asli yang bisa menemani mereka setidaknya separuh jalan? Itu bisa menghemat banyak waktu." Kami bertanya pada kedua putri Shiro, dan si bungsu mau mengantar. Dia sering pergi mengumpulkan jamur dan tumbuhan liar untuk makanan dan obat, dan meskipun menghindari daerah bandit, dia mengenal daerah pesisir. Taku terbangun selagi kami berbincang. Penjaga memanggilku, lalu Kenji dan aku pergi menemuinya. Zenko masih duduk di tempat aku meninggalkannya, diam tak bergerak. Taku menyeringai pada kami dan berseru, "Aku bertemu dewa Hachiman dalam mimpi!" "Itu bagus," kataku padanya, "Karena kau akan pergi berperang!" Malam itu Taku dan Shizuka kembali dengan semua informasi yang kubutuhkan. Makoto kembali dari pantai tepat pada saat kami membawa dua ratus prajurit untuk menyerbu tempat persembunyian para bandit di daerah bebatuan, dengan sedikit sekali kerugian, aku nyaris tidak bisa menganggap itu sebagai peperangan. Hasilnya seperti yang diharapkan: hampir semua bandit mati, hanya dua orang yang tertangkap hidup-hidup, dan mengambil persediaan musim dingin mereka. Kami membebaskan sejumlah perempuan yang diculik, di antara mereka ada ibu dan kakak perempuan anak yang kuberi makan di pantai. Zenko ikut bersama kami dan bertempur seperti orang dewasa, sedangkan Taku terbukti amat berharga: bahkan ibunya pun memuji. Kabar tersebar cepat ke desa nelayan kalau aku telah kembali dan memenuhi janjiku pada si nelayan. Semua orang datang menawarkan perahu mereka untuk membantu mengangkut pasukan. Semula aku mengira kalau semua kegiatan ini berguna agar pasukan tidak menganggur, tapi kenyataannya itu juga demi kepentinganku. Mendengar kabar dari Shizuka tentang Kaede dan keadaannya yang amat menyedihkan semakin memperkuat tekadku untuk bertemu dengannya ribuan kali lipat. Aku menyibukkan diri di siang hari agar pikiranku tenang, tapi di malam hari pikiran itu lcembali menyiksaku. Selama minggu terjadi gempa kecil. Di benakku selalu nampak Kaede terjebak dalam bangunan yang bergetar sebelum akhirnya rubuh dan terbakar. Aku selalu dihantui rasa cemas: bila dia sudah mati, maka pasti pada akhir hayatnya dia berpikir kalau aku telah meninggalkannya, bahwa aku telah mati tanpa mengatakan betapa aku mencintainya dan tak ada orang yang kucintai selain dia. Gagasan kalau kemungkinan Shizuka bisa menyampaikan pesan padanya semakin menggiurkan. Taku dan Hiroshi membentuk apa yang disebut hubungan emosional, meskipun keduanya sebaya namun benar-benar bertolak belakang dari cara dibesarkan dan sifat mereka. Hiroshi tidak menyetujui kehadiran Taku, dia iri. Taku sering mempermainkannya dengan tipuan Tribe yang membuat Hiroshi gusar, sedangkan aku terlalu sibuk untuk menengah. Mereka terus mengikutiku sambil bertengkar seperti anjing dan kucing. Sedangkan Zenko lebih sering menyendiri. Aku tahu bakat Tribe dalam dirinya hanya sedikit, tapi dia ahli berkuda dan jago pedang. Dia juga tampaknya dilatih dengan sempurna dalam kepatuhan. Aku tak yakin apa yang akan kulakukan padanya kelak, tapi dialah pewaris Arai dan aku tahu kalau cepat atau lambat aku harus memutuskan apa yang harus aku lakukan pada dirinya. Kami mengadakan acara makan besar untuk mengucapkan selamat tinggal pada penduduk Shuho, kemudian dengan membawa perbekalan hasil rampasan dari para bandit, Kahei dan Makoto serta pasukan utama berangkat dengan berjalan kaki ke Hagi. Aku mengirim Hiroshi bersama mereka, membungkam protesnya dengan mengatakan kalau dia boleh menunggang Shun, dan berharap kuda itu akan menjaga bocah itu, seperti dia menjagaku. Sulit rasanya berpisah dengan mereka semua, apalagi dengan Makoto yang telah menjadi sahabat karibku. Kami berpelukan lama sekali. Kuharap kami pergi ke medan perang bersama-sama, tapi dia tidak tahu soal perahu dan aku membutuhkannya untuk memimpin pasukan darat bersama Kahei. "Kita akan bertemu di Hagi," kami saling berjanji. Begitu mereka pergi, aku merasa perlu tetap mengetahui informasi tentang pergerakan mereka, tentang Arai, dan tentang situasi di Maruyama serta kediaman Lord Fujiwara. Aku ingin tahu reaksi bangsawan itu tentang persekutuanku dengan Arai. Kini aku bisa mulai memanfaatkan jaringan Muto. Kondo Kiichi ikut datang bersama Shizuka dan Kenji ke Shuho, dan aku sadar kalau dia juga bisa berguna untukku, karena dia sekarang bekerja pada Arai. Lagipula, Arai dan Fujiwara bersekutu, yang bisa memberi alasan pada Kondo untuk mendekati Fujiwara. Shizuka mengatakan bahwa Kondo akan melayani siapa saja bila disuruh Kenji. Tampaknya dia tak punya masalah bila bersumpah setia padaku. Dengan persetujuan Kenji, Kondo dan Shizuka mengatur untuk menghubungi mata-mata Muto di wilayah barat daya. Sebelum mereka pergi, aku menarik Shizuka dan memberinya pesan untuk disampaikan pada Kaede: bahwa aku mencintainya, bahwa aku akan segera menjemputnya, bahwa dia harus bersabar, bahwa dia tak boleh mati sebelum bertemu denganku lagi. "Itu berbahaya, terutama bagi Kaede," kata Shizuka. "Akan kulakukan semampuku, tapi aku tak bisa menjanjikan apa pun. Kami akan mengirim pesan padamu sebelum bulan purnama." Aku kembali ke biara yang terbengkalai di pantai dan mendirikan kemah di sana. Seminggu berlalu; bulan telah memasuki sepertiga paruh pertama. Kami mendapat kabar dari Kondo: Arai telah bertempur dengan pasukan Otori di dekat Yamagata, dan pasukan Otori mundur ke Hagi. Ryoma kembali dari Oshima dengan membawa kabar bahwa Terada sudah siap. Cuaca cerah, laut tenang, selain dari gempa yang mengakibatkan gelombang besar. Dua hari sebelum bulan purnama, di tengah hari, kami melihat bayangan gelap di kejauhan datang dari Oshima: armada kapal bajak laut. Ada dua belas kapal. Kubariskan semua prajuritku di pantai, siap naik ke kapal. Fumio melompat keluar dari kapal utama dan berjalan di air ke arahku. Salah satu anak buahnya ikut dengan membawa bungkusan panjang dan dua keranjang yang lebih kecil. Setelah berpelukan, dia berkata, "Aku membawa sesuatu untuk kuperlihatkan padamu. Ajak aku ke dalam; aku tak ingin semua orang melihatnya." Kami berjalan ke dalam biara sementara para pelaut mulai mengatur pasukan naik ke kapal. Anak buah Fumio meletakkan bungkusan di lantai, lalu mundur ke pinggiran beranda. Aku sudah bisa menebak isi keranjang itu baunya, dan aku ingin tahu kenapa Fumio bersusah payah membawa kepala seseorang padaku. Fumio membuka bungkusan itu. "Setelah kau lihat, baru kita kuburkan. Kami merebut sebuah kapal beberapa minggu lalu dengan orang ini di atasnya-salah satu dari mereka." Aku melihat kepala itu dengan rasa jijik. Kulitnya seputih mutiara dan rambutnya kuning seperti kuning telur burung. Badannya besar, hidungnya bengkok. "Ini orang atau setan?" "Ini salah satu orang barbar yang membuat tabung untuk melihat dari jauh." "Tabung itukah yang ada dalam bungkusan yang di sana itu?" Aku menunjuk ke bungkusan panjang. "Bukan! Ini jauh lebih menarik!" Fumio membuka bungkusan dan memperlihatkannya padaku. Aku mengambilnya dengan hati-hati. "Senjata?" Aku tidak yakin bagaimana menggunakannya, tapi benda itu memiliki tampilan yang tak salah lagi sesuatu yang dirancang untuk membunuh. "Ya, dan kurasa kita bisa membuat tiruannya. Aku sudah membuat satu. Masih belum sempurna-benda itu telah membunuh orang yang mencobanya-tapi aku tahu letak kesalahannya." Matanya berkilat, wajahnya cerah. "Apa yang bisa dilakukan benda ini?" "Akan kuperlihatkan. Adakah orang yang hendak kau singkirkan?" Aku memikirkan kedua bandit yang kami tangkap. Mereka diikat di tiang pancang di pantai, satu contoh bagi yang lainnya agar mempertimbangkan pekerjaan mereka. Aku mendengar erangan mereka selagi kami menunggu Fumio, dan aku berpikir kalau aku harus melakukan sesuatu pada mereka sebelum kami pergi. Fumio lalu memanggil anak buahnya yang membawa tungku batu bara. Kami mengikat kencang kedua bandit itu di pohon, mereka memohon dan mengutuk. Fumio berjalan sekitar lima puluh atau enam puluh langkah ke pantai, memberi isyarat padaku agar ikut dengannya. Dia menyulut tali dari batu bara dan menyulut ujung bara api ke ujung tabung. Ujungnya mempunyai semacam pengait, berbentuk seperti mata air. Dia mengarahkan tabung itu, menyipitkan mata ke arah para tawanan. Tiba-tiba terdengar bunyi keras yang membuatku melompat, disertai kepulan asap. Si bandit menjerit kesakitan. Darah mengalir dari luka di lehernya. Dia mati dalam sekejap. "Ah," ujar Fumio puas. "Aku sudah mulai bisa menggunakannya." "Perlu waktu berapa lama sampai kau bisa menembak lagi?" tanyaku. Senjata yang kejam dan buruk. Benda itu tidak memiliki keindahan pedang dan keagungan busur, tapi dapat kulihat senjata itu lebih efektif. Fumio mengulangi lagi prosesnya dan aku menghitung dengan napasku: lebih dari seratus kali, waktu yang lama di tengah pertempuran. Tembakan kedua menerjang dada bandit yang satunya lagi, mengakibatkan lubang yang cukup besar. Kurasa bolanya bisa menembus baju zirah. Kemampuan senjata itu membuatku terpikat sekaligus jijik. "Para ksatria pasti menyebut itu senjata para pengecut," kataku pada Fumio. Dia tertawa. "Aku tak keberatan dengan cara pengecut bila itu berarti aku tetap hidup!" "Kau akan membawanya?" "Bila kau berjanji untuk menghancurkannya bila kita kalah." Dia menyeringai. "Tidak boleh ada orang lain yang tahu cara membuatnya." "Kita tidak akan kalah. Kau sebut apa benda itu?" "Senjata api," sahutnya. Kami kembali ke dalam, dan Fumio membungkus lagi senjata api itu. Lalat mulai mengerubungi kepala bandit yang seram itu, dan baunya seperti meresap ke seluruh ruangan, membuatku mual. "Singkirkan kepala itu," perintahku pada anak buah Fumio. Dia melihat ke arah tuannya. "Akan kuperlihatkan benda lainnya." Fumio mengambil bungkusan ketiga dan membukanya. "Dia memakai benda ini di lehernya." "Tasbih?" tanyaku, seraya mengambil tali putih itu. Manik-maniknya terbuat dari gading. Talinya terurai dan tanda yang digunakan kaum Hidden, salib, terulur di depan mataku. Aku takjub melihat benda yang selalu menjadi rahasia. Di rumah rahib kami di Mino, jendelanya diatur begitu rupa agar pada waktu tertentu di siang hari, cahaya matahari membentuk salib emas di dinding, tapi hanya bayangan yang berlalu dengan cepat itu yang pernah kulihat. Menahan wajahku agar tak menunjukkan perasaan apa pun, kulempar manik-manik itu pada Fumio. "Aneh. Agama si orang barbar?" "Kau sangat polos, Takeo. Ini simbol kaum Hidden." "Bagaimana kau bisa tahu?" "Aku tahu hal-hal semacam itu," katanya dengan tidak sabar. "Aku tak takut pada ilmu pengetahuan. Aku pernah ke daratan utama. Aku tahu kalau dunia jauh lebih besar dari gugusan pulau kita ini. Orang-orang barbar menganut ajaran yang sama dengan kaum Hidden. Kurasa hal itu sangat menakjubkan." "Lagipula, benda itu tak berguna dalam peperangan!" Kurasa hal itu tidak menakjubkan, tapi menakutkan, seakan itu pesan dari tuhan yang tak lagi kupercaya. "Apa lagi yang orang-orang barbar itu punya? Takeo, saat kau berkuasa di Hagi, kirimkan aku ke mereka. Kita bisa berdagang dengan mereka. Kita bisa belajar dari mereka." Sulit bagiku membayangkan masa depan seperti itu. Yang dapat kupikirkan hanyalah peperangan yang akan segera terjadi. Saat pertengahan sore, pasukan terakhir sudah naik ke kapal. Fumio nyatakan kami harus segera berangkat untuk memanfaatkan air pasang di malam hari. Sambil menggendong Taku di pundak, aku berjalan di air ke kapal Fumio dan menepi ke pinggiran lambung kapal. Kenji dan Zenko menyusul. Armada kapal sudah dalam perjalanan, layar kuning dihembus angin. Daratan semakin lama semakin terlihat kecil, dan kemudian menghilang di tengah kabut sore. Shizuka mengatakan akan mengirim kabar sebelum kami pergi, tapi kami tidak mendapat kabar apa pun darinya. Tidak adanya kabar dari Shizuka semakin membuatku mencemaskan dirinya dan juga Kaede.* SEPULUH TEMPERAMEN Rieko kacau, panik akibat badai seperti yang dia alami ketika terjadi gempa. Begitu panik hingga dia hampir pingsan. Meskipun keadaan tak nyaman akibat badai, Kaede bersyukur telah terbebas dari perhatian tiada henti perempuan itu. Tapi, setelah dua hari badai mulai mereda, diikuti dengan cuaca musim gugur yang cerah, kesehatan dan kekuatan Rieko pulih bersama dengan sikap penuh perhatiannya yang menjengkelkan itu. Tampaknya Rieko selalu menemukan sesuatu yang akan dilakukan pada Kaede setiap hari, mencabut alisnya, menggosok badan dengan kulit padi, keramas serta menyisir rambutnya, membedaki wajahnya hingga putihnya tak alami, memberi krim tangan dan kaki Kaede hingga sehalus dan sebening mutiara. Dia memilih pakaian untuk Kaede. Adakalanya, sebagai perlakuan khusus, Rikeo membacakan atau memainkan kecapi-dengan maksud untuk memamerkan kemampuannya pada Kaede. Fujiwara berkunjung sekali sehari. Rieko mengajari Kaede tentang seni membuat teh dan Kaede menyiapkannya untuk Fujiwara, mengikuti ritual itu dengan tenang sementara Fujiwara mengikuti setiap gerakan, seraya sesekali membetulkan kesalahan Kaede. Pada hari yang cerah, para perempuan duduk di ruangan yang menghadap ke taman kecil yang tertutup. Dua pohon cemara sating membelit dan pohon plum yang sudah sangat tua tumbuh bersama bunga azalea dan semak peony. "Kita akan menikmati bunga-bunga di musim semi," kata Rieko. Perkataan ini membuat Kaede memikirkan musim dingin yang akan segera tiba dan musim-musim berikutnya. Seiring berlalunya musim, kecantikan dirinya akan berkurang, nilainya akan berkurang di mata Fujiwara. Taman itu mengingatkan Kaede pada taman di Kastil Noguchi, tempat ia pernah duduk bersama ayahnya ketika memberitahukan bahwa pernikahannya dengan Lord Otori Shigeru telah diatur. Saat itu ayahnya bangga, lega karena Kaede akan melangsungkan pernikahan yang baik. Namun ia dan ayahnya tidak tahu kalau pernikahan itu merupakan pernikahan pura-pura, jebakan untuk Shigeru. Karena hanya sedikit hat yang menyibukkan pikirannya, ia mengenang masa lalu selagi memandangi taman, memperhatikan setiap perubahan yang terjadi seiring hari-hari yang berlalu dengan begitu lambat. Pohon plum mulai menjatuhkan daunnya dan seorang laki-laki tua datang ke taman untuk memungutinya satu demi satu agar tidak menutupi lumut. Kaede harus disembunyikan agar tidak terlihat orang itu, tapi Kaede memperhatikannya dari balik layar kasa. Dengan kesabaran tanpa batas, laki-laki itu memungut setiap helai dawn dengan telunjuk Ban ibu jari agar tidak merusak lumutnya lalu menaruhnya di keranjang bambu. Kemudian dia menyisiri lumut seperti menyisir rambut, menyingkirkan setiap ranting dan rumput, cacing tanah, bulu burung, potongan kayu. Selama sisa hari itu, lumut tampak murni, dan kemudian, tanpa terasa, dunia, kehidupan, mulai mengganggunya lagi, dan keesokan harinya proses yang sama berulang lagi. Lumut hijau dan putih tumbuh di batang pohon yang menonjol, dan Kaede menemukan dirinya juga memperhatikan hatikan hat itu. Kejadian-kejadian kecil memiliki kekuatan yang mengejutkannya. Suatu pagi jamur yang berwarna putih gading dan merah muda pucat tumbuh dan sesekali seekor burung hinggap di salah satu pucuk pohon cemara lalu memperdengarkan kicauannya, denyut nadi Kaede bergetar. Memerintah satu wilayah tidak sepenuhnya menyibukkan pikirannya yang selalu gelisah dan haus; kini tidak banyak hat yang dapat dilakukan sehingga is berpikir bisa mati karena bosan. Ia mencoba mendengarkan irama di rumah itu dari balik dinding-dinding kamarnya tapi hanya sedikit suara yang dapat menembus ke tempat yang terpencil itu. Satu kali ia pernah mendengar irama seruling Ban menduga itu Makoto. Ia ketakutan setengah mati bertemu dengan pemuda itu, karena terkekang oleh kecemburuan memikirkan laki-laki itu bebas datang Ban pergi, bebas untuk bersama Takeo: tapi kini ia ingin sekali bertemu Makoto, untuk mendapatkan kabar, kabar apa saja. Tapi ia tak bisa tahu apakah itu si biarawan atau bukan. Selain bosan, hat terburuk yang Kaede rasakan adalah tidak mengetahui apa-apa. Pertempuran bisa dijalani lalu kalah, ksatria bisa saja bangkit dan jatuh-tapi semua kabar itu disimpan rapat-rapat darinya. Satu-satunya pelipur laranya adalah jika Takeo mati, Fujiwara pasti akan mengatakan padanya, mengejek dan bersenang-senang atas penderitaannya. Kaede tahu Fujiwara terus mempertunjukkan drama dirinya. Mamoru sering datang bersama bangsawan itu untuk mempelajari dan meniru ekspresi Kaede. Kaede tidak diizinkan menonton pertunjukkan drama tentang dirinya, tapi boleh mendengar potongan kata-kata serta senandungnya, musik, tabuhan tambur. Drama itu merasuk ke benaknya hingga tanpa sadar air matanya berlinang. Hidup Kaede pun sama pedih dan mengharukan seperti drama itu. Kaede menghabiskan waktu dengan merenungi dan mencari cara untuk dapat menggambarkan perasaannya sendiri. Ia hanya tahu sedikit tentang puisi; selain yang pernah ia baca dalam buku-buku milik ayahnya, tapi ia mengumpulkan kata-kata layaknya manik-manik emas dan merangkainya sesuka hati. Lalu menyimpannya rapat-rapat di hati. Kaede mulai menyukai kesunyian, di mana puisi tersusun dengan sendirinya, seperti pilar-pilar di Gua Suci Shirakawa yang terbentuk karena tetesan air. Selain Fujiwara, satu-satunya laki-laki yang ia lihat hanyalah Ishida. Tabib itu datang setiap beberapa hari dan Kaede menikmati kunjungannya, meskipun mereka hampir tidak bicara. Saat mulai mencari kata-kata untuk memulai pembicaraan dengan tabib itu, Kaede terhenti akibat teh penenang. Di sebelah kamar yang menghadap ke taman ada kuil kecil dengan patung Sang Pencerah dan patung Kannon. Rieko tidak berani mencegah Kaede berdoa di depan patung itu. Begitu lama ia berlutut hingga doa dan puisi menyatu dan setiap hari dunia tampak penuh makna dan kesucian. Ia sering bermeditasi dengan memikirkan tentang perang Asagawa dan penyiksaan Takeo atas anggota Tribe, dan bertanya-tanya apakah keadaan yang menyentuh dirinya ini bisa memberi jawaban tentang cara berkuasa tanpa melakukan kekerasan. Namun kemudian ia mengakui: jika berkuasa, ia akan balas dendam pada orang-orang yang telah membuat ia menderita. Kaede menyalakan dupa di depan kuil dan membiarkan aromanya yang pekat memenuhi penciumannya dan menyatu dengan udara di sekitarnya. Sebuah lonceng kecil tergantung, dan dari waktu ke waktu ia ingin sekali memukulnya sekeras mungkin. Ketika akhirnya ia memukul lonceng itu, gaungnya sampai ke kamar dan para pelayan saling bertukar pandang, berhati-hati jangan sampai Rieko melihat mereka. Mereka tahu sedikit tentang kisah Kaede sehingga mereka kasihan dan semakin mengaguminya. Ada seorang gadis pelayan yang menarik perhatian Kaede. Ia tahu dari catatan Tribe yang ia salin untuk Takeo bahwa beberapa anggota Tribe bekerja di rumah Fujiwara, dan hampir pasti bangsawan itu tidak tahu. Dua orang laki-laki, salah satunya adalah pengurus rumah, dibayar dari ibukota; agaknya mereka adalah mata-mata yang bertugas untuk melaporkan ke istana tentang kegiatan sang bangsawan yang diasingkan. Ada dua pelayan di dapur yang menjual potongan-potongan informasi pada siapa pun yang mau membayar, dan ada seorang perempuan lagi, seorang pelayan, yang Kaede duga sebagai gadis Tribe. Saat memperhatikan lebih cermat, Kaede sadar kalau gadis itu mirip Shizuka. Kaede tidak merindukan Shizuka saat pertama kali berpisah; hidupnya sepenuhnya dihabiskan bersama Takeo, tapi kini ia sangat merindukan pelayannya itu. Kaede merindukan suara, keceriaan dan keberaniannya. Di atas segalanya, Kaede ingin mendengar kabar apa saja. Nama gadis itu Yumi. Jika ada orang yang tahu mengetahui kejadian di dunia luar, pastilah itu orang Tribe. Tapi Kaede belum pernah berdua dengannya, dan Kaede pun takut mendekatinya, meskipun secara tidak langsung. Pertama-tama Kaede menduga gadis itu dikirim untuk membunuhnya sebagai hukuman pada Takeo. Ia memperhatikan gadis itu, bukan karena takut, tapi lebih karena semacam rasa ingin tahu: bagaimana cara orang itu akan membunuhnya, bagaimana rasanya. mati, dan apa reaksi pertamanya lega atau menyesal. Kaede tahu hukuman mati yang dijatuhkan Tribe pada Takeo, diperkuat dengan kekerasan yang Takeo lakukan saat mengejar mereka di Maruyama. Ia tak mengharapkan simpati maupun dukungan Tribe. Tapi, tingkah laku gadis itu seakan mengatakan kalau dia tidak memusuhi Kaede. Seiring hari-hari yang semakin singkat dan dingin, pakaian musim dingin dikeluarkan untuk dijemur, pakaian musim panas dicuci, dilipat lalu disimpan. Selama dua minggu Kaede mengenakan kimono antara dua musim dan bersyukur atas kehangatan ekstra yang diberikan pakaian itu. Rieko dan para pelayan menjahit dan membordir, tapi Kaede tidak diijinkan turut ambil bagian. la tak terlalu suka menjahit-ia harus berusaha keras dengan tangan kidalnya hingga terampil-tapi kegiatan itu sebenarnya bisa mengisi hari-hari luang. Kaede tertarik pada benang yang berwarna-warni dan terpikat dengan bagaimana setangkai bunga atau seekor burung tampak hidup di atas bahan sutra tebal. Ia tahu dari Rieko kalau Fujiwara memerintahkan untuk menjauhkan semua jarum, gunting dan pisau. Bahkan cermin hanya boleh dipegang Rieko. Kaede memikirkan jarum kecil pemberian Shizuka yang dulu ia sembunyikan di balik lengan baju, jarum yang ia gunakan untuk membunuh Lord Iida di Inuyama. Apakah Fujiwara takut ia melakukan hal yang sama? Rieko selalu memperhatikan apa yang Kaede lakukan, kecuali saat Fujiwara datang berkunjung. Rieko menemani Kaede ke rumah mandi dan bahkan ke kakus, dia memegangi kimono tebal di samping Kaede lalu membasuh tangan Kaede di bak air. Saat Kaede datang bulan, Fujiwara berhenti mengunjunginya. Waktu berlalu. Pohon plum tidak berbuah maupun berdaun. Suatu pagi, di atas lumut dan pucuk cemara, tampak samar kilau embun yang membeku. Dimulainya cuaca dingin membawa berbagai penyakit. Pertama Kaede sakit flu; kepalanya sakit dan tenggorokannya terasa seperti menelan jarum. Demam membawa mimpi buruk, namun dalam beberapa hari la sembuh meskipun batuk masih mengganggunya di malam hari. Ishida memberi ramuan kulit pohon willow dan akar bunga valerian. Rieko juga terserang flu yang jauh lebih parah dari Kaede. Pada malam ketiga Rieko sakit, terjadi serangkaian gempa kecil. Gempa dan demam membuat Rieko panik. Dia nyaris tak terkendali. Karena panik, Kaede menyuruh Yumi memanggil Ishida. Hari telah malam saat tabib itu datang; bulan tiga perempat keperakan bergelayut di hitamnya langit, dan bintang terlihat seperti titik-titik es yang bercahaya. Sambil menyuruh Yumi mengambil air panas, Ishida menyeduh ramuan dan menyuruh Rieko minum. Geliatan kesakitan Rieko semakin berkurang dan tangisnya pun mulai berkurang. "Dia akan tertidur," kata Ishida. "Yumi boleh memberinya satu dosis lagi bila dia panik." Saat Ishida bicara, tanah bergetar. Melalui pintu yang terbuka, Kaede melihat bulan bergetar saat lantai terangkat dan terhenyak. Pelayan lain memekik ketakutan dan berlarian keluar. "Bumi berguncang seharian," kata Kaede. "Apakah itu pertanda akan ada gempa besar?" "Siapa tahu?" sahut Ishida. "Sebaiknya Anda matikan lampu sebelum pergi tidur. Aku akan kembali ke rumah dan melihat apa yang sedang anjingku lakukan." "Anjingmu?" "Jika dia tidur di bawah beranda, tak akan ada gempa besar. Tapi bila dia melolong, barulah aku cemas." Ishida tertawa kecil dan Kaede sadar ternyata sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat tabib itu ceria. Dia seorang pendiam, mandiri, suka mendengar kata hatinya yang dibimbing oleh kewajibannya pada Fujiwara dan panggilannya sebagai seorang tabib, tapi Kaede merasakan ada sesuatu yang berbeda padanya malam itu, sesuatu yang muncul di balik penampilannya yang tenang. Ishida meninggalkan mereka, dan Yumi ikut masuk ke kamar tidur untuk membantu Kaede mengganti pakaian. "Tabib itu nampak ceria malam ini," komentar Kaede. Kaede senang tidak ada Rieko yang mendengar setiap kata-katanya sehingga ia merasa bisa bicara apa adanya. Kimono meluncur turun dari bahu, dan selagi mengangkat rambut Kaede, Yumi berbisik. "Itu karena dia bertemua Muto Shizuka." Kaede merasa darah tersedot habis dari kepalanya. Kaede merasa kamar seakan berputar di sekelilingnya, bukan karena gempa, tapi karena ia merasa lemah. Yumi memegangi Kaede untuk menopang, lalu membaringkan ke alas tidur. Dia mengambil baju tidur dan membantu Kaede memakainya. "Jangan sampai lady sakit lagi," dia bergumam, mengambil sisir untuk merapikan rambut Kaede. "Apa beritanya?" tanya Kaede pelan. "Keluarga Muto telah berdamai dengan Lord Otori. Ketua Muto ada bersama Takeo saat ini." Hanya mendengar nama Takeo disebut, jantung Kaede berdebar kencang, hingga ia merasa hendak muntah. "Di mana dia?" "Di pesisir, di Shuho. Dia menyerah pada Lord Arai." Kaede tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Takeo. "Apakah dia aman?" "Beliau dan Arai bersekutu. Mereka akan menyerang Hagi bersama-sama." "Perang lagi," gumam Kaede. Perasaan berkecamuk dalam dirinya, membuat matanya hangat. "Bagaimana dengan adik-adikku?" "Mereka baik-baik saja. Pernikahan telah diatur untuk Lady Ai dengan keponakan Lord Akita. Jangan menangis, lady. Jangan sampai ada yang tahu rahasia ini. Hidupku bergantungmu. Shizuka sudah bersumpah kalau Anda bisa menyembunyikan perasaan." Kaede berusaha menahan agar air matanya tidak berlinang. "Adikku yang bungsu?" "Arai ingin menjodohkannya dengan Lord Otori, tapi dia mengatakan tidak berniat menikah sampai berhasil merebut Hagi." Kaede merasa hatinya seakan tertusuk jarum. Hal itu tidak pernah terlintas dibenaknya, tapi tentu saja Takeo akan menikah lagi. Pernikahan Kaede telah dibatalkan; Takeo diharapkan untuk beristri lagi. Hana adalah pilihan yang tepat, mempererat persekutuan dengan Fujiwara, memberi Arai penghubung ke Maruyama dan Shirakawa. "Hana masih anak-anak," ujar Kaede lemas ketika sisir menggaruk rambutnya. Apakah Takeo telah melupakan dirinya? Akankah Takeo dengan senang hati menerima Hana yang sangat mirip dengannya? Rasa cemburu melanda dirinya ketika membayangkan Takeo sedang bersama Makoto. Rasa putus asa menyerang dirinya dengan kekuatan baru. Begitu mendengar dia menikah, aku harus mati, meskipun aku harus menggigit lidahku sendiri, ia bersumpah dalam hati, "Anda harus yakin kalau Lord Otori punya rencananya sendiri," bisik Yumi. "Lagipula, beliau sedang menuju kesini ketika Arai mencegatnya dan mendesaknya kembali ke pesisir. Badai telah membantunya mundur." "Dia kemari hendak menolongku?" tanya Kaede. Rasa cemburunya agak berkurang, tersapu oleh rasa syukur dan secercah harapan. "Begitu mendengar Anda diculik, beliau langsung siapkan lebih dari seribu prajurit." Kaede bisa merasakan Yumi gemetar. "Beliau mengirim Shizuka untuk mengatakan bahwa beliau mencintai Anda dan tak akan membiarkan Anda. Bersabarlah. Beliau akan menjemput." Terdengar suara dari kamar sebelah, seperti mengigau. Kedua perempuan itu terpaku. "Temani aku ke kakus," kata Kaede tenang, seakan tak mengatakan hal lain kecuali "Pegang kimonoku" dan "Sisir rambutku". Kaede sadar resiko yang Yumi ambil dengan menyampaikan pesan ini, dan ia mencemaskan keselamatan gadis ini. Yumi mengambil kimono hangat dan memakaikannya pada Kaede. Mereka melangkah tanpa bersuara ke beranda. Di situ jauh lebih dingin. "Malam ini akan sangat dingin," komentar Yumi. "Perlukah aku meminta lebih banyak arang?" Kaede mendengarkan. Malam begitu tenang. Tidak ada angin maupun lolongan anjing. "Ya, kita berusaha agar tetap hangat." Di pintu masuk kakus Kaede menanggalkan kimono bulu dari bahunya dan menyerahkannya pada Yumi. Berjongkok dalam bagian yang gelap, tempat di mana tak seorang pun bisa melihatnya, Kaede membiarkan kegembiraan masuk ke sekujur badannya. Mendadak ada kata-kata yang muncul di benaknya, kata yang disampaikan oleh sang dewi: Bersabarlah. Dia akan menjemputmu. Hari berikutnya Rieko berangsur membaik; dia bangun dan berpakaian pada waktu yang biasa dia lakukan, meskipun Kaede memintanya beristirahat lebih lama. Angin musim gugur yang berhembus dari gunung terasa lebih dingin, tapi Kaede tetap merasakan kehangatan yang belum ia rasakan sejak ditangkap. Ia berusaha untuk tidak memikirkan Takeo, namun bisikan pesan Yumi membuat bayangan orang yang begitu ia rindukan selalu muncul di benaknya. Pesan yang ia terima berdentum begitu keras di benaknya sehingga ia yakin orang lain bisa mendengarnya. Kaede takut tak sanggup menyimpan rahasia ini. Meskipun tidak bicara atau bertemu Yumi lagi, tapi ia sadar ada perasaan baru antara mereka, semacam ikatan. Tentu saja, Rieko dengan mata burung carmorant pasti bisa melihatnya. Sakit membuat Rieko lebih mudah marah dan lebih jahat dari sebelumnya. Selalu saja dia menemukan kesalahan, mengeluh tentang makanan, meminta dibuatkan tiga macam teh dan mengatakan kalau semuanya bau apak. Dia menampar Yumi karena lambat membawakan air panas, dan dia juga melampiaskan ketakutannya karena gempa hingga Kumiko menangis saat Rieko. Kumiko biasanya gembira dan ceria selalu membela Rieko karena diberi memberinya waktu luang yang tidak bisa dinikmati pelayan lain. Tapi pagi ini Kumiko mencemooh, menertawakan ketakutan Rieko, lupa kalau dirinya juga ketakutan. Kaede berusaha keluar dari suasana yang tak menyenangkan itu dengan duduk di tempat kesukaannya, memandangi taman kecil di luar. Sinar matahari masuk ke ruangan, tapi dalam beberapa minggu cuaca tak akan secerah ini lagi. Musim dingin akan membuat ruangan ini semakin suram-apakah Takeo akan datang sebelum musim dingin? Meskipun tidak bisa melihat gunung, tapi ia membayangkan gunung menjulang tinggi ke langit yang biru di musim gugur. Saat ini gunung pasti telah diselimuti salju. Tiba-tiba seekor burung bertengger di pohon cemara, mencicit nyaring lalu terbang melintasi atap, tampak sekilas warna hijau dan putih di sayapnya. Mengingatkannya pada burung yang pernah dilukis Takeo. Mungkinkah itu pesan untuknya-pesan kalau ia akan segera bebas? Suara pelayan terdengar makin keras di belakangnya. Kumiko menangis. "Aku tidak tahan. Jika rumah ini mulai bergetar, aku akan lari. Aku tidak tahan." "Jadi itu yang kau lakukan semalam! Kau meninggalkan lady sendiri, selagi aku tidur?" "Yumi selalu menemaninya," jawab Kumiko, sambil menangis. "Lord Fujiwara memerintahkan bahwa hanya kita berdua yang boleh menemaninya!" Suara tamparan menggema lagi. Kaede berpikir tentang burung yang terbang tadi, juga air mata pelayan itu. Pelupuk matanya sendiri panas. Ia mendengar langkah kaki dan tahu kalau Rieko berdiri di belakangnya, tapi ia tak berpaling. "Semalam lady hanya berdua dengan Yumi. Kudengar kalian berbisik. Apa yang kalian bicarakan?" "Kami berbisik agar kau tak terganggu," sahut Kaede. "Kami membicarakan hal-hal sepele: angin musim gugur, betapa cemerlangnya rembulan, mungkin. Aku meminta dia menyisiri rambutku, menemaniku ke kakus." Rieko berlutut dan berusaha menatap wajah Kaede dari samping. Aroma kuat tubuh Rieko membuat Kaede terbatuk. "Jangan ganggu aku," kata Kaede seraya memalingkan wajah. "Kita berdua sedang tidak sehat. Cobalah agar kita bisa menjalani satu hari yang tenang." "Sungguh tidak tahu diuntung," ujar Rieko dengan suara sepelan dengung nyamuk. "Dan sangat bodoh. Lord Fujiwara melakukan apa pun untukmu dan kau masih saja bermimpi untuk bisa menipunya." "Kau pasti demam," ujar Kaede. "Kau berkhayal yang tidak-tidak. Bagaimana aku bisa menipu Lord Fujiwara? Aku tawanannya." "Istrinya," ralat Rieko. "Dengan menggunakan kata tawanan, itu memperlihatkan betapa kau masih memberontak melawan suamimu." Kaede diam membisu, hanya menatap pucuk cemara yang menjulang ke angkasa. Pesan Yumi telah memberinya harapan, tapi sisi lain dari harapan adalah ketakutan akan nasib: Yumi, Shizuka, dan dirinya sendiri. "Kau berubah," gumam Rieko. "Kau pikir aku tak bisa membaca ekspresi wajahmu?" "Aku memang merasa hangat," sahut Kaede. "Mungkin aku demam lagi." Apakah mereka sudah di Hagi? pikirnya. Apakah Takeo sedang berperang? Semoga dia diiindungi! Semoga dia tetap hidup! "Aku hendak berdoa," kata Kaede pada Rieko sambil berlutut di depan kuil. Kumiko membawa arang dan Kaede menyalakan dupa. Pekatnya aroma dupa menyebar ke seluruh ruangan, membawa kedamaian yang tak wajar. Beberapa hari kemudian, ketika Yumi pergi mengambil makan siang, dia tidak kembali. Pelayan lain datang menggantikan, perempuan yang lebih tua. Dia dan Kumiko menyajikan makanan tanpa bicara. Mata Kumiko merah. Ketika Kaede bertanya apa yang terjadi, Rieko membentak, "Dia sakit flu, itu saja." "Di mana Yumi?" tanya Kaede. "Kau ingin tahu? Itu membuktikan kecurigaanku." "Kecurigaan apa?" tanya Kaede. "Apa maksudmu? Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Aku hanya ingin tahu di mana dia." "Kau tak akan bertemu dengannya lagi," kata Rieko dingin. Kumiko mengeluarkan suara tercekik seolah sedang menahan tangis. Kaede merasa kedinginan, tapi kulitnya serasa terbakar. la merasa seakan dinding merapat dan menjepit tubuhnya. Di sore hari, kepalanya terasa sakit sekali; ia minta Rieko memanggil Ishida. Ketika Ishida datang, Kaede kaget melihat penampilan tabib itu. Beberapa hari lalu dia begitu riang; kini wajahnya cekung dan muram, matanya kering, kulitnya kelabu. Sikapnya tetap tenang dan bicaranya pun masih lembut, tapi jelas ada sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan Rieko tahu itu; Kaede yakin akan hal itu dari bibirnya yang berkerut dan matanya yang tajam. Tak dapat bertanya pada tabib itu adalah siksaan; tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah atau di dunia luar membuat Kaede hampir gila. Ishida memberi teh dari kayu willow dan mengucapkan selamat malam lebih sering dari biasanya. Kaede yakin tak akan bertemu tabib itu lagi. Meskipun diberi obat penenang, malam itu Kaede tetap gelisah. Pagi harinya Kaede bertanya lagi tentang menghilangnya Yumi dan kesedihan Ishida. Saat jawaban yang ia dapat tidak lebih dari tuduhan yang terselubung, ia memutuskan untuk bertanya langsung pada Fujiwara. Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali Kaede bertemu bangsawan itu; dia menjauhi rumah para perempuan karena takut tertular penyakit. Kaede tak tahan dengan suasana mencekam yang tidak jelas ini. "Bisakah kau sampaikan pada Fujiwara bahwa aku ingin bertemu dengannya?" pinta Kaede pada Rieko saat ia selesai berpakaian. Rieko pergi, lalu kembali dengan kabar, "Yang Mulia senang hendak ditemui istrinya. Beliau telah mengatur hiburan istimewa malam ini. Beliau akan menemuimu." "Aku ingin bicara berdua dengannya," sahut Kaede. Rieko mengangkat bahu. "Saat ini tidak ada tamu istimewa. Hanya Mamoru. Kau sebaiknya mandi, dan keramas sekarang agar bisa dikeringkan diterik matahari." Setelah rambut Kaede kering, Rieko memaksa untuk dilumuri minyak sebelum ditata. Kaede memakai kimono berlapis kapas yang dipakai di musim dingin, bersyukur dengan kehangatannya, karena rambut yang basah membuatnya kedinginan. Ia makan sedikit sup di tengah hari, namun perut dan tenggorokannya seakan menolak semua makanan. "Kau sangat putih," ujar Rieko. "Lord Fujiwara mengagumi perempuan yang putih." Nada suaranya yang rendah membuat Kaede gemetar. Sesuatu yang buruk akan terjadi-sedang terjadi; semua orang sudah tahu kecuali dirinya, dan mereka hanya akan mengatakan bila mereka sedang senang. Denyut nadinya berpacu dan debarannya terasa hingga di leher dan perutnya. Bunyi ketukan palu seakan menggemakan debaran di hatinya. Kaede pergi berlutut di kuil, tapi doa pun tidak berhasil membuat ia tenang. Di penghujung sore, Mamoru datang dan membimbingnya menuju paviliun, tempat ia pernah memandangi salju bersama Fujiwara. Meskipun belum gelap, lentera telah dinyalakan di pohon yang tak berdaun, tungku dinyalakan di beranda. Kaede melirik pada pemuda itu, berusaha mengamati tingkah lakunya. Pemuda itu sama putihnya dengan dirinya, dan rasanya Kaede melihat rasa iba pada sorot mata pemuda itu. Ketakutan Kaede semakin menjadi jadi. Sudah lama sejak terakhir kali Kaede melihat pemandangan seperti yang terbentang di depannya, taman dan gunung nun jauh di sana tak dapat diungkapkan indahnya. Matahari senja mengubah puncak gunung yang diselimuti salju menjadi merah muda dan emas, dan perpaduan warna biru dan keperakan terlihat di langit. Kaede menatap seakan itulah pemandangan terakhir yang akan ia lihat. Sambil menyelimutkan Kaede dengan kulit beruang, Mamoru bergumam, "Lord Fujiwara akan segera datang." Tepat di depan beranda ada bebatuan putih menonjol yang membentuk pola melingkar. Ada dua bangunan pos dibangun di tengahnya. Kaede mengernyitkan dahi; kedua bangunan itu memutus pola bebatuan itu dengan kasar. Kaede mendengar langkah kaki, gemerisik pakaian. "Yang Mulia mendekat," ujar Rieko dari belakang, dan mereka membungkuk hingga dahi menyentuh lantai. Saat duduk di sampingnya, Kaede mencium wewangian khas Fujiwara yang berhembus. Fujiwara diam lama, dan ketika akhirnya menyuruh duduk tegak, Kaede merasa seperti mendengar nada marah. Hatinya gemetar. Ia berusaha mengumpulkan keberanian, tapi keberanian yang selama ini ia miliki telah lenyap. Ia benar-benar ketakutan. "Senang melihatmu sehat," ujar Fujiwara dengan sikap sopan yang dingin. Mulut Kaede terasa kering hingga hampir tak bisa bicara. "Ini berkat perawatan Yang Mulia," bisiknya. "Rieko mengatakan kalau kau ingin bicara denganku." "Aku selalu ingin ditemani Yang Mulia," Kaede mulai bicara, tapi berhenti saat Fujiwara menekuk bibir, mencemooh. Jangan sampai aku ketakutan, mohon Kaede. Jika dia melihat aku ketakutan, dia akan tahu kalau aku sudah kalah... Dia hanyalah seorang laki-laki; dia bahkan tak ingin aku memegang jarum. Dia tahu apa yang bisa aku lakukan. Dia tahu akulah yang membunuh Iida. Kaede menarik napas dalam-dalam. "Kurasa ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang tidak aku mengerti. Apakah aku telah membuat Yang Mulia tersinggung? Mohon diberitahu apa salahku." "Memang ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang tak aku mengerti," sahutnya. "Menurutku, lebih mirip konspirasi. Dan itu terjadi di rumahku sendiri. Aku tak percaya istriku bisa sekeji itu, tapi Rieko memberitahukan kecurigaannya, dan ada pelayan yang mempertegas itu sebelum dia mati." "Kecurigaan apa?" tanya Kaede, tanpa menunjukkan perasaan apa pun. "Bahwa ada yang menyampaikan pesan untukmu dari Otori." "Rieko bohong," ujar Kaede, namun suaranya tidak seirama dengan ucapannya. "Kurasa tidak. Mantan pendampingmu, Muto Shizuka terlihat di wilayah ini. Aku kaget. Jika ingin bertemu denganmu, seharusnya dia menemuiku. Lalu aku ingat Arai pernah memanfaatkannya sebagai mata-mata. Pelayan yang mati itu menegaskan bahwa Otori yang mengirim si perempuan Muto. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, perempuan itu ditemukan di kamar Ishida. Hatiku hancur: Ishida, pelayan yang paling kupercaya, hampir seperti temanku! Betapa berbahayanya jika kita tidak bisa mempercayai tabib sendiri. Akan sangat mudah baginya untuk meracuniku." "Ishida dapat dipercaya," ujar Kaede. "Dia sangat setia padamu. Bahkan jika memang Shizuka yang membawa pesan Lord Otori, itu tak ada hubungannya dengan tabib Ishida." Fujiwara menatap Kaede seakan tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan. "Mereka tidur bersama," ujarnya. "Tabib pribadiku berhubungan dengan mata-mata." Kaede tak menjawab. Ia tidak tahu itu; ia terlalu sibuk pada perasaannya hingga tidak memperhatikan. Sekarang tampaknya sudah cukup jelas. Ia ingat semua tandanya: begitu sering Shizuka ke rumah Ishida untuk mengambil ramuan atau teh. Dan sekarang Takeo mengirim Shizuka membawakan pesan untuknya. Shizuka dan Ishida telah mengambil resiko dengan saling bertemu dan untuk itu mereka akan dihukum. Matahari telah terbenam di balik gunung, tapi belum gelap. Cahaya senja menyinari taman, hampir terhalau oleh cahaya lentera. Seekor gagak yang terbang bernyanyi getir. "Aku sangat menyukai Ishida," kata Fujiwara, "dan aku tahu kau sayang pada pelayanmu itu. Ini memang tragedi, tapi kita harus berusaha saling menghibur dalam kesedihan." Dia bertepuk tangan. "Bawakan sake, Mamoru. Dan kurasa kita akan memulai pertunjukkannya." Dia mencondongkan badan ke dekat Kaede. "Tidak perlu terburu-buru. Kita punya waktu semalaman." Masih belum mengerti apa yang dimaksud, Kaede menatap wajah Fujiwara, melihat bibir kejam serta kulit pucatnya. Ketika Fujiwara melirik ke arah pos di taman, Kaede langsung menoleh ke arah yang sama. Tiba-tiba ia merasa hampir pingsan; lentera dan bebatuan putih terasa seperti menggulung-gulung di sekelilingnya. Ia menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Jangan lakukan ini," bisik Kaede. "Tak ada untungnya bagi Anda." Di kejauhan terdengar lolongan anjing tiada henti. Itu anjing perliharaan Ishida, pikir Kaede, dan hampir percaya kalau itu adalah suara hatinya sendiri, karena lolongan itu menggambarkan rasa takut dan putus asa. "Ketidakpatuhan dan ketidaksetiaan padaku harus dihukum," kata Fujiwara, "Dengan cara yang akan membuat orang lain berkecil hati." "Bila mereka harus mati, gunakan cara yang cepat," ujar Kaede, "Sebagai balasannya, aku akan melakukan apa pun yang Anda minta." "Tapi kau sudah melakukannya," sahut Fujiwara. "Apa lagi yang bisa kau tawarkan sebagai seorang istri?" "Kasihanilah mereka," mohon Kaede. "Welas asih bukanlah sifatku," sahutnya. "Kau tak lagi memiliki kekuatan untuk tawar-menawar, istriku sayang. Kau telah memanfaatkanku demi kepentinganmu, kini aku akan memanfaatkanmu demi kepentinganku." Kaede mendengar langkah kaki di atas batu kerikil. Ia menengok ke arah itu seolah kekuatan tatapannya dapat meraih Shizuka dan menyelamatkannya. Para penjaga berjalan perlahan menuju pos. Mereka memegang pedang dan peralatan lain yang membuat rasa takut Kaede naik hingga ke mulut. Wajah mereka muram, hanya satu orang yang menyeringai gugup. Diapit mereka, Ishida dan Shizuka adalah dua orang bertubuh kecil, tubuh yang lemah meskipun kuat menahan rasa sakit. Kedua orang itu tidak bersuara saat diikat di pos, Shizuka mendongak dan menatap Kaede. Ini tidak boleh terjadi. Mereka akan menelan racun, ujar Kaede pada diri sendiri. Fujiwara berkata, "Kurasa kami tidak memberi kesempatan sedikit pun pada pelayanmu itu lolos, tapi akan menarik juga untuk dilihat." Kaede tidak tahu siksaan dan kekejaman apa yang telah Fujiwara rencanakan, tapi ia pernah mendengar cerita-cerita saat di Kastil Noguchi untuk bisa membayangkan siksaan yang paling buruk. Kaede merasa dirinya hampir kehilangan kendali. Separuh berdiri, berusaha memohon padanya, tapi meskipun kata-kata telah terucap, tak akan terdengar karena ada gangguan dari gerbang. Para penjaga berseru pendek, dan dua orang masuk ke taman. Salah satunya adalah Murita, orang yang menyambut Kaede dan menyerang serta membunuh anak buahnya. Orang itu membawa pedang di tangan kiri; tangan kanannya masih terluka karena sabetan pedang Kaede. Ia merasa seperti mengenal orang yang satunya lagi. Kedua orang itu berlutut di hadapan Fujiwara, dan Murita angkat bicara. "Lord Fujiwara, maaf telah mengganggu, tapi orang ini mengatakan ada kabar penting dari Lord Arai." Kaede terduduk lagi di lantai, bersyukur atas jeda yang singkat ini. Kaede melirik pada orang yang datang bersama Murita, memperhatikan tangan serta lengannya yang besar, dan menyadari dengan kaget kalau itu Kondo. Dia menggelembungkan badan, dan suaranya berubah. Tapi pasti Murita dan Fujiwara akan mengenali. "Lord Fujiwara, Lord Arai mengirim salam untuk Anda. Semuanya berjalan sesuai rencana." "Otori sudah mati?" tanya si bangsawan, sambil melirik pada Kaede. "Belum," sahut orang itu. "Tapi Lord Arai meminta Anda mengembalikan Muto Shizuka padanya. Beliau memiliki kepentingan atas orang itu dan berharap agar dia tetap hidup." Sesaat Kaede merasa harapan mengalir ke dalam hatinya. Fujiwara tak akan berani menyakiti Shizuka jika Arai menginginkannya kembali. "Pesan yang aneh," kata Fujiwara, "dan pembawa pesan yang aneh." Dia memberi perintah pada Murita, "Geledah dia. Aku tidak percaya padanya." Lolongan anjing terdengar lebih menakutkan. Kaede merasa terjadi keheningan sesaat. Ketika Murita melangkah ke arah Kondo yang sedang menarik pedang, bumi mengerang dan terangkat. Beranda melayang ke udara; pepohonan bergoyang lalu tumbang, rumah di belakangnya berguncang lalu hancur berantakan. Makin banyak anjing yang menggonggong panik. Burung-burung di sangkar memekik ketakutan. Udara penuh debu. Dari reruntuhan bangunan terdengar jeritan para pelayan, dan api langsung meretih. Tiang beranda yang runtuh hampir menimpa Kaede; lantai terpelanting balik ke arah rumah, atap terpecah. Matanya penuh dengan butiran debu dan jerami. Sesaat Kaede berpikir ia terjebak, lalu sadar kalau ia bisa merangkak keluar dan berusaha sekuat tenaga mendaki lereng yang terbentuk akibat beranda yang berantakan. Dan seakan bermimpi, Kaede melihat Shizuka terbebas dari ikatan, menendang salah seorang penjaga di selangkangan, merebut pedangnya, lalu menggorok lehernya. Kondo sudah menghabisi Murita dengan tebasan hingga nyaris terbelah dua. Fujiwara tergeletak di belakang Kaede, sebagian badannya tertimpa reruntuhan atap. Tubuhnya terjepit dan tampaknya dia tak bisa bangkit, tapi dia berusaha meraih dan mencengkeram pergelangan kaki Kaede, untuk pertama kalinya bangsawan itu menyentuh Kaede. Jarinya dingin dan cengkramannya tak bisa dilepas. Debu membuatnya terbatuk-batuk, pakaiannya kotor dan tercium bau keringat dan air seni di balik wewangiannya: tapi saat bicara, suaranya tetap tenang seperti biasa. "Bila harus mati, mari kita mati bersama," katanya. Dari belakang Fujiwara, Kaede bisa mendengar api menggeram seperti mahluk hidup. Asap semakin tebal, menusuk mata dan menutupi bau yang lain. Kaede menarik diri dan menendang agar dapat melepas cengkraman Fujiwara. "Aku hanya ingin memilikimu," kata Fujiwara. "Kaulah yang terindah dalam hidupku. Aku ingin kau menjadi milikku, bukan milik orang lain. Aku ingin memperkuat cintamu pada Takeo dengan penyangkalan agar dapat kurasakan tragedi atas penderitaanmu." "Lepaskan," teriak Kaede. la mulai merasakan panasnya api. "Shizuka! Kondo! Tolong aku!" Shizuka sibuk bertarung dengan penjaga yang lain, bertarung layaknya ksatria. Tangan Ishida masih terikat di pos. Kondo membunuh seorang penjaga dari belakang, memalingkan wajahnya ke arah Kaede lalu melangkah ke rumah yang terbakar. Dia melompat ke tepi beranda. "Lady Otori," katanya, "Aku akan membebaskanmu. Larilah ke taman, ke kolam. Shizuka akan mengurusmu." Dia bergerak turun dan dengan sengaja memotong pergelangan tangan Fujiwara. Bangsawan itu menjerit kesakitan dan geram; Cengkramannya di pergelangan kaki Kaede terlepas. Kondo mendorong Kaede ke atas lalu balik ke tepian. "Ambil pedangku. Aku tahu kau bisa mempertahankan diri." Dia menaruh pedang di tangan Kaede dan berkata dengan cepat, "Aku telah bersumpah setia padamu. Aku bersungguh-sungguh. Aku tak akan membiarkan ada yang menyakitimu selagi aku hidup. Tapi suatu kejahatan bagi orang dengan derajat sepertiku membunuh ayahmu. Bahkan sudah lebih dari suatu kejahatan bila menyerang seorang bangsawan dan membunuhnya. Aku siap menebus kesalahan itu." Kondo memandang Kaede dengan tatapan sinis lalu tersenyum. "Lari," katanya. "Lari! Suamimu akan datang menjemputmu." Kaede mundur. Ia melihat Fujiwara berusaha bangkit, darah mengucur dari tangannya yang putus. Kondo membelit erat tubuh si bangsawan dengan lengannya yang panjang. Lidah api menyambar dinding yang rapuh, lalu melahap, menggulung serta mengubur mereka berdua. Panas dan jeritan melanda Kaede. Dia terbakar, semua hartanya terbakar, pikir Kaede. Rasanya ia mendengar jeritan Kumiko dari neraka itu dan ingin melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya, namun ketika ia hendak berjalan ke arah rumah, Shizuka menariknya. "Rambutmu terbakar!" Kaede menjatuhkan pedang dan menaruh tangannya di kepala dengan panik ketika api menyambar di rambutnya yang berminyak.* SEBELAS MATAHARI terbenam dan bulan muncul di permukaan laut yang tenang, membuat jalur berwarna keperakan untuk diikuti armada kami. Malam itu sangat terang sehingga barisan gunung di balik pantai yang kami lewati terlihat jelas. Ombak bergulung di bawah lambung kapal dan layar terkepak diterpa angin dingin lepas pantai. Dayung berkecipak dalam irama teratur. Kami datang ke Oshima pagi-pagi sekali. Kabut putih muncul di permukaan laut, dan Fumio memberitahuku kalau keadaan akan tetap sama selama beberapa malam berikutnya saat udara semakin dingin. Waktu yang sempurna untuk tujuan kami. Kami menghabiskan hari di pulau, mengatur ulang perbekalan dari gudang bajak laut dan memuat lebih banyak lagi pasukan Terada ke kapal. Mereka bersenjatakan pedang, belati dan berbagai senjata lain yang kebanyakan belum pernah kulihat. Di penghujung sore kami pergi ke kuil dan membawa sesaji untuk Dewa Ebisu dan Hachiman, berdoa agar laut tenang dan musuh kalah. Para rahib memberi terompet kerang untuk setiap kapal dan pemberkatan agar kami beruntung, dan untuk memberi semangat pasukan, meskipun Fumio bersikap skeptis, menepuk-nepuk senjata apinya dan bergumam, "Menurutku benda ini lebih hebat!" sementara aku cukup senang bisa berdoa pada tuhan mana pun, tahu kalau mereka hanyalah wajah-wajah yang berbeda, yang diciptakan manusia, suatu kebenaran yang tak terbagi. Bulan yang bersinar penuh sepanjang malam mulai tampak di atas gunung saat kami berlayar ke Hagi. Kali ini Kenji, Taku dan aku pergi bersama Ryoma dengan kapal yang lebih kecil namun lebih cepat. Aku menitipkan Zenko pada Fumio, seraya menjelaskan tentang siapa ayah anak itu, dan membuatnya terkesan akan betapa pentingnya menjaga agar putra Arai itu tetap hidup. Sebelum fajar menyingsing, kabut mulai terbentuk di permukaan air, menyelubungi kami selagi mendekati kota yang sedang tertidur. Dari seberang teluk bisa kudengar kokok pertama ayam dan dentang lonceng pagi dari kuil Tokoji dan Daishoin. Rencanaku ialah langsung pergi ke kastil. Aku tidak ingin menghancurkan kota atau melihat Klan Otori membersihkan darah dengan darah. Jika kami bisa membunuh atau menangkap para pemimpin Otori, besar kemungkinan klan akan langsung berpihak padaku, tidak terpecahbelah. Begitu pula pendapat para ksatria Otori yang bergabung denganku. Banyak dari mereka memohon diizinkan untuk menemaniku dan turut ambil bagian dalam balas dendam lebih dulu karena mereka telah diperlakukan buruk. Tapi tujuanku yaitu menembus kastil dengan tenang dan diam-diam. Aku hanya akan mengajak Kenji dan Taku. Aku menempatkan pasukan lainnya di bawah komando Terada. Bajak laut tua itu berseri-seri kegirangan, tak sabar menanti untuk membuat perhitungan atas dendam lama. Aku memberinya beberapa petunjuk: kapal-kapal harus tetap di lepas pantai sampai fajar menyingsing. Lalu mereka harus membunyikan terompet kerang dan bergerak maju menembus kabut. Sisanya terserah padanya. Aku berharap bisa meyakinkan kota untuk menyerah; jika tidak, kami akan bertempur sampai ke jembatan untuk membuka jalan bagi pasukan Arai. Kastil ini dibangun di atas tanjung antara sungai dan laut. Aku tahu itu saat aku datang untuk diangkat sebagai anak dari Shigeru, bahwa kediaman ini berada di sisi ke arah laut, di mana ada dinding besar yang menjulang dari air yang mengelilinginya sehingga dianggap tidak mungkin ditembus. Kenji dan Taku membawa penjepit dari besi serta senjata Tribe lainnya. Aku bersenjatakan pisau lempar, satu pedang pendek dan Jato. Bulan telah tenggelam dan kabut semakin tebal. Kapal mengapung tenang menuju pantai dan menyentuh dinding laut dengan bunyi yang hampir tak terdengar. Satu demi satu kami memanjat ke dinding dan menghilang. Aku mendengar langkah kaki di atas kepala kami dan ada yang berteriak, "Siapa di sana? Sebutkan namamu!" Dari perahu, Ryoma menjawab dengan dialek nelayan Hagi, "Cuma aku. Tersesat di kabut yang membutakan ini." "Maksudmu, kau mengencingi tembok," sahut orang kedua. "Pergi! Jika bisa melihatmu, akan kami panah kau." Bunyi dayung semakin menjauh. Aku mendesis pada Kenji dan Taku-aku tak bisa melihat mereka-dan kami mulai memanjat. Pendakian kami berjalan lambat; dinding itu dicuci dua kali sehari oleh air pasang, tertutup rumput laut dan licin. Namun inci demi inci kami merangkak naik dan akhirnya sampai di atas. Nyanyian seekor jangkrik tiba-tiba berhenti, lalu Kenji meniru nyanyian jangkrik itu. Bisa kudengar para penjaga berbicara di sudut bailey. Sebuah lampu dan tungku menyala di samping mereka. Di belakang mereka terbentang rumah-rumah, rumah para pemimpin Otori, para pengawal, dan keluarga mereka. Aku hanya bisa mendengar dua suara, dan itu membuatku kaget. Aku mengira akan ada lebih banyak orang, tapi dari suaranya aku sadar bahwa sebagian pasukan ditempatkan di jembatan dan di sepanjang sungai untuk mengantisipasi serangan Arai. "Kuharap dia menyelesaikannya dengan cepat," gerutu salah seorang dari mereka. "Aku tidak tahan harus menunggu seperti ini." "Dia pasti tahu betapa sedikitnya makanan yang ada di kota," yang lainnya menimpali. "Mungkin dia pikir bisa membuat kita kelaparan." "Kurasa lebih baik dia di luar sana daripada di dalam sini." "Nikmati saja selagi kau bisa. Jika kota ini jatuh ke tangan Arai, akan terjadi pertumpahan darah. Bahkan Takeo lebih suka lari ke arah badai ketimbang menghadapi Arai!" Aku merasakan keberadaan Taku di sampingku, menemukan bentuk tubuhnya, dan mendekatkan kepalanya padaku. "Pergi ke balik dinding," aku berbisik di telinganya. "Alihkan perhatian mereka agar kami bisa sergap dari belakang." Aku merasakan dia mengangguk dan mendengar suara pelan saat dia menjauh. Kenji dan aku mengikutinya ke balik dinding. Dengan cahaya tungku, aku melihat satu bayangan kecil yang melintas cepat dan kemudian terpisah menjadi dua, tanpa suara, seperti hantu. "Apa itu?" seru salah satu penjaga. Mereka berdua berdiri dan memandangi kedua sosok Taku. Mudah bagiku dan Kenji: masing-masing kami sergap seorang penjaga, tanpa bersuara. Para penjaga baru saja membuat teh, maka kami meminumnya sambil menunggu fajar menyingsing. Perlahan langit berwarna pucat. Tak ada pemisah antara langit dan air laut; keduanya membentuk permukaan yang samar. Ketika terompet kerang berbunyi, bulu kudukku berdiri. Anjing-anjing menjawab dengan lolongan dari pantai. Aku mendengar suara penghuni rumah yang terbangun: langkah-langkah kaki, tapi belum terdengar gelisah, teriakan kaget, tapi belum panik. Kasa penutup jendela mulai dibuka dan pintu-pintu digeser terbuka. Sekelompok penjaga berhamburan keluar, diikuti Shoichi dan Masahiro yang masih berpakaian tidur dengan pedang terhunus. Mereka berhenti terpaku saat aku melangkah ke arah mereka, Jato terhunus di tanganku, kabut melingkar di sekelilingku. Di belakangku kapal pertama mulai nampak; terompet kerang bernyanyi lagi di permukaan laut dan pantulan suaranya menggema dari gunung di sekitar teluk. Masahiro mundur selangkah. "Shigeru?" napasnya terengah-engah. Wajah kakaknya pucat pasi. Mereka melihat orang yang pernah mereka coba bunuh; mereka melihat pedang Otori di tangannya, dan mereka ketakutan. Aku berkata dengan lantang, "Aku Otori Takeo, cucu Shigemori, keponakan dan anak angkat Shigeru. Kuanggap kalian yang bertanggung jawab atas kematian pewaris sah Klan Otori. Kalian mengirim Shintaro untuk membunuhnya, dan ketika usaha itu gagal, kalian lalu bersekongkol dengan Iida Sadamu. Iida telah membayar dengan nyawa, dan kini giliran kalian!" Aku tahu Kenji berdiri di belakangku, dengan pedang terhunus, dan berharap Taku masih tetap tak terlihat. Aku tak melepaskan tatapanku pada kedua orang di depanku. Shoichi berusaha tenang. "Pengangkatan dirimu tidak sah. Kami tidak mengakui darah Otorimu maupun pedang yang kau bawa." Dia berteriak pada pengawalnya. "Habisi mereka!" Jato seperti bergetar di tanganku saat pedang itu menjadi hidup. Aku sudah siap menghadapi serangan, tapi tak seorang pengawal pun bergerak. Aku melihat air muka Shoichi berubah ketika sadar harus melawanku sendirian. "Aku tak berniat memecah-belah klan," kataku. "Keinginanku inginanku hanyalah memenggal kepalamu." Rasanya aku sudah cukup memperingatkan mereka. Dapat kurasakan Jato haus akan darah. Seakan roh Shigeru merasuki diriku dan ingin membalaskan dendamnya. Shoichi berdiri paling dekat denganku dan aku tahu dia lebih ahli pedang dariku. Aku harus menyingkirkan dia terlebih dulu. Mereka berdua sebenarnya petarung yang hebat, tapi kini mereka sudah di usia akhir empat puluhan dan tanpa baju zirah. Aku sedang di masa puncak, baik kecepatan maupun fisik, dan terbiasa dengan penderitaan dan peperangan. Aku berhasil membunuh Shoichi dengan tebasan di leher yang membelahnya melintang. Masahiro mengayunkan pedang ke arahku dari belakang, tapi Kenji menangkis sabetannya, dan saat aku berbalik untuk menghadapinya, aku melihat ketakutan mengubah raut mukanya. Aku mendesaknya ke arah dinding. Dia menghindari setiap serangan, berkelit dan menangkis, tapi pikirannya tidak tertuju kesana. Dia berseru untuk terakhir kalinya pada anak buahnya, namun tetap saja tak seorang pun bergerak. Kapal yang pertama berada tidak jauh dari pantai. Masahiro menoleh ke belakang untuk melihatnya, berpaling lagi dan melihat Jato menghujam tubuhnya. Dia menunduk ketakutan dan terjatuh ke balik dinding. Saat aku hendak lompat mengejar, putranya, Yoshitomi, musuh lamaku saat dilatih bersama, berlari menghampiriku dari arah rumah, diikuti segerombolan saudara dan sepupunya. Tak seorang pun dari mereka berusia lebih dari dua puluh tahun. "Aku akan melawanmu, penyihir," pekik Yoshitomi. "Kita lihat apakah kau bisa bertarung seperti ksatria!" Aku seperti kerasukan, dan saat ini kemarahan Jato telah bangkit dan telah merasakan darah. Pedang itu bergerak lebih cepat dari pandangan mata. Saat aku mulai kewalahan, Kenji berada di sampingku. Aku sangat iba pada orang yang mati muda, tapi aku pun gembira karena mereka juga harus membayar pengkhianatan ayah-ayah mereka. Ketika aku bisa kembali mengalihkan perhatian pada Masahiro, aku melihat dia muncul ke permukaan air di dekat perahu kecil di depan barisan kapal. Itu kapal Ryoma. Ryoma menarik rambut ayahnya dan menggoroknya dengan pisau yang biasa digunakan nelayan membelah perut ikan. Apa pun kejahatan yang telah Masahiro lakukan, kematiannya jauh lebih buruk dari yang pernah kubayangkan: dibunuh putranya sendiri selagi berusaha kabur dalam ketakutan. Aku berpaling ke kerumunan pengawal. "Aku memiliki pasukan besar dari kapal-kapal di luar sana dan Lord Arai bersekutu denganku. Aku tidak bermusuhan dengan kalian. Kalian boleh bunuh diri, atau bekerja padaku, atau melawanku satu demi satu. Aku telah memenuhi kewajiban dan amanat Shigeru." Masih kurasakan arwah Shigeru merasukiku. Seorang paling tua di antara mereka maju ke depan. Aku mengenal wajahnya tapi aku tidak ingat namanya. "Aku Endo Chikara. Banyak dari putra kami telah bergabung dengan Anda. Kami tidak ingin melawan anakanak kami sendiri. Anda telah melakukan tugas dan hak Anda dengan cara yang adil dan terhormat. Demi kepentingan Klan Otori, aku siap melayani Anda, Lord Otori." Begitu dia berlutut, satu demi satu para pengawal mengikutinya. Kenji dan aku berjalan masuk ke rumah dan menempatkan pengawal untuk menjaga para perempuan dan anak-anak. Aku berharap para perempuan akan mencabut nyawa mereka sendiri dengan terhormat. Aku akan memutuskan apa yang akan dilakukan pada anakanaknya nanti. Kami memeriksa semua tempat-tempat rahasia dan menyapu bersih beberapa mata-mata yang bersembunyi di dalamnya. Beberapa di antaranya sudah pasti Kikuta, tapi baik di dalam kediaman maupun di kastil tak ada tanda-tanda keberadaan Kotaro, seperti yang Kenji katakan. Endo ikut denganku ke kastil. Kepala penjaga di sana juga merasa lega bisa menyerahkan diri padaku; namanya Miyoshi Satoru: ayah Kahei dan Gemba. Begitu kastil diamankan, kapal-kapal tiba di pantai dan pasukan turun dari kapal untuk bergerak menelusuri jalan-jalan kota. Mengambil alih kastil, yang semula kupikir paling sulit, ternyata justru menjadi yang paling mudah. Meskipun kastil sudah menyerah, ternyata kota tidak menyerah begitu saja. Jalan-jalan kacau; penduduk berusaha melarikan diri, tapi mereka tak bisa kemana-mana. Terada dan pasukannya membuat perhitungan mereka sendiri. Ada segerombolan orang Otori yang bertahan, membuat kami harus mengatasinya dalam duel yang sengit. Akhirnya kami sampai di tepi sungai bagian barat, tidak jauh dari jembatan batu. Menilai dari posisi matahari, pasti sudah penghujung senja. Kabut sudah lama hilang, tapi asap dari rumah-rumah yang terbakar bergelayut di atas sungai. Di seberang sungai, daun maple berwarna merah cemerlang dan pohon willow di sepanjang tepi sungai berwarna kuning. Daun-daun yang berguguran mengapung di pusaran arus. Bunga krisan terakhir mekar di taman. Dari kejauhan aku bisa melihat dinding bata di sepanjang tepi sungai. Rumahku di sana, pikirku. Aku akan tidur di sana malam ini. Tapi sungai penuh dengan orang yang berenang dan perahu kecil yang penuh sesak sampai ke pinggir, sementara barisan prajurit mendesak ke arah jembatan. Kenji dan Taku tetap di sampingku, Taku terpana dengan apa yang dilihatnya sebagai perang. Kami menatap pemandangan itu: sisa-sisa pasukan Otori yang kalah. Aku iba pada mereka, dan marah pada pemimpin mereka yang telah menyesatkan dan mengkhianati mereka, meninggalkan mereka bertempur habis-habisan, sementara pemimpin mereka tidur dengan nyenyak di dalam kastil. Aku terpisah dari Fumio, tapi kini aku melihat dia bersama sejumlah besar pasukannya ada di jembatan. Mereka terlihat sedang berdebat dengan sekelompok pemimpin pasukan Otori. Kami hampiri mereka. Zenko ada bersama Fumio, dan sesaat dia tersenyum pada adiknya. Mereka berdiri berdekatan tanpa bicara. "Ini Lord Otori Takeo," kata Fumio pada para prajurit. "Kastil telah menyerah padanya. Dia yang akan mengatakan pada kalian." Fumio menoleh padaku. "Mereka ingin menghancurkan jembatan dan bersiap-siap menghadapi pengepungan. Mereka tak mempercayai Arai. Seminggu terakhir ini mereka bertempur melawannya. Arai ada di belakang mereka. Mereka bilang satu-satunya harapan adalah menghancurkan jembatan ini." Kulepas tutup kepala agar mereka bisa mengenaliku. Mereka langsung berlutut. "Arai telah bersumpah untuk mendukungku," ujarku. "Persekutuan ini sah. Begitu tahu kota telah menyerah, dia akan berhenti menyerang." "Meskipun begitu, kita hancurkan saja jembatan ini," kata pemimpin mereka. Aku memikirkan tukang batu yang dikubur hiduphidup di dalam karyanya sendiri dan tulisan yang pernah Shigeru bacakan dengan lantang: Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Ketidakadilan dan ketidaksetiaan harus waspada. Aku tak ingin menghancurkan benda yang begitu berharga, dan juga aku tidak melihat kemungkinan mereka bisa membongkarnya tepat waktu. "Tidak, biarkan saja," sahutku. 'Aku akan menjawab kesetiaan Lord Arai. Katakan pada pasukanmu bahwa mereka tak perlu takut jika menyerah dan menerima diriku sebagai pemimpin mereka." Endo dan Miyoshi tiba dengan menunggang kuda dan aku mengutus mereka untuk menyampaikan pesan pada prajurit Otori. Sedikit demi sedikit kebingungan mulai terselesaikan. Kami mengosongkan jembatan dan Endo menyeberangi jembatan untuk mengatur kepulangan prajuritnya dengan teratur ke kota. Banyak anggota pasukan cukup yakin untuk kembali ke tempat mereka semula dan beristirahat, sementara yang lainnya memutuskan untuk pulang ke rumah, dan bersiap-siap menggarap peternakan dan lahan mereka. Miyoshi berkata, "Anda sebaiknya menunggang kuda, Lord Takeo," lalu dia berikan kudanya kepadaku, kuda hitam tampan yang mengingatkanku pada Aoi. Aku naik ke atas kuda, berjalan menyeberangi jembatan untuk bicara dengan pasukan yang ada di sana, membuat mereka berteriak kegirangan, lalu berjalan kembali bersama Endo. Ketika teriakan reda, aku mendengar pasukan Arai sedang mendekat, tapak kaki kuda dan pasukan. Mereka menuruni lembah, seperti barisan semut bila dilihat dari kejauhan, panji-panji Kumamoto dan Seishuu berkibar-kibar. Ketika mereka mendekat, aku mengenali Arai dari kepalanya: kuda berwarna coklat kemerahan, penutup kepala bertanduk rusa jantan, baju zirah dengan hiasan berwarna merah. Aku mencondongkan badan untuk berkata pada Kenji, "Alcu harus pergi menemuinya." Dahi Kenji berkenyit saat menatap tajam ke seberang sungai. "Rasanya ada yang salah," ujarnya tenang. "Apa?" "Aku tak tahu. Waspdalah dan jangan sampai ke seberang." Saat aku memaksa kuda maju, Endo berkata, "Aku pengawal senior Klan Otori. Biarkan aku yang membawa kabar kalau kami sudah menyerah, Lord Otori." "Baiklah," kataku. "Katakan agar pasukannya berkemah di tepi sungai sebelah sana lalu ajak dia ke kota. Setelah itu baru kita bisa mewujudkan kedamaian tanpa lebih banyak pertumpahan darah di kedua belah pihak." Endo maju ke jembatan dan Arai berhenti, menunggu di seberang sungai. Endo hampir menyeberangi separuh jempatan ketika Arai mengangkat tangannya yang memegang kipas perang berwarna hitam. Sesaat keadaan hening. Zenko berteriak di sampingku, "Mereka membidikan panah." Arai menurunkan kipas perangnya. Meskipun itu terjadi tepat di depan mataku, aku tak bisa mempercayainya. Selama beberapa waktu aku memandang tak percaya ketika anak panah berjatuhan. Endo langsung terjatuh, dan pasukan yang berada di tepi sungai, tidak bersenjata dan tidak siap, berguguran seperti rusa dipanah pemburu. "Itu dia," kata Kenji, seraya mencabut pedangnya. "Itu yang salah." Aku pernah dikhianati-tapi itu dilakukan Kenji dan Tribe. Sedangkan pengkhianatan ini dilakukan oleh ksatria yang telah bersumpah untuk bersekutu denganku. Aku mencabut nyawa Jo-An untuk ini? Kemarahan dan sakit hati membuat pandanganku menjadi merah. Aku telah merebut kastil yang sulit ditembus, tetap mempertahankan jembatan, menenangkan pasukan. Aku telah menyerahkan Hagi, kotaku, pada Arai seperti buah persimmon matang, dan itu sama artinya dengan menyerahkan Tiga Negara. Anjing-anjing melolong di kejauhan. Lolongannya seakan menyuarakan jeritan hatiku. Arai berkuda ke jembatan dan berhenti di tengahnya. Dia melihatku dan melepas penutup kepalanya. Gerakannya mengejek. Dia sangat yakin pada kekuatan dirinya. "Terima kasih, Otori," serunya. "Kau telah melakukan pekerjaan dengan sangat bagus. Kau akan menyerah atau kita harus bertarung untuk memperebutkannya?" "Kau bisa saja berkuasa di Tiga Negara," seruku membalas. "Tapi kebohonganmu akan terus diingat, bahkan setelah kematianmu." Aku sudah tahu masih ada pertempuran terakhirku, dan, seperti yang kuduga, pasti menghadapi Arai. Aku hanya tak menyangka waktunya tiba begitu cepat. "Tak akan ada orang yang tersisa untuk mencatatnya," sahutnya sambil mencemooh, "Karena saat ini aku bermaksud membumihanguskan Otori." Aku membungkuk dan meraih Zenko, menariknya ke atas kuda di depanku. Kucambut pedang pendek dan menaruh di lehernya. "Kedua putramu ada di tanganku. Kau hendak membiarkan mereka mati? Aku akan membunuh Zenko dan Taku sebelum kau sampai ke sini. Batalkan seranganmu!" Wajahnya berubah, pucat pasi. Taku berdiri tak bergerak di samping Kenji. Zenko juga tidak bergerak. Kedua bocah itu menatap ayah yang belum mereka lihat selama bertahun-tahun. Arai tertawa. "Aku mengenalmu, Takeo. Aku tahu kelemahanmu. Kau tidak dibesarkan sebagai ksatria; kita lihat saja apakah kau bisa membunuh anak-anak." Seharusnya aku langsung bertindak kejam, tapi itu tidak kulakukan. Arai tertawa lagi. "Lepaskan dia," serunya. "Zenko! Kemarilah." Fumio berseru pelan, tapi jelas, "Takeo, boleh aku menembaknya?" Aku tak ingat apakah aku menjawabnya. Aku tidak ingat melepaskan Zenko. Aku mendengar letusan senjata api dan melihat Arai tersentak di pelana saat bola timah mengenainya, membolongi baju zirah di atas jantungnya. Terdengar teriakan kemarahan dan ketakutan, dari pasukan di sekelilingnya dan baku hantam terjadi ketika dia mundur; Zenko berteriak, tapi suara itu tak ada artinya dibanding gemuruh yang terdengar saat bumi di bawah kaki kudaku terbelah. Pohon-pohon maple yang hanyut terbawa arus menggulung pasukan ke dalam bebatuan dan tanah ke dalam sungai. Kudaku ketakutan, melangkah mundur dan menjauh dari jembatan, melemparku ke jalan. Saat aku berdiri, kehabisan napas, jembatan mengerang bersama suara manusia. Jembatan itu menjerit, berusaha mempertahankan diri lalu hancur berantakan, membawa semua orang yang ada di atasnya jatuh ke sungai. Kemudian sungai pun menjadi liar. Dari pertemuan arus, terjadi banjir dengan air yang berwarna kuning kecoklatan karena bercampur darah. Air mengalir deras dari tepi sungai hingga ke kota, tak pandang bulu, menyeret perahu dan makhluk hidup, mengalir dengan cepat ke tepian seberang, tempat arus itu menyapu bersih sisa-sisa pasukan dari kedua belah pihak, mematahkan perahu seperti sumpit, menenggelamkan manusia dan kuda, lalu menyeret mayat mereka ke laut. Bumi berguncang keras lagi, dan dari belakang aku mendengar bunyi rumah-rumah yang runtuh. Aku seakan terpesona: semua yang ada di sekelilingku tampak kabur karena debu dan suara-suara teredam hingga aku tak bisa mendengar suara dengan jelas. Aku sadar Kenji berada di sampingku dan Taku berlutut di sisi kakaknya, yang juga terjatuh saat kuda mundur. Aku melihat Fumio menghampiri melewati kabut, senjata api masih di tangannya. Aku gemetar karena perasaanku bercampur-aduk, seperti kegirangan: suatu pengakuan betapa lemahnya kita sebagai manusia saat berhadapan dengan kekuatan alam yang dahsyat, bercampur dengan rasa syukur pada surga, pada tuhan yang kupikir tak lagi kupercaya, yang sekali lagi membiarkanku tetap hidup. Pertempuran terakhirku sudah dimulai dan berakhir dalam sekejap. Tidak terpikirkan lagi tentang berperang. Satu-satunya perhatian kami kini adalah menyelamatkan kota dari kebakaran. Banyak dari wilayah di sekitar kastil terbakar habis. Kastil hancur pada gempa yang pertama, menewaskan sisa-sisa perempuan dan anak-anak yang ada di dalamnya. Aku lega karena tahu aku tak bisa membiarkan mereka hidup, tapi tidak tega untuk membunuh mereka. Ryoma tewas, perahunya karam tertimpa bangunan batu. Ketika jasadnya terdampar beberapa hari kemudian, aku makamkan dia bersama para pemimpin Otori di kuil Daishoin, dengan nama mereka tertulis di batu nisan. Selama beberapa hari berikutnya aku nyaris tidak tidur maupun makan. Dengan bantuan Miyoshi dan Kenji, aku mengatur orang-orang yang selamat untuk membersihkan reruntuhan, mengubur orang yang tewas, dan merawat orang yang terluka. Melalui hari-hari panjang penuh duka dan rasa kehilangan, keretakan dalam klan mulai menyatu kembali. Orang-orang menyakini bahwa gempa yang terjadi merupakan hukuman surga pada Arai atas pengkhianatannya. Surga jelas sekali berpihak padaku, akulah anak angkat dan keponakan Shigeru, aku memiliki pedangnya, aku mirip dengannya, dan aku telah membalaskan dendamnya: klan menerimaku dengan senang hati sebagai pewaris Shigeru. Aku tidak tahu bagaimana situasi di daerah lain; kami tak mendengar kabar apa pun dari kota lain. Satu hal yang kusadari hanyalah betapa berat tugasku untuk mengembalikan kedamaian serta mencegah kelaparan di musim dingin yang akan datang. Aku tidak tidur di rumah Shigeru pada malam sesudah terjadi gempa, tidak juga pada hari-hari berikutnya. Aku tidak kuat menahan perasaan pergi ke rumah di dekat kastil karena takut tempat itu sudah hancur. Aku berkemah bersama Miyoshi di reruntuhan rumahnya yang tersisa. Tapi kira-kira empat hari setelah gempa, suatu malam Kenji datang setelah aku selesai makan dan mengatakan bahwa ada yang ingin menemuiku. Dia menyeringai, dan sesaat kubayangkan mungkin itu Shizuka membawa pesan dari Kaede. Tapi ternyata yang datang adalah pelayan dari rumah Shigeru, Chiyo dan Haruka. Mereka tampak lelah dan lemah, dan ketika mereka melihatku, aku takut Chiyo bisa mati karena terharu. Mereka berdua berlutut, tapi aku minta mereka berdiri dan kupeluk Chiyo yang berlinang air mata. Tak seorang pun dari kami mampu bicara. Akhirnya Chiyo berkata, "Pulanglah, Lord Takeo. Rumah telah menantimu." "Rumah itu masih utuh?" "Tamannya hancur-air sungai menyapu habis, tapi bangunan rumahnya tidak rusak parah. Akan kami siapkan untukmu besok." "Aku akan datang besok sore," aku berjanji. "Anda akan datang juga, tuan?" katanya pada Kenji. "Hampir seperti waktu dulu," sahutnya, tersenyum, walaupun kami semua tahu, keadaan tak akan pernah bisa seperti dulu lagi. Keesokan harinya Kenji dan aku mengajak Taku dan beberapa penjaga berjalan menyusuri jalanan yang sudah tak asing lagi. Aku tidak mengajak Zenko. Kematian Arai telah meninggalkan kesedihan yang mendalam pada anak sulungnya. Aku mencemaskannya, melihat kebingungan serta kesedihannya, tapi tak ada waktu untuk mengurusnya. Aku curiga dia berpikir kalau ayahnya mati dengan memalukan dan menimpakan kesalahannya padaku. Bahkan mungkin dia menyalahkan atau membenciku karena membiarkannya hidup. Aku tak yakin bagaimana harus memperlakukannya: sebagai pewaris dari bangsawan yang hebat atau sebagai putra dari orang yang mengkhianatiku. Kupikir yang terbaik baginya saat ini adalah menjauhkan dia untuk sementara waktu dan menitipkannya pada keluarga Endo Chikara. Aku tetap berharap ibunya, Shizuka, masih hidup; saat dia kembali kami akan membicarakan tentang masa depan putranya. Dengan Taku, tak ada keraguan tentangnya; aku akan merawatnya, anak pertama yang aku impikan untuk dilatih serta diperkerjakan sebagai mata-mata. Daerah di sekitar rumah lamaku nyaris tak tersentuh gempa, dan burung-burung bernyanyi riang di taman. Selagi berjalan melewatinya, aku terkenang betapa dulu aku sering mendengar nyanyian rumah tentang sungai dan dunia ini, dan mengingat bagaimana pertama kali aku bertemu Kenji di sudut taman. Nyanyiannya kini telah berubah; aliran sungai tersumbat, air terjun kering, tapi air sungai masih memukul-mukul dermaga dan dinding. Haruka menemukan beberapa bunga krisan untuk ditaruh dalam keranjang, seperti yang biasa dia lakukan, dan aroma tajam musim gugur dari bunga-bunga itu bercampur bau lumpur dan bau busuk dari sungai. Taman telah hancur, semua ikan mati. Nightingale floor telah dibersihkan hingga mengkilap, dan saat kami melangkah di atasnya, lantai itu bernyanyi di bawah kaki kami. Ruangan di lantai bawah rusak karena air dan lumpur, dan Chiyo telah membersihkan dan menghamparkan alas lantai yang baru, tapi ruangan di lantai atas tidak tersentuh. Dia telah membersihkan serta memolesnya hingga terlihat sama seperti ketika pertama kali aku melihatnya, saat aku jatuh cinta pada Shigeru dan rumahnya. Chiyo meminta maaf karena tak ada air panas untuk mandi sehingga kami mandi dengan air dingin dan dia berhasil mendapatkan makanan, begitu pula sake. Kami makan di ruangan lantai atas, seperti yang sering kami lakukan dulu, dan Kenji membuat Taku tertawa dengan menceritakan betapa menyusahkan dan tidak patuhnya diriku dulu. Perasaanku bercampur aduk antara sedih dan gembira, dan tersenyum dengan air mata di pelupuk. Tapi apa pun kesedihanku, aku merasakan kalau arwah Shigeru tenang. Aku seakan bisa melihat bayangannya yang tanpa suara hadir bersama kami di ruangan ini sambil tersenyum ketika kami tersenyum. Orang-orang yang membunuhnya sudah mati dan Jato sudah pulang ke rumah. Akhirnya Taku tertidur, sedangkan Kenji dan aku minum sake selagi memandangi bulatnya bulan bergerak melintasi taman. Malam itu terasa dingin. Embun seakan membeku, dan kami menutup daun jendela sebelum pergi tidur. Aku tidur dengan gelisah, pasti akibat sake, dan terbangun tepat sebelum fajar karena mendengar suara suara yang aneh. Keadaan rumah tenang. Aku bisa dengar napas Kenji dan Taku di sampingku, dan Chiyo dan Haruka di kamar bawah. Kami menempatkan penjaga di gerbang, dan masih ada beberapa anjing di sana. Rasanya aku masih mendengar para penjaga berbicara pelan. Mungkin mereka yang telah membuatku terbangun. Aku berbaring lalu mendengarkan selama beberapa saat. Kamar mulai terang saat fajar terbit. Kuputuskan kalau aku tak mendengar apa-apa dan akan ke kakus sebelum berusaha tidur. Aku bangkit tanpa bersuara dan menuruni tangga, menggeser pintu dan melangkah keluar. Aku tidak perlu repot-repot meringankan langkahku, tapi begitu lantainya bernyanyi, kusadari apa yang tadi aku dengar: langkah ringan di atas papan. Seseorang berusaha masuk ke rumah dan nyalinya ciut karena lantai itu. Lalu di mana dia sekarang? Saat aku berpikir, aku harus membangunkan Kenji, setidaknya untuk mengambil senjata, ketua Kikuta, Kotaro, muncul dari balik kabut taman dan berdiri di depanku. Selama ini aku hanya pernah melihat dia memakai jubah birunya yang telah pudar, pakaian perjalanannya. Sekarang ini dia memakai pakaian tempur Tribe berwarna hitam, dan seluruh kekuatan yang biasa dia sembunyikan kini muncul dalam sosok dan wajahnya, penjelmaan dari permusuhan Tribe padaku, seorang yang kejam dan keras kepala. Dia berkata, "Kurasa kau pernah bersumpah untuk menyerahkan hidupmu padaku." "Kau menghapus kepercayaanku saat kau menyuruh Akio membunuhku," sahutku. "Kini semua perjanjian kita batal. Dan kau tidak berhak meminta apa pun dariku karena kaulah yang membunuh ayahku." Dia tersenyum mengejek. "Kau benar, memang aku yang bunuh Isamu," ujarnya. "Sekarang aku tahu apa yang membuat dia tidak patuh juga: darah Otori." Dia merogoh ke kantong baju dan aku bergerak cepat untuk menghindari karena kupikir dia hendak menyerang dengan senjata rahasia, tapi ternyata yang dipegangnya adalah batang kayu pendek. "Aku ambil ini," katanya, "dan aku mematuhi perintah Tribe, meskipun Isamu dan aku saudara sepupu dan sahabatku, dan meskipun dia menolak melawanku. Itulah yang disebut kepatuhan." Kotaro menatap mataku untuk membuatku tertidur, tapi tentu saja aku bisa menahannya. Kami saling menahan tatapan selama beberapa waktu, tidak seorang pun dari kami mampu mendominasi. "Kau telah membunuhnya," kataku. "Kau juga memiliki andil dalam kematian Shigeru. Tapi apa gunanya kematian Yuki?" Dia berdesis tak sabar dengan cara yang kuingat dan dengan gerakan secepat kilat dia melempar batang kayu itu ke tanah dan mencabut sebilah belati. Aku berkelit ke samping, seraya berteriak keras. Aku tak bermimpi bisa mengalahkannya dengan tangan kosong. Namun, aku terpaksa bertarung sampai ada yang datang membantuku. Dia melompatiku, membuat gerakan tipuan, lalu bergerak lebih cepat dari pandangan mata dari arah yang berlawanan untuk memiting leherku dengan satu cekikan kuat; tapi karena telah menduga gerakannya, aku berkelit melepaskan cengkramannya, lalu menendangnya dari belakang. Aku lalu memukul tepat di ginjalriya dan mendengar dia menggerutu. Kemudian aku melompat melewatinya dan dengan tangan kanan kupukul lehernya. Pisaunya melesat ke atas dan aku merasakan tangan kananku tersayat, memotong jari manis dan kelingkingku, membuat luka menganga di telapak tanganku. Itulah luka pertamaku yang nyata dan terasa sangat sakit, lebih buruk dari yang pernah kualami. Saat aku menghilang, darah mengkhianatiku, menetes ke nightingale floor. Aku berteriak lagi, menjerit memanggil Kenji, penjaga, lalu membelah sosokku. Sosok keduaku berguling melintasi lantai sementara tangan kiriku kuarahkan ke mata Kotaro. Kepalanya tersentak ke samping saat menghindari pukulan, dan kutendang tangannya yang memegang belati. Dia lompat menjauh dengan kecepatan luar biasa, dan seperti terbang ke belakang kepalaku. Aku menunduk tepat sebelum dia menendang kepalaku dan melompat ke udara ketika dia mendarat, selama pertarungan melawan rasa kaget dan kesakitan, menyadari kalau aku lengah menyerah sedikit saja, aku bisa mati. Aku hendak menendangnya saat kudengar di lantai atas jendela terbuka dan sebuah benda meluncur cepat. Kotaro tidak menduganya. Kemudian aku sadar kalau itu adalah Taku. Aku melompat mencegahnya terjatuh, tapi dia seperti terbang meluncur ke arah Kotaro. Saat perhatian Kotaro terpecah, aku lalu mengubah lompatanku menjadi tendangan dan menghantamkan kakiku ke leher Kotaro. Ketika kakiku menjejak lantai, Kenji berteriak dari atas. "Takeo! Ini!" dan dia melempar Jato ke bawah. Kutangkap pedang dengan tangan kiri. Kotaro meraih Taku, mengayunkan bocah itu di atas kepalanya, lalu melemparnya ke taman. Kudengar bocah itu tersengal-sengal ketika mendarat. Kuayunkan Jato di atas kepala lalu menyerangnya. Kotaro menghilang saat seranganku luput. Tapi karena kini aku sudah memegang senjata, kini dia lebih berhati-hati. Aku memanfaatkan waktu selama menarik napas. Aku sobek sabuk lalu melilitnya di telapak tanganku. Kenji melompat dari jendela lantai atas, mendarat di kakinya bak seekor kucing, dan langsung menghilang. Aku hanya bisa melihat kedua tetua itu samar-samar sementara mereka berdua bisa saling melihat dengan jelas. Aku pernah bertarung di samping Kenji dan aku tahu betapa berbahayanya dia, tapi belum pernah kulihat dia melawan orang dengan kemampuan yang setingkat dengan dirinya. Kenji memegang pedang yang lebih panjang dari Kotaro dan senjata itu agak lebih menguntungkan baginya, tapi Kotaro sedang putus asa dan memang cerdas. Mereka berdua naik turun di lantai. Lantai menjerit-jerit di bawah kaki mereka. Kotaro terlihat hampir jatuh, tapi saat Kenji mendekat, dia berhasil bangkit dan menendang tulang rusuk Kenji. Kedua orang itu membelah sosok mereka. Aku menerjang sosok kedua Kotaro saat Kenji jungkir balik menjauh. Kotaro berbalik menghadapiku dan aku mendengar desis lemparan beberapa belati. Kenji melemparnya ke arah leher Kotaro. Pisau pertama kena sasaran dan kulihat sosok Kotaro mulai samar-samar. Matanya terpaku menatapku. Dia berusaha menikam belati untuk terakhir kali, tapi tampaknya Jato telah menduga dan menerjang ke lehernya. Kotaro berusaha mengutukku saat dia sekarat, namun hanya darah yang keluar dari tenggorokannya yang tergorok sehingga menenggelamkan kata-katanya. Saat itu matahari sudah tinggi; kami menatap tubuh Kotaro yang berlumuran darah di bawah cahaya yang pucat, sulit dipercaya kalau orang yang begitu rapuh pernah memiliki kekuasaan yang begitu besar. Kenji dan aku hanya dapat mengalahkannya dengan menggabungkan kekuatan kami dan dia memberiku luka di tangan, Kenji mengalami memar yang parah, dan kemudian kami sadari, tulang rusuk kami yang patah. Taku nampak tegang dať gemetar, bersyukur karena masih hidup. Para penjaga yang berlarian datang saat mendengar teriakanku sangat kaget seolah ada setan yang telah menyerangku. Anjing-anjing semakin gusar ketika mengendus-endus mayat Kotaro, dan memperlihatkan gigi mereka dengan geraman yang menyeramkan. Jari-jariku putus, telapak tanganku terluka menganga. Begitu rasa takut dan tegang karena pertarungan reda, rasa sakitnya mulai terasa, membuatku hampir tak sadarkan diri. Kenji berkata, "Belatinya mungkin beracun. Kita harus mengamputasi lenganmu sampai sikut agar tetap hidup." Kepalaku berkunang-kunang karena terguncang, semula aku mengira dia bercanda, tapi saat melihat raut mukanya yang serius, aku menjadi panik. Aku memaksanya berjanji untuk tidak melakukan itu. Lebih baik aku mati daripada kehilangan sisa tangan kananku. Karena bila memang harus diamputasi, kupikir aku tak akan bisa memegang pedang maupun kuas lagi. Kenji segera membasuh lukaku, meminta Chiyo membawakan arang, sementara para penjaga berlutut memegangku erat, membakar puntung jari-jari serta pinggiran lukaku lalu membalutnya ramuan penawar racun. Belatinya ternyata memang beracun dan aku merasa sangat tersiksa, campur-aduk antara rasa sakit, demam dan putus asa. Hari-hari yang panjang dan menyiksa berlalu, aku menyadari semua orang berpikir kalau aku akan mati. Aku tak percaya kalau aku mati tapi aku tidak bisa bicara untuk meyakinkan mereka yang masih hidup. Aku terbaring di kamar lantai atas, menggelepar dan mengoceh pada orang mati. Mereka berjalan melewatiku, orang-orang yang telah kubunuh, orang-orang yang mati demi aku, mereka yang telah kubalaskan dendamnya: keluargaku di Mino; kaum Hidden di Yamagata; Shigeru; Ichiro; orang-orang yang aku bunuh atas perintah Tribe; Yuki; Amano; Jo-An. Aku ingin mereka hidup lagi, ingin bertemu dan mendengar suara mereka saat masih hidup; satu demi satu mengucapkan selamat tinggal padaku lalu pergi meninggalkanku yang sedih dan sendirian. Aku ingin mengikuti mereka, tapi tak kutemukan jalan yang mereka tempuh. Di saat demam mencapai puncaknya, aku membuka mata dan melihat seorang laki-laki di dalam kamar. Aku belum pernah melihatnya, tapi aku tahu kalau orang itu adalah ayahku. Dia memakai pakaian petani seperti yang dikenakan laki-laki di desaku dan tidak membawa senjata. Dinding-dinding memudar dan aku berada di Mino lagi; desa itu belum terbakar dan padi-padi di sawah berwarna hijau cemerlang. Aku memperhatikan ayahku bekerja di ladang: tekun dan damai. Aku mengikutinya mendaki jalan di gunung dan ke dalam hutan, aku tahu betapa dia sangat senang berkeliaran di sana, di antara hewan dan turnbuhan, karena aku juga sangat menyukainya. Aku melihat ayahku berpaling saat mendengar suara di kejauhan. Dalam sekejap, dia mengenali langkah kaki itu: sepupu dan temannya yang datang untuk membunuhnya. Aku melihat Kotaro muncul di jalan setapak di depan ayahku. Kotaro mengenakan pakaian Tribe berwarna hitam, seperti yang dia pakai ketika menemuiku. Kedua laki-laki itu berdiri terpaku seakan membeku di depanku: ayahku yang telah bersumpah tak akan membunuh lagi, dan calon ketua Kikuta yang hidup dengan cara tukar-menukar kematian dan teror. Ketika Kotaro mencabut belati, aku berteriak memberi peringatan. Aku berusaha bangkit, namun tangan-tangan menahanku. Bayangan itu memudar, meninggalkan diriku dalam kecemasan. Aku sadar kalau aku tak bisa mengubah masa lalu, tapi aku juga sadar, dalam serangan demam hebat, bahwa konflik itu masih belum selesai. Betapa pun manusia berupaya mengakhiri kekerasan, tampaknya mereka tak bisa lari dari kekerasan itu sendiri. Perselisihan itu akan berlangsung selamanya, kecuali aku menemukan jalan tengah, jalan kedamaian, dan satu-satunya jalan yang terpikir olehku yaitu menampung semua kekerasan dalam diriku, atas nama negara dan rakyatku. Aku harus terus berjalan di jalur kekerasan agar semua orang bias terbebas darinya, seperti halnya aku tidak menganut kepercayaan apa pun sehingga semua orang bebas menganut apa yang ingin mereka yakini. Aku tak menginginkan jalan kekerasan. Aku ingin mengikuti cara yang ayahku ajarkan dan bersumpah untuk tidak membunuh, hidup seperti yang ibuku ajarkan. Kegelapan muncul di sekelilingku dan jika aku menyerah, aku bisa mengejar ayahku dan perselisihan ini akan berakhir. Tabir yang sangat tipis memisahkanku dari alam baka, tapi ada suara menggema di balik bayang-bayang. Hidupmu bukan milikmu lagi. Kedamaian harus dibayar dengan pertumpahan darah. Di balik perkataan perempuan suci itu, aku mendengar Makoto memanggil-manggil namaku. Aku tak tahu apakah dia sudah mati atau masih hidup. Ingin kujelaskan padanya apa yang baru saja aku ketahui dan aku tak mampu menanggung beban atas apa yang telah kulakukan selama ini. Aku ingin pergi bersama ayahku, namun saat aku berusaha bicara, Iidahku kelu untuk dapat merangkai katakata. Aku menggeliat dalam kekecewaan, berpikir kalau kami akan berpisah tanpa sempat mengucapkan kata-kata perpisahan. Makoto menggenggam erat tanganku. Dia mencondongkan badan dekat padaku dan berbicara dengan jelas. "Takeo! Aku tahu. Aku mengerti. Tidak apa-apa. Kita akan damai. Tapi hanya kau yang mampu mewujudkannya. Kau tidak boleh mati. Tetaplah bersama kami! Kau harus tetap bersama kami demi kedamaian." Dia terus bicara sepanjang malam, suaranya menghalau hantu dan menghubungkan rohku dengan dunia ini. Fajar telah menyingsing dan demamku sirna. Aku tertidur nyenyak, dan ketika terbangun, keadaan yang terang dan jernih telah kembali. Tanganku masih berdenyut namun tidak sesakit sebelumnya. Kemudian Kenji mengatakan bahwa dia menduga sesuatu yang berasal dari ayahku, semacam kekebalan dalam darah ahli racun telah melindungiku. Saat itulah aku katakan padanya kata-kata dalam ramalan, bagaimana putraku yang ditakdirkan untuk membunuhku dan bagaimana aku percaya tak akan mati sebelum saatnya tiba. Dia terdiam lama. "Baiklah," akhirnya dia berkata. "Hal itu masih jauh di masa depan. Akan kita hadapi bila sudah tiba waktunya." Putraku adalah cucu Kenji. Ramalan itu nampak amat kejam bagiku. Aku masih lemah dan mudah meneteskan air mata. Tubuhku yang lemah membuatku kesal. Tujuh hari lamanya sebelum aku bisa berjalan keluar, lima belas hari sebelum aku bisa menunggang kuda lagi. Bulan purnama di bulan kesebelas datang dan pergi. Tak lama lagi akan terjadi titik balik matahari dan tahun akan segera berganti, salju akan turun. Tanganku berangsur pulih: bekas luka yang lebar dan jelek hampir menghilangkan tanda keperakan bekas luka bakar yang kudapat pada hari Shigeru menyelamatkanku, dan garis lurus Kikuta. Makoto duduk bersamaku siang dan malam tanpa banyak bicara. Aku merasa dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku dan Kenji tahu apa itu. Mereka membawa Hiroshi menemuiku satu kali dan aku lega karena bocah itu masih hidup. Dengan ceria dia menceritakan tentang perjalanannya, bagaimana mereka bisa lolos dari gempa dan melihat sisa-sisa yang sebelumnya merupakan pasukan Arai, dan betapa hebatnya Shun, tapi kurasa dia setengah berpura-pura. Terkadang Taku, yang cepat bertambah besar dalam waktu sebulan, datang duduk menemaniku; seperti halnya Hiroshi, dia juga bersikap ceria, tapi wajahnya pucat dan tegang karena memaksa tertawa. Seiring dengan pulihnya kekuatanku, kusadari kalau seharusnya kami sudah mendapat kabar dari Shizuka. Jelas terlihat semua orang takut sesuatu yang terburuk terjadi; tapi aku tak percaya kalau dia sudah mati. Begitu juga dengan Kaede, karena tak seorang pun dari mereka yang menemuiku saat aku sekarat. Akhirnya, pada suatu malam, Makoto berkata, "Kami mendapat kabar dari wilayah selatan. Kerusakan akibat gempa di sana jauh lebih parah. Di kediaman Lord Fujiwara terjadi kebakaran hebat..." Dia meraih tanganku, "Maaf, Takeo. Tampaknya tak ada yang selamat." "Fujiwara mati?" "Ya, dia dipastikan telah mati." Dia berhenti, lalu menambahkan, "Kondo Kiichi juga mati di sana." Kondo yang kuutus bersama Shizuka.... "Dan temanmu?" tanyaku. "Dia juga. Mamoru yang malang. Kurasa dia seperti menyambut kematiannya." Selama beberapa waktu aku diam membisu. Makoto berkata pelan, "Mereka belum menemukan mayat Lady Kaede, tapi.... " "Aku harus tahu secara pasti," ujarku. "Maukah kau ke sana untuk memastikannya?" Makoto setuju untuk berangkat keesokan paginya. Aku menghabiskan malam dengan penuh kekhawatiran memikirkan apa yang akan kulakukan jika tidak ada Kaede di sisiku. Satu-satu keinginanku adalah ikut dengannya; tapi, bagaimana dengan orang-orang yang begitu setia padaku? Saat fajar tiba aku menyadari kebenaran kata-kata Jo-An dan Makoto. Hidupku bukan hanya milikku. Hanya aku yang bisa membawa kedamaian. Aku dikutuk untuk tetap hidup. Malam itu ada satu hal lagi yang terlintas di benakku, dan aku meminta bertemu dengan Makoto sebelum dia pergi. Aku mencemaskan catatan yang Kaede bawa ke Shirakawa. Jika memang harus tetap hidup, aku ingin mendapatkan catatan itu sebelum musim dingin. Karena aku harus menghabiskan berbulan-bulan merencanakan strategi di musim panas; musuh-musuhku yang masih tersisa tak akan ragu memanfaatkan Tribe untuk melawanku. Aku merasa harus meninggalkan Hagi pada musim semi dan memperkuat kekuasaanku atas Tiga Negara, bahkan mungkin menjadikan Inuyama sebagai ibukota. Pikiran itu membuatku tersenyum pahit, sebab Inuyama berarti Gunung Anjing, dan seakan tempat itu memang sedang menantikan diriku. Kusuruh Makoto mengajak Hiroshi. Bocah itu bisa menunjukkan tempat catatan itu disembunyikan. Aku tak mampu menahan harapan yang melambung bahwa Kaede ada di Shirakawa-bahwa entah bagaimana Makoto akan membawanya kembali padaku. Mereka kembali pada hari yang dingin hampir dua minggu kemudian. Aku melihat mereka sendirian, dan aku hampir mati ditelan kekecewaan. Mereka pulang dengan tangan kosong. "Nenek yang menjaga kuil tidak mau memberikan catatan itu pada siapa pun kecuali padamu," urai Makoto. "Maaf, aku tak bisa membujuknya." Hiroshi berkata dengan penuh semangat, "Kita harus kembali. Aku akan pergi bersama Lord Otori." "Ya, Lord Otori harus mengambilnya," ujar Makoto. Dia seperti hendak bicara lagi, tapi dia membatalkannya. "Apa?" desakku. Dia menatapku dengan ekspresi aneh, antara iba dan kasih sayang. "Kita semua akan pergi," katanya. "Kita akan mencari tahu kabar mengenai Lady Otori." Aku ingin pergi, namun aku juga takut perjalananku akan sia-sia dan waktunya sudah terlambat karena musim dingin akan segera tiba. "Kita bisa terjebak salju di perjalanan," kataku. "Aku berencana menghabiskan musim dingin di Hagi." "Jika yang terburuk terjadi, kau bisa tinggal di Terayama. Aku ingin ke sana dalam perjalanan pulang. Aku akan tinggal di sana." "Kau akan meninggalkanku? Mengapa?" "Ada tugas lain yang harus dikerjakan. Cita-citamu telah tercapai. Aku dipanggil kembali ke biara." Hatiku luluh lantak. Apakah aku akan kehilangan semua orang yang kusayangi? Kupalingkan wajahku untuk menyembunyikan perasaanku. "Saat kau sekarat, aku bersumpah," Makoto melanjutkan. "Aku berjanji pada Sang Pencerah bahwa jika kau selamat, akan kuabdikan diri demi cita-citamu dengan cara yang berbeda. Aku telah bertempur dan membunuh di sisimu, dan dengan senang hati aku akan melakukannya lagi. Tapi hal itu tak akan menyelesaikan apa pun. Seperti tarian musang, lingkaran kekerasan terus berputar." Ucapannya terngiang di telingaku. Itu semua kata-kata yang ada di benakku saat aku dalam keadaan setengah sadar. "Ketika demam kau bicara tentang ayahmu dan juga tentang perintah bagi kaum Hidden agar tidak membunuh. Sebagai ksatria, sulit bagiku untuk mengerti, tapi sebagai biarawan, itu adalah perintah yang rasanya harus kucoba dan kuikuti. Di malam itu aku bersumpah untuk tidalc membunuh lagi. Aku akan mencari kedamaian melalui doa dan meditasi. Aku telah meninggalkan serulingku di Terayama untuk memanggul senjata. Kini aku akan meninggalkan senjataku di sini dan kembali untuk mengambil serulingku itu." Dia tersenyum tipis. "Perkataanku mungkin tak masuk akal. Aku mengambil langkah pertama dalam perjalanan yang panjang dan sulit, tapi itulah yang akan kulakukan." Aku tidak menjawabnya. Aku membayangkan Biara Terayama, tempat Shigeru dan Takeshi dimakamkan, tempat aku pernah dilindungi serta dirawat, tempat aku dan Kaede menikah. Biara itu berada di jantung Tiga Negara, jiwa dan raga dari tanah air serta hidupku. Tidak lama lagi Makoto akan tinggal di sana, berdoa untuk kedamaian yang kunantikan, menjunjung tinggi cita-citaku. Dia akan menjadi satu orang, seperti percikan kecil cairan pewarna di tong besar, namun bisa kulihat warnanya menyebar selama bertahun-tahun, warna biru-hijau dengan kata ke damaian yang selalu memanggilku. Dalam pengaruh Makoto, biara akan menjadi tempat yang damai, seperti yang diharapkan pendiri biara itu. "Aku tidak meninggalkanmu," katanya lembut. "Aku akan bersamamu dan mendukungmu dengan cara yang berbeda." Aku kehabisan kata-kata untuk mengucapkan terima kasih: Yang bisa kulakukan hanyalah berterima kasih dan membiarkan dia pergi. Kenji, diam-diam didukung oleh Chiyo, menentang keputusanku untuk pergi, mengatakan kalau aku mencari masalah dengan melakukan perjalanan seperti itu saat belum benar-benar pulih. Aku merasa semakin sehat setiap hari dan tanganku hampir pulih, meski masih terasa sakit. Aku sedih telah kehilangan ketangkasan dan berusaha membiasakan tangan kiriku memegang pedang dan kuas, tapi setidaknya aku memegang tali kekang kuda dengan tangan itu dan kupikir sudah cukup sehat untuk menunggang kuda. Perhatianku yang utama adalah membangun Hagi kembali, tapi Miyoshi Kahei dan ayahnya meyakinkan kalau mereka bisa mengaturnya tanpa kehadiran diriku. Kahei dan anggota pasukanku yang lain tertahan gempa, tapi berhasil lolos dari bahaya. Kedatangan mereka semakin menambah kekuatan kami dan mempercepat pemulihan kota. Aku suruh Kahei segera mengirim pesan ke Shuho untuk mengundang Shiro si tukang kayu dan keluarganya kembali ke Hagi. Akhirnya Kenji menyerah dan mengatakan, meskipun rusuknya yang patah cukup banyak, dia akan turut bersamaku karena sadar aku tak menghadapi orang sehebat Kotaro seorang diri. Aku memaafkan sindirannya, senang dia bersamaku, dan kami juga ajak Taku, tak ingin meninggalkannya sendiri saat semangatnya sedang turun. Dia dan Hiroshi bertengkar seperti biasa, tapi Hiroshi menjadi lebih sabar dan Taku tidak sombong lagi. Aku melihat persahabatan sejati sedang terjalin antara mereka. Aku mengumpulkan semua laki-laki yang ada kota dan meninggalkan mereka berkelompok untuk membantu membangun kembali desa dan peternakan yang hancur. Kami melakukan perjalanan mengikuti retakan akibat gempa yang membelah tanah dari utara ke selatan. Saat itu hampir pertengahan musim dingin; meskipun terjadi kehilangan dan kehancuran, tapi orang-orang bersiap-siap menyambut Tahun Baru; mereka memulai hidup baru lagi. Hari sangat dingin tapi cerah, permukaan bumi gundul dan musim dingin mulai terasa. Burung berwarna kelabu lembut berkicau dari balik semak. Kami langsung ke selatan. Malam hari begitu dingin menusuk dengan bintang-bintang besar, dan setiap pagi diselumuti putihnya salju. Aku tahu Makoto merahasiakan sesuatu, tapi tidak bisa menduga apakah itu rahasia yang menyenangkan atau justru menyedihkan. Setiap hari dia nampak lebih ceria. Semangatku masih mengambang. Aku gembira bisa menunggang Shun lagi, tapi dingin dan sulitnya perjalanan, bersamaan dengan rasa sakit dan cacat di tanganku, lebih menguras tenaga dari yang kuduga, dan di malam hari tugas di depanku terlalu berat untuk dapat aku selesaikan, terutama jika Kaede tidak berada di sisiku. Pada hari ketujuh, kami tiba di Shirakawa. Langit penuh mega dan seluruh bumi tampak kelabu. Rumah Kaede hancur, tak ada yang tersisa selain abu dan arang. Rumah itu nampak sangat menyedihkan; kurasa kediaman Fujiwara juga dalam kondisi yang sama. Aku mendapat firasat kalau Kaede sudah mati dan Makoto sedang membawaku ke makamnya. Terdengar pekikan keras burung dari balik pohon yang terbakar di samping gerbang, dan di sawah dua burung ibis berjambul sedang makan, bulu mereka yang berwarna merah muda bersinar di tanah yang menghitam. Di saat kami berjalan melewati padang rumput, Hiroshi berseru. "Lord Otori! Lihat!" Dua kuda betina berderap menghampiri kami, meringkik pada kuda-kuda kami. Ada dua anak kuda yang sedang belajar jalan, berumur tiga bulan, menurut perkiraanku. Surai dan ekornya sehitam warna pernis. "Mereka itu pasti anak Raku!" ujar Hiroshi. "Amano mengatakan kalau kuda betina Shirakawa mengandung anaknya." Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari mereka. Anak-anak kuda itu seperti anugerah dari surga yang tak ternilai harganya. "Salah satunya akan menjadi milikmu," kataku pada Hiroshi. "Kau pantas mendapatkannya atas kesetiaanmu." "Bolehkah yang satu lagi untuk Taku?" pinta Hiroshi. "Tentu!" Kedua bocah itu berteriak kegirangan. Aku menyuruh seorang pengawal membawa kuda-kuda betina bersama kami dan anak-anak kuda itu berderap mengikuti induknya dan rombongan kami, berjalan menyusuri Shirakawa menuju Gua Suci. Aku belum pernah ke sana dan kaget melihat ukuran gua besar di bawah tanah yang ada air mengalir. Gunung yang menjulang tinggi telah diselimuti salju, bayangannya terpantul di permukaan sungai musim dingin yang tenang. Di sini dapat kulihat, ditarik oleh tangan alam, kebenaran yang seutuhnya. Tanah, air dan langit bersanding dengan selaras. Sama seperti saat di Terayama ketika aku diperlihatkan inti kebenaran yang sesungguhnya; sekarang aku dapat melihat alam surga yang diperlihatkan oleh bumi. Ada sebuah pondok di tepi sungai, tepat di depan gerbang kuil. Seorang laki-laki tua keluar ketika mendengar kuda mendekat, tersenyum mengenali Makoto dan Hiroshi, lalu membungkuk hormat pada kami. "Selamat datang, silakan duduk, akan kubuatkan teh untuk kalian. Akan kupanggil istriku." "Lord Otori datang untuk mengambil kotak yang kami tinggalkan di sini," kata Hiroshi dengan bergaya seperti orang penting, lalu menyeringai pada Makoto. "Ya, ya. Akan kuberitahu mereka. Laki-laki tidak boleh masuk, perempuan yang akan keluar menemui kita." Selagi dia menuangkan teh di beranda, ada yang keluar dari pondok dan memberi salam kepada kami. Laki-laki itu berumur setengah baya, baik dan tampak cerdas. Dia memperkenalkan diri dengan nama Ishida dan aku tahu dia seorang tabib. Sementara dia menceritakan tentang sejarah gua ini dan airnya yang bisa menyembuhkan, laki-laki tua tadi dengan cekatan berjalan ke pintu masuk gua, melompat di antara bebatuan besar yang menonjol. Agak jauh dari gua ada sebuah lonceng perunggu menggantung di bangunan yang terbuat dari kayu. Laki-laki itu membunyikan anak lonceng yang memantul ke permukaan air, bergema dan berkumandang dari dalam gunung. Aku memperhatikan laki-laki tua itu sambil minum teh. Dia tampak mengintip ke dalam pondok dan mendengarkan. Setelah beberapa saat dia berbalik dan berseru, "Hanya Lord Otori yang boleh kemari." Kuletakkan mangkuk teh dan berdiri. Matahari telah menghilang di balik lereng dan bayangan gunung terpantul di permukaan air. Selagi mengikuti langkah laki-laki tua itu melompat dari satu batu ke batu lainnya. Aku merasakan sesuatu-seseorang-mendekat ke arahku. Aku berdiri di sisi laki-laki tua itu, di sebelah lonceng. Dia menatapku dan tersenyum, senyuman yang hangat dan terbuka. "Istriku akan datang," katanya. "Dia akan membawa kotak itu." dia berkata sambil tertawa kecil lalu melanjutkan. "Mereka telah menunggu." Kini melongok ke dalam gua bawah tanah yang gelap itu. Aku melihat seorang perempuan tua berpakaian putih. Bisa kudengar langkahnya di bebatuan yang basah dan diikuti beberapa perempuan di belakangnya. Aliran darahku berdegup-degup di telingaku. Ketika mereka melangkah keluar, perempuan tua itu membungkuk sampai ke tanah dan meletakkan kotak itu di kakiku. Shizuka ada tepat di belakangnya, membawa kotak yang kedua. "Lord Otori," gumamnya. Aku hampir tidak mendengar suaranya. Aku tidak melihat Shizuka dan perempuan tua itu. Aku melayangkan pandangan ke belakang mereka, ke arah Kaede. Aku kenali dia dari lekuk tubuhnya, tapi ada yang berubah pada dirinya. Aku tidak tahu apa itu. Kepalanya ditutupi sehelai kain dan saat menghampiriku, dia membiarkan kain itu jatuh di bahunya. Rambutnya tak ada lagi. Pandangan matanya terpaku menatapku. Wajahnya. Ia tidak terluka dan tetap cantik, tapi aku hampir tidak melihatnya. Kutatap matanya, kuamati penderitaan yang telah dia alami, dan betapa penderitaan memperhalus dan membuatnya lebih kuat. Mantra tidur Kikuta tak akan bisa menyentuhnya lagi. Tetap tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan menarik kain itu dari bahunya. Tengkuk yang begitu sempurna, begitu putih, kini tertutup bekas luka yang kemerahan dan ungu karena rambutnya telah membakar dagingnya. Kutaruh tanganku yang cacat di atasnya, menutupi lukanya dengan lukaku. Kami berdiri seperti itu dalam waktu yang lama. Terdengar jeritan keras burung bangau saat terbang dari sarangnya, nyanyian air tiada henti, dan debaran jantung Kaede. Kami bernaung di bebatuan yang menggantung, dan aku tidak memperhatikan salju yang mulai turun. Ketika melihat pemandangan di luar, ternyata bumi telah berubah putih tertutup salju. Di tepi sungai, anak-anak kuda mengendus-endus salju dengan kagum, salju pertama yang mereka lihat. Kelak saat salju mencair dan musim semi tiba, warna bulu mereka akan menjadi abu-abu, seperti warna Raku. Aku berdoa agar musim semi juga membawa kesembuhan pada tubuh kami yang terluka, pada pernikahan kami, dan pada tanah air kami. Dan agar di musim semi ini bisa melihat houou, burung suci, kembali sekali lagi ke Tiga Negara.* PENUTUP TIGA NEGARA menikmati hampir lima belas tahun dalam kedamaian dan kemakmuran. Perdagangan dengan tanah daratan dan kaum barbar membuat kami kaya. Inuyama, Yamagata, dan Hagi memiliki istana dan kastil yang tak ada bandingannya di seluruh Delapan Pulau. Istana Otori, kabarnya, bersaing dengan kemegahan istana kaisar. Ancaman selalu ada-orang kuat seperti Arai Zenko di dalam batas wilayah kami, para bangsawan di luar Tiga Negara, kaum barbar yang menginginkan bagian yang lebih besar dari kekayaan kami, bahkan sang kaisar dan kalangan istananya juga takut tersaingi oleh kami-namun sekarang ini, tahun ketiga puluh dua dalam hidupku, tahun keempat belas dalam kekuasaanku, kami mampu mengendalikan semuanya dengan menggabungankan kekuatan dengan diplomasi. Kikuta yang kini dipimpin Akio tidak pernah menyerah untuk menghentikan perlawanannya kepadaku, dan tubuhku sekarang membawa catatan dari usaha-usaha pembunuhan mereka padaku. Perjuangan kami melawan mereka terus berlanjut; kami tak akan bisa membasmi mereka, tapi mata-mata yang aku pertahankan di bawah pengawasan Kenji dan Taku mampu mengendalikan mereka. Taku dan Zenko, keduanya sudah menikah dan punya anak. Zenko aku nikahkan dengan adik iparku, Hana, untuk mengikatnya lebih dekat padaku. Kematian ayah nya yang tragis terbentang di antara kami dan aku tahu dia akan menjatuhkanku jika dia mampu. Hiroshi tinggal di rumahku sampai berusia dua puluh tahun, lalu kembali ke Maruyama tempat dia memegang kendali wilayah itu untuk putri sulungku yang akan mewarisi wilayah itu dari ibunya. Kaede dan aku mempunyai tiga orang putri: yang sulung kini berusia tiga belas tahun, kedua adik kembarnya, berusia sebelas tahun. Putri pertama kami mirip ibunya dan tidak memperlihatkan kemampuan Tribe. Si kembar wajahnya sangat mirip, bahkan garis Kikuta di telapak tangan mereka. Orang-orang takut pada mereka karena beberapa alasan. Kenji menemukan putraku sepuluh tahun lalu saat bocah itu berusia lima tahun. Sejak itu, kami selalu mengawasinya, tapi aku tak membiarkan siapa pun menyakitinya. Aku sering berpikir lama tentang ramalan itu dan menyimpulkan bahwa bila ini memang takdirku, aku tak akan bisa menghindar, dan bila bukan-karena ramalan, sama seperti doa, akan terpenuhi dengan cara yang tak terduga-maka semakin sedikit upayaku menghindarinya semakin baik. Dan aku tak bisa menyangkal, saat penyakit yang menggerogoti tubuhku semakin parah dan saat aku ingat bagaimana aku telah mencabut nyawa ayah angkat, pamanku, Shigeru dengan kematian yang cepat dan terhormat sebagai ksatria, menghapuskan hinaan dan rasa malu yang dialaminya di bawah kekuasaan Iida Sadamu, pikiran itu kerap hinggap di benakku, bahwa putraku yang akan membebaskan diriku, bahwa kematian di tangannya akan kusambut dengan tangan terbuka. Namun kematianku adalah kisah yang lain, kisah yang tidak dapat diceritakan olehku.** Catatan Kaki * Waktu Ular: berkisar antara jam 09.00 s/d jam 11.00. * Waktu Anjing: berkisar antara jam 19.00 s/d jam 21.00. * Waktu Kambing: berkisar antara jam 15.00 s/d jam 17.00. * Waktu Monyet-: berkisar antara jam 17.00 s/d jam 19.00. * Waktu Tikus: berkisar antara jam 23.00 s/d jam 01.00. * Waktu Lembu: berkisar antara jam 01.00 s/d jam 03.00. * Waktu Anjing: berkisar antara jam 19.00 s/d jam 21.00. * Bailey : Tempat yang dilindungi dinding kastil dan beberapa menara. Bailey digunakan untuk menanam buah-buahan, memelihara ternak dan juga tempat berlindung saat ada bahaya. * Tanabata (atau Festival of the Weaver Star) dirayakan setiap tanggal 7 Juli. Menurut legenda, pada malam itu bintang Altair dan Vega (yang dianggap mewakili sepasang kekasih) akan bertemu dengan seijin dewa. * Waktu Naga: berkisar antara jam 07.00 s/d jam 09.00. Baca lanjutannya dalam buku: Kisah Klan Otori 4 The Harsh Cry Of The Heron Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net Sumber Pdf: syauqy_arr@yahoo.co.id